Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Buta Diri", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, kalau kita bicara tentang buta, itu biasanya tentang mata atau cacat fisik. Ini yang menjadi topik pembicaraan kita yaitu tentang buta diri, sebenarnya apa Pak Paul buta diri itu?
PG : Seperti kata itu sendiri, buta berarti tidak bisa melihat, jadi buta diri artinya adalah tidak bisa melihat diri dengan baik atau dengan tepat. Sehingga mudah sekali orang yang buta diri iu mempunyai anggapan-anggapan baik terhadap dirinya maupun orang lain yang tidak tepat.
Nah, tidak bisa tidak, kalau seseorang mempunyai masalah seperti ini, dia akan mudah dan rawan terhadap masalah atau problem di dalam relasinya.
GS : Tetapi itu tidak dialami oleh semua orang?
PG : Tidak, hanya orang-orang tertentu saja Pak Gunawan.
GS : Kalau buta secara fisik, itu bisa dengan jelas kita lihat Pak Paul, melalui caranya berjalan dan sebagainya. Nah, kalau buta diri ini ciri-cirinya apa Pak Paul?
PG : Yang pertama adalah orang yang buta diri, tidak melihat kekuatan dan kelemahan diri. Yang saya maksud adalah orang ini bukannya tidak mengakui kelemahannya sama sekali, dia mengakui bahwa ia mempunyai kelemahan.
Tapi masalahnya adalah dia tidak melihat kelemahannya dengan tepat, demikian pula dengan kekuatannya. Dia menyadari dia memiliki kekuatan, tapi kekuatan yang dilihatnya itu sebenarnya bukanlah kekuatannya dia, bukanlah sesuatu yang dia lihat dengan tepat. Jadi sekali lagi masalahnya adalah dia tidak bisa melihat dirinya dengan tepat. Misalkan, dia mungkin berkata bahwa kekuatannya adalah mengasuh, menolong orang, dia memiliki kasih yang besar untuk menolong orang. Tapi masalahnya adalah itu bukan kekuatannya, itu justru sering kali merupakan kelemahannya; dia bukannya mengasuh atau menolong orang, dia akhirnya dinilai terlalu mau ikut campur dalam urusan orang. Nah, sekali lagi ternyata yang dilihatnya itu tidak tepat.
GS : Apakah itu yang Tuhan Yesus katakan bahwa ada orang yang melihat selumbar di mata orang lain tetapi balok di matanya sendiri dia tidak bisa melihatnya?
PG : Betul sekali, jadi orang yang seperti ini adalah orang yang melihat tapi tidak tepat, sehingga akhirnya yang dilihat pada dirinya pun tidak tepat. Yang seharusnya besar, dia lihat kecil; yng seharusnya kecil, dia lihat besar.
GS : Apakah ada ciri yang lain, Pak Paul?
PG : Orang ini tidak menyadari dampak sikap dan perbuatannya pada orang lain. Maksudnya begini Pak Gunawan, dia itu tidak sanggup menyambungkan dengan konsisten niat baik dan wujud nyatanya. Arinya, kendati niatnya baik namun penyampaiannya begitu keliru, sehingga tidak terkomunikasikan dengan tepat.
Nah, saya menggunakan contoh yang sama, dia berkata saya ingin menolong, tapi yang dia lakukan dalam menolong itu justru melakukan hal-hal yang menginjak perasaan orang. Tapi dia tidak menyadari bahwa dia telah menginjak perasaan orang. Dia telah menusuk orang dengan perkataan-perkataannya yang menurut dia membangun. Masalahnya orang itu bukan merasa terbangunkan malah merasa terbanting oleh ucapan-ucapannya. Jadi sekali lagi intinya adalah karena dia buta diri, dia akhirnya tidak menyadari bahwa perbuatan dan perkataannya bukan seperti yang dia harapkan. Tujuannya mungkin saja sangat baik, tapi karena tidak bisa menyampaikannya dengan tepat, selalu menimbulkan masalah dan orang tidak bisa menerima apa yang dia lakukan.
GS : Kalaupun orang seperti itu ditegur, sering kali dia mengatakan saya tidak bermaksud seperti itu.
PG : Bisa jadi juga niatnya memang sungguh-sungguh baik, tapi karena tidak bisa menyampaikannya dengan tepat, maka akhirnya orang tidak menanggapinya dengan tepat pula.
GS : Apakah itu bukan karena masalah komunikasi dia dengan orang lain, Pak Paul?
PG : Bisa jadi itu memang masalah komunikasi, namun yang penting adalah apa yang ada di dalam hatinya itu tidak bisa dia keluarkan dengan pas, sehingga orang bisa menerimanya. Tapi masalahnya aalah karena dia tidak dapat melihat dirinya, akhirnya yang dia lihat kok orang tidak bisa menerima niat baiknya, hanya itulah yang dia lihat.
GS : Karena itu dikatakan sebagai buta diri itu, apakah ada ciri yang lain, Pak Paul?
PG : Nah, ini berkaitan dengan yang baru saja kita bicarakan. Karena dia itu tidak bisa mengungkapkan diri atau mengkomunikasikan niat baiknya dengan tepat, sebagai akibatnya orang salah menangapinya, orang bereaksi seperti yang tidak diharapkan.
Akhirnya dia menjadi orang yang mudah frustrasi. Kenapa? Karena dia menganggap orang tidak bisa menghargai niat baiknya; tapi masalahnya adalah dia tidak bisa melihat mengapa orang sampai tidak dapat menerima niat baiknya. Misalkan, dia berkata: "Saya hanya ingin menolong atau membangunmu," namun dalam prakteknya dia memarahi orang. Misalkan rekannya, "Kamu itu malas, kamu itu tidak tahu diri," dan sebagainya. Kalau dia jarang-jarang ngomong seperti ini, mungkin orang masih bisa terima, tapi kalau hampir kepada setiap orang yang dia ingin tolong atau dia ingin bangun dia melontarkan kata-kata seperti itu, akhirnya orang tidak pernah bisa melihat niat baiknya. Orang justru akan menganggap, "Kamu kok senang menyakiti hati orang, kamu kok tidak bisa mengerti bahwa yang kamu lakukan itu menyakiti hatiku, nah makanya aku tidak bisa menerima niat baikmu itu. Apa pun yang engkau katakan, aku tidak percaya." Nah, orang yang buta diri ini akhirnya frustrasi dan berkata kenapa orang tidak bisa menerimanya, padahal saya bermaksud baik. Akhirnya dia sering kali merasa frustrasi dalam berelasi dengan orang.
GS : Jadi frustrasinya itu karena relasinya dengan orang atau karena dia kurang nyaman dengan dirinya sendiri, Pak Paul?
PG : Awal-awalnya adalah dia frustrasi dalam relasi dengan orang, sebab baginya orang itu tidak menghargai apa yang dia coba lakukan kepada orang lain. Jadi memang bersumber dari pengamatannya ang tidak tepat tentang orang.
GS : Ya, kalau itu sudah sering kali terjadi, apakah itu tidak menyadarkan dia bahwa sebenarnya dialah yang kurang bijak atau kurang bisa mengkomunikasikan isi hatinya?
PG : Nah, kalau saja dia bisa melihat itu, berarti dia mulai melek, masalahnya adalah dia tidak bisa melihat itu. Oleh sebab itulah kita memanggilnya buta diri. Justru ini membawa kita kepada cri berikutnya Pak Gunawan.
Yaitu dia bukannya mencoba mengerti, dia mencoba untuk memahami kenapa orang tidak menerima niat baiknya itu, mungkin saya harus introspeksi diri, mungkin ada perkataan-perkataan atau cara-cara yang saya gunakan tidak pas, tapi masalahnya dia tidak bisa melihat dirinya apa yang terjadi. Akhirnya dia merasa orang tidak mengerti tentang dirinya, karena orang tidak bisa mengerti tentang dirinya, dia makin memisahkan diri dari orang lain dan ini bisa berdampak negatif. Mengapa? Sebab dia mulai dan makin melihat orang lain "tidak baik". Karena apa dianggapnya tidak baik? Karena mereka menolak dan tidak menghargai niat baiknya. Nah dia makin menutup diri dan membuatnya makin tidak terampil bergaul dan makin tidak terampil bergaul, makin sulit dia berelasi. Dia merasa orang menolaknya, tidak bisa mengertinya akhirnya dia makin memisahkan diri, dia makin menyendiri. Bekerja dalam ruangan tertutup, sendirian, jarang bicara dengan orang, tapi masalahnya adalah dia makin menutup diri, makin dia tertutup dari orang lain, dia makin tidak bisa bergaul, dia makin tidak bisa berelasi. Karena dia tidak makin suka bergaul, akhirnya apa yang terjadi? Dia makin suka melakukan kesalahan Pak Gunawan, makin sering dia salah membaca orang, makin sering dia nantinya mengucapkan kata-kata yang melukai hati orang, nah siklusnya berputar di situ.
GS : Dan tambah parah, Pak Paul?
PG : Dan akhirnya tambah parah. Ini membawa kita ke point berikutnya, dia tidak bisa membaca sikap dan reaksi orang dengan tepat. Dia bisa membaca reaksi orang, tapi tidak dapat membacanya dengn tepat.
Ini adalah akibat dari ketertutupannya dan keterpisahannya dari orang. Makin terkucil, makin besar kemungkinan dia melakukan kekeliruan dalam membaca orang, karena makin tidak bergaul dengan orang. Dan karena dia menyimpan praduga bahwa orang lain itu tidak baik karena tidak menghargai niat baiknya, dengan mudah ia menafsirkan reaksi orang dari kacamata negatifnya. Misalnya, memang orang itu bersikap demikian karena meremehkannya dsb, jadi kacamata negatifnya makin hari makin tebal. Selalu menduga-duga orang berbuat atau bermaksud tidak baik kepadanya, merendahkannyalah, menyinggungnyalah, tidak menghargainyalah. Nah makin dia negatif, makin dia negatif, makin tercemar relasinya dengan orang dan makin sering timbul masalah.
GS : Pak Paul, kalau kita bicara tentang kebutaan, itu biasanya ada penyebabnya. Kadang-kadang juga terbawa dari lahir, tetapi di dalam hal buta diri sebenarnya penyebab utamanya apa Pak Paul?
PG : Sebetulnya penyebabnya bisa beberapa jenis Pak Gunawan, misalkan ada anak-anak yang sejak kecil terlalu dimanja. Semua yang dilakukannya baik, dipuji, diagung-agungkan oleh orang tuanya. Mngkin karena dia dianggap anak yang paling cerdas, kakaknya atau adik-adiknya tidak seperti dia cerdasnya.
Mungkin anak ini dianggap paling tampan atau paling cantik, kakak dan adiknya tidak sebagus dia. Atau dia anak laki satu-satunya di antara semua cucu, sehingga si kakek, nenek, orang tua mengagung-agungkan dia. Akhirnya dia itu terlatih dikondisikan sejak kecil melihat dari kacamatanya saja, dia hanya mau melihat hal yang memang ingin dilihatnya. Karena orang tua, kakek, nenek dan sebagainya hanya memberikan respons-respons kepadanya sesuai dengan pengharapannya dan penuh dengan pujian-pujian. Akhirnya kelemahannya tidak dia lihat, tidak dia sadari. Kalau ada apa-apa, yang salah berarti orang lain; yang tidak mengerti ya pasti orang lain. Misalkan dia pulang menangis, ditanya sama mamanya atau papanya, "Kenapa menangis?" "Si ini jahat, si ini berbuat ini, ini, ini." Nah, orang tuanya itu tidak mempunyai keinginan untuk mencari tahu, tidak ke sekolah dan bertanya kepada guru, tapi langsung menganggap anak saya yang dijadikan korban, anak-anak lain yang jahat. Misalkan dia berkelahi dengan kakaknya; karena dia yang paling dibela, si kakak berkata: "Tidak, yang terjadi adalah dia yang awalnya mengganggu saya," kakaknya tidak digubris oleh orang tua, yang digubris adalah perkataan dia dan orang tuanya membelanya. Apa yang terjadi? Si anak tidak pernah terlatih melihat dirinya dari kacamata orang lain. Sebab pada intinya Pak Gunawan, buta diri artinya tidak mampu keluar dari dalam diri sendiri dan dari luar melihat diri kita. Tidak bisa anak ini melihat dirinya dari luar dirinya, sebab dia selalu menggunakan kacamatanya untuk melihat keluar. Dia tidak bisa keluar dari dirinya, masuk ke dalam diri orang dan dari dalam diri orang lain melihat dirinya. Itu yang terputus, itu yang benar-benar tidak bisa dilakukannya. Nah, orang yang buta diri seperti itu Pak Gunawan.
GS : Ada orang yang karena perubahan status sosialnya secara mendadak, tiba-tiba naik pangkat atau tiba-tiba dia menjadi kaya, dia menjadi (orang bilang) lupa diri tetapi ada unsur buta dirinya Pak?
PG : Bisa, karena keberhasilan mendadak benar-benar bisa membengkakkan ego kita. Begitu bengkaknya ego kita sehingga kita tidak merasa perlu melihat diri dari kacamata orang lain. Kita sudah beanggapan bahwa saya pasti benar, kenapa? Kalau tidak pasti benar, tidak mungkin saya yang dipromosikan.
Nah, ini yang terjadi pada salah seorang tokoh yang tercatat di Alkitab, di dalam buku Ester. Kita tahu bahwa yang terlibat dalam kisah kehidupan ratu Ester adalah salah seorang yang bernama Haman, seorang panglima. Memang mungkin dia seorang panglima yang berhasil, maka dia sangat dipercaya oleh rajanya. Saya ingat ceritanya, pada suatu hari raja tidak bisa tidur meminta seorang pembantunya untuk membacakan sejarah kerajaannya. Tiba-tiba terbacakan tentang niat buruk dari orang untuk mencelakakan si raja, namun niat buruk itu terdengar oleh seseorang yang bernama Mordekhai sepupu dari ratu Ester. Dan dilaporkan sehingga raja terselamatkan. Nah, si raja begitu tersentuh oleh kisah kepahlawanan seorang yang bernama Mordekhai ini. Kebetulan yang masuk adalah si panglima, si Haman, kemudian raja bertanya apa yang harus dilakukan kepada orang yang telah berjasa besar kepada raja. Wah, Haman langsung menduga ini pasti saya yang dibicarakan oleh raja, jadi dia benar-benar menciptakan skenario orang itu harus diarak dengan kuda dan diteriak-teriakkan inilah orang yang telah berjasa kepada raja, karena dia berpikir dialah yang menerima penghormatan itu, padahalnya orang yang paling dia benci yang bernama Mordekhai karena tidak bisa hormat kepadanya. Jadi akhirnya raja berkata lakukanlah itu kepada Mordekhai, waduh dia marah sekali. Tapi dalam rencana Tuhan, itulah yang Tuhan lakukan, orang yang meninggikan diri Tuhan akan rendahkan. Tapi itu contoh klasik orang yang memang buta, dia benar-benar menjadikan keberhasilannya sebagai bukti bahwa dia adalah orang yang luar biasa hebatnya. Maka dia tidak lagi bisa melihat diri atau orang lain.
GS : Ya, memang kalau seseorang yang sudah buta secara fisik, tentu tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri, harus ada orang yang menolong dia. Nah di dalam hal buta diri ini, saya merasa orang ini juga membutuhkan bantuan orang lain. Cuma apa yang bisa kita lakukan menghadapi orang yang buta diri ini?
PG : Yang pertama adalah sebenarnya orang yang buta diri ini ingin berelasi dan merindukan penerimaan. Sebab salah satu penyebab kenapa dia itu ingin membantu orang, menolong orang, dia sebetulya ingin berelasi dengan orang.
Dia tidak mau relasinya dengan orang itu terputus. Tapi justru masalahnya adalah niat baiknya itu akhirnya terputus, tak bisa tersambungkan dan orang tidak bisa menerimanya. Jadi saya bisa katakan, kemungkinan ia dibesarkan dalam suasana rumah yang tadi saya gambarkan terlalu dipuji, dimanja. Atau kebalikannya, yaitu dia dibesarkan di rumah yang dingin atau tidak menghiraukannya. Jadi dua suasana rumah yang ekstrim berbeda tapi bisa menghasilkan anak yang sama, yang buta diri. Yang satunya seperti ini, dingin, tidak menghiraukannya, jadi sejak kecil dia dipaksa memunculkan dirinya agar terlihat. Nah, dengan cara apa? Yaitu dengan melakukan hal-hal yang membuat orang tuanya bisa melihat dia. Misalnya prestasinya dia tinggikan setinggi-tingginya atau kenakalannya, dia nakal senakal-nakalnya. Nah, baik yang nakal atau yang berprestasi tinggi, kalau mereka atau anak ini menggunakan kenakalan atau prestasinya supaya dilihat, ini yang menjadi tidak sehat. Dia itu sebetulnya ingin diterima dan menggunakan prestasi atau kenakalannya untuk memperoleh penerimaan. Jadi sekarang kita sudah mengerti bahwa kalau dia dari latar belakang seperti ini, lapar, haus, karena tidak dihiraukan kita dapat menolongnya dengan cara meyakinkannya bahwa dia dikasihi dan diterima lepas dari perbuatannya. Artinya kita coba mengkomunikasikan bahwa kita memperhatikan, mempedulikan dan kita menerimanya. Dan kalau dia berbuat hal-hal yang tidak tepat, kita memang berikan dia mungkin reaksi atau tanggapan tapi yang penting adalah kita mengkomunikasikan bahwa kamu diterima, saya menerima kamu apa adanya. Nah, makin dia tahu dia diterima, ini baik, berarti dia sudah mulai ada relasi dan ini memenuhi kebutuhannya. Sebab orang yang buta diri yang dari keluarga yang dingin dan tidak menghiraukannya, sebetulnya dia adalah orang yang haus akan penerimaan.
GS : Berarti orang yang seperti ini membutuhkan pendampingan yang intensif, kita dekat dengan dia sehingga dia mempunyai percaya dengan kita dan kita bisa mengasihi dia dengan sungguh-sungguh.
PG : Itu kata yang sangat penting 'mendampingi', sebab biasanya memang kita ini tidak sabar dengan orang yang buta diri, kita cenderung menjauh dengan orang yang seperti ini. Sebab memang tidaknyaman Pak Gunawan, bagaimanakah bisa nyaman kalau kita menjadi korban perbuatannya yang menusuk-nusuk kita.
Tapi waktu dia menusuk kita dia tidak sadar dia menusuk kita, malahan dia itu seolah-olah mengasihani diri, kok tidak diterima, tidak dihargai. Nah, dia tidak tahu bahwa dia telah menusuk-nusuk kita, bahkan kalau kita beritahukan, "Kamu telah menusuk hati saya." Mungkin sekali dia tidak terlalu bisa menyadarinya dan tetap dia akan berkata: "Kamu kok tidak menghargai, kamu kok tidak bisa melihat saya itu berniat baik." Misalkan, dia berpikir bahwa ini adalah kekuatannya dan dia ingin sumbangsihkan. Tapi karena dia buta, dia tidak tahu bahwa ini bukan kekuatannya, dan upayanya membantu itu akhirnya tambah mengacaukan orang lain, tapi tidak dia sadari. Nah, waktu akhirnya dikatakan kepadanya kamu tidak usah membantu, lebih baik nanti saja lain kali kami akan berikan kesempatan, dia marah dan berkata: "Saya bisa kok," tapi semua orang melihat bahwa dia tidak bisa. Nah, akhirnya dia konflik dengan orang dan dia marah sama orang, jadi memang orang yang buta itu dengan dirinya cenderung menghalau orang dekat dengannya. Tapi tadi saya sudah singgung dia tidak bisa mengerti kenapa orang menjauh darinya, dan dia hanya berpikir orang kok jahat menjauhkan diri darinya. Nah waktu kita tidak menjauhkan diri, kita berusaha mendampinginya, dia makin merasa aman, dia makin tahu bahwa kita berbeda dari orang lain, kita kok tidak pergi. Karena itu, dia akan lebih bersedia untuk mendengarkan kita.
GS : Tapi apakah itu malah tidak membuat dia merasa bahwa memang dia sudah betul sekarang ini, jadi lebih memperparah buta dirinya?
PG : Nah, ini point yang bagus, jadi begini Pak Gunawan, meskipun kita telah memutuskan tidak meninggalkannya, kita bersamanya, tapi kita tidak boleh meninggalkan fungsi sebagai nabi baginya. Yitu apa? Yaitu menyampaikan kebenaran, sebab kalau tidak, yang tadi Pak Gunawan katakan akan terjadi.
Dia akan beranggapan bahwa dia selalu benar, maka kita pun tetap bersama dia dan mendukungnya, nah itu yang kita ingin hindarkan. Kita mendampinginya, tapi kita mendampinginya dengan satu tujuan yaitu agar dia mempercayai kita. Karena orang ini sudah memisahkan diri dari orang lain, dia beranggapan orang itu tidak menghargainya dan jahat, tidak baik. Maka dia perlu melihat bahwa kita tidak menjauhkan diri, nah karena kita tidak menjauhkan diri dia akan lebih percaya, lebih dekat. Dia tahu bahwa dia dikasihi oleh kita, nah karena dia tahu kita pasti mengasihinya; waktu kita memberikan koreksi terhadap pandangannya atau sikapnya, kemungkinannya dia mendengarkan kita itu akan lebih besar. Jadi kita harus memberikan tanggapan-tanggapan yang lebih tepat kepadanya. "Tidak benar kamu begitu, kalau kamu berkata seperti itu orang akan sakit hati," meskipun dia berkata: "Tidak kok begini, begini". "Tidak, kalau orang berbuat begitu kepada kamu, sakit hati atau tidak kamu?" Nah, kadang-kadang baru dia sadar, "ya, sakit hati," "Nah, jangan berbuat kepada orang lain."
GS : Berarti tanggapan kita kepada orang yang kita dampingi yang sedang buta diri tadi, untuk mengoreksi terus kesalahan-kesalahan yang dia masih lakukan.
PG : Betul, kita tetap memberikan koreksi terus juga memberikan kasih atau penerimaan kepadanya. Sebab sekali lagi tanpa dasar kasih dan penerimaan yang tadi itu, dia tidak mungkin menerima korksi kita.
Dia harus tahu dulu bahwa kita mengasihinya, baru dia akan bersedia mendengarkan kita.
GS : Ini pasti ada firman Tuhan yang bisa Pak Paul sampaikan sehubungan dengan buta diri ini?
PG : Saya akan bacakan dari Amsal 15:12, "Si pencemooh tidak suka ditegur orang; ia tidak mau pergi kepada orang bijak." Saya bisa simpulkan orang yang buta diri adalah orang yang ebal, orang yang tidak bijak.
Masuk dalam kategori orang yang bebal, karena inilah ciri-cirinya Pak Gunawan, yang tadi kita telah bahas. Memang orang ini tidak suka ditegur orang, tidak mau pergi kepada orang yang lebih berhikmat, karena sudah menutup diri. Tapi dia mesti belajar membuka diri. Jadi sekarang kalau kita berbicara dan ada orang yang mendengarkan, dan orang ini cenderung atau sering menerima tanggapan dari orang di sekitarnya, "kamu buta diri, kamu buta diri." Mungkin ada baiknya orang yang sedang mendengarkan kita sekarang, ya membuka dirilah bahwa mungkin Anda seperti itu. Jadi terimalah teguran, carilah orang yang memang baik kepada kita, dan bisa melihat kita dengan baik, dengarkanlah masukannya sebab masukan-masukan itu akan memperkaya kita, menambah ketepatan kita melihat diri dan akhirnya meningkatkan kemampuan kita berelasi dengan orang. Dan sewaktu kita dikelilingi oleh sahabat, bukankah kita menjadi orang yang paling berbahagia.
GS : Ada orang yang masih membungkus, mencela orang lain dengan mengatakan ini kritik yang membangun. Jadi masih membenarkan dirinya sendiri.
PG : Memang itu perjalanan yang panjang Pak Gunawan, yang saya katakan ini mudah didengarkan tetapi sulit dilakukan. Saya harus mengakuinya; sebab sekali lagi kecenderungan kita kalau kita bersma dengan orang yang terus menutup diri, membenarkan diri, tidak mau mendengarkan masukan kita, akhirnya kita lelah sendiri.
Dan kita berkata: "Ya, sudah terserah, kamu terus mau hidup seperti ini, kamu tetap hidup di dalam kebutaan, ya sudah itu pilihan kamu."
GS : Tapi dengan belas kasihan yang besar, saya rasa kita akan bisa menolong orang yang mengalami buta diri itu sambil menjaga diri sendiri supaya kita tidak ketularan buta.
GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan yang menarik kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Buta Diri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.