Buah Sehat dari Pohon Sehat 1

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T582A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Agar anak bertumbuh dengan sehat, perlu kasih dan penerimaan dari orang tua, dengan menerapkan target atau tuntutan yang sesuai, juga perlu disiplin dengan memberi imbalan dalam bentuk pujian, senyum, belaian, serta motivasi yang sesuai.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan

dpo. Pdt. Dr. Paul Gunadi

Kita yang suka berkebun pasti tahu bahwa untuk dapat memetik buah yang sehat diperlukan perawatan pohon yang saksama agar sehat. Untuk menumbuhkan pohon yang sehat, kita harus memerhatikan kecukupan tanah, air, matahari dan pupuk. Dari pohon yang sehatlah baru dapat dihasilkan buah yang sehat pula. Prinsip yang sama berlaku dalam membesarkan anak. Kita tidak dapat berharap bahwa anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang sehat jika kita tidak memberinya kecukupan akan hal-hal yang dibutuhkannya untuk dapat bertumbuh secara sehat. Berikut akan dipaparkan beberapa di antaranya.

Kasih dan Penerimaan

Anak membutuhkan kasih orangtua. Uang sebanyak apa pun, pengasuh sebaik apa pun, tidak dapat menggantikan kasih orangtua. Sudah tentu ada banyak cara untuk mewujudkan kasih kepada anak; salah satunya adalah penerimaan. Sesering apa pun dan sehangat apa pun kita menunjukkan kasih kepada anak, bila kita menuntutnya melampaui kemampuannya, anak niscaya tidak akan dapat merasakan penerimaan dari orangtua. Ketika anak tidak merasakan penerimaan, anak pun tidak akan dapat merasakan kasih. Itu sebab, penting bagi orangtua untuk memerlihatkan kehangatan kasih lewat penerimaan atas diri anak apa adanya.

Pertanyaannya adalah, apakah artinya menerima anak apa adanya? Menerima tidak berarti tidak ada tuntutan sama sekali dan menerima juga tidak berarti membiarkan anak berbuat apa pun. Menetapkan target atau tuntutan mesti tetap menjadi bagian dari mengasihi dan menerima anak apa adanya. Jadi, yang dimaksud dengan menerima anak apa adanya ialah (a) menetapkan target atau tuntutan yang sesuai dengan keberadaan diri anak dan (b) menerima kegagalannya untuk mencapai target atau tuntutan yang kita embankan padanya. Mari kita lihat keduanya.

Orangtua mesti menetapkan target atau tuntutan pada anak sebab tanpa tuntutan atau target bukan saja anak tidak dapat mengembangkan potensinya, tetapi juga membuatnya bertumbuh tanpa kepercayaan diri. Target atau tuntutan yang diembankan sesuai dengan keberadaan dirinya justru mengkomunikasikan kepercayaan orangtua akan kemampuannya. Dan, dari kepercayaan orangtua terhadap kemampuan anak inilah lahir kepercayaan diri anak atas kemampuannya. Singkat kata, bila orangtua tidak mengembankan tuntutan atau target sama sekali, tanpa disadari sesungguhnya orangtua tengah mengkomunikasikan kepada anak bahwa mereka tidak memercayai kemampuannya. Namun, bukan saja orangtua mesti mengembankan tuntutan atau target yang sesuai, mereka pun mesti bersedia menerima kegagalan anak untuk mencapai tuntutan atau target itu. Menerima kegagalan anak tidak berarti, tidak boleh kecewa sama sekali; tidak apa anak melihat atau mengetahui kekecewaan orangtua. Terpenting adalah apakah orangtua masih akan memberikan kepercayaan atau tidak kepada anak setelah anak gagal memenuhi target orangtua. Bila orangtua berhenti berharap atau tidak lagi menuntut apa pun, maka itu berarti mereka tidak lagi memercayai anak. Itu sebab orangtua harus terus berusaha memberi kepercayaan kepada anak, walaupun ia telah gagal mencapai target atau tuntutan yang diberikan. Anak perlu menerima kesempatan kedua setelah kegagalannya. Sudah tentu, sikap orangtua terhadap kegagalan anak juga mengkomunikasikan penerimaan mereka terhadapnya. Bila orangtua menghinanya, itu pertanda mereka tidak menerimanya. Jika mereka menghalaunya atau menjauh darinya, itu pun menunjukkan bahwa mereka tidak menerimanya. Jadi, penting bagi orangtua untuk tetap merangkulnya walau anak gagal mencapai target atau tuntutan yang diembankan. Ingat, anak selalu memerhatikan dengan saksama reaksi orangtua setelah kegagalannya.

Disiplin dan Motivasi

Anak membutuhkan disiplin dan motivasi dari orangtua. Ibarat gerbong kereta yang memerlukan rel dan lokomotif untuk menggerakkannya, anak pun memerlukan rel atau disiplin sehingga tidak berjalan ke mana dan motivasi agar dapat bergerak mencapai sasaran. Disiplin perlu ditanamkan pada diri anak sebab disiplin tidak bertumbuh dengan sendirinya. Lama kelamaan disiplin yang ditanamkan oleh orangtua bertumbuh menjadi disiplin dalam diri anak. Begitu pula motivasi. Orangtua harus menanamkan motivasi pada diri anak agar pada akhirnya motivasi dapat menjadi bagian dari diri anak.

Sebagai contoh, orangtua memberitahukan anak bahwa ia tidak boleh memukul adiknya sewaktu adiknya mengambil mainannya. Setelah peringatan diberikan, orangtua mesti mendisiplinnya, misalkan dengan menyuruhnya masuk ke kamar, bila ia tetap memukul adiknya. Jika hal serupa berulang, maka ancaman hukuman orangtua menjadi sesuatu yang riil pada diri anak dan berpotensi menahannya untuk memukul adiknya. Inilah awal dari lahirnya disiplin pada diri anak.

Contoh lain adalah anak ingin bermain sebelum ia menyelesaikan tugas sekolahnya. Orangtua melarang dan berkata bahwa ia hanya boleh bermain setelah ia menyelesaikan tugas sekolahnya. Larangan dan konsekuensi hukuman bila ia melanggarnya menjadi disiplin dalam diri anak sehingga di kesempatan lain sewaktu ia tergoda untuk bermain sebelum ia menyelesaikan tugas sekolah, ia berhasil mengekang keinginannya. Di sini kita dapat melihat dengan jelas bahwa disiplin dari luar (orangtua) akhirnya bertumbuh menjadi disiplin dari dalam (diri sendiri).

Selain disiplin, anak pun membutuhkan motivasi. Motivasi adalah mesin penggerak yang menghantar anak dari titik bayangan ke titik kenyataan, dari titik keinginan ke titik kepuasan. Hukuman bukanlah pencipta motivasi; hukuman tidak menghantar anak menuju perbuatan. Sebaliknya hukuman adalah penghenti perbuatan; karena takut maka anak mengurungkan niat melakukan suatu perbuatan. Jadi, sekali lagi hukuman tidak melahirkan motivasi; yang melahirkan motivasi adalah dorongan dan imbalan.

Orangtua perlu mendorong atau menyemangati anak untuk melakukan sesuatu yang baik dan positif. Dan, sewaktu anak berhasil melakukannya, orangtua mesti memberikan imbalan buat anak. Imbalan tidak selalu berbentuk hadiah seperti mainan; imbalan dapat berbentuk pujian. Bahkan senyum dan belaian di kepala anak sudah dapat berfungsi sebagai imbalan, yang membuat anak ingin mengulang perbuatan baik dan positif itu. Dengan disiplin dan motivasi bukan saja anak akhirnya memiliki kemampuan untuk mencapai sasaran, ia pun akan dapat berbangga hati dan merasa puas. Inilah bahan yang menciptakan penilaian diri serta kepercayaan diri pada anak.

Yohanes 21:17, "Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: ‘Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?’ Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya :’Apakah engkau mengasihi Aku?’ Dan ia berkata kepada-Nya :’Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.’ Kata Yesus kepadanya: ‘Gembalakanlah domba-domba-Ku’."