Bila Anak Bercerai

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T488B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Bila perceraian terjadi pada anak sendiri, bukan saja hal itu tidak menggembirakan, itu juga memalukan. Tidak heran banyak orangtua sengaja tidak mau membicarakan soal anaknya apabila anaknya bercerai. Berikut akan dipaparkan beberapa masukan bagi orangtua bila anaknya hendak bercerai atau sudah bercerai.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Salah satu berita buruk yang kita takut dengar adalah berita bahwa anak kita bercerai. Tidak soal apakah kita menyetujui tindakannya atau tidak, perceraian bukanlah sesuatu yang menggembirakan. Bila itu terjadi pada anak sendiri, bukan saja hal itu tidak menggembirakan, itu juga memalukan. Tidak heran banyak orangtua sengaja tidak mau membicarakan soal anaknya apabila anaknya bercerai.

Berikut akan dipaparkan beberapa masukan, akan apakah yang dapat kita perbuat jika itu terjadi.

  1. Bila anak belum bercerai, usahakanlah untuk menolongnya. Mungkin kita mendengar atau melihat masalah yang dihadapi anak dalam pernikahannya. Mulailah dengan mengatakan bahwa kita akan berdoa baginya. Kita tidak perlu bertanya-tanya kepadanya sebab itu dapat membuatnya makin tertutup kepada kita. Dengan mengatakan bahwa kita akan berdoa untuknya, ia sadar bahwa kita tahu bahwa ia tengah mengalami masalah pernikahan. Dan, dengan kita tidak bertanya-tanya, kita pun menunjukkan kepadanya bahwa kita menghormati privasinya. Satu lagi, dengan kita berkata bahwa kita akan berdoa baginya, sesungguhnya kita tengah memberinya undangan untuk datang kepada kita dan bercerita.
  2. Jika anak belum bercerai dan tengah mengalami kemelut dalam pernikahan, doronglah agar ia mencari bantuan. Carilah informasi tentang keberadaan konselor atau hamba Tuhan yang dapat memberinya pertolongan. Apabila kita sendiri pernah mencari bantuan hamba Tuhan atau konselor untuk menolong kita, ceritakanlah itu kepada anak supaya ia tahu bahwa di dunia tidak ada orang atau pernikahan yang sempurna.
  3. Jika anak terbuka dan mengundang kita untuk terlibat dalam persoalan pernikahan yang dihadapinya, bersikaplah netral. Jangan memihak pada anak; memihaklah pada kebenaran. Dengarlah cerita dari kedua belah pihak sebelum kita mengambil kesimpulan. Beranikan diri untuk menegur—siapa pun—yang bersalah. Kita tidak boleh memenangkan anak karena dia anak; sebaliknya, kita pun tidak boleh menyalahkan dia, hanya karena dia anak.
  4. Ketahuilah tempat dan peran kita—pemberi nasihat dan penolong. Kita tidak mengambilkan keputusan bagi anak; sebaliknya, kita kembalikan tanggung jawab itu kepada anak. Namun satu hal yang mesti kita perbuat adalah, kita harus mengingatkan anak dan pasangannya akan konsekuensi yang mereka harus tanggung sebagai akibat dari perceraian. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, pada akhirnya kita harus merelakan anak mengambil keputusan—dan menanggung akibatnya.
  5. Jika anak kita berada di posisi yang salah—dan ia menolak untuk berubah—kita bebas dan boleh memberikan sanksi kepadanya. Misalkan, anak telah berbuat tidak setia kepada pasangannya dan ia menolak untuk bertobat. Malah ia memilih untuk mempertahankan relasi selingkuhnya. Apakah kita harus tetap diam dan bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa? Tidak. Kita boleh dan seharusnyalah bersikap tegas menegur anak serta memberikan sanksi kepadanya. Kita tidak boleh mendiamkannya. Sikap kita yang membiarkan anak akan mudah sekali ditafsir oleh menantu bahwa memang kita berpihak pada anak, bukan pada kebenaran. Begitu kepercayaan hilang, hilang pulalah respek menantu—kadang cucu—terhadap kita. Juga, sikap membiarkan hanya akan memperpanjang masalah anak. Ia tidak mendapatkan konsekuensi apa pun dan ia tetap dapat melakukan perbuatannya yang salah. Itu sebab bila anak jelas bersalah, kita mesti memberikan sanksi.
  6. Sikap kita yang memihak pada kebenaran—bukan pada anak—juga akan memudahkan kita untuk mendapat akses kepada cucu. Menantu melihat bahwa kita berpihak pada kebenaran dan membelanya; sikap ini membuatnya percaya dan menghargai kita. Alhasil ia pun bersedia membiarkan kita untuk menjalin relasi dengan cucu.
  7. Bila anak memperlihatkan penyesalan atau malah menjadi korban perceraian, seloayaknyalah kita menunjukkan sikap menerima—bukan menghakimi, apalagi menjauhkan diri darinya. Tidak bisa tidak, perceraian membuatnya merasa gagal dan malu; dan, kita tidak perlu menambahkan rasa gagal dan malunya. Seyogianyalah kita memberi dukungan kepadanya dan tidak menunjukkan sikap malu di hadapan teman-teman kita. Jangan sampai anak merasa dan melihat bahwa kita malu dan berusaha menyembunyikan perceraiannya. Sikap seperti ini membuatnya merasa seperti seorang penderita kusta yang mesti diasingkan. Dan, ini akan mendorongnya untuk makin memisahkan diri dari kita.

Penutup.

Salah satu ayat kesukaan saya adalah Roma 5:8, yang berbunyi demikian, "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." Yesus, Putra Allah datang untuk mati bagi kita. Namun Ia tidak menunggu kita baik terlebih dahulu sebelum Ia mati. Tidak. Ia mati buat kita selagi kita masih berdosa. Perceraian dapat membuat anak minder dan tidak lagi layak untuk menerima kasih Tuhan. Kita adalah perpanjangan tangan Kristus di bumi. Kita mesti mengulurkan tangan pengampunan dan kasih kepada anak. Tuhan tidak menutup buku kehidupannya karena ia bercerai. Tidak. Tuhan belum selesai dengannya. Inilah yang kita mesti terus komunikasikan kepadanya.