Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Berlayar dengan Arah." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, perbincangan kita pada saat ini diberi judul "Berlayar dengan Arah," memang sesuatu yang membingungkan kalau kita mengikuti pelayaran tanpa arah yang jelas. Tetapi di dalam perbincangan ini sebenarnya apa yang hendak Pak Paul maksudkan?
PG : Mengibaratkan pelayaran itu dengan perjalanan berumah tangga, jadi rumah tangga pun seharusnya mempunyai arah yang jelas. Dan kita akan mencoba menggali firman Tuhan untuk mengerti sebetulya apakah arah yang Tuhan tetapkan bagi keluarga.
Keluarga adalah sebuah istitusi yang tertua di dunia ini, yang sudah ada sejak manusia diciptakan. Pertanyaannya adalah mengapakah kita jarang memikirkan, sebetulnya apakah rencana Tuhan dalam keluarga dan lewat keluarga. Apakah Tuhan hanya menginginkan kita berkembang biak mempunyai keturunan, apakah Tuhan hanya menginginkan kita memadu kasih, apakah sekadar itu saja. Saya percaya lebih dalam dari sekadar itu, ada hal-hal yang lebih dalam yang merupakan kehendak Tuhan bagi keluarga kita, agar dalam perjalanan membangun keluarga kita tetap bisa berada dalam arah yang benar ini.
GS : Memang menarik sekali seperti yang tadi Pak Paul katakan, ini merupakan institusi yang paling tua di dunia, yang Tuhan sendiri bentuk yaitu pernikahan. Yang saya lihat di dalam kitab suci adalah penciptaan Adam dan Hawa. Adam diciptakan secara berbeda pada waktu yang berbeda dengan Hawa, nah ini menarik sekali.
PG : Betul Pak Gunawan, firman Tuhan di Kejadian 2:18, "Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia." Jelas dari sini kita bisa enyimpulkan bahwa Tuhan memang tidak menciptakan Adam dan Hawa bersamaan.
Semua ciptaan yang lain diciptakan bersamaan sepasang-sepasang, laki-laki dan perempuan, jantan dan betina. Tapi khusus untuk manusia tidak diciptakan bersamaan, dan saya percaya memang ada maksud-maksud Tuhan di belakang ini semua.
GS : Kira-kira apakah itu Pak Paul?
PG : Yang pertama adalah saya langsung bisa berkata tidak akan ada pernikahan bila manusia diciptakan pada waktu bersamaan. Sebab kalau diciptakan bersamaan, Adam sudah datang bersama Hawa tida akan ada lagi upacara pernikahan.
kita baca di kitab Kejadian 2:24, Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya...." Ini kali pertama istilah istri digunakan dan langsung digunakan merujuk pada Hawa jadi Hawa tidak dipanggil sebagai manusia yang berjenis kelamin wanita atau sebagai pendampingnya, tapi langsung Tuhan menyebut Hawa sebagai istri. Sesuatu yang sangat formal, yang langsung merujuk pada sebuah pernikahan. dengan kata lain kalau Adam dan Hawa diciptakan bersamaan, tidak ada kesempatan bagi Adam untuk melihat bahwa inilah istriku, inilah pernikahan. Namun karena diciptakan berbeda, Adam disadarkan dan Hawa pun disadarkan bahwa inilah pernikahan. Yang kedua, kenapa diciptakannya berbeda dan dalam waktu yang tidak bersamaan, supaya Adam dan Hawa menyadari betul-betul arti pernikahan itu, yakni sebuah kesatuan. Firman Tuhan di Kejadian 2:20 berkata, "Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak mejumpai penolong yang sepadan dengan dia." Dengan kata lain Adam menyadari kebutuhannya, dia sendirian, dia baru menyadari bahwa dia perlu seorang pendamping. Kalau dari awal Adam sudah diciptakan bersama dengan Hawa, Adam tak mungkin menyadari kebutuhannya itu, dia tak bisa menyadari bahwa dia perlu seseorang. Oleh karena diciptakan terpisah, Adam dibuat mengerti tentang kondisinya tentang kebutuhannya. Dan karena Hawa datang belakangan diciptakan pada waktu yang belakangan, Hawa pun mengerti peranannya bahwa dia memang diciptakan Tuhan mempunyai peranan khusus yaitu untuk bersama mendampingi suaminya. Untuk memberikan kelengkapan kesempurnaan bukan hanya kepada si suami tapi pada keduanya. Dan di waktu keduanya bersatu di situlah kesempurnaan tercipta, dan ini baru bisa terjadi tatkala Tuhan menciptakan mereka pada waktu yang terpisah.
GS : Berarti pernikahan itu sendiri khususnya Adam dan Hawa, sudah direncanakan oleh Tuhan jauh-jauh hari?
PG : Betul sekali, firman Tuhan sudah menegaskan bahwa memang Tuhan sudah merencanakan dan mengetahui semua yang akan terjadi dalam hidup ini pada waktu dunia ini diciptakan, pada waktu alam seesta ini diciptakan.
Waktu itu pun sebetulnya Tuhan sudah mengetahui sebelum dunia dan alam semesta diciptakan. Tuhan adalah kekekalan, sudah tahu dan akan selalu tahu.
GS : Dan yang menarik lagi Pak Paul, Hawa ini diciptakan dari bagian tubuhnya Adam, dari tulang rusuk. Dan Adam pun mengatakan, "Kamu adalah bagian dari kehidupanku," ini maknanya apa?
PG : Jelas sekali Tuhan ingin menegaskan kepada Adam, bahwa perempuan ini adalah darimu sendiri, perempuan ini adalah bagian dari hidupmu, darah dagingmu sendiri, dia bukan orang lain. Inilah hl yang tidak bisa dikatakan tentang hewan ciptaan yang lain.
Meskipun mereka diciptakan sepasang demi sepasang, tidak ada yang akan bisa mempunyai konsep kesatuan seperti manusia dan istrinya. Kenapa? Sebab sengaja Tuhan menarik rusuk Adam dan menciptakan Hawa dari rusuk itu, Adam setiap kali melihat Hawa, Adam akan berkata di dalam hatinya ini adalah tulang rusukku sendiri, ini adalah dagingku sendiri yang diambil oleh Allah untuk diciptakan menjadi seorang wanita. Inilah sebetulnya yang nantinya menjadi makna pernikahan yaitu kesatuan, dan ini yang membedakan juga relasi orangtua dan anak, serta relasi suami dan istri. Relasi orangtua dan anak adalah relasi dari sebuah kesatuan menuju keterpisahan. Orangtua membesarkan anak supaya akhirnya berpisah darinya, bukan sampai tua tetap menyatu dengannya itu konsep yang keliru. Kebalikan dengan pernikahan, pernikahan itu berasal dari dua pribadi, dua orang yang terpisah namun dalam perjalanannya setelah mereka menikah, mereka akan harus mendekati, menghampiri satu sama lain makin hari makin dekat sehingga menjadi sebuah kesatuan. Nah inilah makna pernikahan yang memang terkandung dalam rencana Tuhan sejak awal.
GS : Dan di dalam kesatuan itu, apa sebenarnya yang menyatukan kita antara suami dan istri itu?
PG : Sebetulnya ada beberapa Pak Gunawan yang akan coba saya uraikan di sini. Yang pertama adalah dalam hal identitas diri. Identitas diri bukannya soal nama, dulu namanya siapa sekarang setela menikah mengikuti nama suaminya dan inilah jati dirinya yang baru, bukan itu, juga bukan bapak dan ibu siapa, tuan dan nyonya siapa, itu terlalu dangkal.
Yang saya maksud dengan kesatuan dalam jati diri ialah dalam bahasa Inggrisnya sense of belonging, rasa bahwa kita adalah bagian dari; atau kalau saya boleh menggunakan pengibaratan, ini adalah sebuah kandang. Setelah kita menikah kita memiliki sebuah kandang yang baru, kita memiliki sebuah keterikatan, sebuah komitmen, sebuah kepemilikan di mana saya tidak lagi memiliki diri saya, saya menjadi milik dari pasangan saya. Dan ini berlaku dua arah bukan hanya si istri yang berkata saya milik si suami, si suami pun harus berkata saya milik si istri, sebab ini yang Tuhan katakan di I Korintus. Dengan jelas Paulus berkata, "Tubuhmu suami bukan lagi tubuhmu tapi milik istrimu," Tuhan juga mengatakan kepada perempuan hal yang sama, "Tubuhmu istri bukan lagi tubuhmu, tapi milik suamimu." Jadi inilah sebuah kepemilikan, sebuah kandang yang baru sehingga suami dan istri tidak lagi bisa berkata, "Ini saya, pokoknya ini saya, kamu mau apa terserah, tidak bisa terima saya peduli amat." Orang yang berkata seperti ini tidak mengerti bahwa pernikahan menjadikan mereka sebuah kesatuan. Kesatuan yang pertama adalah dalam hal jati diri, siapakah saya ini, saya tidak lagi saya, Paul tidak lagi Paul tapi Paul menjadi bagian dari saya dan istri saya, dan keduanya kami ini menjadi sebuah kesatuan yang baru. Memang masing-masing akan ada keunikannya, tetap membawa diri yang aslinya tapi benar-benar sebuah jati diri, sebuah nama yang baru, sebuah diri yang baru harus kita munculkan setelah kita menikah.
GS : Mungkin dalam hal ini bukan secara fisiknya, tapi spiritnya atau emosionalnya.
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi sekali lagi bukannya sekadar nama atau sekadar dilihat orang kita nempel dan lekat dengan pasangan kita. Tapi benar-benar sebuah kesatuan, sebuah jiwa bahwa ita ini sekarang tidak lagi terpisah, kita adalah sebuah kesatuan.
Jadi artinya secara konkret adalah kita memang harus selalu memikirkan kepentingan keluarga kita, kita bukan saja sekarang memikirkan apa yang baik buat kita, apakah baik juga untuk keluarga kita atau tidak, ini nanti juga termasuk anak-anak kita pada saat nanti mereka masuk dalam ayoman kita, mereka bagian dari hidup kita kita harus selalu pertimbangkan mereka. Baik buat saya, baik buat istri saya, baik atau tidak buat anak-anak saya. Atau baik buat anak saya, baik buat saya tapi tidak baik buat istri saya, itu juga harus kita pertimbangkan. Dan memang akhirnya saya harus akui tidak gampang bergerak bersama karena kita harus memikirkan kepentingan bersama, tapi itulah keluarga. Keluarga memang sebuah kesatuan jadi benar-benar kita harus memikirkan semuanya, kita tidak lagi bertindak semau kita. Kadang-kadang saya juga sedih dan kesal Pak Gunawan, melihat contoh-contoh di mana misalnya suami benar-benar hidup seenaknya. Dia pergi pagi, dia mau pulang malam, dia mau pulang pagi lagi, istrinya tidak boleh menyapa atau menegur dia. Hari keluarga misalkan hari Sabtu, dia pergi main golf, dia pergi dengan teman-temannya dari pagi sampai malam. Hari Minggu harusnya bersama-sama pergi ke gereja berbakti kepada Tuhan, dia tidur sampai siang, anak istrinya pergi ke gereja. Siang hari istrinya balik, dia mau jalan-jalan mau beli mainan untuk dirinya sendiri dan sebagainya. Kadang-kadang saya berpikir orang seperti ini mengapa menikah, seharusnya orang seperti ini tidak menikah sebab dia tidak mengerti artinya pernikahan. Pernikahan adalah menjadi satu dan artinya kita menjadi milik dari orang lain, kalau orang menikah tidak mau menjadi milik orang lain dia sama sekali tidak mengerti makna pernikahan. Jadi benar-benar sebuah kandang yang baru, benar-benar kita itu menjadi milik dari pasangan kita dan bahkan milik dari anak-anak kita. Kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri.
GS : Dalam hal penyatuan ini bukankah mau tidak mau itu akan melibatkan perasaan kita, nah apakah perasaan ini juga akan menyatu?
PG : Seharusnya demikian Pak Gunawan, jadi kita juga akan menyatukan diri kita dalam hal perasaan. Maknanya adalah kita bisa mengerti perasaan pasangan kita, perasaan anak-anak kita, kita bisa emahami apa yang dirasakan dan turut merasakannya.
Misalkan anak kita di sekolah tidak mempunyai teman, diejek. O.......jangan kita tidak mempunyai perasaan dan berkata: "Kamu jangan mau digitukan orang, kamu jangan cengeng, kamu harus begini, begini," janganlah demikian, turutlah rasakan apa yang dirasakan oleh anak kita. Dia mungkin memang harus lebih kuat, tapi itu bisa kita ajarkan. Bukankah langkah pertama adalah kita berkata: "Papa atau Mama bisa mengerti apa yang kamu rasakan, kamu sedih karena kamu ke sekolah tapi teman-temanmu tidak mau mengajakmu bermain, kamu diasingkan sendirian, Papa dan Mama bisa mengerti penderitaan kamu diasingkan seperti itu." Ini yang namanya kita bersatu dalam hal perasaan, tapi selain kita mendengar anak saya kira juga satu sama lain antara suami dan istri. Dan untuk hal ini saya harus akui, mungkin sekali pria lebih mengalami kesukaran, memahami atau turut merasakan perasaan istrinya. Pria memang tidak terkondisi untuk memahami perasaan, jadi sekarang apa yang harus dilakukan kalau ini memang adalah kenyataannya. Saya sekarang meminta tambahan kerja bagi para ibu, saya akan meminta kepada para istri untuk mengajarkan suami berperasaan. Inilah tugas istri, karena istri lebih menguasai tentang perasaan, jadi seyogianyalah dia yang mengajarkan suaminya. Misalkan sedang merasa apa, suaminya tidak mengerti, nah istrinya menjelaskan, "Suamiku, saya merasa begini karena begini, begini. Mungkin suaminya masih tidak mengerti juga, istrinya harus memberikan penjelasan lewat contoh. Ini sama dengan kalau kamu di tempat pekerjaan tidak mendapatkan promosi tapi teman kamu yang mendapatkan promosi, apa yang kamu rasakan? Kamu telah bekerja begitu keras tapi tidak mendapatkan penghargaan. Ini yang saya rasakan sewaktu saya mencoba menolong anak-anak, tapi anak-anak rasanya tidak menghargai pertolongan saya." Nah berikanlah contoh-contoh konkret seperti itu sehingga suami lebih memahami perasaan.
GS : Ya memang betul seperti yang Pak Paul katakan, ini memang bagian yang paling sulit buat saya juga di dalam menyatukan diri dengan istri saya pada awal-awal pernikahan. Dan seorang wanita mungkin kurang berani terbuka seperti yang tadi Pak Paul katakan untuk memberitahukan bahwa dia mau mengajarkan tentang perasaan itu, yang dibutuhkan hanya waktu yang cukup panjang untuk tetap dekat dengan istri.
PG : Betul sekali, dan dari pihak wanita yang diperlukan adalah belajar merendahkan diri, kesabaran untuk mengajarkan. Karena akhirnya yang terjadi adalah kita tidak lagi memberikan pengajaran api kita menghajar.
Maksudnya adalah kita memarahi, kita menuntut suami kita untuk bisa mengerti perasaan kita. Saya hendak mengatakan kepada para istri, kebanyakan kami-kami yang pria memang tidak bisa memahami perasaan semudah wanita, memang pria memerlukan pengajaran yang lebih mendalam dan lebih telaten agar dapat memahami perasaan, jadi jangan putus asa. Saya harus mengakui juga, saya pun memerlukan waktu yang panjang untuk bisa belajar tentang perasaan, kalau ditanya berapa tahun, mungkin saya harus berkata sekitar 10 tahun barulah saya ini lebih bisa mengerti perasaan istri saya. Sebelum-sebelumnya saya buta, saya sering kali berkata, "Kenapa harus merasa begitu, kenapa kamu merasakan ini jangan merasakan begini." Itulah tanda saya tidak mengerti perasaannya, justru dengan kesabaran istri saya mengajarkan saya, memberitahukan saya, ini yang saya rasakan akhirnya saya lebih mengerti. Namun sekali lagi saya minta kepada istri jangan memarahi, jangan menuntut karena nanti kalau dituntut dan dimarahai, akhirnya suami makin tidak bisa dan tidak mau belajar tentang perasaan.
GS : Mungkin yang mempersulit juga karena saya sebagai pria lebih sering menuntut dia untuk rasional jangan terlalu main perasaan terus, nanti masalahnya berlarut-larut.
PG : Dan memang ini adalah keunikan pria dan saya kira ini tidak kebetulan Tuhan menciptakan kita pria seperti ini, karena memang perlu keseimbangan. Dan sekali lagi kita bisa melihat keindahanrencana Tuhan di mana pria dan wanita bersatu dalam pernikahan, mereka akhirnya saling menyeimbangkan dan saling melengkapi.
Perempuan pada umumnya akan lebih kuat dalam hal perasaan, pria memang lebih umum kuat dalam hal-hal berpikir, hal-hal yang bersifat nalar atau rasional. Jadi dalam hal berpikir saya kira pria dan wanita atau suami dan istri harus menyatu pula. Apa yang saya maksud dengan menyatukan pikiran yaitu memahami pikiran pasangan kita dan mampu mencapai titik temu. Tapi sekali lagi saya mau tekankan menyatukan pikiran diawali oleh memahami pikiran dulu. Saya kira ini salah satu keluhan suami terhadap istri yaitu banyak kali saya mendengar suami berkata, "Istri saya tidak bisa mengerti pikiran saya," dan mereka merasa tidak nyambung kalau saya berbicara dengan istri saya. Kenapa sampai begitu, saya kira memang adanya kesulitan istri memahami pikiran suami. Istri kadang-kadang berkata: "Kenapa kamu harus berpikir seperti itu !" Nah ini sama persis seperti yang tadi saya katakan suami berkata kepada istrinya, "Kamu kenapa harus merasa begini !" Istri akan berkata, "Kenapa kamu berpikir seperti itu !" Ini yang membuat suami kadang-kadang enggan berkomunikasi dengan istri, sebab dia berkata, "Aduh nanti akan bertengkar", kenapa bertengkar, sebab tidak nyambung. Saya mau ngomong apa, saya mau ceritakan apa tapi istri saya nanti menangkapnya berbeda, dia keliru menafsirnya sehingga akhirnya terjadi pertengkaran. Memang di sini ini perlu pemahaman pemikiran, bagaimana caranya, sama seperti tadi, karena tadi istri yang lebih menguasai perasaan maka saya meminta istri untuk membagi pengajaran ini kepada suami. Sekarang pun saya meminta suami yang pada umumnya rasional dalam berpikir, untuk membagi pengajaran ini dengan istri. Suamilah yang harus memberikan penjelasan, "Waktu tadi ini terjadi, yang muncul dalam pikiran saya adalah ini, saya langsung berpikir ke depannya begini, besoknya begini kalau nanti kita tidak melakukan ini nanti akibatnya adalah ini, nanti efeknya bisa ke sini, saya berpikir ke situ." Nah hal-hal seperti ini perlu dijelaskan kepada si istri, namun sama seperti tadi jangan ajarkan dengan kemarahan tapi ajarkan dengan kesabaran, beritahu perlahan-lahan, bahwa ini cara pikir saya. Sering kali ini yang saya lakukan dengan istri juga dan kadang-kadang Santi berkata begini, "O....OK, sekarang saya mengerti pemikiranmu." Dan ternyata waktu dia mengerti pemikiran saya, dia terima dan titik temu itu langsung tercipta. Tapi kalau sampai tidak mengerti pikiran saya, mustahil kami akan bisa mencapai titik temu. Tapi sekali lagi tugas ini sekarang saya embankan kepada pria, pria harus mengajarkan dengan kesabaran, jangan memarah-marahi, jangan merendah-rendahkan sebab Pak Gunawan juga mungkin tahu betapa seringnya pria dalam kemarahan karena merasa sering tak dimengerti akhirnya memanggil istrinya bodoh, tolol, dan itu salah besar. Itu makin membuat istri terpuruk dan tidak lagi mau memahami pikiran suami.
GS : Mungkin dalam hal ini perlu pria ini berpikir tapi juga berpikir dalam perasaan supaya memahami perasaan istrinya, tapi diminta dari istri ini berperasaan tapi juga bernalar dan mempunyai pikiran.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi dalam kesatuan kita akan menemukan nanti waktu kita berpikir, kita juga akhirnya melibatkan perasaan. Waktu kita berperasaan kita pun melibatkan pikiran kita Dan bukankah kalau keduanya bisa saling menyeimbangkan ini benar-benar akan menyempurnakan masing-masing individu itu sendiri.
GS : Selanjutnya apa Pak Paul?
PG : Selanjutnya adalah kesatuan dalam bertindak, ini berkaitan sekali dengan keputusan. Yaitu semua perbuatan, semua keputusan yang kita ambil dalam pernikahan harus dalam koridor kesatuan. Cotoh, apapun yang kita putuskan atau lakukan kalau itu akan memisahkan kita, itu yang harus kita hindari.
Jadi ambillah keputusan atau berbuatlah hal-hal yang akan menambah keakraban, kesatuan kita. Misalkan kita mendapatkan tawaran pekerjaan yang lebih baik, menggiurkan dan gaji kita akan bertambah juga. Namun karena pekerjaan ini kita akan dipisahkan dari keluarga kita. Kalau tidak terpaksa jangan terima, artinya tetaplah dalam kondisi ini meskipun kita menerima gaji yang lebih kurang. Asalkan keluarga kita masih bisa hidup bersama dengan baik, masih layak hidup bersama tetap itulah yang kita prioritaskan. Daripada kita ambil posisi tersebut kita korbankan keluarga, kita makin terpisah dari keluarga, kita akhirnya makin tidak bisa menyatu dengan mereka, buat apa. Kita seharusnya belajar dari contoh yang sudah ada di depan mata, begitu banyak kita melihat keluarga bermasalah buat apa menggapai kekayaan dan status yang begitu tinggi tapi keluarga berantakan, apa artinya semua itu. Apa artinya kita berkata berkata, "Saya mendapatkan posisi ini, perusahaan saya bertambah besar," kemudian suaminya berselingkuh atau istrinya berselingkuh atau anaknya jatuh ke dalam narkoba dan sebagainya. Jadi sekali lagi selama kita masih bisa mencukupi kebutuhan mendasar keluarga kita dan keluarga kita masih bisa bersatu, prioritaskan; kesampingkan, korbankan tawaran-tawaran meskipun itu menaikkan posisi kita tapi kalau kita tahu itu akan meretakkan, menjauhkan keluarga kita jangan terima. Semua perbuatan, semua keputusan kita selalu teropong dalam teropong kesatuan ini.
GS : Orang sudah banyak mencoba untuk menyatukan hidup mereka dalam suami-istri, tapi kadang-kadang mereka tidak tahu apa sebenarnya yang menyatukan mereka ini. firman Tuhan berbicara apa Pak Paul dalam hal ini?
PG : Firman Tuhan memang sudah jelas sekali meminta kita untuk bersatu dan firman Tuhan yang tadi kita baca berkata bahwa kita itu akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrina.
Jadi jelas kita memang akan bersatu dan inilah makna pernikahan yang sesungguhnya. Pertanyaan berikutnya lagi adalah bagaimanakah kita bersatu, masalahnya adalah kita ini sering kali tidak menyadari bahwa untuk bersatu kita harus melewati jalur mengasihi. Tapi yang kita lakukan bukan mengasihi tapi mengakuisisi, mendominasi, menguasai, memang itu sedikit banyak menimbulkan kelanggengan tapi tidak ada hasilnya karena tidak ada kasih. Jadi jalur inilah yang harus kita tempuh.
GS : Pak Paul perbincangan kita ini menarik sekali dan kita harus akhiri perbincangan kali ini dan pada kesempatan yang lain mungkin kita akan lanjutkan perbincangan yang menarik ini. Terima kasih Pak Paul, para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berlayar dengan Arah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.