Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Berkomunikasi dengan Remaja". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, komunikasi dengan remaja rupanya menjadi banyak masalah dari orang tua. Masalah-masalah apa yang biasanya muncul dan bagaimana nanti mengatasinya?
PG : Salah satu keluhan orang tua tentang remaja adalah kita tidak bisa lagi memprediksi reaksi anak remaja. Jadi kita bermaksud baik, bicara baik-baik tapi tiba-tiba reaksi remaja itu negatif,marah-marah tersinggung.
Itulah hal-hal yang sering dialami oleh orang tua, itu sebabnya kita perlu memahami sebetulnya apa yang tengah terjadi pada si remaja dan setelah itu kita juga akan belajar bagaimana caranya membangun sebuah jalur komunikasi yang positif dengan remaja. Yang pertama yang akan sedikit saya uraikan adalah tentang memahami remaja, pada dasarnya remaja harus membangun sebuah diri, diakhir usia remaja seharusnyalah dia bisa menghasilkan sebuah diri yang utuh. Diri remaja itu dibangun di atas dua komponen yakni ujian-ujian dan konfirmasi. Konfirmasi adalah respons atau komentar dari lingkungan, dari orang tua yang membenarkan tentang siapa dia, dia ramah, orangnya suka berterus terang dan sebagainya. Ujian/menggugat adalah respons dari lingkungan atau orang tua yang mengatakan "Kamu tidak seperti itu." Di tengah-tengah antara orang tua dan lingkungan, disitulah remaja berdiri. Kadang-kadang ujian dari teman-teman muncul, "Kamu orangnya tidak berterus terang, kamu orangnya tidak rohani dan sebagainya," tapi orang di rumah mengatakan "Dia orangnya rohani dan sebagainya." Dengan kata lain adakalanya apa yang orang tua katakan dan teman-teman katakan berbeda dan dalam kondisi seperti ini, remaja bertumbuh sendirian. Dia akhirnya seringkali merasa terjepit ditengah-tengah, dalam keadaan terjepit dia harus mengikuti yang mana. Tidak heran dalam kondisi seperti ini remaja mudah tidak stabil, kadang-kadang reaksinya tidak bisa kita antisipasi, "Kenapa dia bisa marah, tersinggung walaupun sebetulnya kita berniat baik."
GS : Sebetulnya masalah komunikasi ini bukan hanya masalah orang tua terhadap remajanya tetapi juga masalah remaja terhadap orang tuanya, Pak Paul. Di sini peran orang tua sangat dibutuhkan oleh remaja, apa yang sebenarnya bisa dilakukan oleh orang tua, Pak Paul?
PG : Ada beberapa yang akan saya bagikan dalam menjalin komunikasi dengan remaja, orang tua itu harus berusaha keras menghindar dari tuntutan karena kadang-kadang orang tua menginginkan kedekatn komunikasi dengan anak remaja akhirnya orang tua itu meminta dengan paksa dan marah, "Kenapa kamu dengan teman-teman seperti ini dan dengan kami tidak."
Jadi menuntut agar anak-anak itu lebih perhatian, lebih terbuka lebih sering bicara dengan orang tua dan sebagainya. Sudah tentu secara terbuka mengatakan kepada anak-anak, "Kenapa kamu jarang bicara dengan kami dan sebagainya," itu tidak apa-apa, tapi kalau dijadikan sebuah tuntutan yang keras, saya takut ada masalah yang mungkin timbul. Remaja menjadi enggan berbicara, dari pada dia berbicara, nanti menjadi ribut maka dia malas untuk berbicara dan dia tidak suka berbicara karena dipaksa. Atau ada juga ekstrem kedua yaitu ada anak-anak yang langsung ditindih oleh rasa bersalah, "Benar, kenapa saya tidak berbicara dengan Papa dan Mama," jadi dia merasa bersalah, harus bicara padahalnya dia tidak ingin bicara dan sebagainya. Ini yang tadi saya katakan sebaiknya orang tua menghindar dari tuntutan-tuntutan, kita mau menjalin komunikasi dengan dia tapi jangan menuntutnya untuk berkomunikasi dengan kita. Semakin kita menuntut, kita takut hasilnya semakin buruk.
GS : Memang sebaiknya daripada menuntut lebih baik kita membangun jembatan untuk berkomunikasi dengan remaja. Jadi kita yang harus berinisiatif memberi pokok-pokok pembicaraan yang bisa memancing adanya komunikasi itu?
PG : Betul dan ini nanti yang akan dilihat oleh remaja bahwa orang tuanya berusaha untuk mau dekat dengan dia, berkomunikasi dengan dia dan ini menjadi nilai tambah bagi si anak, jangan sampai rang tua melakukan hal yang satunya lagi yaitu orang tua mencoba menutup keran komunikasi antara dia dan teman-temannya.
Melarang, tidak boleh lagi berhubungan, tidak boleh lagi telepon dan sebagainya. Saya justru melihat upaya menutup keran komunikasi dengan teman-temannya itu tidak efektif, hampir dapat dipastikan orang tua yang menutup keran komunikasi anak dengan teman-temannya akhirnya menutup keran komunikasi antara dia dan anaknya. Anaknya tidak mau berkomunikasi dengan orang tuanya, justru kalau kita bisa membiarkan dia berkomunikasi dan membuka jalur komunikasi dengan kita itu yang lebih sehat. Saya hanya anjurkan untuk orang tua bersikap sangat tegas, kalau kita tahu jelas temannya memang orang-orang yang sangat bermasalah dan akan merusakkan anak kita, dalam kondisi seperti itu orang tua seharusnya bertindak lebih proaktif melarang dia berbicara dengan teman-temannya itu. Tapi kalau tidak, sebaiknya jangan karena kita sebetulnya hanya akan menutup komunikasi dengan anak kita sendiri, akhirnya dia tidak mau berbicara dengan kita.
GS : Jadi pelarangan untuk berkomunikasi dengan teman itu sebatas perlindungan kita terhadap remaja kita Pak Paul, bukan karena kita takut bersaing dengan teman-temannya, karena kita hanya berdua suami istri dan teman-temannya bisa puluhan atau ratusan, jadi tidak mungkin untuk bersaing dengan mereka?
PG : Betul sekali, jadi orang tua disini perlu berhikmat. Kadang-kadang karena terlalu bergebu-gebu untuk marah, emosi, mencoba melarang menutup komunikasi dengan teman-temannya akhirnya si ana tidak mau berkomunikasi dengan kita.
Lebih baik kita menyadari, sesungguhnya apa yang membuat anak tidak mau berkomunikasi dengan kita. Misalkan salah satunya yang umum adalah anak-anak cenderung mempunyai persepsi dan kita akhirnya menyalahkan dia, menghakimi dia, dia mau berbicara terbuka tapi nanti dia dimarahi, disalah-salahkan, dihakimi dinilai anak itu anak yang tidak baik, dinilai anak itu sudah rusak dan sebagainya. Atau dia menceritakan tentang teman-temannya, dia mau bercerita apa adanya kepada orang tua tapi kita menjadi marah, "Lihat teman-teman kamu begini, nanti kamu juga akan seperti itu juga, lihat teman-teman kamu nakal dan sebagainya." Ini sebetulnya reaksi-reaksi yang orang tua terlalu mudah cetuskan sejak anak kecil, Pak Gunawan. Saya berikan contoh, berapa seringnya orang tua jalan-jalan dengan anaknya, misalkan yang masih berumur lima tahun dan anak itu kemudian tersandung sehingga jatuh, mungkin lebih dari separuh orang tua akan marah, "Kamu berjalan tidak melihat jalanan, makanya Mama bilang apa jangan melihat ke mana-mana dan mata lihat ke bawah," anak dimarahi! Jadi mudah sekali orang tua memberi respons menghakimi, memarahi menyalahkan anak untuk sesuatu yang sebetulnya manusiawi atau alamiah dan tidak bisa dicegah. Bagi anak-anak, nanti hal itu akan terbawa sampai usia remaja. Akhirnya anak baru bercerita tentang temannya misalnya seperti tadi temannya ketahuan nyontek dan sebagainya, orang tua tidak berbicara bahwa temannya memang bisa 'nyontek' dan sebagainya. Tapi kita sudah langsung berkata kepada si anak "Kamu juga jangan ikut-ikutan, makanya Mama bilang apa? Jangan bermain dengan dia. Papa sudah bilang kamu jangan bergaul dengan si anak, lihat si anak itu 'menyontek' dan sebagainya." Memang kita itu takut ada apa-apa dengan si anak tapi terlalu akhirnya keluar perkataan yang menghakimi, menyalahkan si anak, itu akhirnya membuat si anak tidak mau lagi berkomunikasi dengan kita.
GS : Jadi selain waktu untuk berkomunikasi itu sangat pendek, waktu yang pendek itu juga dipakai untuk menghakimi dan menyalahkan, jadi anak semakin enggan, Pak Paul?
PG : Betul, akhirnya dari pada nanti disalahkan, dimarahi, dihakimi maka dia tidak mau berbicara. Yang tidak separah itu tapi juga lumayan buruk adalah kita tidak paham dengan dunia anak, akhirya kita sering salah paham dengan anak.
Misalnya ada orang yang kadang-kadang bicara "Anak-anak jangan di ijinkan untuk menonton film ini atau nonton sinetron ini atau jangan dengarkan lagu-lagu ini dari band ini, karena band-band itu sebetulnya rusak dan sebagainya." Orang tua tidak tahu tentang band, tidak pernah mendengar lagunya tapi langsung melarang anak, "Tidak boleh kamu menonton yang seperti ini," atau lagu ini tidak rohani dan kamu harus mendengarkan yang seperti ini. Padahal titik masalahnya adalah orang tua tidak paham dengan yang sebetulnya anak lakukan, tapi karena orang tua tidak paham maka langsung salah paham, anak akhirnya malas berkomunikasi. Contoh yang lebih mudah adalah misalnya sekarang ini anak-anak suka memakai anting sebagai asesoris dan ada orang tua yang langsung berkata "Tidak boleh, anting itu artinya apa?" akhirnya karena orang tua tidak paham maka tidak bisa. Contoh yang lain lagi misalnya adalah ada orang tua yang melarang anaknya untuk menonton atau memakai simbol-simbol tertentu dari tim-tim sepak bola dan sebagainya yang kadang-kadang memang nama-namanya menyeramkan tapi sebetulnya hanya nama, tapi akhirnya orang tua marah, tidak suka, melarang dan sebagainya. Ini sering terjadi karena orang tua kurang paham akan dunia remaja akhirnya membuat orang tua mudah salah paham dan anak merasa "Baiklah kalau begitu, semakin sedikit orang tua tahu maka semakin baik."
GS : Memang sering kali lebih mudah kita menuntun remaja untuk memahami kita dari pada kita sebagai orang tua memahami remaja sehingga seringkali disana timbul benturan-benturan?
PG : Tepat sekali, Pak Gunawan. Memang ada kepentingan kita misalkan kita tidak mau orang salah sangka tentang anak kita, "Kenapa anak kita seperti ini," sehingga kita melarang anak-anak kita. engan kata lain kita menuntut anak-anak masuk ke dunia kita dan memahami dunia kita, tapi di saat yang bersamaan kita itu gagal untuk masuk ke dunia dia dan memahami dunia dia bahwa dalam dunia dia, dia juga perlu penerimaan dan pengakuan dari teman-temannya.
Ini salah satu hal yang harus dipahami oleh orang tua. Hal lain lagi yang juga perlu kita pahami sebagai orang tua yang sering kali mencederai komunikasi kita dengan anak adalah anak-anak akhirnya malas berbicara dengan kita karena dia merasa kita terlalu cepat menyepelekan dia. Hal yang dianggap penting olehnya dia ceritakan kepada kita, kita anggap remeh, dia cerita dengan susah payah tapi akhirnya kita berkata "Baik, bagus hati-hati dan sebagainya," komentar kita pendek-pendek, padahalnya dia mau bicara tentang hal yang sangat penting bagi hidupnya, tapi kita menjawabnya semau kita, sekehendak kita. Kita sedang repot, kita sedang melakukan sesuatu akhirnya si anak berkata, "Untuk apa cerita pada Papa/Mama, percuma. Saya bicara hal yang saya anggap penting dijawab dengan begitu ringan dan sepele," akhirnya dia malas. Sedangkan kalau dia berbicara dengan temannya mengenai cerita yang sama, temannya akan menanggapinya dengan serius. Kenapa begitu? Ada apa? Kenapa bisa begini, dan sebagainya, makanya dia berkesimpulan lebih baik berbicara dengan teman dan ditanggapi serius sedangkan dengan orang tua tidak ditanggapi dengan serius.
GS : Memang itu keterbatasan orang tua, mungkin kita bukan tidak mau menanggapinya secara serius tapi saat itu kita sedang lelah atau kita sedang sibuk, waktunya saja yang tidak tepat, Pak Paul.
PG : Seringkali itu memang sering terjadi, namun saya sarankan begini. Kalau sampai anak remaja mau bercerita kepada kita, kita harus benar-benar berusaha sekuat tenaga mendengarkannya sengan srius sebab itu sebuah kemewahan, sesuatu yang memang bagus dan luar biasa karena kalau tidak akan tertutup komunikasi dan lebih banyak komunikasi dengan remaja yang tersumbat.
Jadi kalau anak kita mau cerita sedapatnyalah kita prioritaskan meskipun kita letih tapi kita mencoba mendengarkan, kalaupun kita tidak bisa dengarkan, kita bisa katakan "Hari ini Papa sangat letih sekali, besok kita bicarakan Papa mau dengarkan lagi." Dan besoknya kita tanya dia, kita ingatkan dia dan kita katakan sekarang Papa siap dengarkan.
GS : Tapi kadang-kadang remaja berkata, "Kurang seru, serunya itu sekarang."
PG : Kalau sampai terjadi, saya berharap para orang tua untuk bisa berkorban dan dengarkan dia dan berikan tanggapan-tanggapan yang serius. Yang berkaitan juga dengan hal ini adalah kalau remaj mau menceritakan hal yang pribadi meskipun dia tidak berkata "Jangan ceritakan kepada orang lain," itu sudah pasti ada dalam tuntutannya "Jangan ceritakan kepada orang lain."
Kadang-kadang orang tua itu tidak menyadari dan akhirnya mencetuskannya keluar. Misalnya si anak bercerita bahwa dia tidak suka dengan beberapa temannya dan kemudian kita dalam pertemuan ada teman-temannya lalu kita ajak bercanda dan kita berkata, "Mana mungkin anak saya tidak suka dengan kalian padahal kalian ini anak-anak baik," maka anak itu langsung kaget dia akan berkata "Mama/Papa berkata kepada teman-teman apa yang telah saya sampaikan," atau mungkin kita menjawab, "Ya, tapi itu adalah yang kamu bicarakan kepada saya," seolah-olah kita tidak bersalah. Kalau seperti itu maka si anak akan berjanji , dia tidak akan berbicara lagi dengan kita.
GS : Ini masalah kepercayaan yang diberikan remaja kepada kita, memang seharusnya kita jaga dengan baik, itu merupakan hak pribadi dia. Tapi akan lebih jelas bagi kita sebagai orang tua kalau dia mengatakan, "Hal itu jangan diceritakan," kita memilah-milahnya agak sulit antara mana yang boleh di teruskan dan tidak, Pak Paul?
PG : Dan kalau itu yang terjadi memang kita kurang jelas, maka kita bisa langsung tanyakan kepada dia apakah hal ini mau kamu rahasiakan atau kamu mau saya bicarakan nanti dengan orangnya. Misakan dia berkata, "Tidak apa-apa," maka kita bisa bicara.
Kalau misalkan dia berkata, "Jangan" maka kita jangan katakan kepada orang lain. Jadi kalau kita tidak yakin lebih baik jangan katakan, kita hanya katakan kalau kita yakin dia tidak apa-apa. Di atas yang semua tadi sudah saya katakan yang "jangan" "jangan" itu, saya mau tambahkan sesuatu yang positif yaitu untuk bisa menjalin komunikasi dengan anak orang tua harus membangun komunikasi dari kesamaan. Sebab itulah caranya relasi dibangun sewaktu orang bisa berbagi kesamaan dan membicarakan kesamaan. Orang tua harus jeli melihat hal-hal yang sama antara dirinya dan anak-anaknya dan melakukan kegiatan bersama, membicarakan hal-hal yang sama karena sudah pasti itu akan sangat mendekatkan. Sebagai contoh misalnya anak saya yang pertama dan yang ketiga kebetulan mempunyai minat terhadap masalah-masalah relasi, psikologis dan sebagainya. Jadi mereka cukup sering bertanya kepada saya berbicara masalah-masalah seperti ini. Sebaliknya anak saya yang kedua memang dia mendalami musik maka dia sering berbicara dengan istri saya yang juga mendalami musik, mereka sering berbicara dan kadang-kadang saya melihat mereka berdua mendengarkan musik tertentu berdua. Sekali lagi ini semua dibangun diatas kesamaan, orang tua harus jeli melihat apa kesamaan dia dengan anak dan berbagilah di dalam aktifitas dan pembicaraan dengan si anak.
GS : Bagaimana kalau saat itu tidak ada yang sama antara minat anak terhadap orang tuanya?
PG : Kalau memang sampai tidak ada yang sama maka kita bisa mencari topik yang si anak sukai dan senangi dan kita banyak bertanya, mau tahu, mempelajari. Saya ingat misalkan dulu sewaktu anak-aak mulai suka lagu band-band remaja, saya tidak tahu band-band yang baru, maka saya dengarkan bersama dia.
Misalkan lagu-lagunya "westlife" atau lagu-lagu yang lainnya. Jadi saya mencoba mendengarkan bersama mereka, ini lagunya, ini nama bandnya sehingga saya bisa berbicara dengan dia tentang hal-hal yang sama itu.
GS : Jadi tetap perlu dicari kesamaan pokok pembicaraan terutama yang menarik untuk remaja itu?
GS: Apakah ada pembicaraan yang bisa membangun, jadi komunikasi yang bisa membangun itu yang menjadi tujuan Pak Paul?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Ini ada beberapa masukan yang akan saya petik dari firman Tuhan mudah-mudahan ini bisa membantu kita membangun komunikasi dengan anak-anak sehingga pembicaraan kta bukan pembicaraan yang menukik, menyerang anak, menegatifkan apa yang anak-anak katakan tapi justru mengeluarkan hal-hal yang positif sehingga bisa membangun si anak.
Saya akan ambil dari Efesus 4, saya akan bahas misalkan ayat 25 "Buanglah dusta dan berkatalah benar." Orang tua harus menerapkan ini, remaja menghargai orang tua yang bersikap jujur dan tidak menutup-nutupi. Justru kalau kita mencoba menutup-nutupi, remaja bereaksi keras sebab remaja itu idealistik. Mereka cenderung langsung berpikir ekstrem, orang yang menutupi berarti orang yang munafik. Kita mengerti bahwa kadang kita menutupi sesuatu dan itu tidak berarti kita itu munafik, kita belum siap saja berbicara dan sebagainya, tapi remaja belum bisa berpikir seperti itu jadi cenderung menarik kesimpulan yang ekstrem, "Mama/Papa saya berarti munafik karena berbicara hal yang ini dan tidak berbicara hal yang itu." Maka saya rasa keterbukaan, kejujuran ini penting sekali untuk remaja lihat pada diri kita. Apa pun yang kita rasakan, alami kalau juga pernah kita lakukan atau kita mempunyai kelemahan di situ, beranilah untuk bercerita, beranilah untuk berkata "Saya pun bergumul hal yang sama dan sebagainya." Remaja justru sangat menghargai sikap kejujuran dari orang tua.
GS : Disamping kejujuran juga keterbukaan, hal-hal yang dikatakan negatif misalnya orang tuanya sudah tidak lagi bekerja. Apakah bisa dibicarakan secara langsung kepada para remaja ini?
PG : Bisa. Dari pada menyalahkan anak, misalkan orang tua sedang mempunyai masalah keuangan dan kemudian anak meminta uang, orang tua langsung marah dan menyalahkan si anak dan sebagainya. Daripada menyalahkan anak dan memarahi anak, kita berkata terus terang saja, "Saya tidak bisa memberikan uang itu karena saya tidak punya uang, kamu tahu kalau kami sedang kesulitan keuangan.
Jadi tolong kita sabar, sementara ini kita tidak perlu membeli ini dan itu." Keterbukaan seperti itu dihargai oleh remaja, justru kalau kita memarahi dia, dia akhirnya semakin tidak mau dekat dengan kita. Ingat kita sedang membicarakan percakapan yang membangun. Percakapan yang membangun adalah percakapan yang jujur yang terbuka bukannya justru menyalahkan orang lain.
GS : Termasuk juga kita tidak boleh mendustai walaupun dalam rangka untuk kebaikan si remaja, Pak?
PG : Betul sekali. Jadi kita memang jangan sampai akhirnya berkata-kata hal yang tidak benar kepada anak kita, itu akan membuat anak-anak tidak percaya kepada kita dan tidak bisa terlibat percaapan yang membangun dengan kita.
GS : Yang berikutnya apa Pak Paul?
PG : Firman Tuhan di Efesus 4:26 berkata, "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa." Jadi artinya ada waktunya marah, ada waktunya tidak marah. Kita orang tua bisa marah itu tidk apa-apa, ini yang penting, sewaktu marah jangan menyakiti hati anak dengan cara menolak atau menghinanya.
Adakalanya kita sedang marah, kita benar-benar menghina si anak atau menolak keberadaan atau kehadiran dia, "Menyesal saya punya anak kamu kalau tahu seperti ini lebih baik kamu tidak lahir dan sebagainya, lihat anak orang lain seperti ini," perkataan-perkataan seperti itu akan menjatuhkan si anak dan membuat dia akhirnya merasa "Saya sudah tidak artinya, saya sudah tidak ada harganya di mata atau di hati Mama dan Papa." Dan setelah kita marah berdamailah kembali dan ajaklah anak berbicara, jangan berdiam diri, itu merupakan situasi yang sangat canggung dan tidak enak. Jadi berdamailah kembali, jangan justru kita menunggu si anak dulu yang berbicara dengan kita tapi kitalah yang harus memberi contoh. Kadang-kadang orang tua berpikir kebalikannya, "Dia adalah anak, dia yang harus meminta maaf terlebih dahulu." Kalau kita seperti itu berarti kita menempatkan diri kita sederajat dengan si anak, seperti anak kecil dengan anak kecil yang bermusuhan, kita orang tua justru harus memberikan contoh kepada si anak. Kalau orang bertengkar ada permusuhan maka orang harus berbaikan kembali, ini contohnya kami menghampiri kamu kami mengajak kamu berbicara kembali.
GS : Kalau orang tua mempunyai kesulitan di dalam hal memulai, apakah pasangannya bisa membantu ? Misalnya antara ayah dan anak remajanya yang terjadi konflik, apakah ibu atau Istrinya bisa membantu, Pak Paul?
PG : Kalau sampai ada konflik dan istri bisa membantu untuk berbicara dengan si anak, silakan. Tapi yang penting adalah si istri itu tidak menempatkan diri sebagai misalkan sekutu anak-anaknya elawan si ayah.
Tapi ada kasus-kasus yang memang sangat parah misalkan jelas-jelas si ayah itu bermasalah memukuli anak seenaknya dan sebagainya. Dalam kondisi seperti itu, si ibu saya kira tidak apa-apa harus membela anak-anak, harus bersekutu dengan anak-anak, menunjukkan pengertiannya atas derita yang mereka alami itu, tidak apa-apa dalam kasus yang ekstrem seperti itu. Kalau tidak seburuk itu maka tidak apa-apa, Ibu bisa menjadi pendengar melihat duduk masalah kemudian mencoba mendamaikan antara ayah dan anak-anaknya.
GS : Mungkin ada hal terakhir yang ingin Pak Paul usulkan untuk pembicaraan yang membangun ini?
PG : Di Efesus 4:29 firman Tuhan berkata, "Jangan ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun." Artinya kita membangun lewat perkataan yang baik bukan lewat perkataan yang kasar atau kotor.
Jadi penting sekali kita menyoroti sisi baik dari si anak, saat berbicara dengan dia cobalah cari hal-hal yang baik tentang anak-anak kita dan sering-seringlah mengangkat itu, jangan takut anak menjadi sombong. Kalau dia sombong maka kita tegur, kita memberikan tanggapan tapi kalau misalkan tidak maka silakan, sebab waktu dia mendengar hal-hal yang baik dari kita, dia akan lebih mau nantinya untuk berbuat seperti itu lagi. Jadi kita membangun orang lewat hal-hal yang positif bukan dengan cara menyoroti hal-hal yang negatif. Di akhir semuanya itu Efesus 4:32 berkata, "Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni." Ini pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada setiap kita orang tua, bercermin dan bertanyalah apakah sikap kita terhadap anak ramah, penuh kasih mesra dan pengampun? Jangan sampai anak melihat kita kebalikannya, tidak ramah, tidak ada kasih mesra dan tidak berpengampunan.
GS : Pak Paul, kalau masalah itu belum terselesaikan sampai remaja ini menjadi dewasa, apakah masalah itu juga akan terbawa?
PG : Biasanya begitu, Pak Gunawan. Biasanya anak-anak akan menjaga jarak dengan orang tuanya karena mereka sudah berkesimpulan mereka tidak mungkin dekat dengan orang tua dan bukankah kalau ituterjadi itu patut disayangkan orang tua pun akhirnya harus kehilangan si anak bukan untuk waktu yang sementara, tapi untuk waktu yang sangat panjang.
GS : Karena itu ada remaja yang lebih senang keluar dari rumah, Pak Paul?
PG : Ada sebagian yang akhirnya terburu-buru, kalau bisa keluar dari rumah karena tidak mau hidup terlalu dekat dengan orang tuanya.
GS : Atau sebaliknya orang tua yang setengahnya agak mengusir?
PG : Ada juga yang seperti itu.
GS : Ini sesuatu masalah yang tidak mudah, tapi bisa dilakukan komunikasi yang baik antara orang tua dan remaja sehingga saling membangun, Pak Paul.
GS : Terima kasih banyak Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berkomunikasi dengan Remaja" Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat
telaga@indo.net.id . Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di
www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
END_DATA