Beragam Disiplin Satu Tujuan

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T540B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Mendisiplin anak itu keharusan bukan pilihan; sama halnya dengan mengasihi anak. Agar pendisiplinan efektif orangtua harus sungguh-sungguh mengerti apa yang tepat untuk anak dan menyampaikannya dengan tepat pula. Pendisiplinan harus dilapisi dengan kasih agar anak bisa mengerti bahwa pendisiplinan itu perlu dan untuk kebaikannya.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
 dpo.Pdt.Dr.Paul Gunadi

Kita tahu bahwa mendisiplin anak adalah keharusan, bukan pilihan. Anak memerlukan pendisiplinan sama seperti anak memerlukan kasih sayang. Anak yang dibesarkan tanpa disiplin akan bertumbuh menjadi pribadi yang tanpa rem dan gas. Ia hidup semaunya dan tidak mau tunduk pada aturan; ia pun sulit mencapai target yang ditetapkan sebab ia mudah putus asa. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dengan disiplin akan mengembangkan kesanggupan untuk membatasi dirinya sekaligus memotivasi dirinya untuk meraih sasaran. Pertanyaannya adalah, bagaimanakah seharusnya kita mendisiplin anak? Berikut akan dipaparkan rupa-rupa disiplin yang mesti dipahami, dicamkan dan diketahui, sebab ternyata untuk dapat mendisiplin dengan efektif, kita harus kreatif.

  1. Mendisiplin anak berawal dari hidup kita yang berdisiplin. Singkat kata, seyogianyalah kita sebagai orangtua hidup berdisiplin sebelum kita mendisiplin anak. Mendisiplin anak seharusnya menjadi limpahan atau kepanjangan dari kehidupan pribadi kita yang berdisiplin. Kita memunyai waktu untuk bekerja dan bermain, kita tahu dan sanggup menyelesaikan tugas tetapi kita pun dapat menyisihkan waktu untuk beristirahat dan rileks. Kita tahu kapan kita tidur dan bangun pagi; kita dapat bertahan di dalam situasi yang tidak menyenangkan dan tidak mudah menyerah. Semua ini adalah tanda hidup berdisiplin dan pelajaran berharga buat anak. Selain berfungsi sebagai teladan, kehidupan kita sebagai orangtua yang berdisiplin akan memudahkan anak menerima pendisiplinan kita. Sebaliknya, bila kita hidup tidak berdisiplin, anak sukar menerima pendisiplinan kita sebab baginya kita adalah orang yang munafik. Kita hanya dapat menyuruh orang tetapi tidak melakukannya sendiri. Persepsi anak bahwa kita adalah orang yang munafik bukan saja menyulitkannya menerima pendisiplinan kita, anak pun terpancing untuk bereaksi marah. Akhirnya makin lama, makin rendah anak memandang kita; alhasil kita kehilangan respek anak dan ini akan memengaruhi relasi kita dengannya.
  2. Anak mesti tahu dengan jelas bahwa pendisiplinan lahir dari kasih. Sudah tentu tidak selalu kita dapat menerapkan disiplin tanpa marah. Sebagai manusia kadang perbuatan anak membuat kita marah; sebagai akibatnya sewaktu kita mendisiplin anak, kemarahan itu tampak dan menjadi bagian dari proses pendisiplinan. Namun pada umumnya seharusnya tidak demikian. Sedapatnya, sewaktu mendisiplin anak kita memerlihatkan emosi hanya sebatas sikap yang serius. Anak perlu melihat keseriusan kita sewaktu mendisiplin agar ia mengerti bahwa perbuatannya serius dan kita pun tidak dengan mudah atau entengnya mendisiplinnya. Namun terpenting adalah anak tahu bahwa kita mendisiplinnya karena kita mengasihinya. Jadi, sesudah mendisiplin anak, berilah waktu beberapa menit untuk dia menangis atau marah. Setelah itu barulah kita hampiri anak kembali; kita katakan bahwa kita harus mendisiplinnya sebab kita tidak ingin ia mengulang perbuatannya itu dan bahwa apa yang dilakukannya tidak baik. Katakan semua ini dengan lembut, bukan dengan nada marah apalagi menyalahkan, setelah itu peganglah dan peluklah anak. Kemudian beri dia waktu beberapa menit kembali, setelah itu ajaklah dia bicara atau mintalah bantuannya melakukan sesuatu untuk kita. Dengan cara itu anak tahu bahwa relasinya dengan kita sudah kembali "normal". Sebaliknya, jika kita terus mendisiplin anak dengan kemarahan yang kuat, akhirnya anak akan melihat pendisiplinan kita sebagai wujud kebencian terhadapnya. Anak akan menyimpulkan bahwa tatkala mendisiplinnya, sesungguhnya kita tengah meluapkan ketidaksukaan kita kepadanya. Pendisiplinan seperti itu tidak akan efektif dan makin menghancurkan relasi.
  3. Anak perlu mengetahui konsekuensi perbuatannya sebelum ia menerima konsekuensi itu. Dengan kata lain, jika kita belum memberikannya peringatan, sedapatnya kita tidak mendisiplinnya. Itu tidak berarti bahwa kita harus membuat hukum atau peraturan sebanyak mungkin supaya anak tahu konsekuensi perbuatannya sebelum ia melakukannya. Tidak. Sebaliknya justru sedapatnya kita tidak memunyai banyak hukum atau aturan; seyogianya kita hanya menerapkan disiplin untuk perbuatan yang benar-benar buruk atau kurang ajar. Jadi, sewaktu kita melihat anak melakukan sesuatu yang berpotensi menimbulkan masalah, berilah peringatan. Kita dapat mengulangnya beberapa kali dan di kali terakhir, kita sisipkan konsekuensinya, "Jika kamu tidak mau mendengarkan, saya harus menghukum kamu." Nah, bila ia tetap melakukannya, di saat itu barulah kita memberikan hukuman kepadanya. Penting untuk kita melaksanakan ancaman kita sebab jika tidak, maka anak melihat celah untuk terus melakukan perbuatannya dan memandang enteng peringatan kita. Jadi, sekali lagi, sedapatnya kita baru mendisiplin anak setelah kita memberikannya peringatan yang berisikan ancaman atau konsekuensi. Jika hanya bersifat peringatan, sebaiknya, tidak.
  4. Sesungguhnya pendisiplinan tidak harus keras untuk efektif. Sedikit pukulan di pantat anak atau bahkan di tangannya sudah cukup selama anak melihatnya sebagai pendisiplinan atas perbuatannya. Jadi, momen menerapkan pendisiplinan adalah bagian dari pendisiplinan itu sendiri. Sudah tentu metode ini hanya dapat berjalan semestinya bila kita sudah menerapkannya sejak anak kecil, misalkan sekitar 2 tahun. Bila kita baru menerapkannya di usia 12 tahun, sudah tentu sedikit pukulan di tangan atau di pantat tidak akan efektif.
  5. Janganlah menerapkan hukuman yang buatnya sangat menakutkan. Ada anak yang mengembangkan ketakutan disuruh masuk ke dalam kamar yang kecil dan gelap. Ia akan meronta histeris dan memohon untuk tidak dimasukkan ke sana. Jangan suruh ia masuk ke kamar yang gelap itu jika itulah reaksinya. Jika kita tidak menghiraukan teriakan ketakutannya dan terus memaksanya masuk, biasanya tindakan ini akan meninggalkan bekas yang dalam pada dirinya. Mungkin ia tidak berani mengulang perbuatannya tetapi malangnya, ia mesti membayarnya dengan harga yang mahal, yaitu ia menjadi seorang anak yang penakut atau mudah cemas. Akhirnya trauma akibat pendisiplinan kita malah merusak perkembangan jiwanya.

Firman Tuhan di Mazmur 119:33-34 berkata, "Perlihatkanlah kepadaku ya Tuhan petunjuk ketetapan-Mu, aku hendak memegangnya sampai saat terakhir. Buatlah aku mengerti, maka aku akan memegang Taurat-Mu; aku hendak memeliharanya dengan segenap hati." Walau pada saat menerima pendisiplinan Tuhan kita tidak menyukainya, namun setelahnya, kita lega dan bersyukur karena kita menyadari bahwa petunjuk dan hukum Tuhan adalah untuk kebaikan kita. Semua yang dikatakan dan diperbuat-Nya adalah baik dan perlu. Dengan kata lain, kita menghargai pendisiplinan Tuhan sebab kita mengerti faedah yang baik di baliknya. Pada akhirnya anak pun mesti mengerti dengan jelas bahwa pendisiplinan yang diterimanya adalah untuk kebaikannya. Itu sebab kita harus melapisi pendisiplinan dengan kasih dan menyampaikan dengan tepat. Di dalam bingkai seperti inilah pendisiplinan bukan saja tidak menimbulkan kepahitan pada diri anak, tapi justru akan makin memperkuat tali kasih