oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kata kunci: Mendisiplin anak adalah keharusan bukan pilihan, disiplin yang efektif perlu kreatif, orangtua menjadi contoh, disiplin lahir dari kasih, anak perlu mengetahui konsekwensi perbuatannya, disiplin tidak harus keras, anak harus mengetahui disiplin untuk kebaikannya.
TELAGA 2019
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Beragam Disiplin Satu Tujuan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, menjadi tanggung jawab besar orangtua untuk mendisiplin anak-anaknya. Tetapi seringkali pengertian disiplin ini yang berbeda-beda didalam pelaksanaannya. Kalau sudah keliru, yang menjadi korban selamanya adalah anak, ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Kita ini tahu bahwa mendisiplin anak adalah keharusan, bukan pilihan. Anak memerlukan pendisiplinan sama seperti anak memerlukan kasih sayang. Anak yang dibesarkan tanpa disiplin akan bertumbuh menjadi pribadi yang ‘tanpa rem dan gas’; hidup semaunya, tidak mau tunduk pada peraturan, sulit mencapai target yang ditetapkan sebab dia mudah putus asa. Sebaliknya anak yang dibesarkan dengan disiplin akan mengembangkan kesanggupan untuk membatasi dirinya sekaligus memotivasi dirinya untuk meraih sasaran. Pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya kita mendisiplin anak, atau disiplin seperti apakah yang harus kita terapkan pada anak. Jadi kita akan membahas hal pendisiplinan dan beberapa macam ragamnya, sebab ternyata untuk dapat mendisiplin dengan efektif kita memang harus kreatif.
GS : Maksud Pak Paul, orangtua harus kreatif di dalam mendisiplin, bentuk kreatifnya seperti apa, Pak Paul ?
PG : Jadi kita memang harus sungguh-sungguh mengerti apa yang tepat untuk anak dan kita tahu ini justru adalah hal yang akan efektif untuk menghentikan perbuatannya yang negatif. Jadi tidak mesti kita menggunakan yang satu untuk semua jenis kesalahan. Ada orangtua tidak peduli kesalahan anak apa mereka menghukum anak itu dengan satu hukuman; misalnya dipukul atau apa, tidak mesti seperti itu. Kita mesti jelas tahu salahnya apa, porsi pukulan atau hukuman juga harus kita cocokan jangan semuanya dipukul rata.
GS : Nah, biasanya orangtua mencontoh apa yang dialaminya dulu waktu dia masih kecil, bagaimana orangtuanya itu memerlakukan dia begitu.
PG : Iya, jadi seringkali kita ini kurang kreatif karena yang kita gunakan apa yang kita dulu lihat atau terima dari orangtua kita. Tapi sebetulnya cara yang efektif adalah tidak seperti itu, sebab tidak benar kalau kita itu menggunakan satu jenis hukuman untuk semua kesalahan. Tidak. Kita mesti kreatif; ada yang lebih berat, ada yang lebih ringan, ada pukulan di pantat, ada pukulan di tangan, mungkin bisa suruh dia masuk kamar atau apa. Jadi banyak jenisnya, sebaiknya memang kita kreatif.
GS : Bagaimana orangtua supaya bisa membangun kreatifitas didalam dirinya itu ?
PG : Oke. Berkaitan dengan disiplin, hal pertama yang mesti dipahami adalah mendisiplin anak berawal dari hidup kita yang berdisiplin, Pak Gunawan. Singkat kata, seyogyanya kita sebagai orangtua hidup berdisiplin sebelum kita mendisiplin anak. Mendisiplin anak seharusnya menjadi limpahan atau kepanjangan dari kehidupan pribadi kita yang berdisiplin. Kita memunyai waktu untuk bekerja dan bermain, kita tahu kita sanggup menyelesaikan tugas tapi kita pun dapat untuk menyisihkan waktu beristirahat dan relax. Kita tahu kapan kita tidur dan bangun pagi. Kita dapat bertahan dalam situasi yang tidak menyenangkan dan juga tidak mudah menyerah. Semua ini adalah tanda hidup berdisiplin dan semua ini adalah pelajaran yang berharga buat anak kita. Nah, selain berfungsi sebagai teladan kehidupan kita sebagai orangtua yang berdisiplin akan memudahkan anak menerima pendisiplinan kita. Sebaliknya bila kita hidupnya tidak berdisiplin anak akan sukar menerima pendisiplinan kita sebab baginya kita adalah orang-orang yang munafik. Kita hanya dapat menyuruh orang, tapi tidak bisa melakukannya sendiri. Persepsi anak bahwa kita adalah orang yang munafik bukan saja menyulitkannya menerima pendisiplinan, anak pun terpancing untuk bereaksi marah. Akhirnya makin lama makin rendah anak memandang kita orangtuanya. Alhasil kita kehilangan respek dan ini akan memengaruhi relasi kita dengannya.
GS : Iya. Ini seringkali orangtua berpikiran bahwa dia ‘kan sudah berdisiplin sejak muda. Tetapi di rumah sekarang dia mau lebih relax, lebih longgar, tidak lagi berdisiplin tetapi dia menuntut sekarang kepada anak-anaknya yang masih muda ini untuk hidup berdisiplin dan berkata, "Ini hasil kedisiplinan, keberhasilan seperti yang papa alami" namun dia tidak memberikan teladannya, Pak Paul ?
PG : Maka kita mesti berhati-hati jangan sampai kita itu membuat anak berpikir kita ini munafik; bisa menyuruh anak tapi kita sendiri tidak melakukannya. Jadi memang penting sekali kita itu melimpahkan disiplin sebagai bagian yang alamiah. Memang kita orang yang berdisiplin jadi kita secara alamiah juga akan mau anak-anak belajar untuk berdisiplin diri. Jadi itu yang baik. Kalau kita sendiri hidupnya tidak karuan, sudah begitu memarahi anak harus disiplin maka anak nanti biasanya akan memberontak.
GS : Iya. Saya rasa pendisiplinan ini memang bukan hanya ditunjukkan dari segi waktu tapi juga dari cara kita menggunakan alat-alat rumah tangga misalnya penggunaan handphone, itu ‘kan juga diamati oleh anak. Kalau kita melarang anak untuk bermain gadget/gawai tapi kita terus berpegangan pada handphone itu pun akan jadi perhatian anak.
PG : Betul, betul. Jadi memang kita ini mudah sekali mendisiplin anak, tapi sebetulnya tidak mudah mendisiplin dengan efektif. Sebab untuk bisa mendisiplin anak dengan efektif kita sendiri harus menjadi contoh pertama itu, sehingga anak-anak benar-benar hormat kepada kita dan mendengar masukan kita.
GS : Juga mendisiplin didalam hal penggunaan uang misalnya. Kita mendisiplin anak dengan membatasi dia dengan memberikan uang saku dan seterusnya, memberikan nasehat supaya ini digunakan dengan baik, tapi kita sendiri boros itu juga memberikan contoh yang kurang baik.
PG : Betul, betul. Jadi sekali lagi anak itu nanti akan mau melihat kita tidak hanya bicara, tapi kita pun melakukannya.
GS : Jadi keberhasilan dari suatu disiplin ini sangat tergantung pada bagaimana orang tua itu sendiri berdisiplin begitu, Pak Paul ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi kalau orang itu hanya bisa menyuruh dan menuntut namun tidak melakukannya sendiri maka lama-lama anak-anak kita tidak menggubrisnya. Mungkin ketika masih kecil mereka akan terpaksa, masih lemah tidak berdaya tapi kalau dewasa sudah menjadi remaja kemungkinan besar akan melawan. Dia akan berkata, "Mama papa hanya bisanya suruh orang memerhatikan orang, tapi diri sendiri tidak"
GS : Itu harus dilakukan oleh pasangan suami istri ini atau cukup satu orang saja, Pak Paul ?
PG : Sebetulnya satu orang cukup, tapi yang penting anak ini melihat papa mamanya memang sehati bukan terbelah.
GS : Karena kadang-kadang menjadi alasan "Jangan contoh mama, contoh papa saja yang berdisiplin" atau sebaliknya. Hanya mengalihkan tanggung jawab untuk berdisiplin. Iya, lalu hal yang kedua apa, Pak Paul ?
PG : Berkaitan dengan disiplin, hal kedua yang mesti dipahami adalah anak mesti tahu dengan jelas bahwa pendisiplinan lahir dari kasih. Sudah tentu tidak selalu kita dapat menerapkan disiplin tanpa marah. Sebagai manusia kadang perbuatan anak membuat kita marah, sebagai akibatnya sewaktu kita mendisiplin anak kemarahan itu tampak dan menjadi bagian dari proses pendisiplinan. Namun pada umumnya seharusnya tidak demikian, sedapatnya sewaktu mendisiplin anak kita memerlihatkan bahwa memerlihatkan emosi hanya sebatas sikap yang serius. Anak perlu melihat keseriusan kita waktu kita mendisiplin agar dia mengerti bahwa perbuatannya serius dan kita pun tidak dengan mudah atau entengnya mendisiplinnya. Namun terpenting adalah anak tahu bahwa kita mendisiplin dia karena kita mengasihi dia. Anak tahu bahwa kita mendisiplin dia karena dari dalam kasih bukan saja karena kita berkata bahwa kita tetap mengasihinya tapi juga kita memerlihatkan kasih itu kepadanya setelah kita mendisiplinnya. Jadi sesudah mendisiplin anak, berilah waktu beberapa menit untuk dia menangis atau marah setelah itu barulah kita hampiri anak kembali, kita katakan bahwa kita harus mendisiplinnya sebab kita tidak ingin dia mengulang perbuatannya itu dan bahwa apa yang dilakukannya tidak baik. Katakan semua ini dengan lembut bukan dengan nada marah apalagi menyalahkan, setelah itu peganglah dan peluklah anak. Kemudian berilah dia waktu beberapa menit lagi setelah itu ajaklah dia bicara, atau mintalah bantuannya untuk melakukan sesuatu untuk kita. Dengan cara itu anak tahu bahwa relasinya dengan kita sudah kembali normal. Sebaliknya jika kita terus mendisiplin anak dengan kemarahan yang kuat akhirnya anak akan melihat pendisiplinan kita sebagai wujud kebencian terhadapnya. Anak menyimpulkan bahwa tatkala mendisiplinnya sesungguhnya kita tengah meluapkan ketidakpuasan kita terhadapnya. Nah, pendisiplinan seperti itu tidak akan efektif dan malah dapat menghancurkan relasi.
GS : Nah, pada kesempatan seperti itu Pak Paul, apakah perlu kita itu juga mendengarkan alasan anak, kenapa dia itu sampai tidak berdisiplin menurut kita tadi, kok berani melanggar apa yang kita katakan untuk tidak dilanggar ?
PG : Itu gagasan yang baik, Pak Gunawan. Jadi sebelum kita mendisiplin anak kita memang memberikan kesempatan kepada dia menjelaskan agar dia tidak merasa percuma. "Percuma searah, pokoknya kalau mama papa sudah putuskan maka ya sudah harus diterima, tidak pernah saya bisa menjelaskan". Ini yang mau kita hindari, sebab kita mau anak-anak tahu bahwa dia bisa berbicara dengan kita untuk menjelaskan kenapa dia berbuat begitu.
GS : Tapi itu ‘kan biasanya kita sudah lakukan ketika anak itu melanggar disiplin yang kita sudah tetapkan, yang kita sudah sepakati. Nah, setelah dia melanggar sewaktu kita mendekati kembali, itu yang saya tanya apakah kita perlu menanyakan "Kenapa kamu melakukan hal ini?"
PG : Perlu. Perlu, Pak Gunawan. Jadi ada kejelasan sebetulnya yang terjadi adalah dia berbuat ini, nah kita berikan dia peringatan tapi dia tetap membangkang, akhirnya kita harus memberikan dia disiplin atau memukulnya.
GS : Tapi disiplinnya kita lakukan terlebih dulu ‘kan ?
PG : Jadi sebaiknya memang sebelumnya kita sudah memberitahukan bahwa dia berbuat ini maka akan ada konsekuensinya. Setelahnya kita mendisiplin dia, juga ada baiknya kita menjelaskannya kembali kepada dia.
GS : Dan itu apa tidak menimbulkan suatu argumentasi yang bisa menjadi perdebatan antara orangtua dan anak, Pak ?
PG : Bisa saja, anak itu tidak terima jadi dia akhirnya bersikukuh atau apa, kalau kita tahu anak itu tidak terima ya sudah kita jangan membalas upaya dia untuk berdebat dan sebagainya, kita akan jawab sedapat-dapatnya tapi setelah itu kita akhiri percakapannya.
GS : Atau kita perlu mengoreksi kriteria yang tadinya kita sudah sepakati itu ?
PG : Iya. Lebih baik juga kita introspeksi bahwa mungkin sekali apa yang kita harapkan atau apa yang kita tuntut itu terlalu tinggi, terlalu muluk buat anak, jadi sudah kita sesuaikan.
GS : Katakan, kita menetapkan tadinya ketika anak masih remaja jam 20.00 harus sudah sampai rumah. Tetapi ketika anak ini sudah menjadi dewasa jam 20.00 ini terlalu pagi buat dia, Pak Paul ?
PG : Iya. Jadi kita juga memang fleksibel untuk bisa mendengar masukan atau pemikiran anak dan kita bisa menyesuaikan cara kita menegur anak.
GS : Ada hal lain lagi, Pak Paul ?
PG : Berkaitan dengan disiplin, hal ketiga yang mesti dicamkan adalah anak perlu mengetahui konsekuensi perbuatannya sebelum ia menerima konsekuensi itu. Dengan kata lain, jika kita belum memberikannya peringatan, sedapatnya kita tidak mendisiplinnya. Itu tidak berarti bahwa kita harus membuat hukum atau peraturan sebanyak mungkin supaya anak tahu konsekuensi perbuatannya sebelum dia melakukannya. Tidak ya. Sebaliknya justru sedapatnya kita tidak memunyai banyak hukum atau banyak aturan. Seyogyanya kita hanya menerapkan disiplin untuk perbuatan yang benar-benar buruk atau kurang ajar. Jadi sewaktu kita melihat anak melakukan sesuatu yang berpotensi menimbulkan masalah maka berilah peringatan. Kita dapat mengulangnya beberapa kali dan di kali terakhir kita sisipkan konsekuensinya; "Jika kamu tidak mau mendengarkan maka saya harus menghukum kamu". Nah, bila dia tetap melakukannya, di saat itulah baru kita memberikan hukuman kepadanya. Penting bagi kita untuk melaksanakan ancaman sebab jika tidak, maka anak melihat celah untuk terus melakukan perbuatannya dan memandang enteng peringatan kita. Jadi sekali lagi sedapatnya kita baru mendisiplin anak setelah kita memberikan dia peringatan yang berisikan ancaman atau konsekuensi jika hanya bersifat peringatan sebaiknya ya tidak; disini kita tidak memberitahu bahwa jika konsekuensinya hanya mengingatkan dia saja tapi tiba-tiba memukul anak.
GS : Iya. Contohnya disiplin untuk perbuatan yang buruk dan kurang ajar itu seperti apa, Pak Paul ?
PG : Jadi contohnya anak itu sengaja melawan kita. Matanya membelalak, suaranya menantang kita, atau mungkin langsung dengan kata-kata, "Saya tidak takut dengan papa atau mama" itu adalah tindakan kurang ajar. Ini yang saya kira perlu pendisiplinan.
GS : Disiplinnya seperti apa ? Kalau hanya dipukul terkadang orangtua juga kalah besar dengan anaknya, kalah kuat.
PG : Oke memang bergantung pada usianya, misalnya usianya masih agak kecil kita bisa berkata, "Kamu saya minta sekarang untuk menarik kembali perkataanmu dan minta maaf. Tidak sepatutnya kamu berkata begitu kepada papamu atau mamamu". Nah, kita minta dia untuk meminta maaf kepada kita. Kalau dia menolak kita berkata, "Kalau kamu menolak saya harus pukul kamu", kalau tetap menolak lagi, ya sudah kita langsung pukul dia. Dan tentu memukul bukan dengan kasar atau tidak tahu tempatnya. Mesti kita sadari anak itu manusia jangan sampai kita menghukumnya tanpa respek.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, apakah kita perlu menjelaskan kenapa anak itu tidak boleh berlaku seperti itu ?
PG : Penting sekali, Pak Gunawan. Jadi waktu kita mau memberikan konsekuensinya kita mesti jelaskan, "Sebab tindakan kamu ini akan membuat orang begini atau begitu" sehingga dia mengerti keseriusan perbuatannya itu.
GS : Masih ada hal yang lain, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir, yang kelima adalah yang mesti kita ketahui janganlah menerapkan hukuman yang buat anak sangat menakutkan. Ada anak yang mengembangkan ketakutan ketika disuruh masuk ke kamar yang kecil dan gelap. Dia akan meronta histeris dan memohon untuk tidak dimasukkan kesana. Jangan suruh dia masuk ke kamar yang gelap itu jika itulah reaksinya. Jika kita tidak menghiraukan teriakan ketakutannya dan terus memaksa dia masuk biasanya tindakan ini akan meninggalkan bekas yang dalam pada dirinya. Mungkin dia tidak berani mengulang perbuatannya tapi malangnya dia mesti membayarnya dengan harga yang mahal, yaitu dia menjadi seorang anak yang penakut dan mudah cemas, akhirnya dia trauma akibat pendisiplinan kita malah merusak jiwanya. Jadi sekali lagi saya tekankan jangan menerapkan hukuman yang membuatnya itu menakutkan atau efeknya itu meninggalkan trauma pada dirinya.
GS : Tapi biasanya kalau hukuman itu dilakukan dengan amarah yang tinggi tidak terkendali hal-hal seperti itu bisa terjadi, Pak Paul, karena orangtua sudah kehabisan akal didalam mendisiplin anak lalu diambil tindakan yang sangat keras yang sangat bisa merugikan anak di masa depan.
PG : Betul. Kadang orangtua yang akhirnya tidak bisa lagi mengendalikan dirinya, Pak Gunawan, itu betul. Maka kalau bisa kita tidak langsung bereaksi atau marah memukul anak, tapi kita mesti berikan jeda dengan tenang pikirkan kembali dan tanya ke diri sendiri apakah perlu kita menggunakan metode pendisiplinan yang bersifat fisik memukul dia atau apa. Kalau memang kita sudah jelas berkata tidak perlu, maka jangan. Sebaiknya kita memang menunda karena sewaktu kita lagi marah kecenderungan kita waktu memukul anak maka akan terlalu keras, Pak Gunawan. Nah, itu yang membuat anak akhirnya kesakitan, terlalu sakit, karena kita lepas kendali kita memukul dia itu benar-benar dengan kekuatan yang penuh emosi. Jadi hati-hati.
GS : Iya. Tapi kalau bukan hukuman secara fisik apakah ada hukuman yang lain, bentuk yang lain, Pak Paul ?
PG : Misalnya yang lain adalah kita melarangnya untuk main games. Itu cukup menyakitkan buat anak, atau kita berkata, "Malam ini tidak ada televisi dan semuanya tidak ada yang menonton". Jadi ada hal-hal yang mesti kita lakukan yang tidak selalu bersifat memukul anak.
GS : Iya. Tetapi katakan tidak boleh menonton TV, tapi orang tuanya juga butuh TV untuk melihat TV itu sama dengan menghukum dirinya sendiri ?
PG : Iya. Maka demikian lebih baik kita berkorban, daripada kita melarang anak nonton TV kita enak-enakan nonton TV; lebih baik dia tidak nonton demikian juga kita tidak. Dia akan melihat bahwa kita itu sensitif terhadap dia dan memertimbangkan perasaannya, dia tersiksa jika dia tidak nonton tapi mama papanya menonton TV.
GS : Biasanya anak akan memilih di kamar, Pak Paul. Di kamar itu apa yang dia lakukan kita juga tidak tahu.
PG : Iya. Memang kita tidak bisa tahu tapi kita bisa ketok pintu sekali-sekali bertanya sedang melakukan apa, sehingga dia tahu kita tetap mengawasinya. Memang tidak harus tiap kali tapi cukup sering kita lakukan seperti itu, dengan melakukan itu anak sudah mulai mengerti mama dan papa mengeceknya. Jadi kalau dia melakukan hal-hal yang salah atau tidak benar maka dia akan berpikir dua kali.
GS : Sebenarnya pendisiplinan itu efektif bagi anak-anak sampai usia berapa ?
PG : Sebetulnya anak-anak itu hanya mendapat faedah disiplin yang efektif paling sampai usia 10-11 tahun, setelah itu memang tidak lagi. Karena anak-anak kalau sudah umur remaja mereka tidak bisa lagi dipukul, sudah tidak mungkin. Dan kalau kita menggunakan pukulan kepada anak remaja biasanya itu menimbulkan dendam atau kepahitan yang dalam.
GS : Lalu gantinya apa, kalau kita melihat anak kita yang sudah beranjak dewasa ini melakukan kesalahan yang indisipliner ?
PG : Biasanya yang kita lakukan adalah nomor satu, memberitahukan perasaan kita. Kalau dia sudah remaja kita bisa berkata, "Perbuatan kamu sungguh menghancurkan hati saya" atau "Perbuatan kamu sungguh membuat kami malu sekali bertemu orang", jadi hal-hal seperti itu kita tekankan kepada dia. Sehingga sedikit banyak itu adalah disiplinnya dia, bahwa dia telah membuat kita merasa seperti itu.
GS : Kalau mengurangi hak-hak dia didalam hal keuangan dan sebagainya, apakah masih efektif, Pak Paul ?
PG : Tidak terlalu sebetulnya, karena anak-anak remaja yang tidak ada uang satu hari maka dia bisa minta tolong teman untuk membayari dulu makanan, jadi sebetulnya tidak terlalu efektif lagi. Yang lebih efektif kita menggunakan relasi kita sebagai cara untuk menyadarkan dia.
GS : Yang menyentuh perasaannya begitu, Pak Paul ?
PG : Betul.
GS : Pak Paul, kalau terhadap anak yang masih kecil tadi Pak Paul katakan kalau perlu dipukul. Tapi ada bagian-bagian tertentu yang kita tidak bisa lakukan misalnya memukul di kepala, itu bukan sesuatu yang baik dilakukan.
PG : Iya. Jadi kalau kita mau memukul sebaiknya adalah pukul tangannya, lengannya, kakinya atau pantatnya, itu saja.
GS : Itu bagian-bagian yang tidak terlalu membahayakan si anak, jiwa si anak terutama.
PG : Betul, betul. Jadi anak-anak tahu bahwa kita juga akan menghukumnya hanya seperti itu atau hal yang lain adalah kita menyuruh dia masuk kamar atau apa lalu kita biarkan disana.
GS : Tapi ‘kan kadang-kadang kita dengar berita akhir-akhir ini terutama, Pak Paul, dimana anak itu bisa membenci atau memusuhi orang tuanya sampai membunuh orang tuanya. Ini apakah orangtua yang kurang berdisiplin terhadap anak atau memang salah di bagian mana, Pak Paul ?
PG : Iya. Mungkin saja orangtuanya tidak menggunakan metode disiplin yang tepat, bisa jadi si anak ini akhirnya dendam atau apa. Tapi tetap kenapa dia sanggup begitu, memang contoh bahwa anak itu tidak ada ‘rem’ tidak ada lagi kemampuan untuk menahan dirinya. Berarti memang kemungkinan besar dia tidak pernah mendapatkan disiplin yang tepat itu.
GS : Memang bagi orangtua yang sulit itu menyeimbangkan antara disiplin dan kasih yang diberikan.
PG : Iya. Kadang terlalu banyak disiplin kurang kasih, kadang kalau banyak kasih kurang disiplin.
GS : Dan untuk ini panduan firman Tuhan apa, Pak Paul ?
PG : Di Mazmur 119:33-34, "Perlihatkanlah kepadaku, ya TUHAN, petunjuk ketetapan-ketetapan-Mu, aku hendak memegangnya sampai saat terakhir. Buatlah aku mengerti, maka aku akan memegang Taurat-Mu; aku hendak memeliharanya dengan segenap hati." Walau saat menerima pendisiplinan, kita tidak menyukainya namun setelahnya kita lega dan bersyukur karena kita menyadari bahwa petunjuk dan hukum Tuhan adalah untuk kebaikan kita. Semua yang dikatakan dan diperbuatnya adalah baik dan perlu. Dengan kata lain, kita menghargai pendisiplinan Tuhan sebab kita mengerti faedah yang baik dibaliknya, pada akhirnya anak pun mesti mengerti dengan jelas bahwa pendisiplinan yang diterimanya adalah untuk kebaikannya. Itu sebab kita harus melapisi pendisiplinan dengan kasih dan menyampaikannya dengan tepat. Dalam bingkai seperti itulah disiplin menjadi bagian menumbuhkan anak, yang perlu. Dalam bingkai seperti itulah pendisiplinan bukan saja tidak menimbulkan kepahitan terhadap diri anak, tapi justru makin memperkuat tali kasih anak dengan orangtuanya.
GS : Jadi untuk membuat anak itu mengerti dengan jelas tentang pentingnya pendisiplinan ini dengan cara seperti apa, Pak Paul ?
PG : Jadi memang kita mesti jelaskan bahwa perbuatannya itu bisa menimbulkan kerusakan atau masalah seperti apa. Nah, untuk itu makanya kita perlu menyetop dia. Jadi dia mengerti bahwa apa yang baru dia terima pukulan kita misalnya untuk menyetop dia untuk melakukan hal-hal yang buruk itu. Misalkan dia menjawab, "’kan tidak ada kepastian saya akan bisa menimbulkan kerusakan itu atau masalah itu", maka "Betul, tapi kemungkinan itu besar karena kamu sudah melakukannya sekarang ini".
GS : Iya. Itu berdasarkan pengalaman kita sebagai orang yang lebih tua daripada anak kita pastinya.
PG : Betul.
GS : Dan untuk menyatakan kasih itu tadi adalah menerima dia kembali ketika anak itu menyesali perbuatannya.
PG : Betul. Jadi jangan ragu untuk memeluk dia, untuk mengatakan bahwa kita mengasihi dia, atau mengajaknya pergi. Jadi anak-anak tahu bahwa orang tua mendisiplin bukan karena membenci, tapi memikirkan kepentingan anak.
GS : Iya. Terima kasih banyak Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Beragam Disiplin Satu Tujuan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.