Ayah yang Mendidik dan Mendisiplin

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T383B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Pada umumnya kita selalu mengaitkan tugas mendidik anak dengan ibu, bukan dengan ayah. Ternyata di dalam Alkitab, tidak ada instruksi khusus yang diberikan kepada ibu mengenai hal mendidik anak. Sebaliknya, dua kali Paulus menitipkan pesan kepada ayah dalam kaitannya dengan tugas mendidik anak.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Pada umumnya kita selalu mengaitkan tugas mendidik anak dengan ibu, bukan dengan ayah. Ternyata di dalam Alkitab, tidak ada instruksi khusus yang diberikan kepada ibu mengenai hal mendidik anak. Sebaliknya, dua kali Paulus menitipkan pesan kepada ayah dalam kaitannya dengan tugas mendidik anak.

Mari kita lihat Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran (discipline) dan nasihat (instruction) Tuhan." Berikut adalah Kolose 3:21, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya."

Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa perintah untuk mendidik anak ditugaskan secara khusus kepada bapa, bukan kepada ibu? Jika kita perhatikan baik-baik, Paulus tidak menugaskan ayah secara khusus. Sebenarnya Paulus hanya menitipkan pesan YANG BERHUBUNGAN dengan tugas seorang bapa. Itu sebabnya pada surat Efesus, Paulus memulai dengan pesan, "jangan bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu," baru mengakhiri dengan instruksi "mendidik dan mengajar anak. " Dan, di Kolose, Paulus memulai dan mengakhiri dengan pesan, "jangan menyakiti hati anakmu."

Jadi, dapat disimpulkan tugas mendidik dan mengajar anak berada pada pundak ayah DAN ibu sebagaimana disampaikan oleh Tuhan lewat hamba-Nya, Musa, di Kitab Ulangan 6:6-9. Dalam pelaksanaannya, Tuhan perlu menitipkan pesan tambahan kepada para bapa, tidak kepada ibu. Dan, pesan khusus ini berhubungan dengan kemarahan. Tampaknya di dalam menjalankan tugasnya, Tuhan melihat adanya kecenderungan pada ayah untuk membangkitkan kemarahan pada diri anak. Sebagai seorang ayah, saya memperhatikan betapa mudahnya anak-anak menyimpan kemarahan kepada saya, tetapi tidak kepada istri saya. Pada kenyataannya istri saya—yang lebih banyak di rumah—lebih sering memarahi mereka. Jauh lebih jarang saya memarahi mereka. Itu sebab saya mulai mengintrospeksi diri untuk menemukan jawabannya. Ternyata ada beberapa hal tentang cara saya mendidik anak yang berpotensi membangkitkan kemarahan anak.

Hal pertama tentang diri saya yang berpotensi membangkitkan kemarahan pada anak adalah SAYA TIDAK SUKA BERBASA-BASI. Sewaktu saya menegur anak, yang keluar dari mulut adalah perkataan yang bersifat rasional. Saya menyampaikan apa yang saya lihat sekaligus teguran kepadanya—apa yang seharusnya ia perbuat. Tidak ada kata pembukaan dan tidak ada kata penutup. Semua tertuju langsung pada isi.

Hal kedua tentang diri saya yang berpotensi membangkitkan kemarahan pada anak adalah SAYA MENUNGGU TERLALU LAMA UNTUK MENEGUR MEREKA. Pada umumnya saya membiasakan diri untuk tidak langsung menegur anak sampai ia mengulang perbuatannya beberapa kali. Masalahnya adalah, pada waktu saya menyampaikan teguran, adakalanya emosi marah saya sudah menanjak, mengingat ini adalah kesalahan yang sudah terjadi berulang kali. Akibatnya, nada suara saya cenderung meninggi dan kata-kata yang keluar menjadi lebih tegas. Inilah yang melukai hati mereka.

Hal ketiga tentang diri saya yang berpotensi membangkitkan kemarahan pada anak adalah SAYA TERLALU JAUH MELIHAT ATAU MENGANTISIPASI KE DEPAN. Oleh karena saya memikirkan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi bila mereka terus melakukan kesalahan, bobot teguran saya menjadi lebih berat. Sebagai akibatnya mereka merasa bahwa teguran saya terlalu keras dan menyudutkan mereka. Sebagai kesimpulan, anak melihat saya sebagai dua pribadi. Di satu pihak mereka melihat saya sebagai figur penyayang yang hangat tetapi di pihak lain mereka melihat saya sebagai figur otoritas yang dingin, kedua sosok ini seakan-akan terpisah dan tidak menyatu dalam satu tubuh.

Berbeda dengan saya yang menampakkan dua figur berbeda—hangat dan dingin—istri saya merangkum keduanya dalam satu tubuh atau pribadi. Sewaktu marah, ia tidak kehilangan sisi kehangatannya sehingga anak-anak tetap merasakan bahwa ibu yang tengah memarahinya adalah ibu yang juga menyayanginya. Hal kedua yang membuat anak sukar marah kepadanya sewaktu menerima disiplin adalah di luar pendisiplinan, ia MENJALIN RELASI DENGAN ANAK-ANAK YANG BUKAN SAJA KUAT TETAPI RINGAN. Istilah ringan di sini mengacu kepada 1001 hal yang ringan—tidak serius—yang menjadi bagian hidup sehari-hari.

Istri saya sering bergurau dengan mereka dan acap membicarakan banyak hal yang sepele namun menambah keakraban. Sebaliknya, saya cenderung berbicara dengan anak menyangkut hal yang serius sehingga dapat dikatakan, pembicaraan kami lebih bersifat diskusi.

Hal ketiga yang membuat anak sukar marah kepada istri saya adalah ia MEMBUKA DIRI SELEBAR-LEBARNYA KEPADA ANAK UNTUK MELIHATNYA SEBAGAI SEORANG MANUSIA APA ADANYA. Saya kira pada umumnya wanita lebih nyaman untuk mengekspresikan perasaannya ketimbang pria. Saya perhatikan sewaktu istri menegur anak atau berbicara kepada mereka, dengan alamiah ia dapat memperlihatkan luapan perasaannya, baik itu kekesalan, kesedihan, atau ketakutan. Saya kira keterbukaan ini membuat anak lebih dekat dengannya dan lebih dapat menerima didikan darinya.

Tuhan mengingatkan kita, para bapa, untuk berhati-hati dalam menjalankan tugas. Kita mesti memberi perhatian yang besar akan hal ini sebab materi yang akan kita ajarkan kepada anak berkaitan erat dengan Tuhan sendiri. Singkat kata, ada potensi yang besar anak mengidentikkan materi dengan si penyampai materi. Akhirnya bukan saja anak tidak suka dengan kita yang mendisiplinnya, anak pun tidak suka dengan materi yang kita ajarkan—yakni tentang Tuhan dan perkataan-Nya. Sewaktu ia menolak kita, ia pun menolak Tuhan yang kita ajarkan kepadanya.