Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama dengan ibu Ester Tjahja. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Antara Pekerjaan dan Rumah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, ada pasangan-pasangan yang ketika berpacaran kelihatan kompak, cocok, tetapi setelah mereka berumah tangga atau menikah malah timbul cekcok tiap-tiap hari. Penyebabnya apa Pak Paul?
PG : Ada banyak penyebabnya tapi salah satunya adalah tanpa mereka sadari terbentang jurang yang makin hari makin melebar di antara mereka. Pertanyaannya, apakah yang menyebabkan munculnya jurng itu.
Sudah tentu ada sejumlah penyebab yang menimbulkan jurang di antara suami dan istri. Tapi salah satu yang umum sebetulnya adalah sesuatu yang sangat bersifat alamiah, yakni kita itu biasanya bekerja di dua lapangan yang berbeda. Tanpa kita sadari waktu kita bekerja di dua tempat yang berbeda, pada akhirnya kita akan juga mengalami perubahan-perubahan, tanpa kita sadari kita menjadi orang yang berubah. Diri yang lama tidak lagi tersisa terlalu banyak di masa sekarang, akhirnya muncullah jurang di antara kita. Itu sebabnya kalau kita pernah mendengar keluhan orang yang mengalami masalah dalam pernikahan, mungkin kita pernah mendengar cetusan seperti ini, "dia seperti orang asing, saya tidak mengenalnya lagi, siapakah dia sekarang ini, kenapa dia begitu berbeda sekarang." Nah ini cetusan yang sah, memang cetusan yang mencerminkan itulah yang terjadi di dalam rumah tangga. Pada akhirnya kedua orang yang menikah itu tanpa disadari mulai berjalan ke arah yang berbeda.
GS : Itu karena faktor pekerjaan, Pak Paul?
PG : Salah satu yang terbesar adalah itu, Pak Gunawan.
GS : Kalau ketika mereka berpacaran masing-masing sudah bekerja, apakah dampak seperti itu masih bisa dirasakan?
PG : Betul, sebab pada akhirnya pekerjaan yang kita lakukan itu memberikan dampak atau mempengaruhi kita. Jadi meskipun kita masing-masing sudah bekerja, bukankah biasanya sebelum menikah kitasudah bekerja misalkan 5 tahun.
Lima tahun bekerja tidak sama dengan 15 tahun bekerja, jadi dengan kata lain dampaknya akan begitu kuat dengan berjalannya waktu.
ET : Apakah ada perbedaan dampak antara setelah menikah dua-duanya bekerja atau setelah menikah salah satu di rumah?
PG : Ternyata memang dampaknya tetap sama yaitu akan terjadi jurang. Itu sebabnya saya berikan gambaran, bukankah sering kali dua orang itu bertemu di tempat yang sama misalnya mereka berkulia di perguruan tinggi yang sama atau beribadah di gereja yang sama atau melayani di sebuah tempat pelayanan yang sama.
Nah di dalam kesamaan itulah kedua orang ini berkenalan, sudah tentu waktu mereka berkenalan di tempat yang sama itu akan ada banyak kesamaan. Baik cara berpikir, nilai-nilai hidup, tujuan kita hidup, itu kesamaan-kesamaan yang mengikat kita berdua. Setelah akhirnya mereka menikah, asalkan yang satu bekerja di luar-yang satu menjaga rumah tangga dan mengurus anak-anak. Menjaga anak di rumah adalah sebuah pekerjaan juga, baik yang bekerja di luar maupun yang bekerja di dalam rumah pada akhirnya dua-duanya itu akan mengalami bentukan-bentukan dari lingkungannya. Atau kalau kita bandingkan dengan dua orang suami-istri yang dua-dua bekerja di luar rumah juga sama. Sebab biasanya dua orang itu tidak bekerja dalam lingkungan yang sama, biasanya dua orang bekerja di lapangan yang berbeda. Nah dua lapangan pekerjaan itu akhirnya akan mempengaruhi kedua individu ini, sehingga waktu mereka pulang ke rumah tanpa disadari sebetulnya mereka perlahan-lahan dibentuk menjadi manusia yang berbeda. Itu sebabnya mulailah muncul masalah, komunikasi antara satu sama lain mulai renggang, mulailah timbul kesalahpahaman. Mungkin saja mereka masih mengucapkan bahasa yang sama tapi pengertiannya sudah mulai berbeda, pola pikir dalam menyelesaikan masalah juga sudah mulai berbeda, nah muncullah konflik-konflik itu.
ET : Soalnya bukankah banyak ibu rumah tangga yang tidak bekerja kadang-kadang merasa, "Wah, kalau saya bekerja pasti perbedaan ini lebih bisa dijembatani," ternyata sama saja Pak Paul?
PG : Belum tentu, memang tergantung sekali dengan bidang pekerjaannya, dan sering kali bukankah suami dan istri tidak bekerja di tempat yang sama.
GS : Mungkin akan lebih kecil dampaknya kalau suami itu bekerja di dalam rumah atau di dekat rumah, misalnya buka toko dan sebagainya sehingga mereka masih tidak terpengaruh dengan lingkungan pekerjaan yang luas.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, dan saya kira fenomena yang Pak Gunawan baru saja angkat sedikit banyak menjelaskan kenapa dulu kala rumah tangga itu relatif lebih harmonis, karena perbedaan-peredaan juga lebih diredam.
Sebab dulu kala itulah gaya hidup kebanyakan kita, misalkan dua-dua bertani, dua-dua bekerja di ladang atau satu bekerja di rumah menjaga anak dan sebagainya tapi satu ada toko; tokonya dekat rumah atau dalam rumah, atau ada yang buka bengkel-suami-istri sama-sama membantu dan sebagainya. Nah dalam kesamaan itu keduanya memang akhirnya lebih banyak menemukan kesamaan pula.
GS : Kalau begitu kita harus memikirkan bagaimana membuat sekecil mungkin dampak itu supaya jangan menggoyahkan sendi-sendi rumah tangga, nah hal-hal apa yang mesti diperhatikan?
PG : Yang pertama kita mesti menyadari dampak pekerjaan itu pada diri kita, sebab setiap pekerjaan mempunyai keunikan yang akan memberi dampak pada diri kita. Saya berikan contoh, seorang ibu umah tangga yang mengurus anak-anak pagi sampai malam itu akan dibentuk oleh pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga.
Misalkan dia harus berbicara dengan gaya anak-anak dan kita tahu berbicara dengan gaya anak-anak adalah berbicara dengan tidak langsung. Dia harus bujuk-bujuk anak untuk makan misalkan anak usia 1,5 tahun, kadang-kadang harus mengalihkan perhatian si anak sehingga mulutnya nanti terbuka kita masukkan sesendok makanan. Hal-hal kecil seperti itu tanpa disadari akan membentuk pola bicara si ibu, perlahan-lahan dia pun kalau berbicara mengembangkan gaya tidak langsung pula. Sebab bagi seorang ibu yang mengurus anak dari pagi sampai malam akhirnya yang penting bukanlah hasil tapi proses. Pada pagi hari sampai malam dia tidak melihat anak itu diberikan makan tiba-tiba menjadi besar. Tidak demikian, jadi nilai-nilainya mulai berubah pula. Mungkin sebelum itu dia adalah seorang pekerja yang sangat menekankan hasil akhir, tapi sekarang dia di rumah mengurus anak, yang penting bukan lagi hasil akhir tapi prosesnya itu sendiri dan gaya bahasanya juga tidak lagi terlalu langsung. Misalkan suaminya bekerja di tempat yang berbeda di mana ada hirarki, dimana kalau ada apa-apa dicoba diselesaikan dengan seefisien mungkin, bicara selangsung mungkin. Nah bertahun-tahun kemudian setelah menikah berbicara dengan istrinya, istrinya bicaranya tidak langsung suaminya akan terganggu. Dan suaminya akan berkata, "Kenapa kamu ngomongnya mutar-mutar, kalau ngomong to the point, apa yang ingin kamu sampaikan?" Nah si istri merasa diserang akhirnya muncullah konflik. Atau pekerjaan kita misalkan pekerjaan yang menuntut kita untuk menghitung dengan sedetail-detailnya, mungkin saja kita sebelumnya tidak seperti itu tapi karena kita bekerja sebagai seorang akuntan, kita dituntut menghitung sedetail-detailnya dan kita mempertanggungjawabkan laporan itu. Nah tanpa disadari mulailah menjadi seseorang yang sangat detail dan berhati-hati. Mengecek lagi, mengecek lagi sehingga di rumah pun begitu, kalau mau mengambil keputusan kita akan mengulang-ulang lagi, mengecek lagi; pasangan kita akhirnya jengkel dan berkata, "Kamu kok tidak maju-maju, dari tadi mengambil keputusan kok mempertimbangkan, mempertimbangkan lagi kapan langsungnya." Kita mesti menyadari dampak pekerjaan atas diri kita sebab kita hidup dalam pekerjaan itu dan kita melakukan pekerjaan itu dan perlahan-lahan jiwa pekerjaan itu mulai pindah masuk ke dalam diri kita pula.
ET : Atau sebaliknya juga Pak Paul, seseorang yang bekerja sebagai sales, penjual yang sepanjang hari harus banyak berbicara, atau profesi-profesi yang banyak berbicara, pendekatan kepada orang kemudian pulang mungkin sudah capek tidak mau berbicara, nah istri mengatakan, "Lho mau berbicara kepada banyak orang tapi kepada saya tidak mau berbicara lagi."
PG : Betul itu bisa terjadi sebab memang sudah lelah berbicara di luar, jadi di rumah dia tidak ingin lagi berbicara. Dengan kata lain ada pengaruhnya pekerjaan itu terhadap dirinya, baik itu engaruh dia ingin menjadi sama-sama atau pengaruh dia ingin lepas dari situasi pekerjaannya sehingga tetap dia menjadi seseorang yang berbeda.
Mungkin sekali sebelum dia bekerja dulunya dia senang berbincang-bincang dengan pasangannya, sering ngobrol, tapi sekarang tidak ada lagi energi untuk ngobrol sehingga yang dia inginkan begitu sampai di rumah adalah tidak berbicara sama sekali dengan pasangannya.
GS : Pak Paul, katakan itu sudah disadari tetapi tindakan konkret apa yang harus dilakukan oleh pasangan suami-istri itu?
PG : Kita juga mesti menyadari juga bahwa bukan saja pekerjaan itu memberi dampak kepada kita, tapi lingkungan atau teman-teman, mitra kerja kita juga memberi dampak kepada kita. Nanti ini aka sangat berkaitan dengan apa yang bisa kita lakukan.
Ini yang ingin saya katakan, pekerjaan tertentu itu menarik tipe-tipe orang tertentu. Ada pekerjaan-pekerjaan yang tadi saya berikan contoh yang menuntut orang untuk hati-hati. Nah akhirnya yang bekerja dalam pekerjaan itu orang-orang yang memang berorientasi pada detail dan sangat berhati-hati dengan jumlah atau angka. Bayangkan kalau dalam satu perusahaan itu semuanya seperti itu yaitu berhati-hati, berarti masing-masing saling mengasah, menjadi orang yang lebih berhati-hati. Atau satu perusahaan penuh dengan tipe-tipe 'entrepreneur' yang berani mengambil risiko, kumpul misalnya 10 orang dengan jiwa yang sama, mereka berkumpul 5 tahun, 5 tahun kemudian kemungkinan besar mereka akan lebih berani, lebih bersifat 'entrepreneur' dibandingkan 5 tahun sebelumnya. Karena masing-masing teman itu akan saling mengasah, sebab itulah yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Itu sebabnya kita mesti menyadari bahwa lingkungan akan membuat kita juga berubah, cara bicara kita akhirnya lebih segelombang dengan teman-teman di tempat pekerjaan. Kita membicarakan dengan konsep pikir yang sama, titik berangkat kita sama sehingga komunikasi juga lebih lancar. Nah waktu kita pulang ke rumah kita berbicara dengan pasangan kita, kita menemukan betapa sulitnya mentransmisikan, memindahkan pengertian ini kepada pasangan kita kenapa dia tidak mengerti-mengerti. Betul sekali karena memang konsep atau pola pikirnya tidak sama dengan rekan kerja kita. Langsung kita menyadari bahwa ternyata kita sudah mulai berubah, dibentuk oleh pekerjaan dan mitra dalam kerja kita itu, jadi kita harus sadari dampak itu. Dan yang kedua adalah kita mesti menemukan cara bagaimana berbicara atau berkomunikasi dengan pasangan kita.
GS : Hal itu mungkin lebih diperparah; zaman sekarang ini meskipun kita di rumah masih disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan di kantor, jadi seolah-olah rumah itu menjadi kantor cabangnya tempat kita kerja. Nah ini makin sulit orang melepaskan diri dari pengaruh itu, Pak Paul?
PG : Betul sekali, bukankah sering terjadi misalkan si suami sudah di rumah tapi tetap di meja kerjanya, di dalam kamar. Istrinya akan tidur mengajaknya bicara, suaminya berkata, "Maaf, janganganggu dulu saya lagi sibuk."
Memang itu adalah kantor di rumah, benar-benar itu menjadi 24 jam, misalkan dia di tempat pekerjaannya berbicara dengan rekannya langsung memberikan instruksi atau apa, kalau tidak hati-hati di rumah pun berbicara dengan pasangannya dia menggunakan nada dan gaya instruksi. Pasangannya di rumah akan terkejut dan jengkel, "memangnya saya stafmu, saya bukan stafmu, saya tidak mau disuruh-suruh begitu." Nah pasangannya yang satu berkata, "Apa salahnya menyuruh seperti itu 'kan supaya beres pekerjaannya." Tapi yang tidak dia sadari adalah nada bicara, dia sudah mengadopsi nada bicara di kantor waktu dia sedang memberikan instruksi kepada bawahannya, jadi akhirnya muncullah konflik-konflik seperti itu.
ET : Jadi bisa terbayangkan rasanya sekarang kalau setelah sekian lama pasangan-pasangan yang hidup dalam pola seperti ini akhirnya sampai pada suatu kesimpulan, "wah komunikasi kami sudah tida nyambung, kami sudah tidak cocok lagi terlalu banyak perbedaan."
Padahal sebenarnya karena hal ini, belum tentu karena kepribadian yang berbeda atau bagaimana.
PG : Betul, dan belum tentu karena ada masalah yang besar. Dan bukankah ini yang sering terjadi dalam rumah tangga kita. Kalau kita cari-cari tidak ketemu masalahnya apa, sebesar apa masalahna tapi tidak ketemu.
Dan memang tidak ada, yang terjadi sebetulnya adalah tanpa disadari kita itu makin terbelah, kita makin hidup di dunia yang berbeda yang menuntut kita berpola pikir berbeda, bergaya komunikasi berbeda pula. Jadi memang sebetulnya tidak ada masalah yang serius, hanyalah karena perbedaan ini.
ET : Biasaya yang terjadi kemudian pasangan yang di luar itu atau katakanlah yang biasa memerintah atau yang biasa disiplin, secara sadar atau tidak sadar seperti menuntut pasangannya untuk menesuaikan.
Ini bagaimana Pak Paul?
PG : Betul sekali, itu yang sering terjadi Ibu Ester. Misalkan dia itu harus disiplin, benar-benar di dalam pekerjaan itu hidup dengan jarum jam, jam berapa melakukan apa, setiap menit harus dpakai karena itulah yang dituntut dalam pekerjaannya.
Tanpa disadari nilai-nilai hidupnya dan cara berpikirnya berubah pula seperti itu, waktu dia di rumah melihat, "kenapa barang ini harusnya di sini kok di situ, kenapa ini dikerjakannya berulang-ulang, kenapa tidak panggil orang." Dia akan malu, dan akan berkata, "Kenapa kamu tidak kerjakan itu," nah yang di rumah jadinya tersinggung dan marah. Yang memberitahukan juga marah, sebab yang memberitahukan juga berkata, "Saya berniat baik, saya ingin menolong kamu menjadikan tempat ini lebih mudah diatur, menjadikan cara kerja kamu lebih efisien sehingga lebih produktif." Tapi yang di rumah berkata, "Saya tidak perlu produktif-produktif, di rumah dari sekarang dan besok akan terus sama. Anak selama 3 hari kecil badannya juga hampir sama, makannya hampir sama dan sebagainya, jadi dia akan sangat tidak nyaman.
GS : Tapi itu bukankah semacam perang pengaruh, kalau si suami dominan apakah si istri tidak terpengaruh juga dengan pola kehidupan si suami atau sebaliknya?
PG : Biasanya memang akan ada saling mempengaruhi, biasanya masing-masing berusaha untuk bisa menyesuaikan. Misalkan karena suaminya sangat efisien dan meminta dia untuk seefisien itu perlahanlahan dia juga akan mencoba untuk mengikuti irama suaminya dan sebaliknya juga bisa.
Namun satu hal yang ingin saya tawarkan adalah yang harus kita targetkan bukan kita berubah, seperti yang diharapkan oleh pekerjaan kita. Saya justru mau menawarkan satu solusi yaitu kita kembali kepada gaya hidup semula, gaya komunikasi semula. Jadi benar-benar kalau sampai kita menyesuaikan diri, itu adalah bonus. Tapi yang kita tuntut sebetulnya jangan perubahan itu, yang harus kita tekankan adalah sewaktu di rumah kita mencoba untuk menanggalkan baju-baju kerja kita, cara-cara kerja kita, itu kita tanggalkan. Kita benar-benar kembali menggunakan pola komunikasi yang dulu yang pernah kita kenal.
GS : Itu yang sulit Pak Paul, karena orang itu akan merasa bahwa dia menjadi dua pribadi yang berbeda.
PG : Menurut saya seseorang sebenarnya harus membelah dirinya sebab kalau dia tidak membelah dirinya tapi malah menuntut pasangannya jadi seperti dia, saya takut yang terjadi adalah kebalikanna justru akhirnya sering berkelahi dan bukannya terjalin jembatan malahan mereka membakar jembatan di antara mereka.
ET : Tapi kalau menggunakan pola lama atau gaya yang lama bukankah kadang-kadang buat yang merasa sudah lebih maju seperti sebuah kemunduran, jadi tidak rela kalau harus mengambil satu langkah e belakang.
PG : Tapi bukankah yang menyatukan kita berdua pada awalnya adalah cara bicara yang lama itu, bukankah gaya bicara kita yang lama itu yang telah menyatukan kedua hati kita. Sebagai contoh, buknkah pada waktu kita masih berpacaran kita bisa berbicara berjam-jam, kenapa setelah menikah tidak bisa lagi.
Dan kita langsung menganggap itu buang waktu, tidak ada tujuannya, berbicara seperti ini mana buahnya atau mana hasilnya. Waktu kita berpikir begitu yakinlah bahwa kita sebetulnya telah dibentuk dan telah menerima atau menyerap jiwa pekerjaan kita yang kita serap dari luar. Dan kita sekarang menuntut pasangan kita untuk menjadi seperti kita yang telah dibentuk oleh pekerjaan kita. Nah menurut saya kalau dua-dua seperti itu maka tabrakanlah yang akan terjadi setiap hari di rumah, jadi saya kira dua-dua harus berusaha menanggalkan baju kerjanya dan kemudian mencoba untuk berkomunikasi kembali dengan cara-cara yang lama atau yang biasa itu.
GS : Tapi mungkin itu lebih mudah dilakukan kalau kita mempertahankan pola yang lama ketika berpacaran dan membiarkan pola yang baru itu hanya di tempat kerja daripada kembali lagi ke lama itu agak sulit, Pak Paul?
PG : Jadi dengan kata lain begitu kita pulang ke rumah kita harus benar-benar menyadari bahwa sekarang kita tidak lagi berada di teritori kerja. Saya harus memperlakukan keluarga saya, orang-oang di rumah saya dengan berbeda.
Soalnya ini dirasakan pula oleh anak, berapa banyak anak-anak yang menderita akibat perlakuan orangtua yang menuntut mereka hidup seperti orangtua mereka di tempat pekerjaan. Kalau di tempat pekerjaan untuk berdisiplin, mereka menuntut anak-anak juga hidup berdisiplin tinggi, mereka dituntut tanpa salah karena pekerjaan mereka menuntut kesempurnaan, di rumah pun mereka mewajibkan pasangan dan anak-anak hidup tanpa salah atau sempurna sekali. Kasihan sekali, jadi di rumah kita harus menanggalkan baju kerja kita, jadilah diri yang semula, jadilah diri yang dikenal oleh pasangan kita. Dan jangan perlakukan anak kita atau pasangan kita sebagai rekan kerja atau staf bawahan kita.
ET : Tadi Pak Gunawan juga sempat memunculkan tentang yang mempunyai usaha di rumah, nah ini bagaimana apakah bisa ada satu tips yang lebih konkret? Karena itu 'kan susah juga misalkan ada kantor di rumah yang hanya beda pintu itu sudah rumah, kembali ke sini kantor, bagaimana memisahkan gaya sehari-harinya?
PG : Nah itu memang bisa terjadi dua arah, gaya bicara di rumah di bawa ke kantor karena terlalu dekat. Tapi setidak-tidaknya saya harus akui kalau bekerja dalam letak geografis yang berdekata dan seringnya terjadi komunikasi pada waktu bekerja, perbedaan itu akan mengecil.
Tapi suami-istri yang bekerja dalam satu perusahaan itu juga mempunyai masalahnya sendiri, yaitu masalah di tempat pekerjaan dicampurkan dengan masalah di rumah. Masalah di rumah dicampurkan dengan masalah pekerjaan. Kalau di rumah kita lagi jengkel dengan pasangan kita dia sepertinya egois, kita bawa ke pekerjaan kita anggap dia sama egois. Di rumah kita melihat pasangan kita pandangannya kurang luas, di tempat pekerjaan kita juga tuduh dia wawasannya sempit, jadi akhirnya tercampur-campur. Jadi bekerja dalam satu perusahaan yang sama sering kali mempunyai masalahnya sendiri. Yang satu merasa, "saya kepala keluarga," tapi di tempat pekerjaan pasangannya berkata, "saya kepala perusahaan, sebab saya lebih tahu perusahaan ini daripada kamu." Bertengkar lagi, jadi memang sebisanya menurut saya tidak bekerja dalam perusahaan yang sama. Tidak bisa dihindari kebanyakan kita akan bekerja di dua tempat yang berbeda, itu tidak apa-apa yang penting waktu di rumah tanggalkan jubah kerja dan jadilah diri yang semula.
GS : Kadang-kadang memang sekalipun di perusahaan yang sama biasanya pihak perusahaan akan memisahkan mereka dalam dua departemen yang berbeda.
PG : Betul sekali, mungkin perusahaan juga menyadari ini ada potensi konflik, mencampuradukkan rumah dengan pekerjaan.
GS : Yang sulit lagi itu kalau orang ini mempunyai kegiatan atau pelayanan di gereja, dia harus mengubah pula caranya berkomunikasi, ini suatu bentuk komunikasi yang berbeda lagi Pak Paul?
PG : Dalam pelayanan harus lebih sabar.........
GS : Ya, tidak bisa diterapkan yang di pekerjaan atau di rumah karena dua-dua tidak cocok. Ini sebenarnya menjadi lebih sulit.
PG : Betul, tapi saya kira sebisanya aslinya kita itu kita pertahankan kecuali aslinya kita itu memang buruk, kita sering mengumpat, sedikit-sedikit marah, mengamuk. Nah asli yang itu yang hars dibuang, tapi kalau aslinya kita baik itu yang harus kita pertahankan.
GS : Mungkin perlu sikap yang lebih rileks kalau kita sudah di rumah, jadi tidak tegang seperti di perusahaan atau membawa ketegangan itu ke dalam rumah.
PG : Betul, sekali kita mesti menyadari semua ini sebab kita sudah melihat betapa banyaknya korban berjatuhan akibat tidak bisa memisahkan pekerjaan dan rumah tangganya.
GS : Dan ada banyak orang yang kehilangan gairah di rumah karena di kantor atau di tempat kerja sudah tersalurkan kegairahannya itu, apakah memang seperti itu?
PG : Betul, ada orang-orang tertentu dalam daftar prioritasnya pekerjaan itu menempati tempat teratas, paling berharga, paling penting buat dia dan keluarga di nomorduakan. Menurut saya itu keiru, kita harus menomorsatukan Tuhan di atas segalanya, terus kita harus memperhatikan orang yang paling dekat dengan kita yaitu keluarga kita, baru setelah itu adalah pekerjaan.
GS : Bagaimana firman Tuhan berbicara mengenai hal ini?
PG : Saya akan ambil dari Lukas 6:38, "Berilah dan kamu akan diberi..." coba kita praktekkan firman Tuhan ini. Sewaktu di rumah berilah, artinya berilah diri kita yang asli, tanggalkanlah juba pekerjaan kita, kita mengalah.
Kita jangan menuntut pasangan menjadi seperti kita, kalau dua-dua mengalah, dua-dua menanggalkan jubahnya masing-masing maka dua-dua akan menerima. Maka firman Tuhan berkata, "Berilah dan kamu akan diberi..." Nah orang yang banyak memberi dia juga akan banyak menerima.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, terima kasih Ibu Ester dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Antara Pekerjaan dan Rumah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.