Anakku Autistik

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T477A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Satu gangguan yang tampaknya makin hari makin menggejala, yaitu gangguan autism. Berikut akan dipaparkan definisi dan ciri-ciri penderita autism, dampak apa saja yang ditimbulkannya, dan apa yang dapat diperbuat oleh orangtua anak autistik.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Saya yakin, jika kita bertanya kepada semua ibu yang mengandung, apakah yang mereka harapkan, semua akan menjawab, mereka berharap anak lahir sehat. Itu sebab dapat dibayangkan betapa hancur hati ibu—dan juga ayah—bila mendapati ternyata anak lahir tidak sehat. Pada kesempatan ini kita akan membahas satu gangguan yang tampaknya makin hari makin menggejala, yaitu gangguan autisme.

Definisi dan Ciri Autisme
Sebagaimana kita ketahui gangguan autisme adalah gangguan yang membuat anak sukar berelasi dengan dunia luar. Penderita autisme senang menyendiri dan cenderung mengerjakan suatu tugas berulang-ulang tanpa bosan. Pada kasus yang berat, penderita autisme bahkan mengalami hambatan bicara. Kadang, sampai usia belasan tahun anak hanya dapat mengucapkan satu dua patah kata. Pada umumnya penderita autisme tidak memberi respons kepada petunjuk yang diberikan. Jika diajak bicara bukan saja ia tidak menyahut, melihat kita pun tidak. Sewaktu diajak bermain ia menolak dan lebih senang bermain sendiri. Bila keinginannya tidak terpenuhi, biasanya ia marah dan mudah mengamuk. Oleh karena ia tidak dapat mengungkapkan isi hatinya lewat perkataan, ia meluapkannya lewat perbuatan. Ia dapat melukai dirinya sendiri dan orang lain. Pada akhirnya kita mesti menempatkannya di sekolah untuk anak dengan kebutuhan khusus.

Dampak Pada Keluarga
  1. Kebutuhan khusus menuntut PENGELUARAN khusus. Anak yang autistik memerlukan sekolah khusus dan penjagaan yang khusus. Sekolah khusus dan penjagaan khusus berarti bertambahnya biaya pengeluaran. Tidak jarang, orang tua mesti menempatkan anak di luar kota karena tidak tersedianya sekolah khusus di kota di mana mereka tinggal. Jika anak tinggal di rumah, pada umumnya anak memerlukan kehadiran seseorang untuk mengawasinya secara penuh. Semua ini menambah pengeluaran yang tidak sedikit.
  2. Kebutuhan khusus menuntut PENANGANAN khusus. Ada anak autistik yang cenderung diam dan tidak terlalu memerlukan perhatian. Namun ada pula yang aktif sehingga rawan jatuh dan melukai dirinya. Karena ia mudah mencederai dirinya, anak autistik memerlukan pengawasan yang terus menerus.
  3. Kebutuhan khusus menambah TEKANAN khusus. Tidak bisa tidak, semua ini menambahkan tekanan yang besar pada keluarga. Jika ibu tidak bekerja di luar rumah, sewaktu ayah pulang, ia sudah letih dan ingin digantikan, setidaknya dibantu oleh ayah. Sebaliknya, sewaktu ayah pulang kerja, ia letih dan ingin beristirahat. Tekanan juga dapat timbul dari perbedaan pendapat antara ayah dan ibu dalam hal penanganan. Jika ada anak lain yang juga memerlukan perhatian, maka tekanan akan lebih bertambah.
  4. Kebutuhan khusus menuntut PERHATIAN khusus. Oleh karena semua perhatian dilimpahkan pada anak yang autistik, sering kali anak yang lain merasa terabaikan. Mereka merasa bahwa orang tua hanya mengasihi anak yang autistik. Kalaupun mereka mengerti bahwa orang tua mengasihi mereka, mereka cenderung enggan untuk berbagi beban dengan orang tua karena tidak ingin menambahkan kesusahan orang tua.
Apa Yang Dapat Diperbuat Orangtua
  1. Orang tua mesti MENERIMA KETERBATASAN. Kadang orang tua merasa "harus" melakukan segalanya untuk menyelamatkan anak yang autistik. Pada akhirnya orang tua harus menyadari bahwa mereka tidak dapat melakukan segalanya. Orang tua terbatas, anak pun terbatas. Sampai titik tertentu orang tua mesti menerima fakta ini dan hidup dalam keterbatasan ini. Memaksakan diri dan terlalu memacu anak dapat menjadi bumerang. Salah satu keputusan yang kadang mesti diambil orang tua adalah, apakah terus akan memelihara anak ataukah menyerahkannya kepada lembaga perawatan. Ini adalah keputusan yang sulit dan sering menimbulkan rasa bersalah. Namun pada akhirnya orang tua mesti melihat secara jelas, apakah mereka masih sanggup atau tidak, dan apakah dampak kehadiran anak yang mengganggu keluarga masih dapat ditoleransi.
  2. Orang tua mesti memerlakukan anak yang autistik pada DUA LEVEL secara sekaligus. Di satu pihak orang tua mesti memerlakukan anak seperti anak lainnya tetapi di pihak lain, orang tua mesti memerlakukannya sebagai anak yang berkebutuhan khusus. Ada hal-hal yang memang anak tidak DAPAT lakukan, bukan tidak MAU lakukan. Orang tua mesti memahami dan mengecualikannya. Namun di pihak lain, orang tua mesti memerlakukan anak seperti anak lainnya pula. Pada anak autistik yang tidak terlalu parah, kemampuannya untuk membaca perlakuan orang masih ada. Sebagai akibatnya anak tahu bila ia diperlakukan berbeda dan dapat menyimpulkan bahwa orang tua tidak mengasihinya.
  3. Orang tua mesti memandang semua ini dari LENSA ROHANI. Ada tiga pertanyaan yang kerap diajukan orang tua kepada Tuhan:
    1. Mengapa Tuhan memberikan mereka anak yang autistik?,
    2. Mengapa Tuhan tidak mendengar seru doa minta tolong yang berulang kali mereka panjatkan? dan
    3. Berapa lama lagi mereka harus menanggung penderitaan ini?

Kendati secara teoretis kita dapat memberi jawaban, pada kenyataannya tidak ada jawaban yang dapat memuaskan hati orang tua yang hari lepas hari harus merawat anak yang autistik. Pada akhirnya dengan iman orang tua mesti percaya bahwa Tuhan memunyai rencana atas anak ini dan atas diri mereka melalui kehadiran anak ini. Dan, hari lepas hari orang tua mesti datang meminta kekuatan Tuhan untuk satu hari lagi. Mazmur 105:4 mengingatkan, "Carilah Tuhan dan kekuatan-Nya, carilah wajah-Nya selalu!"