Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang acara televisi dan anak. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Televisi rupanya sudah umum ada di setiap rumah, bahkan sampai di pelosok-pelosok pun ada pesawat televisi, ya Pak Paul. Dan sekarang makin banyak saluran-saluran televisi dan acaranya makin beragam. Nah, kehadiran televisi dan acara-acaranya itu pasti membawa dampak pada anak, khususnya anak-anak yang masih di bawah usia 10 atau 9 tahun. Menurut pengamatan Pak Paul bagaimana itu terjadinya, Pak?
PG : Televisi adalah sesuatu yang menayangkan kisah-kisah yang menarik, menggugah dan memang dikemas sedemikian rupa untuk bisa menarik para pemirsanya. Saya kira pada saat ini kita perlu meeriksa apa dampak televisi pada anak-anak.
Nah untuk memulai hal itu, Pak Gunawan, kita perlu melihat pertama-tama siapakah atau bagaimanakah keadaan anak terutama pada anak-anak yang berusia di bawah 10 atau 9 tahun tadi. Yang pertama adalah anak-anak pada usia itu berada pada tahap pemikiran yang konkret, mereka belum mampu berpikir dengan abstrak. Maksudnya anak-anak ini belum mampu untuk melihat hal yang tidak tampak dan hal yang tampak. Dengan kata lain, bagi si anak apa yang dilihat adalah apa yang terjadi, misalkan dia melihat hal yang menakutkan, ada laba-laba yang bisa memakan manusia. Nah, bagi si anak itu adalah hal yang terjadi yakni laba-laba itu bisa memakan manusia, karena pada usia-usia ini anak-anak belum bisa memisahkan yang fiksi dari yang realitas.
IR : Kalau ada acara silat, pembunuhan, yang ada di bayangan si anak juga terjadi, ya Pak Paul?
PG : Betul, jadi pada anak-anak yang masih kecil itu waktu dia melihat seseorang terbunuh dalam film, baginya orang itu memang terbunuh. Karena dia belum bisa mengetahui lebih jelas bahwa in adalah suatu adegan yang dimainkan oleh para aktor, ini adalah sesuatu yang sangat riil sekali.
Karena itulah yang dia lihat dalam kehidupannya sehari-hari, misalkan dia melihat teman-temannya bermain bola, yang dia lihat adalah teman-teman yang bermain bola itu yang riil bagi dia, dia melihat adiknya menangis, itulah yang riil bagi dia. Dan misalkan kita memarahi dia karena adiknya menangis, dia perlu tahu apa yang dia lakukan sehingga membuat adiknya menangis. Jadi kita pun mengajar anak-anak di bawah usia 9 tahun haruslah secara konkret, itu sebabnya kita mengatakan pada anak kita kalau engkau membuat adikmu menangis karena tadi engkau atau kemarin engkau tidak memberikan mainanmu kepadanya sehingga dia masih terluka dan dia sekarang memintanya kembali padamu. Nah bagi dia hal yang terjadi kemarin itu sesuatu yang tidak lagi riil, dia akan mengalami kesukaran untuk melihat perbuatannya kemarin yang mempunyai dampak pada adiknya sekarang. Sekali lagi apa yang dilihat, apa yang terjadi dia belum bisa membedakan dengan yang dalam bayangan atau yang fisik dari yang realitas.
GS : Di sana peranan orang tua itu besar sekali, orang tua bisa mengatakan itu bohong-bohongan dan sebagainya.
PG : Meskipun orang tua bisa berkata itu bohong-bohongan, tapi dampak emosional dari apa yang dilihatnya sudah terlanjur menggetarkannya dan sudah terlanjur tercetak pada dirinya. Jadi misalan kepada anak-anak itu disajikan tontonan yang terlalu menakutkan untuk ukurannya, dampak ketakutan atau ketegangan itu sudah terlanjur diterimanya.
Contoh yang paling mudah sekali di kalangan kita, orang-orang dewasa suka menceritakan kisah-kisah hantu pada anak-anak kecil. Nah, kita semua tahu bahwa setelah kita beranjak lebih dewasa, kisah-kisah itu tidak benar dan tidak masuk akal. Tapi kita harus mengakui bahwa dampak dari hantu yang diceritakan orang tua kepada kita terlanjur terserap dan itu sebabnya membawa dampak dalam kehidupan kita. Misalkan kita takut melewati kuburan pada malam hari, sebab pada waktu kecil kita terlalu sering mendengarkan kisah-kisah yang menakutkan tentang kuburan yang banyak hantunya dan sebagainya. Kita sekarang sudah dewasa dan mengerti itulah cerita yang dibuat orang pada kita dan itu tidak benar, tapi sebetulnya kita juga bukan orang yang terlalu senang untuk pergi ke kuburan pada malam hari.
GS : Selain anak belum bisa membedakan antara yang fiksi dan riil, apa ada hal lain yang membuat anak harus waspada terhadap dampak televisi ini, Pak Paul?
PG : Yang kedua adalah anak-anak berada pada tahap pembentukan moralitas, prinsipnya di sini adalah apa yang dilakukan pahlawannya adalah apa yang benar. Anak-anak sekali lagi berada pada taap pemikiran yang konkret dan pada saat pembentukan moralitas ini si anak mulailah menentukan apa yang benar, apa yang salah.
Apa yang benar apa yang salah itu diserapnya bukan saja dari yang orang tua katakan, apa yang guru Sekolah Minggu katakan, tapi juga apa yang dikatakan oleh teman-temannya. Nah, termasuk dalam hal ini adalah apa yang dia tangkap dari televisi. Jadi cerita-cerita yang dia tonton biasanya mempunyai figur pahlawan, apa yang pahlawannya lakukan dianggapnya sebagai suatu hal yang benar. Dia belum mempunyai kemampuan untuk menyortir, misalnya yang kita sebut etika situasi, juga dia belum bisa mengerti bahwa ada etika yang absolut. Pokoknya apa yang dilakukan oleh pahlawannya atau istilah kita jagoannya, itu sudah pasti benar.
GS : Sekalipun itu membunuh orang, Pak Paul?
PG : Ya, jadi karena pola pikirnya yang masih konkret itulah yang menjadi kebenarannya.
GS : Bagaimana halnya kalau yang dilihat itu adalah sebuah film kartun. Di situ ada gambar, tapi ada juga tokoh-tokohnya, dari situ sebenarnya anak sudah bisa membedakan mana yang fiksi dan mana yang benar.
PG : Dari film-film kartun memang dampak riilnya sangat berbeda dari film yang lebih nyata, karena film yang nyata lebih mirip dengan kehidupan yang dilaluinya. Film kartun lebih mudah diterma anak sebagai sesuatu yang tidaklah riil di dalam kehidupannya.
Namun tetap harus saya ingatkan bahwa apa yang dilihatnya tetap akan diserapnya. Dia tidak menyerapnya secara langsung, otomatis dia akan menyerapnya tanpa sadar. Nah apa yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan kartunnya, tanpa disadari akan dianggap sebagai sesuatu yang benar.
IR : Kalau seringkali anak-anak itu melihat hal-hal yang buruk, dampaknya itu apa, Pak Paul?
PG : Kalau dia melihat hal-hal yang buruk misalnya dia melihat gambar-gambar yang penuh kekerasan, kekelaman, saya kira akan membuat dia melihat bahwa dunia adalah sesuatu yang penuh dengan ekejaman sehingga bisa membuat dia merasa tidak aman.
Atau dia merasa, dia harus melakukan hal yang sama kepada orang lain.
GS : Kalau apa yang dilihatnya itu terjadi berulang-ulang, nah lama-kelamaan akan muncul semacam keyakinan di dalam dirinya. Bagaimana itu?
PG : Biasanya waktu anak melihat sesuatu secara berulang kali, yang terjadi adalah toleransi. Dia mulai menoleransi bahwa yang terjadi itu sesuatu yang memang biasa, sesuatu yang harus diharpkannya terjadi dalam hidup ini.
Reaksi-reaksi yang seharusnya muncul misalnya reaksi jijik, reaksi ini tidak benar, akan hilang. Jadi misalkan cerita pembunuhan, seseorang ditusuk, bagi si anak mula-mula dia akan memberikan reaksi yang sangat keras terhadap tindakan tersebut, tapi kalau dia terlalu sering menyaksikannya, maka terbentuklah toleransi, dia mulai merasa bahwa itu biasa dan tidak lagi menimbulkan reaksi yang tidak enak pada dirinya.
GS : Maksudnya kebal, Pak Paul?
PG : Betul jadi terjadilah proses pengebalan pada perasaannya, dia tidak lagi merasa terganggu dengan yang dilihatnya itu.
GS : Apa yang ditayangkan di televisi tidak semuanya jelek, ada juga acara untuk anak-anak. Tadi kita bicarakan dari sisi negatif, Pak Paul, apa sisi positifnya ada?
PG : Sudah tentu banyak Pak Gunawan, jadi televisi itu mempunyai unsur-unsur hiburan, rekreasional dan itu bisa memberikan anak kesempatan untuk merasa santai, tidak terlalu tegang. Jadi apayang dilihatnya bisa membawa penghiburan baginya, kesenangan hatinya, menenangkan jiwanya, itu merupakan hal yang positif.
Tapi saya mau tegaskan sekali lagi bahwa orang tua perlu menolong anak menyeleksi apa yang dilihatnya. Saya tidak menginginkan orang tua panik atau mengalami reaksi histeris, anak tidak boleh nonton televisi, bukan itu maksud saya. Tujuan saya adalah orang tua bisa selektif memberikan tayangan yang sesuai dengan usia anak. Saya berikan contoh untuk kasus yang pertama tadi, Pak Gunawan, tentang anak-anak yang belum bisa membedakan yang fiksi dan yang realitas atau riil. Misalkan di dalam film ada anak yang diculik, anak ini mudah sekali mempunyai anggapan bahwa penculikan itu terjadi di mana-mana. Bahwa korban penculikan adalah anak-anak kecil , jadi dia senantiasa harus berhati-hati. Kita tahu bahwa penculikan terjadi, tapi kita tahu itu tidak terjadi pada setiap anak atau terjadi di mana-mana, tapi anak-anak belum bisa berpikir secara abstrak seperti itu. Contoh yang lain lagi untuk kasus yang konkret misalnya anak-anak ikut-ikutan orang tua menonton sinetron, nah saya memperhatikan cukup banyak sinetron yang berisikan kisah perselingkuhan dan biasanya si suami yang berselingkuh. Anak kecil bisa mengembangkan pikiran bahwa semua pria itu tidak setia pada istrinya, nah saya khawatir si anak mulai mengembangkan pemikiran pula bahwa papanya juga salah seorang kandidat ketidaksetiaan, bahwa papanya bisa-bisa mempunyai wanita lain. Jadi misalkan si anak melihat papanya berbicara dengan seorang wanita, yang muncul dalam hatinya adalah suatu kecurigaan, nanti papa tertarik pada wanita itu, atau misalkan nantinya ada pertengkaran di rumah, si anak langsung mengaitkan bahwa tadi papa bertengkar karena ada wanita lain, ini harus kita waspadai. Sekali lagi karena apa apa yang dilihatnya dari film atau sinetron itu ialah pria berselingkuh, pria tidak setia, jadi anggapannya semua pria seperti itu. Yang lainnya lagi juga saya lihat di televisi terutama di sinetron bahwa kehidupan para tokoh-tokoh itu kehidupan yang super mewah, mobil yang sangat mewah, rumah yang sangat mewah, baju, berlian yang sangat mewah. Anggapan si anak kalau tidak hati-hati adalah nanti kalau sudah besar, dia akan berpikiran kaya seperti itu. Karena anak belum bisa mengerti bahwa tidak semua orang akan kaya dan untuk kaya seperti itu memerlukan usaha yang keras, kerja yang memang benar-benar harus serius dan kesempatan, tanpa adanya peluang mungkin tidak mendapatkan pekerjaan seperti itu dan sebagainya. Dia belum bisa mengerti seperti itu, pada anak-anak kecil yang dilihat adalah orang-orang ini sesudah dewasa menjadi kaya. Sebab memang kita tahu dalam film atau sinetron-sinetron itu kebanyakan tokohnya adalah orang dewasa, jarang anak kecil, jadi anggapannya setelah dewasa saya juga akan menjadi kaya, itu sesuatu yang otomatis akan saya alami. Nah sekali lagi ini disebabkan oleh pola pikir anak yang sangat konkret. Hal-hal ini kalau ditonton oleh anak, orang tua harus menetralisirnya. Misalnya dengan berkata bahwa tidak seperti itulah kehidupan, berkat Tuhan untuk masing-masing orang, tidak semua orang akan secantik para bintang film itu, tidak semua ibu tiri jahat. Bukankah kita seringkali mempunyai pikiran, praduga bahwa semua ibu tiri itu jahat dan pasti akan membuang anak-anak kandung dari ayahnya. Bukankah karena memang dari bacaan atau film yang kita tonton, jadi sekali lagi itu semua mempengaruhi kita. Saya sendiripun waktu masih kecil dipengaruhi pikiran bahwa semua ibu tiri jahat, karena selalu ditayangkannya seperti itu, nah ini dampak-dampak yang perlu kita ketahui.
GS : Kalau yang kedua Pak Paul, tadi dikatakan bahwa anak dalam rangka pembentukan moralitasnya sehingga apa yang dilakukan oleh pahlawannya itu dianggap benar, bagaimana contoh-contoh konkretnya di televisi?
PG : Yang bisa saya pikirkan misalnya kalau pahlawannya itu menembak atau membunuh atas nama kebenaran si anak akan senang sekali, jadi tanpa disadari si anak mempunyai suatu nilai atau moraitas bahwa selama kita ini membunuh penjahat itu adalah tindakan yang benar.
Jadi benar salahnya anak sangat kaku sekali, karena didasari atas apa yang dilakukan oleh tokoh jagoannya atau tokoh pahlawannya. Misalnya seseorang dihina kemudian jagoannya datang, jagoannya langsung memukul yang menghina itu, nah kita mungkin bertepuk tangan dalam hati kita senang, kita mengunggulkan jagoan kita memukul orang yang menghina orang yang lemah tadi. Ini menjadi konsep kebenaran si anak, ini menjadi nilai moralnya si anak, nanti di sekolah kalau ada temannya yang lemah sepertinya diejek-ejek oleh teman yang lebih kuat dia mungkin langsung tergoda untuk membela dengan membabi buta dan memukul atau berkelahi dengan teman dan sebagainya. Jadi itu adalah salah satu hal yang perlu kita waspadai. Yang lain misalnya menghancurkan atau membasmi musuh itu tidak salah seolah-olah dianjurkan, apalagi kalau anak kecil menonton film Rambo. Rambo itu pahlawan yang bisa menghancurkan, membumihanguskan musuhnya dan sebagainya. Anak-anak akan mempunyai pikiran tidak apa-apa asalkan kita berada di pihak yang benar, kita boleh membasmi, membumihanguskan, membakar dan membunuh. Sekali lagi moralitas film ditransfer kepada si anak dan anak mempunyai pikiran tidak apa-apa membasmi orang sampai habis, asalkan kita merasa berada di pihak yang benar. Itu sangat berbahaya sekali sebab nantinya dia di pihak yang benar, lawannya juga bisa berpikir saya di pihak yang benar pula misalnya. Yang lainnya lagi adalah konteks orang miskin dan orang kaya, bukankah di film-film ada kecenderungan ditonjolkan bahwa orang yang miskin selalu berada di pihak yang dirugikan atau menjadi pihak yang benar. Sedangkan orang yang kaya selalu di pihak yang salah, nah kita tahu dalam kehidupan tidaklah selalu demikian, yang miskin tidak secara otomatis berada di pihak yang benar. Kalau tidak hati-hati anak-anak mulai mengembangkan pemikiran bahwa orang kaya itu jahat, orang kaya itu suka menghina dan menekan orang-orang miskin. Tapi di pihak lain dia juga ingin kaya, tadi saya sudah singgung ya. Jadi hal-hal itu tidak sehat kalau tidak dikoreksi oleh orang tua.
IR : Kalau anak itu melihat berkali-kali dan apa yang paling sering dilakukan itu sama dengan apa yang seharusnya dilakukan, akibatnya apa, Pak Paul?
PG : Anak-anak seringkali begini, Bu Ida, waktu dia melihat sesuatu yang sering ditayangkan, sering dilakukan, dia beranggapan itu yang seharusnya dia lakukan, jadi sering dilakukan identik engan seharusnya dilakukan.
Misalnya dia melihat orang berbohong, asalkan tidak merugikan orang lain boleh saja. Tapi selama berbohong itu tidak merugikan, misalkan dibuat bergurau ya tidak apa-apa atau berbohong itu membuat suasana lebih riang, lebih lucu. Jadi karena sering dilakukan dia menganggapnya sebagai sesuatu yang memang seharusnyalah dilakukan, normal, sesuatu yang biasa. Yang lainnya lagi contohnya kalau tidak hati-hati anak-anak juga mulai menonton adegan-adegan seks, nah mungkin muncul suatu keyakinan bahwa seks dibolehkan asal dilakukan karena cinta dan seharusnya dilakukan setelah kencan pertama. Kalau tidak hati-hati, anak-anak akan membentuk keyakinan seperti ini, sebab anak-anak di bawah usia-usia 9-10 tahun ini sedang berada pada tahap pembentukan keyakinan, kepercayaan-kepercayaan seperti ini. Dia melihat di film 2 orang bertemu, berkencan kemudian tidur bersama-sama. Nah dia menonton ini misalnya 1 tahun seratus kali, dari umur misalnya 7, 8 tahun sampai dia umur 18 tahun misalnya sudah 10 tahun, 10x100 kali berarti 1000 kali dia melihat adegan seperti ini, tidak bisa tidak, hal itu sudah dipatrikan pada benaknya. Nanti dia umur 25, tujuh tahun kemudian misalkan dia sudah nonton ini dari awalnya sampai umur 25 sudah 2000 kali, waktu dia pertama kali kencan, tanpa disadari godaan itu sudah ada pada dirinya. Kencan pertama seolah-olah harus diikuti oleh sikon atau urutan ranjang, jadi itu adalah hal-hal yang berpotensi membentuk keyakinan anak. Yang lainnya lagi dalam tahapan pembentukan keyakinan misalnya menerima perbedaan adalah segalanya, sikap menghakimi dianggap sebagai sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan. Jadi kesimpulannya, anak-anak akan bisa berkata o.... jangan menerapkan konsep benar salah artinya jangan menghakimi. Yang lebih dianjurkan adalah menerima, tidak apa-apa orang berbuat seperti apapun itu, orang bebas mempunyai keyakinannya, moralitasnya. Jadi akhirnya anak-anak bertumbuh besar tanpa keyakinan benar salah lagi yang absolut. Sebab segala sesuatunya akan jadi relatif, tergantung pada pelakunya karena tayangan-tayangan yang ditontonnya memberikan pesan-pesan seperti itu, tidak apa-apa, yang penting kita bisa saling menerima, menoleransi dan menghormati. Oleh karena itu orang tua perlu waspada dan mengoreksinya.
GS : Jadi memang kuncinya terletak pada orang tua itu, bagaimana mengatur jam televisi itu boleh dilihat dan memberikan pengarahan. Masalahnya orang tua jarang mendapat bimbingan untuk itu.
PG : Saran saya adalah orang tua duduk bersama anak-anak waktu menonton acara anak-anak sehingga kita mempunyai gambaran kira-kira yang ditonton. Saya dan istri saya juga tidak senantiasa meonton bersama anak, tapi ada beberapa kali misalnya seminggu kami akan duduk bersama, sehingga kita bisa menilai apakah cocok ditontonnya dan apakah perlu toleransi, perlu koreksi yang kita harus berikan pada anak kita.
GS : Dan biasanya di sana anak juga akan menyangkal atau membantah apa yang orang tua katakan, Pak Paul?
PG : Betul, itu menjadi ajang diskusi, hal yang positif, saya setuju dengan Pak Gunawan. Televisi tidak semuanya jelek, banyak hal yang bagus dan memang sangat bermanfaat. Saya secara keseluuhan berkata televisi banyak manfaatnya asalkan kita sortir dan bimbing anak-anak kita.
GS : Dalam hal ini, Pak Paul, tentu ada Firman Tuhan yang bisa menjadi pegangan dan menjadi pedoman bagi orang tua khususnya.
PG : Saya akan bacakan dari Filipi 4:8, "Jadi akhirnya saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap idengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu."
Jadi memang Tuhan menginginkan kita memasukkan hal yang baik, yang indah ke dalam pikiran kita. Jangan sampai kita mengotori pikiran kita. Kita harus melindungi anak-anak kita dari pikiran-pikiran yang bisa mencemarinya, baik itu seks yang terlalu dini, baik itu film yang terlalu menegangkan atau baik itu kisah kehidupan yang tidak riil sama sekali. Anak-anak kita perlu menyadari dan menangkalnya sendiri sehingga tidak menyerapnya dan membabi buta.
GS : Memang semakin lama semakin sulit dilakukan Pak Paul, tetapi tanpa seleksi akan lebih sulit untuk memperbaiki kehidupan anak itu.
GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang acara televisi dan anak. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.