Terang dan Gelap
Carl Jung memanggilnya, bayangan. Kita biasa menyebutnya, Sisi Gelap—hal buruk tentang diri kita yang kita sembunyikan. Setiap kita memiliki bayangan namun tidak setiap kita menyadarinya. Bayangan bisa berwujud kebencian terhadap seseorang atau ketakutan terhadap sesuatu yang begitu mengerikan. Bayangan dapat pula berbentuk fantasi seksual yang terlalu memalukan untuk diceritakan. Adakalanya bayangan merupakan masa lalu yang kita coba lupakan—apa pun alasannya.
Bayangan—Shadow dalam bahasa Inggrisnya sudah tentu berwarna gelap dan memang itulah tujuan awalnya, yakni menggelapkan bagian diri kita yang tidak ingin kita lihat lagi. Harapan kita adalah, hal tersebut akan lenyap seiring dengan berjalannya waktu. Sigmund Freud menyebut proses penghilangan ini, represi. Masalahnya dengan represi adalah, sesungguhnya yang terjadi bukanlah pelenyapan melainkan pemindahan belaka—dari ruang di alam sadar ke dalam rongga di alam bawah sadar.
Kita tidak bisa menihilkan kembali sesuatu yang telah terjadi. Kita hanya diberi kapasitas untuk melupakan, bukan menghapus sesuatu dari sistem memori di otak kita—ibarat menghapus kapur pada papan tulis. Sesuatu yang telah terjadi sudah menjadi bagian dari sejarah, secara khusus sejarah hidup kita pribadi. bahkan yang pernah terpikirkan oleh otak tetap menjadi sesuatu yang pernah terpikirkan. Kita tidak dapat memutar kembali jarum jam dan menempatkan diri di belakang atau pada waktu sebelum munculnya pikiran itu sehingga kita bisa berkata, “Oh, saya tidak pernah memikirkannya, sebelum engkau mengatakannya.” bayangan hanyalah upaya dan hasil menggelapkan yang telah terjadi—makin gelap, makin menenangkan karena kita bisa meyakinkan diri kita bahwa hal itu tidak pernah ada.
Jung tidak menganjurkan agar kita memuntahkan keluar segala sesuatu yang ada dalam rongga sunyi dan gelap itu. bukan saja tindakan itu akan terlalu menelanjangi diri dan membuat kita rawan tanpa perlindungan, menyingkapkan isi bayangan akan menjadikan kita sebagai diri publik, bukan diri privat lagi. Jung menyarankan agar kita masuk ke dalam rongga kelam itu dan melihat dengan jelas apa saja yang telah kita simpan di sana. Setelah itu barulah kita dapat memanggil bagian yang tadinya asing itu, “diriku.”
Scott Peck—populer dengan bukunya The Road Less travelled—mempunyai istilah yang menarik untuk psikoterapi. Ia menyebut proses terapi sebagai “perjalanan menelusuri alam batin” (inner space). Perjalanan “ke dalam” ini menuntut keberanian karena mau tidak mau kita dipaksa untuk mengakui bahwa kita bukanlah “orang itu” atau “sosok tersebut.” Kita tidaklah seindah foto yang kita jepret dan pilih untuk abadikan dalam memori. Kita harus memasukkan bagian hidup yang menjijikkan itu sebagai kepingan diri kita. Betapa tidak nyamannya, tetapi betapa mendewasakan.
Firman Tuhan menyebut alam batin ini, “hati”, dan berkaitan dengan hal hati, Tuhan mengimbau, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Amsal 4:23) Terjemahan NIV mengungkap untaian nasihat ini dengan lebih tajam, “Above all else, guard your heart, for it is the wellspring of life.” Dalam bahasa Indonesianya, “Di atas segalanya, jagalah hatimu karena itulah sumber pancaran kehidupan.” Perkataan, “di atas segalanya,” menunjuk pada prioritas dan memang hal menjaga hati merupakan tugas yang sangat penting.
Hati atau alam batin adalah sumber atau mata air di mana dari sinilah mengalir keluar pikiran dan perilaku. Di dalam hati kita menyimpan bayangan dan bagian inilah yang perlu kita soroti. Acap kali masalah kepribadian dan masalah relasi muncul dari bayangan. Sebagai contoh, kita marah karena orang tidak memberi pengakuan atas sumbangsih kita dan kebetulan hal pengakuan merupakan bagian dari bayangan—misalnya, kita mendapat status sebagai anak bawang sewaktu kecil—yang telah dengan susah payah kita coba tinggalkan.
Bagaimana mungkin kita membereskan tindakan luar tanpa mengetahui apa itu sebenarnya yang memunculkannya? Kita hanya dapat menjaga hati (dan mempunyai kendali atas perilaku kita) jika kita mengenal isi bayangan yang tersembunyi di dalamnya. Jadi, masuklah ke dalam rongga gelap itu, mulailah perjalanan menelusuri alam batin, dan akui serta terimalah yang kita temukan itu sebagai bagian dari diri kita—meski tidak nyaman.
Terang memang tidak selalu memberi kenyamanan, namun Terang memberi kita kebenaran—hal penting yang tidak dapat diberi oleh Gelap. Semakin besar bayangan, semakin besar pulalah Gelap dalam hati kita. Tuhan Yesus menyimpulkannya dengan lebih lugas, “Jadi, jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.” Di dalam kegelapan, kita cenderung menyeruduk ke sana ke mari, menyandung dan menjadi sandungan bagi orang lain. Oh, betapa besar kerugiannya. Sebaliknya, di dalam terang kita berjalan lebih berhati-hati—“lebih tahu diri” dalam arti yang sesungguhnya.
- Log in dulu untuk mengirim komentar
- 6869 kali dibaca