Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Bersiaga dalam Badai Ekonomi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Sebagaimana halnya badai, sekalipun orang bisa mendeteksi kapan kira-kira badai itu datang namun ketika badai itu melanda maka akibatnya luar biasa hebat. Demikian juga dengan krisis ekonomi, walaupun orang sudah melihat tanda-tandanya tetapi orang tidak menyangka bahwa badai ekonomi itu terjadi secepat ini dan membawa dampak yang sebesar ini, begitu Pak Paul. Kita sebagai orang-orang yang beriman, bagaimana harus menyingkapinya ?
PG : Begini Pak Gunawan, tadi Pak Gunawan sudah mengangkat suatu ilustrasi yang bagus tentang badai. Kita tahu di negara yang memang sering diterpa oleh badai, mereka harus membangun rumah yangkokoh, dindingnya harus kokoh dan kuat.
Tetapi ada satu hal lagi, di dalam lingkungan yang sering diterpa oleh badai, rumah-rumah itu memunyai basement (ruang bawah tanah), sebab waktu badai yang begitu besar datang, rumah sekuat apa pun bisa tersapu maka mereka harus masuk ke bawah tanah dan berlindung di sana. Dengan kata lain, saya mau memberikan sebuah ilustrasi untuk kehidupan kita, waktu kita masih ada pekerjaan yang baik, waktu kita masih memunyai penghasilan yang baik, jangan lupa untuk menabung dan nanti kita akan bahas hal ini. Menabung itu seperti orang yang sedang membuat basement, membuat ruang bawah tanah, sebaliknya yang kita jangan lakukan adalah jangan membiasakan diri untuk berhutang. Saya umpamakan berhutang seperti orang yang hidup di tengah lingkungan atau iklim yang penuh badai, kita membangun rumah itu tinggi-tinggi, dindingnya juga tidak kuat, karena harus tempel sana, tempel sini karena orang yang terbiasa hidup berhutang itu seperti orang yang membangun rumah tinggi-tinggi, tidak ada dinding yang kuat, sehingga waktu badai datang maka langsung luluh.
GS : Padahal sekarang ini, Pak Paul, kemungkinan untuk berhutang itu mudah sekali, jadi orang bisa mendapat fasilitas macam-macam untuk bisa membeli secara kredit, hal itu sama dengan berhutang, Pak Paul. Dan memang ada kebutuhan yang besar misalnya seperti keluarga-keluarga muda dan sebagainya, mereka terdorong berhutang Pak Paul ?
PG : Satu hal yang kita mesti pahami adalah ini, Pak Gunawan, misalnya sebagai contoh munculnya kartu kredit. Kartu kredit ini memang seperti pedang bermata dua, di satu pihak mata pedang yang ertama adalah memudahkan, namun kita tahu bahwa tujuan munculnya perusahaan atau lembaga mengeluarkan kartu kredit, tujuan pertama dan utamanya bukan untuk memudahkan orang melakukan transaksi tapi untuk mengambil keuntungan, sebab itu adalah sebuah bisnis dan sudah tentu tidak salah bisnis itu mengambil keuntungan, apalagi kalau disertai dengan sebuah keuntungan yang lain yaitu memudahkan orang melakukan transaksi yaitu agar orang tidak perlu membawa-bawa uang tunai ke mana-mana dia pergi.
Tetapi kita harus memahami bahwa kartu kredit seperti pedang bermata dua, jadi matanya ada dua, yang pertama, memang memudahkan tetapi sebetulnya yang satunya lagi adalah untuk mengambil keuntungan dari kita, kalau kita tidak bisa bayar, kita harus cicil dan kita harus membayar bunganya karena itu adalah keuntungan yang akan diambil dari kita oleh lembaga keuangan tersebut. Itu sebabnya kita harus melihat masalah hutang ini dalam perspektif yang benar, jangan sampai nantinya kita gunakan (misalkan kartu kredit) untuk semua pembelian kita yang memang kita tidak bisa beli karena kita sekarang memunyai kartu kredit. Kartu kredit ini sebetulnya bukan untuk memungkinkan kita membeli yang kita tidak mungkin beli, tapi tujuannya sebetulnya adalah dua tadi, yaitu memudahkan kita, dan dari pihak lembaga keuangan untuk menarik keuntungan kalau kita tidak bisa membayar bunganya. Sudah tentu lembaga keuangan akan lebih senang kalau kita mencicil, sebab waktu kita mencicil lama maka kita harus membayar bunga. Tetapi bagi kita gunakanlah hal-hal seperti itu untuk tujuan yang pertama, yaitu memudahkan kita dan jangan sampai kita akhirnya terperangkap ke dalam sebuah konsep kehidupan yang keliru, yaitu "Perolehlah sesuatu yang kamu inginkan, yang sebetulnya tidak mungkin kamu beli." Itu letak masalah yang sebetulnya menjadi salah satu penyebab munculnya badai ekonomi sekarang ini.
GS : Berhutang atau menggunakan kartu kredit, menjadi semacam gaya hidup karena saat ini orang akan lebih bangga kalau ke mana-mana bawa kartu kredit dan kemudian dia bisa berhutang dan berkata, "Berarti saya ini dipercaya sehingga saya diperbolehkan untuk hutang," begitu Pak Paul ?
PG : Betul, sehingga itulah yang coba dilakukan oleh lembaga-lembaga yang mengeluarkan kartu kredit, yaitu "Silakanlah, terimalah" ajakan untuk menggunakan kartu kreditnya. Ada beberapa hal yan mesti kita pahami tentang hutang supaya kita berhati-hati dalam mengambil hutang, kalau kita harus terpaksa mengambilnya.
Yang pertama adalah kita mesti menyadari bahwa makin hari makin besar daya tarik atau bujukan untuk berhutang mulai dari membeli rumah, mobil, sampai belanja, semua itu bisa dilakukan lewat kredit atau lewat kartu kredit. Satu hal yang mesti kita sadari adalah bahwa berhutang selalu mengandung resiko, tatkala kita tidak dapat membayarnya kita harus menanggung konsekuensi buruknya, yakni kehilangan yang lebih besar daripada hutang itu sendiri, karena nantinya hutang itu akan berbunga sehingga jumlahnya akan membesar. Kalau kita gagal membayarnya maka yang kita harus bayar lebih besar dari pinjaman itu sendiri, singkat kata kita setiap kali mau berhutang kita harus sadari bahwa ini adalah sebuah tindakan yang mengandung resiko. Sudah tentu saya tidak berkata, "Jangan sama sekali tidak mengambil hutang" tidak seperti itu, apalagi untuk urusan-urusan seperti usaha dan bisnis, namun harus selalu diikuti dengan kehati-hatian, kesadaran akan kemampuan apakah kita bisa membayarnya ataukah tidak. Itu semua harus dipertimbangkan dengan baik dan seyogyanyalah lembaga keuangan pun sewaktu memberikan pinjaman, memertimbangkan faktor-faktor itu semua dari orang yang akan meminjam uangnya.
GS : Kadang-kadang hal seperti itu sudah diperhitungkan, Pak Paul, tetapi yang namanya resiko sewaktu-waktu pasti bisa berubah, yang tadinya kita anggap kita masih bisa menangani resiko tetapi pada saat yang lain misalnya karena kondisi keuangan seperti saat ini, maka kita tidak bisa lagi membayar. Bagaimana mengatasi hal ini, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu ada kalanya faktor 'X' itu muncul, sesuatu terjadi sehingga kita tidak bisa lagi membayar hutang kita. Kalau itu yang harus terjadi, walaupun kita meminjam sudah dengan kehati-atian, namun itu adalah hal yang harus kita terima.
Saya anjurkan kita datang kepada lembaga yang meminjamkan uang, berbicara, tunjukkan niat baik kita, apa yang bisa kita bayar, kita coba bayar, bahkan kalau perlu dari harta pribadi yang kita masih punya maka kita bayarkan, karena itu tanggung jawab kita. Jangan sampai kita berkata, "Karena ini perusahaan, kalau tidak bisa bayar maka kita tidak mau sama sekali memikul tanggung jawab dengan mengeluarkan uang kita sendiri," itu keliru! Kita harus menunjukkan itikad baik bahwa kita mau membayarnya, bukti itikad baik itu adalah kita akan menjual milik pribadi kita, atau memberikannya, supaya nanti hutang itu perlahan-lahan bisa kita cicil. Saya percaya, kebanyakan lembaga keuangan, kalau melihat itikad baik seperti itu, akan lebih rela untuk bernegosiasi dengan kita. Jadi sekali lagi dalam meminjam kita harus berhati-hati, jangan mengambil resiko yang terlalu tinggi sehingga itu lebih merupakan sebuah spekulasi. Ada orang yang begitu, karena kita memang manusia berdosa, kadang-kadang manusia dikuasai keserakahan dan keegoisan dan tidak memikirkan dampaknya pada orang, yang penting mengambil dulu, menggunakan dulu, kalau tidak berhasil bukan urusan saya. Mungkin di dunia, dia bisa bebas dari sanksi, tetapi kita tahu bahwa hidup di dunia hanya sementara, selanjutnya ada kehidupan lain dan di situ dia tidak bisa lari dari sanksi dan hukuman Tuhan.
GS : Mungkin ada faktor lain yang harus kita pikirkan didalam kita menentukan mau berhutang atau tidak, Pak Paul ?
PG : Kebiasaan berhutang yang saya ini ingin coba angkat supaya kita berhati-hati, jangan sampai memulai kebiasaan hidup berhutang. Kebiasaan berhutang juga membuat kita hidup di luar jangkauanatau kemampuan kita.
Pada akhirnya kita membeli barang-barang yang sesungguhnya tidak dapat kita beli dan kehidupan kita tidak lagi didasari oleh kemampuan finansial yang nyata, tetapi yang dibayangkan, "Nanti kalau saya memunyai uang, saya bisa bayar ini dan kalau tidak ada uang maka jangan membelinya." Kebiasaan berhutang itu membuat kita hidup di dalam alam khayalik (dibayangkan) "Kalau, dan kalau." Banyak orang terutama di Amerika Serikat yang disadarkan bahwa selama ini, mungkin sekitar dua puluh tahunan terakhir ini, mereka telah begitu bergeser dari nilai hidup yang benar yaitu kerja keras dulu kemudian barulah menikmati hidup, namun sekarang mulai banyak orang-orang atau generasi-generasi muda yang kebalikannya yaitu nikmati hidup dulu dan nanti baru kerja keras, itu salah seharusnya kerja keras dulu, kumpulkan dulu, nanti baru gunakan untuk menikmati hidup itu sendiri. Kalau tidak bisa beli maka jangan dibeli, ini adalah keburukan dari kebiasaan berhutang yaitu kita akhirnya hanya hidup berdasarkan keinginan kita, bukan hidup berdasarkan kesanggupan kita. Kita harus kembali lagi ke nilai yang sederhana yaitu hidup berdasarkan kesanggupan dan bukan keinginan.
GS : Kadang-kadang orang memaksakan dirinya untuk hidup dalam pola atau gaya hidup orang yang lebih tinggi pendapatannya daripada diri kita, karena orang lain bisa menikmati apa yang kita ingini sedangkan kita tidak bisa, bukan hanya membeli barang-barang konsumtif tetapi juga misalnya berwisata ke tempat-tempat yang jauh yang membutuhkan banyak uang, padahal dia sendiri sebenarnya tidak punya kemampuan untuk itu.
PG : Betul, jadi kita harus menerima keterbatasan kita. Ini bisa membawa kita kepada point yang berikut. Memang kebiasaan berhutang itu makin mendorong kita hidup impulsif, tanpa berpikir panjag melakukan sesuatu karena ada alatnya, sarananya yaitu kartu kredit kita dan sebagainya, yang penting pinjam dulu dan kemudian barulah dipikirkan bagaimana bayarnya, Impulsif karena sudah berkeinginan.
Jadi jangan sampai kita termakan oleh gaya hidup yang tidak sehat ini dan kita mesti belajar menahan diri, sebab kalau tidak maka kita nanti akan dikejar-kejar oleh hutang kita itu.
GS : Padahal menahan diri bukan sesuatu hal yang mudah kita lakukan Pak Paul, ini bagaimana ?
PG : Saya kira pada waktu kita mau membeli sesuatu, langkah yang paling baik adalah jeda, pause, jangan lakukan, tunda dulu, pikirkan lagi, berikan satu kurun untuk kita berbicara dengan pasangn kita, dengan orang lain untuk berpikir, lihat lagi, lihat lagi.
Seringkali setelah ada jeda beberapa hari kita bisa berpikir ulang dan kita disadarkan, "Benar ya tidak perlu, untuk apa ? Ya, sudah tidak perlu." Satu pokok lagi yang saya mau ingatkan, jangan sampai kita lupa, belajarlah hidup berdasarkan kesanggupan, bukan atas dasar keinginan.
GS : Kalau begitu langkah-langkah apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga diri kita dari krisis ekonomi seperti saat ini ?
PG : Yang pertama adalah kita harus membiasakan diri menabung. Ingatlah pepatah sedia payung sebelum hujan, tabungan itu diperlukan justru untuk saat seperti ini. Jadi sebaiknyalah setiap keluaga menyisakan uang meskipun sedikit, tidak apa-apa karena sedikit demi sedikit, bulan demi bulan, setelah setahun, lebih besar daripada yang sebulan, dua tahun lebih besar daripada yang setahun.
Jadi simpanlah uang dan simpanlah dengan aman, untuk tabungan kita jangan simpan dalam bentuk-bentuk investasi yang penuh resiko, karena nantinya itu benar-benar digunakan di waktu hujan turun, jangan sampai waktu hujan turun, karena kita menaruh uang kita di lembaga atau menanamkan uang kita dengan resiko yang tinggi, maka pada waktu badai menerpa biasanya lembaga-lembaga ini akhirnya juga tersapu oleh badai dan uang kita pun akhirnya juga akan habis. Jadi untuk tabungan keluarga, untuk tabungan masa depan kita, kalau bisa kita pisahkan dengan aman tabunglah dengan aman, memang resikonya kalau rendah maka bunganya lebih rendah namun tidak mengapa karena ini untuk masa seperti sekarang ini. Orang yang menaruh semuanya di paket-paket yang lebih tinggi bunga tetapi lebih tinggi resiko, akhirnya sekarang bingung karena belum tentu bisa mengambil semuanya lagi, jadi biasakan diri untuk menabung. Menabung juga mendorong kita hidup berdisiplin, mendorong kita untuk tahu diri, bahwa "jangan ini di luar kemampuan kita". Menabung mendorong kita dengan jernih memilah-milah, perlu apa tidak, baik atau buruk melakukan ini dan itu, jadi biasakanlah menabung.
GS : Memang prinsipnya orang tahu kegunaan menabung Pak Paul, tetapi peristiwa-peristiwa yang terjadi pada akhir-akhir ini membuat orang berpikir ulang, "Saya harus menabung dengan cara apa," yang tadinya dipikirkan aman ternyata juga tidak aman seperti yang dia bayangkan, kalau ingin disimpan di rumah resikonya terlalu besar, disimpan di luar rumah juga beresiko besar sehingga orang berpikir, "Daripada dia menabung kemudian habis lebih baik dinikmati saja sekarang" begitu Pak Paul.
PG : Itu pikiran yang keliru sebab kita bisa menabung dengan aman. Kita tahu bahwa negara menjamin tabungan sampai jumlah tertentu, maka tabunglah yang aman, jangan menabung di tempat-tempat yag menanggung resiko tinggi, meskipun menawarkan imbalan yang besar berhati-hatilah kalau untuk tabungan pribadi dan tabunglah dengan aman, sehingga kita tahu kalaupun ada badai apapun, nantinya ada jaminan yang diberikan dan kita bisa mendapatkan kembali uang kita.
GS : Tetapi masalahnya, misalnya saja kita menabungkan uang kita di dalam bentuk deposito yang aman dan dijamin, tetapi akhirnya ini juga tergerus oleh inflasi yang jauh lebih besar daripada bunga yang dia terima, sehingga uang yang ada nilainya semakin lama semakin menyusut, sehingga orang lebih memilih alternatif yang lain. Tetapi alternatif yang lain misalnya 'reksadana'' juga terimbas oleh krisis ekonomi yang cukup kuat.
PG : Makanya tadi saya sudah singgung bahwa karena tujuannya ini adalah 'sedia payung sebelum hujan', sudah tentu tidak ada investasi yang sempurna di dunia ini pasti akan ada plus atau minusny, namun kita mengambil yang beresiko terendah, meskipun sudah tentu ada kerugian-kerugiannya bila dibandingkan dengan yang lainnya.
Tetapi untuk kepentingan kita maka tabunglah yang teraman, jadi kita ambil yang paling aman meskipun memang ada gerusan-gerusannya.
GS : Langkah yang lain apa Pak Paul yang bisa diambil ?
PG : Kita mesti fleksibel dalam memilih pekerjaan sementara, di dalam kondisi seperti ini pekerjaan yang ideal hampir tidak ada. Jadi kita harus menerima apa pun yang tersedia selama itu halal,dan jangan berkata, "Dulu gaji saya bekerja sebesar ini namun sekarang diberikan hanya sejumlah ini, saya biasa mengerjakan pekerjaan yang seperti itu rumitnya atau tingginya atau susahnya.
Namun sekarang pekerjaan saya hanya menghitung-hitung ini," Ini adalah masanya untuk menghidupi keluarga bukannya mengembangkan karir, kadang-kadang orang susah membedakan keduanya. Pada masa terpaan ekonomi atau di masa-masa diterpa badai, tidak ada lagi atau sedikit kesempatan mengembangkan diri, kita harus memikirkan bagaimana menjaga kelangsungan hidup keluarga kita, jadi selama pekerjaan itu halal lakukanlah! Walau hanya sementara, tidak mengapa, sebab nantinya setelah ekonomi membaik kesempatan yang lain pun dengan otomatis akan kembali terbuka.
GS : Disamping kita harus mau bekerja apa saja, tetapi dibutuhkan kreatifitas dari kita itu untuk melakukan sesuatu guna mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari, Pak Paul ?
PG : Tepat sekali, Pak Gunawan. Jadi ini adalah masukan yang berikut yaitu kita harus kreatif. Mungkin ini adalah saatnya kita menciptakan pekerjaan dan bukan hanya mencari pekerjaan. Kadang-kaang kita terbentuk oleh konsep yaitu kita harus mencari-cari pekerjaan, mungkin kita harus lebih kreatif kita bisa menciptakan pekerjaan yang baru, sekarang kita memulai usaha sendiri.
Banyak orang sudah membuktikannya, waktu dalam keadaan kondisi di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan sebagainya, mereka terpaksa berpikir kreatif "Apa yang bisa dikerjakan sendiri," mungkin kita tidak menyadari bahwa kita punya sedikit bakat 'enterpreneur', kita berusaha sendiri berwiraswasta. Jadi dalam kondisi seperti ini kreatiflah dan jangan terpaku pada metode yang sama terus-menerus.
GS : Seringkali kreatifitas itu muncul setelah kita berhubungan dengan lebih banyak orang Pak Paul, yang ini memberikan usulan, yang itu memberikan usulan jadi seolah-olah itu yang membuka pikiran kita.
PG : Tepat sekali, jadi saya juga ingatkan bahwa kita tidaklah hidup di dalam pulau yang terpisah, sendirian, kita harus berhubungan dengan orang, bertukar pikiranlah, berkonsultasilah, tanyala teman-teman, mintalah ide-ide.
Jadi jangan kita itu mencoba menyelesaikan sendiri, bukankah beban kalau ditanggung bersama juga akan lebih mudah untuk dipikul, salah satu tujuannya adalah dengan kita berbicara dengan teman-teman dan memberi tahu mereka kondisi kita maka kita mengingatkan mereka akan keberadaan kita bahwa kita sedang memerlukan pekerjaan. Siapa tahu dari antara mereka ada yang memerlukan bantuan sehingga memanggil kita atau karena mereka tahu kalau kita sedang butuh, mereka mendengar ada orang yang membutuhkan maka mereka bisa memperkenalkan kita dengan orang yang membutuhkan tenaga kita itu. Jadi inilah saatnya kita untuk berelasi, berkoneksi membuat sebuah jaringan dan jangan gengsi, inilah saatnya kita menanggalkan gengsi. Ada kalanya karena ingin memberikan kesan kepada teman bahwa kita tetap mapan, bonafit, dan sebagainya sehingga tidak mau berterus terang kepada mereka dan tidak mau meminta bantuan kepada mereka, jangan ! Inilah saatnya menanggalkan gengsi.
GS : Saya rasa itu adalah salah satu bentuk nyata dari persekutuan, Pak Paul. Bukan hanya dalam bentuk persekutuan doa atau pemahaman Alkitab, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, persekutuan itu sangat dibutuhkan juga.
PG : Betul. Bukankah di dalam persekutuan, waktu kita bercerita akan kesulitan kita dengan teman-teman di gereja, mereka bisa mendoakan kita, menanyakan, menelepon kita. Sewaktu saya tidak memiiki pekerjaan selama kurang lebih delapan bulan, Pak Gunawan, betapa saya menghargai sewaktu orang menelepon saya, menanyakan bagaimana kabar saya atau ada orang yang mengirimkan e-mail dan ada orang berkata untuk mendoakan saya, hal-hal itu seperti siraman-siraman di tanah yang sedang tandus.
Tetapi sekali lagi itu juga dimunculkan karena kita bersedia diketahui oleh teman-teman kita. Saya mengerti ada kalanya gengsi itu menghalangi, sekarang ini saatnya kita tanggalkan, biarlah teman-teman dalam persekutuan bisa mendukung kita pula dan mendoakan kita.
GS : Bagaimana sikap kita terhadap pasangan, Pak Paul ?
PG : Kita harus terbuka, Pak Gunawan. Saya tahu ada orang yang berkata, "Saya tidak mau bercerita kepada isteri saya, nanti dia khawatir, cemas dan sebagainya," Saya kira inilah waktunya, waktukita diterpa badai ekonomi sebesar ini maka kita mesti bicara terus-terang kepadanya, biarlah dia tahu kondisi kita dan jangan memberi dia harapan kosong dengan janji ini dan janji itu, padahal tidak bisa kita penuhi.
Bukankah waktu kita berterus terang kepadanya dia pun lebih dapat membantu kita, memberi masukan, sumbangsih, pemikiran dan mungkin dia juga bisa mendoakan kita. Inilah saatnya kita bahu membahu, saling menolong. Maka saya minta kepada pasangan jangan sampai nantinya menyalahkan, memarahi namun inilah saatnya kita saling memberi dukungan, saling mendoakan, setiap malam berpegangan tangan berdoa kepada Tuhan, memohon karunia-Nya dan pertolongan-Nya untuk kita semua.
GS : Mungkin masih ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan sehubungan dengan yang bisa kita lakukan untuk menjaga diri kita, Pak Paul ?
PG : Yang berikut adalah jika ada kesalahan, inilah saatnya meminta maaf dan memberi maaf. Kadang-kadang kita terjeblos sedalam ini karena kesalahan kita terlalu mengambil resiko tinggi, yang tdak perlu dan sebagainya.
Jadi minta maaflah dan jangan defensif. Kalau kita tahu ini ada andil kita maka akui dan minta maaflah. Untuk pihak yang satu, tolonglah beri maaf. Inilah saatnya kita menerapkan janji nikah dalam suka dan dalam duka, dalam kecukupan dan dalam kekurangan kita akan bersama pasangan.
GS : Pada saat-saat seperti ini dimana orang mengalami krisis karena badai ekonomi yang kuat, point yang penting adalah sebenarnya mereka harus bergantung kepada Tuhan dan bagaimana kita mengaplikasikan kebenaran Firman Tuhan ini, Pak Paul ?
PG : Kita memang harus terus berdoa dan terus berharap pada pemeliharaan Tuhan, saya belajar waktu saya tidak ada pekerjaan selama 8 bulan itu, bahwa hal termudah yang dapat Tuhan lakukan adala memberi saya pekerjaan pada keesokan hari, tetapi hal yang susah adalah membangun iman saya untuk bersandar dan percaya kepada pemeliharaan Tuhan.
Jadi saya tahu kalau Tuhan inginkan, maka Tuhan bisa memberikan saya pekerjaan besok, namun kenyataan sampai sekarang saya belum mendapatkannya. Itu berarti Engkau ingin agar saya tetap bersandar dan percaya bahwa Engkau pasti bisa memelihara apapun kondisinya. Hal itulah yang membuat saya kuat dan bertahan, dan memang benar bahwa Tuhan menjaga, Tuhan pelihara dan Tuhan membuktikan kata-kataNya seperti yang dikatakan kepada orang-orang Israel setelah mereka melewati perjalanan di gurun pasir bahkan sandalmu pun, kasutmu pun tidak lapuk karena TUHAN menjaga, maka peganglah janji TUHAN di Matius 6:33,34 "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu khawatir akan hari esok, karena hari esok mempunyai kesusahannya sendiri, kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."
GS : Kita kadang-kadang terlalu banyak menanggung kekhawatiran, hari ini kita menanggung yang akan datang, ini membuat kita semakin rapuh.
GS : Pak Paul terima kasih untuk perbincangan ini, dan tentunya akan sangat bermanfaat bagi para pendengar setia kita. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Bersiaga dalam Badai Ekonomi." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.