Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pengampunan khususnya pengampunan antara pasangan suami-istri. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, berbicara tentang mengampuni pasangan, sering kali yang kami hadapi adalah saya itu sebenarnya sudah memberikan pengampunan terhadap pasangan saya, istri saya atau sebaliknya kalau saya minta maaf dan dia mengatakan ya sudah diampuni. Tetapi yang sering kali timbul adalah kesalahan seperti beberapa waktu yang lalu yang pernah kita bahas itu terulang lagi seakan-akan tidak bisa selesai sekaligus. Kemudian timbul pertanyaan, apakah saya ini sungguh-sungguh mencintai dia atau tidak, dan kalau pengampunan sudah diberikan, apakah pengampunan itu berlaku untuk seterusnya, artinya kalau dia salah ya kita katakan dulu sudah diampuni/sudah dimaafkan kok berbuat salah lagi. Tetapi ada juga suatu masalah yang lain, ada orang yang sebenarnya merasakan pengampunan itu secara berlebihan, dalam arti kata sebenarnya pasangannya itu tidak sungguh-sungguh mau memberikan itikad yang baik, jadi dia melakukan hal-hal yang menyakiti hati pasangannya, hanya dia menutupi itu lewat kata-kata permintaan maaf bahkan sampai minta ampun Pak Paul, bagaimana kita bisa membedakan hal itu antara orang yang memang sungguh-sungguh menyesali akan kesalahannya dan yang sekadar ucapan-ucapan kosong belaka itu?
PG : Biasanya kita menuntut bukti Pak Gunawan, jadi kalau memang orang itu benar-benar menyesali perbuatannya kita mau melihat buah pertobatannya. Jadi di sinilah kita menggunakan konsep Alkita, pertobatan berarti berbalik arah, jadi berbalik arah itu tidak bisa terjadi tanpa dilihat orang.
Waktu kita berbalik arah orang akan melihat bahwa arah kita itu memang sudah berubah. Dalam kaitannya dengan urusan suami-istri, yang diminta adalah pertobatan yaitu orang itu berbalik arah. Kalau memang dia sungguh-sungguh menyesali apa yang telah dilakukannya, jadi saya kira itu yang perlu ditunjukkan kalau tidak ada proses berbalik arah itu saya kira pasangan kita sulit untuk percaya bahwa kita memang sungguh-sungguh telah bertobat.
GS : Tetapi memang betul Pak Paul, jadi setelah dia meminta ampun kelihatannya ada berbalikan arah, tapi mungkin karena dia labil atau bagaimana dia melakukan kesalahan yang sama dan dalam hal ini kalau kita sebagai orang luar melihat, memang dia tidak ada kesungguhan, tapi si pasangannya melihat itu "dia sungguh-sungguh", dia sungguh-sungguh sudah minta ampun kepada saya sampai nangis-nangis bahkan sampai nyembah-nyembah Pak Paul. Sehingga pasangannya ini tergerak atau tertipu. Kalau saya melihat sebenarnya dia tertipu, tapi di pihak lain dia merasa tidak, ini sudah sungguh-sungguh.
PG : Adakalanya kita ini memang sukar melihat kenyataan Pak Gunawan, apalagi dalam relasi suami-istri sebab kita sudah mengenal pasangan kita dengan begitu dekatnya. Kita melihat hal yang baik ada dirinya dan kita pun telah menghabiskan waktu bersama selama bertahun-tahun dan mungkin sebagian dari waktu yang telah kita habiskan itu merupakan memori yang menyenangkan buat kita.
Jadi untuk kita bisa menuduh atau melabelkan bahwa engkau tidak tulus bahwa engkau meminta ampun hanya untuk memanipulasiku, kadang-kadang agak sukar, agak sukar karena adanya ikatan-ikatan batiniah yang telah kita lalui bersama. Jadi adakalanya kesukaran itu memang menutupi penilaian kita yang lebih objektif, sehingga yang tadi Pak Gunawan katakan orang-orang di luar atau yang dekat dengan kita berkata: "Tidak, pasanganmu itu memang mempermainkan engkau," tapi kita tidak bisa melihat itu, karena adanya ikatan batiniah yang sudah merekat itu.
(2) GS : Kalau kita merasa kasihan Pak Paul melihat hal itu kita yang orang luar saja bisa melihat tapi pasangannya ini tidak bisa melihat, tapi mungkin Pak Paul sudah singgung karena ada banyak pengalaman-pengalaman yang romantis, yang indah sehingga itu agak "membutakan" dia. Lalu upaya apa yang bisa kita lakukan Pak Paul, karena dia 'kan menjadi korban terus?
PG : Yang pertama adalah menyadarkan dia bahwa mungkin sekali pasangannya itu melukai dia dengan sengaja Pak Gunawan. Jadi sering kali kita ini menghibur diri dengan berkata bahwa: "O......asangan saya tidak dengan sengaja melakukan hal itu," namun dalam contoh yang tadi Pak Gunawan munculkan jelas bahwa pasangannya itu sengaja sebab ada unsur kesengajaan, unsur memang melakukan hal yang sama tanpa ada pertobatan.
Jadi kalau kita pikir-pikir kenapa dia begitu ya memang ada unsur seperti ini, kita yang harus menyadarkan pihak yang dirugikan itu bahwa itulah yang dilakukan oleh pasanganmu bahwa engkau memang menjadi korban kesengajaannya. Bukan lagi ini khilaf, bukan lagi ini dilakukan tanpa disengaja namun sengaja dan dia sudah tahu bahwa kalau dia melakukan itu dia akan melukai hatimu, namun dia tetap melakukannya. Berarti apa? Berarti memang dia melukai hatimu, jadi step pertama atau langkah pertama adalah menyadarkan orang tersebut bahwa pasangannya memang sedang melukainya.
IR : Nah ini ada kasus Pak Paul, seorang istri yang selalu dilukai oleh suaminya tapi karena dia itu terlalu cinta dan karena itu pilihan dia waktu itu, jadi ada faktor permulaan waktu dia memilih suaminya ini sebetulnya tidak disetujui oleh keluarganya. Jadi apapun yang dilakukan suaminya itu akhirnya diterima walaupun dia itu tersiksa Pak Paul, apakah itu juga faktor Pak Paul karena terlalu cinta dan karena dia itu sudah salah memilih jadi apapun yang dilakukan suaminya itu harus dia terima begitu?
PG : Betul, jadi memang kita mempunyai kecenderungan tidak mau salah jadi tindakan-tindakan kita pada akhirnya merupakan upaya untuk membenarkan diri. Jadi mungkin sekali yang tadi Ibu katakan erjadi dalam kasus tersebut, si istri tidak mau mengakui fakta karena mengakui fakta berarti harus mengakui kesalahannya, bahwa dia telah memilih orang yang keliru dalam hidupnya.
Dan daripada dia mengakui dia salah lebih baik dia tanggung deritanya sendirian, memang menyedihkan sekali kalau itu yang terjadi. Seharusnya dia berani berkata: "Saya salah" dan mengakui itu di hadapan keluarganya, namun di pihak lain keluarganya pun pada saat ini seharusnya tidak boleh lagi menuduh dia atau malah membangkit-bangkitkan kesalahannya sebab dia sudah cukup menderita, jadi yang seharusnya dilakukan oleh keluarganya adalah justru menyambutnya dengan tangan terbuka dan tidak lagi mengingat-ingatkan kesalahannya dulu itu.
IR : Tapi begitu sulitnya si suami itu untuk berubah Pak Paul, itu bagaimana cara mengatasinya. Padahal dia juga seorang yang bisa dikatakan hamba Tuhan, juga sering melayani.
PG : Ya, saya tidak tahu masalahnya dengan jelas tapi secara umum Bu Ida, harus saya akui memang adakalanya ini mungkin terjadi, adakalanya seseorang itu tidak mau berubah karena hubungan denga pasangannya itu buruk, tidak sehat, tidak menyenangkannya, tidak lagi memenuhi kebutuhan atau harapannya.
Sehingga bagi dia berubah berarti masuk kembali ke dalam hubungan yang tidak menyenangkan itu dan dia tidak mau. Jadi daripada memasuki kembali hubungan yang tidak menyenangkan itu dia tetap hidup di dalam masalahnya itu, supaya apa? Ya supaya dia tetap lepas dari hal yang tidak menyenangkan. Ada juga kasus misalnya ada yang tidak mau berubah karena takut, jika saya berubah nanti ketakutannya adalah pasangan saya bisa memanfaatkan saya, menguasai saya seperti dulu dan sebagainya. Sekarang karena saya bermasalah saya menjadi lebih kuat, saya lebih berkuasa dalam rumah saya, justru pasangan saya yang takut kepada saya, nah akibatnya dia tidak begitu rela berubah karena ada rasa takut kalau saya berubah nanti semuanya kembali lagi seperti dulu saya berada di bawah kuasanya lagi dan sebagainya. Jadi ada banyak faktor yang membuat kita akhirnya susah berubah, kalau ada orang ketiga itu kompleks lagi Bu Ida, berarti kita sudah terlanjur suka dengan orang lain dan pasangan kita tidak lagi menarik buat kita.
GS : Nah, itu yang membingungkan saya Pak Paul, dari pihak wanita tadi yang bu Ida ungkapkan itu sebenarnya dia melindungi dirinya sendiri atau melindungi suami atau pasangannya, sebenarnya yang dilindungi siapa? Pak Paul katakan ada unsur pertahanan diri, dia tidak mau berubah dan sebagainya tapi juga dia bisa melihat dari sisi lainnya, itu suatu perlindungan terhadap suaminya yang sudah menyakiti hatinya berkali-kali.
PG : Betul ada unsur itu Pak Gunawan, jadi memang ada unsur melindungi si suami. Sebab ada kecenderungan terutama bagi para wanita, suami itu sudah benar-benar menjadi bagian dalam hidupnya danwanita akan terpukul sekali kalau terjadi apa-apa dengan suaminya.
Sebab memang rasa harga diri, rasa makna hidup itu ditemukan biasanya dalam diri suami atau dalam hubungan dengan suaminya, jadi sewaktu dia harus membicarakan hal yang negatif mengenai suaminya itu sungguh menyakitkan hatinya.
(3) IR : Nah, Pak Paul kalau seorang suami yang seperti tadi yang dikatakan terlalu keras, sering menghakimi istrinya, selalu menyakiti hatinya, itu dampaknya untuk anak-anaknya bagaimana Pak Paul?
PG : Ada beberapa dampak yang tidak harus sama, pertama misalnya yang paling pasti adalah anak-anak itu hidup dalam ketegangan. Tegang dalam pengertian takut berbuat salah karena melihat ayah bgitu keras dan penuh emosi berarti kami tidak boleh berbuat kesalahan yang sama.
Sebab ibu saja mendapatkan amarah dari ayah apalagi kami, dan mungkin sekali mereka juga menerima kemarahan yang sama. Jadi akhirnya membuat mereka hidup dalam ketegangan, nah ini dampak yang paling utama. Dampak yang lainnya lagi adalah mungkin sekali anak-anak tidak hormat kepada si ayah karena melihat kok si ayah semena-mena terhadap si ibu. Dampak yang ketiga yang mungkin terjadi adalah kebalikannya anak-anak justru tidak hormat kepada ibu karena melihat ibu itu tidak dihormati oleh ayah. Jadi akhirnya mereka juga mengikuti jejak ayah tidak menghormati ibu, malah seolah-olah makin hari makin berani kepada ibunya. Dan yang nomor 4 yang terakhir adalah dampak yang umum adalah anak-anak sebetulnya mulai lepas kendali, dalam pengertian tidak lagi tunduk pada rumah pada orang tua karena mereka pun menyadari orang tua itu banyak masalah. Jadi sewaktu hubungan orang tua atau hubungan suami-istri itu bermasalah, tanpa disadari masalah itu memperlemah posisi mereka di hadapan anak, itu dampaknya langsung begitu. Jadi kita sering kali tidak menyadari hal itu namun tatkala kita sedang bermasalah dengan pasangan kita posisi kita di hadapan anak sebetulnya makin lemah. Anak makin berani maka tidak jarang terjadi dalam keluarga yang bermasalah suami-istri bermasalah, anak-anak itu bermasalah menjadi badung, berani, nakal, sebab problem antara orang tua memperlemah hubungan mereka dengan anak atau wibawa mereka di hadapan anak.
GS : Kalau dampaknya sudah begitu serius Pak Paul khususnya terhadap anak tapi juga di dalam hubungan suami-istri, kalau kita tahu dan tidak menyadarkan kasihan si istri atau mungkin juga bisa terbalik suaminya yang diperlakukan seperti itu. Kalau kita tahu hal itu dan kita tidak menyadarkan memang kasihan, tetapi kalau kita menyadarkan khususnya saya itu misalnya mau mengingatkan itu juga ada rasa bersalah Pak Paul. Mungkin pengertian ini keliru bukankah dia sendiri masih merasa dikasihi kebetulan ada seorang istri merasa ditempeleng suaminya itu berarti suaminya masih perhatian dengan dia, masih mencintai dia padahal sudah terang-terangan ditempeleng. Nah dia sendiri merasa suaminya masih perhatian sama dia, kalau saya masuk ke sana kemudian mengatakan sebenarnya suamimu itu sengaja menyakiti kamu, itu 'kan menimbulkan suatu masalah baru Pak Paul?
PG : Dan sebetulnya tidak perlu lagi kita lakukan itu sebab sesungguhnya di dalam diri dia sudah ada konflik, dia sudah tahu bahwa ditempeleng itu bukanlah pernyataan cinta, namun dia harus menistorsi fakta tersebut agar tetap bisa diterimanya, agar dia bisa hidup dengan kenyataan bahwa dia itu ditempeleng.
Sebab kalau dia benar-benar ingin menerima kenyataan apa adanya dia mungkin akan diperhadapkan dengan pilihan yang dia tidak siap untuk mengambilnya. Misalnya pilihan untuk menegur, memarahi si suami, pilihan untuk berkata kepada si suami engkau tidak boleh menamparku lagi, pilihan untuk berkata sekali lagi kau tampar aku tidak mau lagi hidup serumah denganmu dan sebagainya. Tapi dia tidak siap untuk menghadapi pilihan-pilihan tersebut, jadi dia harus menerima fakta bahwa dia ditempeleng, nah penerimaan itu akan lebih mudah dilakukannya kalau dia bisa membubuhkan atau menambahkan makna dalam proses penempelengan itu bahwa memang suami saya mencintai saya, memperhatikan saya maka dia masih bisa menempeleng saya. Jadi dalam kasus seperti itu Pak Gunawan, sering kali usaha orang luar untuk menyadarkan si istri ini, biasanya menemui jalan buntu. (GS : Karena dia sendiri merasa tidak dirugikan Pak Paul), namun sebetulnya dia dalam hati tahu ini tidak betul. Tapi kalau kita yang berbicara dari luar, dia akan menangkal, dia akan berkata: "Tidak, engkau yang salah suami saya mencintai saya." Ini yang sering saya ungkapkan waktu saya bekerja di rumah sakit jiwa dulu, saya masih ingat ada seorang ibu datang matanya biru legam bekas dipukul suaminya. Dan sewaktu ditanya: "Apa yang membuat ibu datang ke sini?" Dia menjawab: "Saya masih ingat suami saya mencintai saya, anak-anak saya baik-baik, kami semua satu keluarga harmonis", tapi matanya biru hitam bekas dipukul oleh si suami. Jadi itu memang sering kali terjadi Pak Gunawan dan sering kali itu menimpa orang yang memang mempunyai penghargaan diri yang sangat minim, mempunyai ketakutan untuk hidup sendiri, jadi hidupnya itu memang bergantung pada orang lain, jadi dia haus sekali akan cinta akan rasa aman yang bisa disediakan oleh si suami. Jadi akhirnya harga apapun yang harus dibayarnya akan dia bayar. Saya masih ingat dulu seorang psikiater di tempat saya bekerja di rumah sakit jiwa, pernah mengutarakan suatu kalimat yang bagus sekali. Beliau berkata: ""Bagi banyak orang bad relationship masih lebih baik daripada no relationship at all." Hubungan yang buruk tetap lebih baik daripada tidak ada hubungan sama sekali. Jadi makanya kita melihat pola yang sama terjadi, ada banyak orang yang memilih untuk hidup di dalam hubungan yang sangat tidak sehat. Sebab kenapa, hidup sendiri tanpa ada hubungan apapun dengan orang, jauh lebih menakutkan baginya.
GS : Tapi pengampunan yang diberikan oleh pihak yang menjadi korban itu sesuatu yang semu Pak Paul?
PG : Ya meskipun dalam pengertian dia mungkin percaya itu sudah terjadi tapi memang kita dari luar melihat bahwa pengampunan itu bukanlah pengampunan yang benar-benar berakar ke dalam, hanya dipermukaan saja.
Karena pengampunan yang sesungguhnya atau yang tuntas harus melihat kenyataan dengan tuntas pula. Selama kita membutakan mata tidak mau melihat kenyataan kita belum bisa mengampuni dengan tuntas. Tuhan mengampuni kita karena Tuhan melihat kita dengan tuntas, dengan jelas apa dosa yang telah kita lakukan dan Dia tetap mengampuni.
GS : Sekalipun kita berkali-kali datang kepada Tuhan untuk minta ampun, Tuhan tetap memberikan pengampunan yang betul-betul pengampunan itu Pak Paul, dan kalau kita kaitkan dalam hubungan suami-istri yang seringkali kita memberikan pengampunan itu tidak bisa hanya sekali untuk itu, kemudian kita katakan lain kali tidak ada pengampunan buat kamu.
PG : Betul, akhirnya pengampunan kita berikan lagi, dan lagi dan lagi. Saya masih ingat komentar Golden McDonald seorang pendeta dengan istrinya menulis satu buku, banyak buku yang dia tulis tai salah satunya yang dia tulis dengan istrinya adalah "Restoring Your Broken world" merestorasi duniamu yang telah hancur.
Jadi dalam buku tersebut beliau menekankan bahwa pengampunan itu kita berikan terus-menerus, karena maksudnya begini, kita mengampuni secara rasional, kita dihadapan Tuhan berkata: "Saya tidak mau menyimpan dendam Tuhan, saya akan mengampuni dia." Tapi setelah kita berkata demikian besok kita mungkin marah lagi sewaktu kita mengingat apa yang telah diperbuatnya, nah di saat itulah kita marah "silakan marah," kata dia. Tapi setelah marah mengampuni lagi dan ini akan terus berjalan, mungkin untuk waktu yang lumayan panjang. Jadi mengampuni, marah, mengampuni lagi, marah lagi, mengampuni lagi terus berlalu mungkin untuk berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun dalam kasus yang lebih berat.
GS : Saya teringat akan pertanyaan yang diajukan kepada Tuhan Yesus yang ditanyakan sampai berapa kali kami harus mengampuni dan Tuhan Yesus mengatakan tujuh puluh kali tujuh Pak Paul, apakah itu juga pas untuk diterapkan di dalam hubungan rumah tangga?
PG : Betul, saya kira itu pas sekali, namun selalu dengan catatan yang tadi telah kita singgung Pak Gunawan yaitu pengampunan yang tuntas didasari atas melihat kenyataan dengan tuntas pula. Nahini yang saya takut sering kali disalahgunakan oleh orang, o....
saya mengampuni, saya mengampuni tapi sebetulnya motivasi utamanya adalah tidak mau menerima kenyataan. Jadi buru-buru membungkus problem dengan pengampunan, intinya sebetulnya tidak sanggup melihat kenyataan begitu.
IR : Tapi ada Pak Paul di teman ya mengampuni ya ndak mengingat-ingat lagi tapi persoalannya tidak diselesaikan, itu yang tidak tuntas ya Pak Paul ya.
PG : Ya, jadi masalahnya memang harus dibereskan sebisanya, meskipun saya juga harus menggarisbawahi bahwa adakalanya masalah itu memerlukan waktu yang panjang untuk bisa dibereskan, nggak mudah. Sakit yang berat memerlukan waktu yang jauh lebih lama untuk dibereskan.
IR : Tapi sering kali dibereskan tapi sering kali justru tidak beres Pak Paul, malah parah. Sering kali misalnya mereka membuat fitnah kemudian yang difitnah ini ingin menanyakan tapi malah parah, nah itu bagaimana Pak Paul?
PG : Mungkin pada saat-saat masih panas atau masih rawan kalau ingin mengkonfrontasikan sesuatu jangan berdua, jadi lebih baik di hadapan orang ketiga, pendeta atau konselornya sehingga mereka ebih bisa dikendalikan tatkala emosi meninggi.
Sebab memang harus diakui setelah terjadi pengkhianatan atau sesuatu yang menyakitkan, hati itu sedang berdarah dari kedua belah pihak. Dan hati yang berdarah itu kalau belum kering mudah sekali untuk berdarah kembali. Jadi sebaiknya memang ada orang ketiga pendeta atau konselor yang bisa menengahi atau bisa mengurangi dampaknya tatkala ada hal-hal yang harus memang diungkapkan kembali kepada pasangannya.
GS : Saya rasa itu suatu contoh yang konkret untuk menghayati makna pengampunan yang kita terima dari Tuhan Pak Paul, bahwa itu bukan sesuatu yang mudah dan murah tetapi sesuatu yang sangat berharga sekali dan tidak mudah untuk dilakukan seperti Tuhan mengampuni kesalahan-kesalahan kita. Apa Pak Paul akan menutup perbincangan ini dengan sebuah ayat kitab suci yang disiapkan.
PG : Saya akan kutib lagi dari Mazmur 103:14, "Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu," jadi inilah firman Tuhan untuk kita semua bahwa Tuhan itu tau siapa kita apa adanya.
Kita ini memang sangatlah lemah, sangatlah fana dan sangatlah berdosa, jadi nasihat saya adalah kita datang kepada Tuhan apa adanya, dalam masalah-masalah keluarga seperti ini kita jangan takut untuk datang kepada Tuhan. Dia tidak akan menolak kita dan dia akan mengampuni kita, dan kalau kita sudah berhasil menerima pengampunan Tuhan kita mesti juga berani mengakui perbuatan kita di hadapan pasangan kita dengan tuntas dan memohon pengampunannya.
GS : Dan sebaliknya kalau kita menjadi pihak yang dirugikan atau yang disakiti kita juga bisa menerima itu sebagai suatu kenyataan tak perlu menutup-nutupinya dengan mengatakan yang tidak sebenarnya, sehingga kalaupun ada pengampunan, pengampunan itu betul-betul tuntas.
GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan selamat berjumpa pada acara TELAGA yang akan datang.