Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Topeng Perempuan" bagian yang kedua dan perbincangan ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita sudah membahas bahwa bukan hanya laki-laki tapi perempuan pun mendapat tuntutan yang cukup kuat dari masyarakat sekitarnya untuk menjadi yang lain dari dirinya. Pada waktu itu Pak Paul sudah membahas dua tuntutan kesempurnaan dari perempuan tapi masih ada dua lagi yang akan kita bahas pada kesempatan ini. Namun sebelum kita membahas dua yang lain bagaimana kalau Pak Paul mengulas secara singkat apa yang telah kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau ?
PG : Beberapa waktu yang lalu kita pernah membicarakan tentang isu laki-laki yaitu laki-laki itu dituntut untuk menjadi kuat senantiasa. Saya perhatikan perempuan pada umumnya dituntut untuk menjadi sempurna meskipun kita tidak selalu memikirkannya dari sudut ini. Tapi sebenarnya kalau kita renungkan sebenarnya ini yang kita tuntut dari wanita yaitu sempurna, mama harus selalu tahu, berani berkorban dan sebagainya. Jadi nilai yang sekarang kita soroti, dua hal yang telah kita bahas adalah yang pertama bentuk kesempurnaan adalah perempuan diharapkan selalu tahu membawa diri dalam setiap situasi. Saya angkat isu bahwa cara duduk, cara bicara, cara tertawa, perempuan diharapkan selalu tahu membawa diri, kalau ada tamu apa yang perempuan harus lakukan. Jadi begitu banyak aturan-aturan yang diembankan. Dampak negatifnya adalah akhirnya karena perempuan takut dianggap salah, takut nanti tindakannya tidak tepat maka perempuan memendam dirinya dan tidak memunculkan potensi dalam dirinya. Yang kedua kita telah membahas bentuk kesempurnaan yang diemban perempuan adalah perempuan diharapkan harus selalu sedia berkorban, mendahulukan yang lain dan menomor duakan dirinya, kalau laki-laki egois masih bisa diterima, kalau perempuan yang egois menjadi bahan yang tidak tepat, tidak seharusnya dan sebagainya. Jadi perempuan akhirnya dituntut untuk selalu berkorban dan dampaknya adalah saya perhatikan perempuan itu menuntut orang cukup banyak, mengharuskan suaminya begini dan begitu. Jadi itu juga akhirnya menimbulkan masalah terhadap orang-orang di sekitarnya. Ada orang yang tidak nyaman merasa diatur oleh istrinya, anaknya tidak merasa nyaman karena mamanya menuntut ini dan itu kepada dirinya, ini adalah hal yang harus diperhatikan oleh perempuan.
GS : Setelah dua hal tadi yang ketiga apa, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga bentuk kesempurnaan yang diembankan kepada wanita adalah selalu memaafkan dan memercayai. Jadi kita bisa melihat betapa seringnya perempuan terluka akibat perbuatan orang yang dikasihinya. Jadi apapun yang dilakukan oleh orang yang dikasihinya, "sudahlah maafkan, sudahlah percaya dia kembali" masalahnya adalah itu tidak gampang, sangat-sangat susah. Seringkali masalahnya karena perempuan terus dituntut untuk bisa memercayai, memaafkan sebetulnya ada hal yang menjadi tujuan utamanya yaitu perempuan berusaha memertahankan relasi, dengan kata lain memertahankan relasi menjadi tujuan akhirnya dan apapun akan dilakukannya guna mencapai tujuan tersebut termasuk memaafkan dan memercayai kembali.
GS : Pak Paul, tetapi tuntutan seperti ini kadang-kadang sulit dipenuhi oleh seorang wanita malahan ada kecenderungan karena wanita lebih emosional ini tadi, kalau dia sudah dilukai maka dia akan sulit memaafkan orang itu, jadi jati diri yang sesungguhnya seperti itu yaitu dia sulit untuk memaafkan orang apalagi memercayainya. Katakan suaminya selingkuh, itu akan sulit bagi dia bisa memaafkan atau memercayai lagi suaminya dibanding si suami sudah melupakan atau tidak menghiraukan itu lagi.
PG : Kalau memang yang berbuat adalah si suami, sudah tentu si suami berusaha untuk tidak mengingat apa yang telah diperbuatnya dan waktu si istri mengungkit-ungkitnya dan dia menjadi marah, sebab dia ingin menutup kehidupan yang kelam itu. Saya setuju dengan Pak Gunawan, kalau istri kita berkhianat tentu sangat melukai hati kita dan susah bagi kita memercayai dan untuk bisa memaafkannya. Tapi saya perhatikan dibandingkan dengan laki-laki dalam soal-soal seperti ini memang perempuan memunyai kelebihan yaitu lebih sanggup memaafkan dan lebih sanggup memercayai kembali. Kalau laki-laki tahu bahwa istrinya berselingkuh maka saya kira kembali memercayai dan kembali memaafkan saya kira akan memakan waktu jauh lebih panjang dibanding perempuan. Kenapa perempuan lebih bisa begitu ? Karena asumsinya sama-sama manusia dan sama-sama punya perasaan, seharusnya sama-sama terluka dan sama-sama susahnya mengampuni dan memercayai kembali. Saya kira kenapa perempuan lebih mampu karena memang perempuan memunyai kepentingan untuk memertahankan relasi, "Jangan sampai keluarga saya runtuh hancur, jangan sampai akhirnya orang tahu dan malu." Jadi karena mau memertahankan relasi supaya tetap sama akhirnya perempuan lebih diharuskan untuk memaafkan dan memercayai dan ini yang dituntut pula oleh lingkungan. Kalau misalnya seorang wanita datang kepada ibunya atau kepada sanak saudaranya berkata, "Suami saya selingkuh dan sebagainya" kebanyakan akan memberikan nasihat, "Terima saja, ampuni dan jangan pusingkan, lihat ke depan dan jangan sampai ada apa-apa". Jadi lingkungan pun menuntut perempuan untuk cepat-cepat memaafkan dan cepat-cepat memercayai suaminya kembali.
GS : Tapi hal ini justru dimanfaatkan oleh lingkungan untuk lebih memperparah keadaan si perempuan itu, Pak Paul.
PG : Saya kira ini tidak bisa dihindari dalam pelayanan saya, ini sering saya lihat yaitu akhirnya berulang-ulang suaminya mengkhianati si istri karena si istri kembali berkata, "Saya maafkan" tapi kembali diulang dan diulang.
GS : Jadi sebenarnya memertahankan relasi, menjaga supaya keluarganya tetap utuh, itu juga sesuatu yang positif, Pak Paul ?
PG : Positif tapi ada hal-hal yang harus diperhatikan jangan sampai hal yang positif ini menjadi sesuatu yang kurang baik, misalnya yang pertama saya kira dampak yang kurang positifnya adalah gara-gara ingin memertahankan relasi akhirnya perempuan memilih menyangkal realitas daripada menerima fakta apa adanya. Misalnya dengan terus melihat yang positif dan mengabaikan yang negatif, itu sebetulnya salah satu bentuk tidak lagi menerima realitas apa adanya, akhirnya yang saya perhatikan adalah relasi yang seburuk apapun tetap digenggam dan harga semahal apapun tetap dibayar daripada mengalami kehilangan. Saya masih ingat waktu saya KKN ketika saya masih kuliah, seorang ibu datang bercerita bahwa si suami sudah berselingkuh bahkan pada hari pertama pernikahan dan setelah lama mereka menikah berkali-kali suaminya melakukan hal itu. Tiap kali saya mencoba memberikan dorongan dan kekuatan untuk berani bertindak kepada si suami dia tidak pernah berani, kenapa ? Akhirnya saya sadari berdasarkan apa yang saya temukan dalam konseling dengan dia bahwa bagi dia kehidupannya makna hidupnya sepenuhnya adalah keluarganya, ada suami ada anak-anak. Akhirnya tidak bisa melihat realitas apa adanya seutuhnya, melihat yang positifnya dan yang negatif diabaikan akhirnya tidak melihat hidup dengan berimbang.
GS : Hal yang kedua apa, Pak Paul ?
PG : Acapkali wanita menjadi korban gara-gara ingin terus memertahankan relasi yang tidak sehat. Singkat kata perempuan itu rentan menjadi korban oleh karena keinginannya memertahankan relasi. Jadi dengan mudah perempuan diperdaya dan dimanipulasi karena kuatnya keinginan memertahankan relasi. Misalkan contoh yang sama dengan perselingkuhan. Misalnya si suami yang mengancam kepada si istri, "Kalau kamu memang tidak terima dan kamu mau berpisah atau bercerai, silakan, kamu yang angkat kaki dan gugat saya, silakan". Si perempuan tidak berani karena ingin menjaga keluarganya, jangan sampai keluarganya itu berantakan. Dan karena itu dimanipulasi lagi, diperdaya lagi, dimanfaatkan lagi. Jadi akhirnya cenderungnya perempuan menjadi korban.
GS : Sebenarnya dibalik itu semua juga ada kekhawatiran dari pihak perempuan kalau dia terlepas dari relasi, dia belum tentu bisa hidup sendiri, belum lagi cap dari orang-orang di sekitar. "Janda karena cerai" itu kedengarannya lebih negatif dari pada duda. Ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Saya setuju. Jadi adakalanya itu hal-hal yang harus dipertimbangkan. Tapi ini yang kita harus lihat poin yang berikut yaitu tentang memertahan relasi yang oleh karena ingin memertahankan keutuhan relasi akhirnya perempuan malah melestarikan sesuatu yang tidak sehat di dalam keluarga dan membuat yang lainnya terpengaruh dan menjadi korban oleh yang tidak sehat itu. Alhasil siklus ketidaksehatan terus berputar dan berlanjut dengan pemain-pemain yang baru. Saya bisa temukan kasus-kasus seperti ini, karena ingin memertahankan keutuhan keluarga padahalnya sudah begitu rusak, dianiaya, anak-anak akhirnya menderita di tangan si suami, akhirnya yang lain-lain menjadi korban gara-gara keinginan untuk memertahankan keutuhan relasi itu.
GS : Jadi sebenarnya disamping ingin memertahankan relasi, dia juga harus cukup realistik melihat keadaan keluarga ini bagaimana, kalau lebih buruk maka dia harus berani melepas relasi itu, begitu Pak Paul ?
PG : Betul, jadi adakalanya pemukulan antara suami dan istri, anak melihat mama dipukuli oleh si papa, itu menimbulkan trauma yang berat dalam jiwa si anak dan akan memengaruhi si anak sampai usia besar. Jadi dalam praktek saya, saya menemukan begitu banyak kasus seperti ini, anak-anak setelah besar lumpuh oleh ketakutan, tidak bisa mendengar suara keras, tidak boleh kaget sedikit kaget sekali dengan kemarahan sebab dulu seringnya melihat terjadi pertengkaran dan begitu seringnya papa marah dan memukul mama dan sebagainya. Jadi kita harus melihat dengan objektif, memertahankan relasi adalah hal yang penting dan wajib kita lakukan, tapi sebaliknya kita juga mesti melihat apa harga atau dampaknya pada orang lain di sekitar kita pula.
GS : Tapi itu juga pembentukan orang-orang di sekitar atau masyarakat yang mengatakan bahwa perempuan itu lemah, perempuan itu membutuhkan orang lain terutama orang laki sehingga cap seperti itu yang melekat dalam diri perempuan itu membuat dia berpikir berkali-kali tentang perceraian.
PG : Betul sekali. Bahwa mereka juga berpikir kalau sampai terjadi perceraian dan sebagainya nanti bisa-bisa mereka lebih susah dan lebih rentan untuk menjadi korban lagi atau dituduhkan hal-hal yang tidak-tidak, karena dia sekarang seorang janda. Jadi banyak yang memilih untuk membiarkan saja. Tapi saya mau ingatkan juga harus dilihat realitas, jangan sampai gara-gara itu semua kita mengorbankan misalkan anak-anak kita, sehingga masa depan mereka boleh dikatakan sudah rusak sebelum mereka memulainya.
GS : Tapi sebenarnya kaum wanita ini seringkali ada yang menaruh dendam terhadap lingkungan karena tidak sesuai dengan jati diri yang sebenarnya seperti tadi soal mengampuni. Beberapa kali dia melakukan pengampuan tapi kalau itu terus dilakukan, kesalahan itu dilakukan oleh suami atau anaknya maka dia bisa menjadi lebih buruk kondisinya daripada sebelumnya.
PG : Setuju, memang kita tahu tidak mudah mengampuni dan memercayai kembali. Kalau misalnya tidak bisa dan dia terus pendam kondisinya maka akan lebih buruk lagi.
GS : Hal yang keempat yang dituntut dari seorang perempuan ini biasanya apa, Pak Paul ?
PG : Kita juga karena mengharapkan perempuan itu sempurna, salah satunya adalah selalu rohani dan tanpa kita sadari berharap istri atau ibu kita orang yang rohani, pada kenyataannya memang lebih banyak perempuan yang beribadah dan terlibat dalam pelayanan di gereja dibandingkan laki-laki. Memang pada umumnya wanita lebih peka daripada laki-laki dalam hal rohani dan cenderung berperan sebagai pendoa dan pembimbing rohani bagi keluarganya. Jadi ini semua hal yang indah, masalahnya adalah ada kecenderungan bagi perempuan untuk tampil rohani atau kuat dengan cara menutupi kelemahan. Kita seharusnya menyadari bahwa sesungguhnya tidak ada kehidupan rohani yang sempurna. Kadang kita kuat kadang kita lemah, orang yang rohani tidak selalu kuat dan hal ini bukanlah sesuatu yang harus ditutupi tapi karena ingin tetap dilihat kuat dan rohani akhirnya sebagian perempuan memilih untuk menutupi kelemahannya tidak mau benar-benar berkata, "Sebetulnya ini yang saya hadapi, sebenarnya ini yang menjadi beban saya. Saya gagal di sini dan tidak bisa di sini". Kadang-kadang sulit bagi perempuan untuk mengakui kelemahannya.
GS : Apa bukan karena mereka tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah yang ada di dalam dirinya lalu menjadikan kegiatan rohani semacam pelarian atau tempat perlindungan dia, begitu Pak Paul ?
PG : Sebagian saya kira begitu, ada yang memang karena terlalu tertekan, hidupnya terlalu susah jadi akhirnya melarikan diri ke aktifitas rohani supaya dia bisa menolongnya. Kalau misalkan orang tanya apakah itu salah, bagi saya tidak apa-apa dan memang motivasinya adalah agar bisa keluar dari masalahnya tapi bagi saya daripada keluar kemudian melakukan hal-hal yang salah maka lebih baik keluar dan masuk ke dalam aktifitas yang benar yaitu melayani Tuhan.
GS : Dampaknya kalau dia terus menerus menutupi kelemahan ini apa, Pak Paul ?
PG : Yang pertama adalah pertumbuhan rohani sebetulnya berawal dari keterbukaan. Bila kita tidak membuka diri apa adanya dan mengakui kondisi rohani kita yang sesungguhnya maka akan sulit bagi kita untuk bertumbuh, singkat kata adakalanya perempuan kehilangan kesempatan untuk bertumbuh secara rohani gara-gara menyangkali keadaan dan ingin tampil kuat sehingga menutupi kelemahannya. Jadi perlu perempuan itu kalau mau bertumbuh dalam kerohaniannya belajar untuk mengakui kelemahannya dan tidak apa-apa. Itulah awal dari permulaan dia untuk dia bertumbuh.
GS : Yang harus diakui apa misalnya, Pak Paul ?
PG : Misalnya dia tidak selalu mengasihi suaminya, karena dilukai, dikhianati dan sebagainya. Kadang-kadang agak sulit bagi perempuan berkata begitu dan kecenderungannya berkata, "Saya tetap mengasihi dia, dia suami saya" sebetulnya dalam hatinya tidak selalu ada kasih dan kadang-kadang justru yang muncul adalah kebencian, namun tidak berani berkata begitu dan sudah tentu tidak akan berani mengatakan itu kepada anak-anaknya, justru kalau anak-anaknya marah kepada papa, si mama akan berkata, "Kamu tidak boleh marah kepada papamu, papamu harus kamu hormati dan semua harus mengasihi dia". Seolah-olah si anak tidak diizinkan untuk marah kepada ayah yang telah menyakiti atau melukai hati mereka. Ini yang saya maksud dengan tidak mau mengakui dengan terbuka sebetulnya ini yang sedang saya alami dan yang sedang saya alami serta yang sedang saya rasakan, bukanlah sesuatu yang rohani dan tidak apa-apa mengakui itu.
GS : Memang seringkali ibu atau wanita ini menjadi tempat perlindungan buat suami atau ayah terhadap anak-anaknya atau juga untuk bisa mencairkan kembali suasana yang kaku di dalam rumah tangga, perempuan ini punya kelebihan di sana jadi harapan kita kalau ada apa-apa dengan anak atau orang lain, si istri ini bisa membawa mencairkan suasana.
PG : Betul. Selalu kita menuntut ibu atau istri itu sempurna dan kita bisa melihat ini misalkan dari kesaksian para laki-laki yang sekarang sudah bertobat, berapa seringnya mereka berkata, "Saya itu salut kepada istri saya, betapa kuatnya dia terus mengasihi saya meskipun hidup saya tidak karuan tapi dia terus menunggu saya". Jadi seolah-olah ini terus diharapkan atau diembankan kepada perempuan yaitu harus sempurna dan bisa mengasihi, mengampuni dan kembali memercayai sehingga karena itulah dorongan untuk tampil selalu rohani menjadi sangat kuat, tapi harganya yang sering saya sebut yaitu menutupi kelemahan dan tidak mau mengakui sebenarnya sudah berkali-kali, "Saya tidak mau lagi dan sudah benci kepadamu". Susah untuk diakui seperti itu.
GS : Karena seorang ibu diharapkan bisa memberikan bimbingan rohani kepada anak makanya pendidikan rohani untuk anak-anak seringkali dilimpahkan seluruhnya kepada ibu. "Ini urusanmu dan bukan urusanku".
PG : Betul sekali. Jadi ini akhirnya makin membuat beban perempuan tambah besar, yang sebetulnya bukanlah sepenuhnya milik dia. Jadi dia harus rohani, dia yang mengajarkan anak-anak mengenal Tuhan, yang laki-laki seolah tidak berkewajiban sama sekali.
GS : Dampak yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Kecenderungan untuk menutupi kekurangan berakibat pula pada sikap sukar memahami kelemahan orang. Jadi akhirnya sikap yang muncul adalah sikap menuntut dan menghakimi. Kadang-kadang yang kita lihat ayah itu lebih bisa menerima kesalahan anaknya, kelemahan anaknya dan kadang kita melihat ibu yang susah menerima kelemahan anaknya sebab adanya tuntutan yang agak tinggi itu, sehingga susah menerima bahwa anaknya bisa begini dan begitu, kenapa begitu ? Karena perempuan sudah mendapatkan tuntutan untuk selalu rohani dan dia juga menutupi kelemahannya sehingga akhirnya waktu orang yang dikasihinya itu berbuat kesalahan maka agak susah bagi dia untuk berkata, "Sudahlah kita manusia memang bisa lemah dan sebagainya." Jadi anak-anak merasa kurang diterima sepenuhnya oleh ibu karena banyaknya tuntutan yang diembankan oleh ibu kepadanya.
GS : Jadi dalam hal ini ibu menuntut anaknya supaya bisa memenuhi tuntutan ?
PG : Betul sekali.
GS : Dan tuntutan ini bukan dari keluarga, dia bahkan menuntut orang lain yang bukan satu keluarga supaya melakukan perbuatan yang sempurna seperti dia.
PG : Betul sekali.
GS : Misalnya terhadap pembantu rumah tangga, maka dia meminta pembantu itu untuk sempurna seperti dia, ini ‘kan sulit.
PG : Betul. Karena sekali lagi dia memberikan sepenuhnya dan dia mengorbankan sepenuhnya, jadi kadang-kadang tuntutan kepada orang lain harus berbuat yang sama kepadanya itu juga sangat tinggi, sehingga kadang-kadang anak-anak yang sudah dewasa atau remaja kadang-kadang berkata, "Kalau saya membicarakan tentang hal yang saya lakukan yang buruk, saya lebih bisa mengatakannya kepada ayah saya ketimbang kepada ibu saya, karena ayah saya lebih bisa mengerti, kalau ibu akan marah dan tidak mengerti dan sebagainya". Jadi yang saya perhatikan memang ada kecenderungan karena perempuan itu tidak mau terbuka dengan kelemahannya maka dia juga susah untuk menerima kelemahan orang lain.
GS: Dan itu dituntutkan kepada anaknya sehingga ini akan berkesinambungan tuntut menuntut seperti ini, Pak Paul.
PG : Ini akhirnya adalah sebuah siklus. Jadi kita harus selalu kuat jangan sampai ada kelemahan maka anak dituntut hal yang sama oleh ibunya.
GS : Apakah ada dampak yang lain lagi, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir adalah tentang menutupi kelemahan supaya tampil rohani adalah perempuan akhirnya menjadi tiang sandaran keluarga dalam hal ini membuat yang lain kurang bertanggungjawab dalam kehidupannya. Ada suami yang tidak bertanggungjawab semua diembankan pada istri, anak-anak tidak bertanggungjawab, "Pokoknya nanti mama yang bereskan semua yang tidak benar", akhirnya menyuburkan kekurang pertanggungjawaban pada pihak lain. Jadi sekali lagi perempuan perlu berkata, "Ini bagianmu dan kamu tanggung apapun hasilnya saya terima dan saya tidak mau lagi membereskan semua masalah yang kau tinggalkan atau ciptakan."
GS : Tapi kadang-kadang ada yang malah senang dengan tanggungjawab seperti itu, menikmati bahwa dia seolah-olah dipercaya, dihargai, diberi kesempatan sehingga kita yang lain juga merasa, "Ya sudah kamu urusi". Kalau ada yang mengurusi lebih enak.
PG : Jadi kadang-kadang ada anak-anak yang meskipun sudah besar tidak bertanggungjawab karena selalu ada mama yang nanti akan membereskan semuanya.
GS : Pasti beres, kalau ada istri atau mama yang mengurusi, sehingga kita merasa lebih ringan dan cenderung menyerahkan, lain kali di tambah lagi.
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Kita sudah membicarakan 4 tuntutan terhadap perempuan supaya tampil sempurna, kesimpulan apa yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Tuntutan agar perempuan sempurna adalah tidak realistik, mungkin sekali tuntutan itu terkait dengan peran seorang ibu dan bukankah memang kita ini menuntut ibu untuk sempurna, pada akhirnya peran ini lebih sering membuat perempuan terpenjara alias tidak bebas. Tuhan Yesus berkata di Yohanes 8:32, "Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." Kendati ayat ini secara spesifik berhubungan dengan Tuhan Yesus sebagai kebenaran Allah yang memerdekakan kita dari belenggu dosa namun bukankah kebenaran secara umum juga memerdekakan kita dari kepalsuan hidup. Singkat kata jangan, karena ingin tampil sempurna sesuai tuntutan kita malah terperangkap dalam kepalsuan hidup.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan tentunya sangat bermanfaat bagi para pendengar kita. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Topeng Perempuan" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.