Keseimbangan antar Keluarga, Karier dan Pelayanan

Versi printer-friendly
Oleh: Yusak Timothy, M.Th

Pernahkah anda diharuskan untuk memilih? Bagaimana sikap anda dalam menentukan pilihan? Pilihan seperti apa yang akan anda ambil di dalam posisi sulit?

Karier atau keluarga, manakah yang harus diutamakan? Pilihan ini seringkali menyebabkan dilema dalam diri seseorang. Pastinya, untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga, seringkali kita harus memprioritaskan karier kita. Namun seringkali ketika pilihan yang kita ambil tersebut kita lakukan, secara tidak sadar muncul banyak masalah dalam keluarga karena kurangnya waktu yang kita luangkan untuk mengurus keluarga. Sementara itu, jika kita memfokuskan diri pada urusan keluarga, tentu kita tidak terhindar juga dari masalah pemenuhan kebutuhan keluarga yang membutuhkan dukungan keuangan yang cukup dan hanya dapat diperoleh melalui bekerja dan berkarya.

Lalu, bagaimana cara menyeimbangkan kedua hal tersebut? Karena pada faktanya, setiap orang tentu menginginkan karier yang mantap dan keluarga yang bahagia, [1]

Menyeimbangkan beberapa hal yang mempunyai skala kepentingan yang sama merupakan dilema tersendiri. Tanpa hikmat dari Tuhan, tentu dapat membuat kita salah mengambil keputusan. Keputusan yang salah akan membawa kita menuju akibat yang fatal. Dengan kata lain, keputusan yang salah akan membawa akibat yang membuat kita hidup di bawah bayang-bayang penyesalan.

Apa yang harus kita mengerti agar kita tidak menyesal di kemudian hari?

  1. Gejala Kehidupan Pasangan Muda Masa Kini
    Sebagaimana telah diketahui dalam 20 hingga 25 tahun terakhir, dapat dikatakan bahwa mayoritas pasangan suami istri yang masih muda, masing-masing sudah bekerja sejak mereka belum memutuskan untuk bersatu di dalam pernikahan.

    Faktor kesibukan bekerja pasangan muda ini sangat mungkin dan merupakan hal penting bagi mereka, sehingga harapan mereka akan kondisi yang mapan terpenuhi. Anda tentu dapat membayangkan betapa sibuknya mereka berkarier. Ditambah lagi mereka harus menghadapi masalah mobilisasi. Pasangan ini setiap harinya harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk mencapai tempat bekerja masing-masing. Perjalanan mereka diperkirakan menyita waktu antara satu sampai tiga jam sehari.

    Perlu disadari, bahwa berkarier bukan saja berharga di bidang yang digelutinya saja, tapi termasuk juga panggilan, ibadah dan pelayanan.

    Dalam kesibukan sehari-hari yang rumit itu, para pasangan muda akan memberikan berbagai alasan dan argumentasi untuk mengatakan: sulit untuk menyeimbangkan kekuatan antara Keluarga, Karier dan Pelayanan. Mereka akan berargumentasi," Bukankah kami berkarier untuk anak-anak kami juga? Agar kami dapat menyekolahkan anak di sekolah yang terbaik, agar apa yang pernah kami alami di masa kecil tidak lagi dialami oleh anak kami di masa kecil mereka?"

    Memang hal itu merupakan suatu komentar yang sangat beralasan, namun pernahkah kita sebagai orang tua berpikir untuk meluangkan waktu bersama anak-anak tersebut satu jam saja setiap hari? Kita hanya memiliki waktu bersama dengan mereka satu tahun saja sepanjang 24 tahun umur anak kita sejak mereka bayi hingga mereka lulus kuliah.

    Tanpa berkomunikasi, segala bentuk kebersamaan akan sia-sia. Didalam kebersamaan tersebut kita harus terus berkomunikasi tentang segala hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari hingga menyampaikan ajaran Alkitab kepada anak-anak, agar mereka mampu memahami bahwa TUHAN YESUS amat mengasihi mereka, sehingga Ia rela mati bagi kita semua.

  2. Perlunya merubah Paradigma yang salah.
    Sering kita terjebak dalam paradigma kita yang terbatas. Kita sering berpikir pelayanan harus dilakukan di gereja dan berkarier harus di kantor.

    Menurut Jansen Sinamo dalam bukunya, "kerja lebih dari sekadar cari nafkah, lebih dari sekadar membangun karier, pekerjaan kita memiliki misi yang lebih besar daripada itu, seperti pembangunan ekonomi bangsa,pelestarian bumi, pembangunan demokrasi dan idealisme yang agung dan besar."

    Di bagian lain ia juga mengungkapkan, sering kali kita membedakan antara satu dan ungkapan lainnya seperti berikut: "Problem utama mengapa orang tidak mampu menghayati pekerjaannya sebagai ibadah, lahir dari kenyataan bahwa seseorang terbiasa membagi dua wilayah hidupnya menjadi wilayah sakral (suci) dan wilayah profan (sekuler). Doa, sembahyang, upacara digolongkan sebagai sesuatu yang suci; sedangkan makan, minum, bekerja digolongkan sebagai bagian sekuler. Akibatnya hidup mereka terbelah, terpecah dan tidak menyatu serta tidak integral.Konsep suci lahir dari tradisi agama, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan disebut suci karena Tuhan sendiri adalah Sang Mahasuci. Jadi, karena bekerja juga adalah perintah Tuhan, maka sebenarnya pekerjaan itu pada hakikatnya menjadi suci, atau pekerjaan yang dimotivasi dan dipersembahkan untuk Tuhan menjadikan pekerjaan itu memiliki dimensi kesucian." [2]

    Bila kita mau merubah konsep atau paradigma kita tentang pekerjaan atau karier seperti yang diungkapkan di atas, penulis yakin kita akan lebih mudah mengatur keseimbangan antar keluarga, karier dan pelayanan. Kita tidak lagi terlalu menekankan ketiganya untuk berada di suatu tempat, sama seperti orang Israel yang memahami tentang beribadah pada Tuhan harus di Yerusalem saja. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa di masa Anugerah ini, beribadah dapat dilakukan di mana saja. Tidak berarti penulis menitik beratkan kita tak perlu melakukan pelayanan di gereja lagi, namun makna penting disini adalah, bila pilihan kita lebih mengutamakan keluarga dengan lebih mengfokuskan waktu kita untuk berkomunikasi dan mendidik anak, itu pun merupakan bentuk ibadah dan pelayanan kita. Bila kita masih memiliki waktu yang sedikit saja, kita juga dapat melakukan pelayanan di gereja, tetapi mungkin tidak lagi sama seperti saat kita masih muda yang mampu melakukan pelayanan di beberapa bagian sekaligus.

    Dalam satu artikel di Kompas (1997) tertulis, banyak manajer di Amerika saat ini rela kehilangan jabatan penting dan bonus di perusahaan, demi menyisihkan waktu lebih untuk anak-anak mereka. Mereka berusaha untuk pulang tidak lebih dari pukul lima sore. Beberapa kelompok orang tua di Amerika mulai menyadari arti penting menyediakan waktu bagi keluarga mereka. Lalu, bagaimana dengan kita ? [3]

    Untuk dapat mencapai keseimbangan yang baik antara keluarga, karier dan pelayanan, kita harus mampu membagi waktu kita sebaik mungkin, dengan demikian kita akan mampu mencapai harapan-harapan yang kita impikan.

  3. Bentuk Budaya Keluarga, memiliki gaya tersendiri

    Adakalanya penulis sibuk dengan karier dan juga pelayanan. Namun ada waktu tertentu yang penulis jadikan sebagai waktu untuk berkomunikasi dengan istri dan anak. Sekurang-kurangnya sebulan sekali, penulis bersama keluarga pergi keluar untuk makan bersama. Hal ini penulis lakukan untuk berkomunikasi dan menjalin persahabatan di antara keluarga. Setiap minggu penulis meluangkan waktu sebisanya untuk melakukan ibadah keluarga, saling mensharingkan berkat yang Tuhan berikan pada kami, mensharingkan pergumulan, mendengarkan Firman Tuhan dan saling mendoakan. Terkadang ada waktu tertentu dimana penulis sebagai seorang ayah memberikan pengajaran tertentu pada anak kami, membicarakan tentang Firman Tuhan, etika kehidupan, dan hal-hal lain yang bisa membantu dia mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depannya.

    Penulis menyadari, untuk dapat mencapai apa yang telah kami capai sekarang,kami tak jarang menghadapi banyak pergumulan, kesulitan bahkan kegagalan yang tidak mungkin dapat dihindari. Namun melalui semua upaya untuk mencoba, termasuk kegagalan yang terjadi (trial and error) itulah telah menolong dan mengingatkan kami untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

    Beberapa tahun terakhir ini, setelah penulis memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang hal-hal berkeluarga melalui buku, serta arahan para hamba Tuhan yang ahli di bidangnya, penulis tertolong dalam mengatur keseimbangan antara keluarga, karier dan pelayanan. Sekarang kami mampu untuk berfokus lebih baik dalam pelayanan dan karier, karena anak kami sudah memasuki usia sebagai anak muda yang diharapkan dapat lebih dewasa daripada sebelumnya. Sebagai orang tua kami berharap waktu yang terbatas dapat dimaksimalkan untuk membimbing rohani serta intelektualnya dan pemahamannya akan etika dan moral yang sesuai dengan ajaran Alkitab.

    Mungkin anda sebagai pembaca
    peperkalentera.blogspot.com dan pasangan muda di manapun anda berada, pada saat ini kita masih membutuhkan waktu yang banyak untuk belajar dan menjalani kehidupan keluarga kita. Kita harus menyadari bahwa ada yang perlu kita utamakan disamping membuat keseimbangan bagi yang lainnya tanpa mengorbankan yang faktor lainnya, sama seperti makanan empat sehat lima sempurna. Tidak mungkin kita mengikuti para penyuluh kesehatan mengatur menu yang tepat setiap harinya. Kita bisa saja menemukan menu makanan yang kurang tepat, bisa juga ada yang lebih. Contoh ini juga mewakili hidup kita, segala tindakan kita mungkin ada yang kurang antara hari ini dan hari berikutnya.

Penutup :

Jangan pernah mengulangi drama kegagalan imam Eli juga Samuel di dalam Perjanjian Lama. Karena kesibukan pelayanan dan pekerjaan mereka, sehingga mereka lalai mendidik anak-anak mereka untuk dapat mengikuti jejak sang ayah yang berhasil dalam pelayanan mereka sebagai imam maupun nabi. Amin, Tuhan memberkati !


[1] Dikutip dari bundabekerja.blogspot.com, Ir. Bambang Syumanjaya, MM, MBA,CBA

[2] Dikutip dari 8 Etos Kerja Profesional, Jansen Sinamo, (Jakarta : Institut Darma Mahardika).

[3] Dikutip dari www.pedulikonseling.or.id, Sistem Pernikahan yang sehat halaman 2, Survai Kesimbangan Keluarga dan Karir, Yayasan Peduli Konseling Nusantara.