Kecil Versus Besar

Versi printer-friendly

Oleh : Sdri. Betty Tjipta Sari

Kebanyakan dari kita bangga jika kita telah melakukan hal-hal yang dianggap besar. Hal-hal yang mengundang decak kagum, penghargaan dari orang lain, dianggap memberi pengaruh besar, atau hal-hal yang di atas rata-rata. Tapi tidak banyak dari kita bangga karena melakukan hal-hal kecil. Memang demikianlah sifat manusia. Dalam film "Devil Advocates" digambarkan iblis selalu menggoda si tokoh (Keanu Reeves) agar jatuh dalam dosa dan ada di bawah kuasanya. Si tokoh digambarkan dapat mengalahkan godaannya. Namun di bagian akhir kembali si iblis berusaha mencobainya dan seakan-akan si tokoh utama akan masuk dalam jeratnya. Lalu si iblis bergumam pada penonton "Dignity is my favorite sin". Merasa diri berharga dapat menjadi pintu masuk pertama untuk menjerat manusia dalam dosa. Iblis pun ingin menjadikan dirinya paling berharga sehingga memberontak pada Tuhan. Manusia memilih makan buah terlarang karena tergoda iming-iming ‘akan menjadi sama seperti Allah, tahu yang baik dan yang jahat’. Karena luka di bagian ‘dignity’ inilah juga kemudian muncul berbagai masalah psikologi, konflik antar manusia dan berbagai perjuangan mementingkan diri sendiri.

Jadi semangat dunia yang berdosa adalah semangat untuk menjadi yang paling penting, paling berharga, paling mulia, atau paling utama. Sebuah semangat yang sama sekali berseberangan dengan semangat peristiwa inkarnasi Yesus Kristus menjadi manusia. Dia yang adalah Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Mulia, Maha Segalanya, justru menjadikan diri-Nya kecil untuk manusia yang berdosa dan tak berharga. Peristiwa Natal adalah sebuah contoh paling nyata dan paling agung akan sebuah kerelaan untuk menjadi kecil, melakukan hal yang bagi dunia dianggap hina atau rendah, tapi dengan kasih yang maha besar.

Mother Teresa terkenal dengan ucapannya, "Sebaiknya kita memohon kepada Tuhan agar kita diberi kemampuan untuk melakukan hal-hal kecil namun dengan kasih yang besar, dan bukan hal-hal besar namun dengan kasih yang kecil". Namun bukankah jauh lebih mudah mengejar hal besar tanpa berjuang untuk mengasihi, daripada melakukan hal kecil dengan kasih melimpah? Banyak orang sukses dalam karier, dalam prestasi, dalam berbagai pencapaian, namun gagal sukses dalam kariernya untuk mengasihi keluarga, sahabat, rekan kerja, tetangga, teman gereja dan sesamanya yang lain. Ternyata jauh lebih sulit melakukan hal sepele dengan kasih yang besar.

Aku sendiri harus mengakui bahwa melakukan hal-hal sepele dengan kasih besar pun tidak mudah untuk aku lakukan. Pada waktu aku mengunjungi Bangsal paling parah di Panti Asih Pakem, aku belajar tentang betapa sulitnya hal ini. Di bangsal di mana para penghuninya adalah mereka yang mengalami kelambatan mental paling parah (IQ di bawah 30), aku melihat sebuah tindakan kasih yang begitu besar dari orang-orang yang begitu sederhana dan setia. Setiap hari para perawat dan pendamping di sana melayani orang-orang yang bahkan tidak dapat makan, mandi, mengganti pembalut wanita, atau memakai pakaiannya sendiri. Setiap kebutuhan mereka harus dipenuhi oleh perawatnya. Mereka bergantung 100% kepada orang lain. Beberapa di antara pasien tersebut bahkan sudah ditinggalkan keluarganya, tidak diakui sebagai anak, tidak pernah ditengok dan dilupakan keluarganya. Tapi para perawat yang mengabdi belasan hingga puluhan tahun ini mengerjakan hal yang sama setiap hari; memandikan, memakaikan baju, menyuapi makanan, menolong mereka untuk membuang air, bahkan menolong mereka saat haid dan menggendong mereka yang tidak dapat berjalan sendiri. Para perawat ini hanya menerima gaji yang sangat kecil, yang bahkan untuk makan untuk dirinya sendiri pun tidak cukup. Mereka mencari penghasilan tambahan dengan berkebun atau lainnya. Waktu aku bertanya, apa yang membuat mereka bertahan dan tidak mencari pekerjaan lain. Jawabannya sangat sederhana, "Saya tidak dapat meninggalkan mereka Mbak.. Mungkin ini sudah panggilan hati saya ya". Mereka merasa bahwa mereka dipanggil untuk melayani para pasien ini mandi, berpakaian, menyuapi makan, menggendong mereka setiap hari. Apakah rasanya pekerjaan spektakuler yang berpengaruh besar dalam masyarakat? Mereka belum pernah menerima penghargaan Nobel atau lainnya. Bahkan kita pun mungkin tidak pun tidak ingin melakukannya karena tidak ada penghargaan apa pun yang didapat. Tidak ada gaji, kenaikan pangkat, tidak ada piala, atau kartu-kartu ucapan selamat, tidak ada wawancara dengan wartawan, tidak ada apresiasi apa pun! Lebih parah lagi, bahkan orang yang mereka mandikan, suapi dan layani tiap hari pun belum tentu ingat nama mereka, tidak dapat mengucapkan satu kata saja untuk bilang terima kasih dan hanya dapat berteriak tanpa arti jika senang atau sedih. Mereka tidak pernah tahu bahwa apa yang mereka kerjakan itu berarti atau tidak bagi orang lain, apakah orang menghargai atau tidak dan apakah orang berterima kasih dan peduli atau tidak. Mereka hanya melakukannya karena merasa bahwa Tuhan memanggil mereka untuk melakukannya dengan kasih, titik.

Dalam kunjungan kami itu, seorang teman memiliki hikmat untuk menghargai mereka, memberi hadiah Natal untuk mereka dan bukan pasien yang tinggal di Panti Asih. Teman itu berpendapat bahwa banyak orang memberi sumbangan untuk anak-anak yang mentally retarded, tapi jarang yang memberi untuk para perawat. Tidak banyak orang yang melihat mereka. Lalu itu pun yang kami kerjakan, memberi mereka hadiah dan mengungkapkan terima kasih dan penghargaan karena dari mereka kami belajar apa arti mengasihi tanpa syarat. Reaksi mereka adalah mereka terharu dan kaget karena tidak menyangka ada orang yang mau menghargai mereka. Mereka bersuka cita luar biasa hanya karena sebuah kado yang isinya hanya sabun mandi dan handuk kecil dari para mahasiswa yang memang tidak kaya. Dalam hal ini bukan hadiahnya yang hanya berharga sekian ribu rupiah dalam bingkisan Natal dari para mahasiswa yang berharga, namun kasih yang ditaruh dalam bingkisan itu.

Tindakan kecil dari kasih mungkin seolah tidak memberi pengaruh apa pun pada dunia, selain pada orang yang menerima kasih tersebut. Tapi orang yang pernah menerima kasih, akan dimampukan untuk mengasihi, dan kemudian makin banyak orang yang mampu mengasihi. Demikian cara kerja kasih; pelan namun pasti membawa perubahan. Ini juga cara yang dipilih Tuhan Yesus. Misinya di dunia adalah kayu salib, lalu selanjutnya diteruskan murid-muridnya secara estafet hingga sekarang dengan pertolongan Roh Kudus. Kita dipanggil untuk mengasihi dengan cara yang sama, mulai dari setia dalam hal kecil dengan kasih yang besar pada Tuhan dan sesama.

"Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius 25:40)