Copet Cantik di Roma

Versi printer-friendly
oleh Sdri. Betty Tjipta Sari

Rasanya cukup beruntung dapat mengunjungi kota Roma. Pertama kali aku pergi ke Roma karena ada teman lama yang kebetulan baru pindah ke Roma bersama keluarganya. Mengunjungi teman baik sekaligus melancong ke kota tua yang menyimpan banyak sejarah kekristenan Barat rasanya adalah kombinasi yang sempurna. Terlebih lagi dengan adanya penerbangan murah Ryan Air dari kota Eindhoven (asal bukan musim libur dan bukan weekend) aku cuma perlu membayar 70 euro untuk perjalanan pulang-pergi. Selain itu, aku tidak perlu menghabiskan dana untuk membayar tempat menginap karena bisa menginap di rumah teman. Untuk bepergian di dalam kota Roma, paling mudah menggunakan kereta api bawah tanah. Jika ingin mengunjungi Koloseum, gereja makam bawah tanah, dan satu atau dua museum lain, akan lebih murah jika kita membeli kartu Roma-pass di bandara untuk 3 hari tiket kereta (tak terbatas) dan beberapa museum utama. Namun untuk jika hanya ingin 1-2 hari tinggal di Roma dan hanya ingin mengunjungi Koloseum, Vatikan dan Gereja Santo Paulus tidaklah perlu membeli kartu Roma-pass, karena tidak ada biaya masuk untuk Vatikan dan gereja-gereja lain.


Roma adalah salah satu kota yang aku sukai. Indah dan menarik karena menyimpan banyak sejarah dan cerita tentang rasul-rasul. Namun sayangnya Roma bukanlah kota yang cukup aman untuk para turis karena banyak copet dan pedagang yang kurang tertib. Bukan hanya teman yang mengatakan untuk berhati-hati dengan dompet, tapi juga staff untuk mahasiswa internasional di universitasku juga berulang kali memberi saran untuk berhati-hati jika bepergian ke Italia atau Spanyol karena mahasiswa sering kehilangan surat/kartu ijin tinggalnya yang disimpan di dompet saat bepergian ke Italia atau Spanyol.


Salah satu pengalaman yang kurang menarik dalam kunjungan pertamaku di Roma adalah ketika mengunjungi Koloseum. Di sekitar Koloseum, kita akan dengan mudah menemukan pria-pria Itali yang gagah perkasa yang mengenakan kostum prajurit Roma kuno. Mereka akan dengan ramah menyapa turis dan mengajak para turis berfoto bersama mereka. Dari cerita dan pengalaman teman-teman yang lain, aku tahu bahwa yang mereka tawarkan bukanlah foto gratis. Jadi ketika mereka mendekatiku, aku bertanya berapa harga yang harus kubayar untuk berfoto bersama mereka. Namun para pria itu malah bergurau dan mengatakan mungkin 1 juta euro, yang lain mengatakan jangan khawatir dengan pembayaran, dan tanpa kusadari salah satu teman sudah mengambil gambar dengan kameranya. Dan tentu saja para prajurit itu pun dengan bersemangat segera mengambil pose. Terbawa oleh keadaan, aku pun ikut berfoto dan lupa akan usahaku untuk memastikan berapa harga yang harus kubayar. Setelah tertawa-tawa, tiba-tiba kening kami berkerut karena mereka meminta 20 euro untuk masing-masing ‘prajurit gadungan’ yang ikut berfoto bersama kami. Kami mencoba menawar, tapi mereka ngotot. Jadi tawa kami pun berubah menjadi penyesalan. Bayangkan saja, kami harus membayar 80 euro untuk 4 orang prajurit gadungan itu. Langsung saya berpikir, "Gila nih orang mahalnya ngga ketulungan, masa harga foto lebih mahal dari harga tiket pesawat pulang-pergi dari Belanda ke Roma??"


Pengalaman buruk lain adalah dalam kunjungan ketigaku di Koloseum. Saat itu aku mengantarkan beberapa saudara dari Indonesia yang ingin berlibur di Eropa. Itu adalah pertama kali mereka di Eropa, dan aku sudah berpesan supaya mereka berhati-hati dengan para prajurit gadungan itu dan copet di kereta bawah tanah atau di tempat wisata. Tak ada kejadian buruk hingga kami beranjak keluar dari Koloseum. Karena bulan itu adalah bulan liburan musim panas di Eropa, maka Koloseum pun penuh dengan turis dan kami harus berjalan dalam antrian untuk keluar maupun masuk museum dan bersenggolan dengan orang-orang lain pun tentu bukan hal yang istimewa. Namun, aku merasa senggolan dari belakangku bukanlah senggolan biasa, karena aku merasa tasku yang disenggol. Ketika aku menengok tas-ku, aku melihat tangan yang mencoba membukanya. Spontan aku menoleh ke belakang dan setengah berteriak berkata, "What are you doing??" (Sedang apa kamu?). Tapi kekagetanku bertambah besar karena yang kuteriaki adalah wanita cantik dengan topi dan baju trendi yang menjawab teriakanku dengan senyum paling manis yang dia bisa berikan. Mataku langsung melotot tapi bukan karena marah tapi karena perasaan heran luar biasa. Segera aku coba untuk mengambil telepon genggam dari tas untuk memotret wanita cantik itu, karena entah mengapa ada ide untuk meng-up load foto dia di face book dan memberi judul foto itu "Copet cantik di Roma". Namun baru saja aku hendak bersiap dengan kamera telpon genggamku, wanita itu sudah tak terjangkau lagi oleh pandanganku. Aku hanya dapat memandangi punggung dan kakinya yang berjalan anggun meninggalkan kerumunan ke arah lokasi yang tersembunyi (dan mudah menemukannya di Koloseum karena banyaknya pilar dan lorong). Hmm..makin saja aku terkagum-kagum akan keahliannya untuk bersikap tenang dan beranjak cepat namun tanpa tergesa.


Ternyata Roma di jaman Paulus maupun Roma sekarang tetap sama, meskipun jauh setelah kematian Rasul Paulus dan Petrus di Roma, Roma telah menjadi pusat gereja Katolik. Kota yang megah ini tetap menarik banyak orang dari segala ujung dunia, namun juga dipenuhi oleh orang yang memanfaatkan pengunjung asing untuk mengeruk keuntungan. Bahkan menarik keuntungan dari mereka yang ingin beribadah sekalipun. Orang bisa berdoa pada Tuhan di dalam gereja, dan setelah keluar dari gereja melakukan tindakan yang merugikan turis asing. Memang menyerahkan hidup kepada Yesus itu berbeda dari sekadar menjadi dan mengaku Kristen. Meskipun Kristen artinya adalah pengikut Kristus, banyak orang menyebut dirinya Kristen tanpa mengikuti cara hidup Kristus.


Tapi tunggu sebentar… rasanya aku sendiri pun sebenarnya tidak berani mengatakan bahwa hidupku sudah sepenuhnya mencerminkan cara Kristus hidup. Jadi, apa dong bedanya aku dengan pencopet cantik tadi? Tentu saja aku tahu bahwa kami sama-sama cantik ?dan sama-sama berdosa. Well… aku pikir yang berbeda hanyalah karena aku menerima anugerah Tuhan dalam Kristus. Dalam anugerah ini, aku yang berdosa dimampukan untuk menang dari dosa bukan karena aku bisa menang dari dosa, tapi karena Yesus yang mengasihiku mau mati untuk menggantikan aku dalam hukuman mati sehingga aku bisa hidup bagi Tuhan Allah. Dalam anugerah ini, meskipun terkadang aku gagal untuk berpikir, merasa dan bertindak seperti Kristus, selalu ada kesempatan untuk mencoba dengan kekuatan yang baru dari Roh Kudus. Jadi aku dan Roh Kudus menjadi anggota sebuah team yang bertugas untuk membuat batin rohaniku bertumbuh ke arah kesempurnaan Kristus. Sekarang aku tidak sempurna, namun dalam anugerah-Nya aku disempurnakan dan akan menjadi sempurna.


"Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup,

melainkan Kristus yang hidup di dalamku.

Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku". (Galatia 2:20)