Arti Melayani

Versi printer-friendly

Dalam sebuah cerpennya, Leo Tolstoy menceritakan seorang anak petani miskin yang sepanjang hidupnya bekerja untuk melayani sebagai pembantu, dimulai membantu ayahnya, kemudian membantu di tempat tuannya yang kaya. Hingga akhir hidupnya dia selalu mengerjakan pekerjaannya dengan gembira dan tidak pernah mengeluh. Satu-satunya yang pernah membuat dia sedih adalah tidak dapat menikahi gadis yang dia cintai, karena dilarang oleh tuannya yang merasa dirugikan dengan pernikahan itu dan ayahnya yang takut bahwa pemasukan dari anaknya akan hilang jika anaknya menikah. Pada akhirnya pemuda miskin ini meninggal dengan tenang, meskipun sepanjang hidupnya selalu miskin dan diperas oleh orang lain. Karena dia menganggap melayani adalah panggilan hidupnya dan dia melakukan dengan ucapan syukur dan sukacita.

Cerita itu adalah sindiran terhadap sikap orang-orang yang punya kuasa yang sewenang-wenang sekaligus pujian terhadap hati seorang hamba yang tulus dan mulia. Seharusnya sikap ini tidak hanya dimiliki oleh pemuda miskin yang menjadi pelayan tersebut, namun seharusnya juga dimiliki semua orang Kristen baik yang kaya maupun miskin, majikan maupun hamba, ayah maupun anak. Gaya hidup melayani seharusnya menjadi bagian keseharian, seperti pemuda miskin tersebut melayani orang-orang lain dengan sukacita karena melihat itulah panggilan hidupnya. Dia melayani keluarganya, majikannya, teman-teman sekerjanya, meskipun dia tidak pernah menerima uang dari pekerjaannya, karena uang gajinya selalu diambil oleh ayahnya.

Orang kaya dapat menjadi tokoh di gereja dan melakukan banyak ritual agama, tapi sesungguhnya itu adalah pelayanan semu, yang hampa karena tidak ada hati yang melayani di dalamnya. Pelayanan pemuda miskin tadi, meskipun tidak dilakukan di gereja adalah pelayanan yang tulus karena muncul dari hati hamba yang mulia. Bukankah Alkitab menuliskan “lakukanlah segala sesuatu seperti untuk Tuhan”, dan itulah pelayanan sejati kepada Tuhan. Selamat melayani! (BTS)