Tuhan Memakai Orang Minder
Oleh: Pdt. Nancy R. Timisela *)
Siapa yang tidak kenal dengan Nick Vujicic? Seorang disabilitas yang dilahirkan tidak memiliki tangan dan kaki. Nick lahir di Australia pada tahun 1982. Sekalipun Nick dilahirkan sebagai manusia yang tidak memiliki tangan dan kaki namun dia tidak melihat dirinya sebagai seseorang yang tidak memiliki tangan dan kaki. Nick telah meraih gelar sarjana di -- Financial Planning dan Accounting-, kemudian mendirikan Yayasan Sosial -- Life Without Limbs -- dan telah mengunjungi lebih dari 40 negara di dunia untuk memberikan ceramah motivasi secara langsung dengan menampakkan dirinya di depan umum. Nick telah menjadi berkat bagi banyak orang justru melalui keterbatasannya yang mungkin bagi sebagian besar orang kondisi Nick (tidak memiliki tangan dan kaki) adalah sebuah kutukan. Sebuah pernyataan Nick yang sangat baik yaitu: -Jika kita melihat kedalam hidup kita dan berkonsentrasi kepada hal-hal yang tidak kita punya atau yang kita harapkan, maka itu tidak akan mengubah keadaan. Kenyataannya ialah kita harus memfokuskan diri pada apa yang kita punya dan melakukan sebaik-baiknya.- Dan Nick berhasil menunjukkan bukti dari dirinya, ia tidak berfokus kepada tangan dan kaki yang tidak dimilikinya tetapi dia memfokuskan diri kepada akal budi, iman dan kasih yang dimilikinya, yang pada akhirnya dia dapat menjadi berkat bagi banyak orang.
Pertanyaannya: Apakah salah jika kita fokus dan berkonsentrasi kepada apa yang tidak kita miliki dan harapkan? Bukankah jika kita fokus, kemudian berjuang dan bekerja keras maka pasti kita akan memeroleh apa yang kita harapkan? Tentu saja bukan pada benar atau salah, karena berjuang untuk apa yang tidak kita miliki kemudian mendapatkannya maka tentu saja akan menggembirakan dan memuaskan diri kita. Namun satu hal yang harus kita ingat adalah apakah dengan berfokus kepada apa yang tidak kita miliki maka hidup kita akan jauh lebih baik? Jawabannya adalah belum tentu juga karena berfokus kepada apa yang tidak kita miliki dapat menjadi sebuah tindakan spekulasi, bisa berhasil dan bisa juga tidak berhasil. Sebaliknya ketika kita berfokus kepada apa yang sudah kita miliki maka kemungkinan besar kita akan berhasil. Mengapa? Karena dengan berfokus kepada apa yang sudah kita miliki akan menolong kita menjalani hidup lebih ringan artinya kita tidak menjalani hidup dibawah tekanan dari apa yang tidak kita miliki atau harapan-harapan kita yang idealis.
Hal inilah yang juga dilakukan oleh Hana. Hana berfokus kepada apa yang dimilikinya yaitu suami, iman dan terutama Tuhan semesta alam. Sebagaimana kita ketahui, Hana adalah seorang wanita yang bersuami. Tentu saja adalah hal yang sangat wajar sebagai seorang wanita yang bersuami maka Hana mengharapkan memeroleh seorang anak. Hal ini tentu saja tidak salah, mengharapkan keturunan yang lahir dari kandungannya sendiri. Namun Alkitab mencatat bahwa Tuhan telah menutup kandungan Hana, artinya mandulnya Hana berdasarkan kehendak Tuhan sendiri. Dan apa akibatnya? Penina (istri kedua suaminya) selalu menyakiti hatinya, membuatnya gusar dan bersedih. Kondisi ini tentu saja sangat tidak mudah dan menyesakkan hati. Dan saya yakin tidak ada seorang istri di dunia ini yang mau diduakan oleh suaminya. Hana menghadapi pergulatan emosi dan tekanan batin yang pasti sangat berat, sampai-sampai Hana tidak mau makan (1 Samuel 1:7). Saya bisa memperkirakan tangisan Hana bukan saja karena ia tidak memunyai anak, namun juga karena harga dirinya hancur, kasihnya tercederai oleh suaminya yang beristri dua, sehingga ia sangat bersusah hati, cemas dan gusar. Dan kemungkinan besar pergumulan yang sangat berat tersebut membuat iman Hana teruji apakah tetap meyakini janji-janji Tuhan yang selama ini dipegangnya bahwa Tuhan adalah Allah yang memerhatikan sengsara, tidak melupakan dan selalu mengingat hamba-hamba-Nya. Hal ini terlihat dari nazar yang Hana ucapkan. Seolah-olah Hana ingin membuktikan kepada orang-orang dan tidak terkecuali kepada dirinya sendiri bahwa Allah tetap bisa dipercaya. Sebagai wanita, Hana menunjukkan sifat-sifat manusiawinya yaitu sedih, kecewa, gusar, bersusah hati oleh sebab kondisi dirinya yang tidak memiliki anak namun melalui frasa -- Biarlah hambamu mendapat belas kasihan daripadamu -- menunjukkan ketundukan diri Hana sebagai hamba (1 Samuel 1:18). Sekalipun kalimat ini ditujukan kepada imam Eli namun dapat dikatakan imam Eli adalah representasi kehadiran Allah di dunia ini. Dengan kata lain Hana memang sedih dan kecewa tidak mendapatkan apa yang diharapkannya tetapi dia tetap berfokus kepada kedaulatan Allah. Allah yang berdaulat atas hidupnya, Allah semesta alam, itulah yang dimilikinya. Dan seperti yang sudah kita ketahui, ketika Hana berfokus kepada Allah maka apa yang diharapkannya itulah yang terjadi. Hana tidak saja mendapatkan Samuel tetapi melahirkan lagi tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan.
Saudara, kiranya melalui firman Tuhan ini kita belajar untuk memfokuskan waktu, pikiran dan tenaga untuk mendayagunakan apa yang kita punya sehingga kita dapat mewujudkan tujuan Tuhan dalam hidup kita. Ada dua kebenaran yang penting untuk kita pegang bahwa pertama, Tuhan pasti memerlengkapi setiap orang untuk berdampak bagi dunia ini. Kedua, satu waktu kelak dan itu pasti Tuhan akan meminta pertanggungjawaban dari kita untuk apa yang sudah dipercayakannya. Pertanyaannya, sudahkah kita mendisiplinkan diri menggunakan segala sesuatu yang Tuhan percayakan kepada kita? Akhirnya, ingatlah bahwa hidup yang diberikan-Nya jauh lebih berharga dari semua apa yang tidak sempat kita -- cicipi -- di dunia ini. Amin.
Pada tanggal 14 Maret 2022 yang lalu, Telaga Kehidupan menginjak usia yang ke-2. Tentu 2 tahun perjalanan pelayanan yang dilakukan Telaga Kehidupan semata-mata dapat berjalan karena penyertaan Tuhan yang nyata. Sebagai ucapan syukur atas penyertaan Tuhan tersebut, Telaga Kehidupan mengadakan webinar dengan mengangkat tema, -Healthy Boundaries in Marriage-(Batasan Yang Sehat Dalam Pernikahan) dengan pembicara Ibu Enny Dewi, S.E., M.Th.melalui media zoom.
Walaupun peringatan HUT Telaga Kehidupan ini dilakukan secara daring, tetapi tidak mengurangi rasa syukur dan sukacita kepada Tuhan. Acara dimulai dengan salam dari moderator, ibu Anita Sieria, S.Sos., M.Th.Konseling, dan dilanjutkan dengan mengajak para peserta webinar menaikkan pujian -- Great is Thy Faithfulness.- Lagu ini menggambarkan bagaimana anugerah Tuhan saja yang memampukan Telaga Kehidupan melangkah dalam iman untuk melakukan setiap pelayanan yang ada selama 2 tahun ini.
Setelah itu, Bapak Gunawan Santoso sebagai Ketua dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen) memberikan kata sambutan. Beliau menyampaikan bahwa selama 2 tahun perjalanan pelayanan Telaga Kehidupan tidak mudah karena Telaga Kehidupan hadir di tengah kondisi pandemi. Tetapi Tuhan memakai Telaga Kehidupan untuk melayani jiwa-jiwa yang membutuhkan uluran tangan. Hal senada juga disampaikan oleh Ibu Sri Wahyuni, M.Div., M.K., selaku Ketua dari Telaga Kehidupan dalam sambutannya. Ibu Sri Wahyuni juga memperkenalkan model pelayanan yang dikerjakan oleh Telaga Kehidupan, mulai dari konseling, Bina Iman Anak, hingga edukasi dalam Instagram dan YouTube. Sebelum memulai webinar, doa pembukaan dan ucapan syukur disampaikan oleh Ibu Sri Wahyuni.
Kemudian acara HUT ke-2 Telaga Kehidupan dilanjutkan dengan sesi penyampaian materi yang disampaikan oleh ibu Enny Dewi. Beliau membuka materinya dengan mengutip penjelasan dari Henry Cloud tentang batasan yakni, setiap manusia memiliki property line (batasan yang digambarkan seperti sebuah kotak). Kotak tersebut merupakan sebuah batasan yang orang lain tidak seharusnya melewatinya. Apabila dua orang menikah, mereka tetap memiliki batasan masing-masing. Batasan menyatakan kepemilikan, proteksi, tanggungjawab dan kebebasan. Inilah yang menjadi penekanan dalam webinar kali ini, bahwa menikah bukan berarti meniadakan batasan pribadi.
Pertanyaan -- Hal-hal apa saja yang perlu memiliki batasan dalam hidup?- memulai pembahasan dari materi yang ada. Ibu Enny Dewi memberitahukan bahwa setidaknya ada lima hal yang perlu memiliki batasan dalam hidup yakni, perasaan, tindakan (respons), pikiran dan kehendak, waktu, serta kemampuan (sesuatu yang mampu dilakukan tetapi tidak harus). Kelima hal ini perlu untuk diperhatikan oleh masing-masing orang dalam menentukan batasan hidup mereka.
Namun, dalam kenyataannya sulit bagi kebanyakan orang untuk dapat memertahankan batasannya karena harus berelasi dengan orang lain yang mungkin memiliki batasan diri yang berbeda dengan mereka. Oleh sebab itu, perlu bagi setiap orang untuk berkompromi/bertoleransi atas batasan yang mereka miliki. Hendry Cloud dalam bukunya -- Bounderies-, mengatakan bahwa mengalah bukan berarti kalah. Jadi, ketika seseorang belajar berkompromi atas suatu hal dalam batasan mereka, bukan berarti mereka membiarkan orang lain melewati batasan mereka begitu saja melainkan mereka belajar untuk memahami orang lain dan begitu sebaliknya.
Ibu Enny Dewi melanjutkan penjelasannya dengan mengutip Roma 14:12, -Demikianlah diantara kita setiap orang akan memberi pertanggunganjawab tentang dirinya sendiri kepada Allah.- Ayat ini ingin memberitahukan bahwa setiap orang bertanggungjawab atas diri mereka sendiri di hadapan Tuhan. Oleh sebab itu, ketika dalam pernikahan didapati bahwa pasangan tidak memunyai Batasan, maka perlu untuk melakukan beberapa hal guna relasi yang sehat dalam pernikahan dapat tercipta.
Ibu Enny Dewi menyampaikan setidaknya empat hal yang dapat dilakukan ketika memiliki pasangan dalam pernikahan yang tidak memiliki batasan, yakni:
- Sadari (Aware), berusaha mengenali property apa saja yang diri sendiri miliki (hak, kemampuan, pikiran, mimpi, emosi, waktu dan sebagainya) supaya tidak dirusak oleh pasangan. Aware ini dapat dilakukan dengan self talk guna menyadari apa yang sedang dirasakan dan dialami oleh diri sendiri.
- Nyatakan dengan jelas (clear), apa yang diri sendiri inginkan. Hal ini supaya tidak lagi terjadi penafsiran yang berujung pada kesalahpahaman.
- Berani ambil tindakan (brave to take action), berani untuk mengambil langkah konkret, seperti berani berkata -- tidak -- ketika memang tidak menginginkan sesuatu.
- Ambil dukungan (get support), mencari orang-orang yang dapat mendukung dalam hal positif. Keempat hal ini sadari, nyatakan dengan jelas, berani ambil tindakan dan ambil dukungan perlu dilakukan dalam sebuah pernikahan yang tidak memiliki batasan sehat supaya masing-masing pasangan mampu mengasihi tanpa pamrih (tulus) satu dengan lainnya.
Di akhir dari materinya, Ibu Enny Dewi menutup dengan sebuah ayat Alkitab dari 1 Yohanes 4:18, "Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan, sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut ia tidak sempurna di dalam kasih." Ayat ini menggambarkan bagaimana batasan yang sehat tidak takut berelasi dan dapat membuka diri dengan pasangan.
Setelah materi selesai disampaikan, sesi tanya jawab dibuka dan terdapat beberapa pertanyaan yang masuk:
- Mengapa terdapat orang yang tidak memiliki batasan? Ibu Enny Dewi menjawab bahwa batasan paling penting dibentuk dari sejak masa anak-anak. Kemungkinan besar orang yang tidak memiliki batasan sewaktu masa anak-anak tidak menerima batasan atau lebih besar negosiasi dibandingkan dengan disiplin atau batasan yang diberikan oleh orang tuanya. Selain itu, ketika pada masa anak-anak mereka tidak merasa aman (dikasihi, dipercaya), maka itu berpengaruh pada masa dewasa mereka. Mereka dapat menjadi orang yang penakut (takut tidak dikasihi, takut terpisah dengan orang lain, bergantung kepada orang lain atau orang lain tidak diperbolehkan mengatur dirinya).
- Bagaimana jika mendapatkan pasangan yang bertolak belakang dengan kita? Bagaimana caranya untuk berkompromi? Ibu Enny Dewi mengatakan bahwa biasanya memang pasangan memiliki sifat yang bertolak belakang satu dengan yang lain. Dalam hal berkompromi, sebenarnya tidak bergantung dari sifat, tetapi lebih kepada keamanan. Jadi pasangan yang memiliki sifat bertolak belakang pun bisa berkompromi. Namun perlu disadari bahwa, “saya tidak harus mendapatkan/mengutamakan keinginan saya.” Dalam berelasi, perlu belajar untuk menyangkal diri, sehingga kompromi dapat berjalan dengan ketersalingan. Hal ini seperti yang Rasul Paulus katakan bahwa kita hendaknya mendahulukan kepentingan bersama/orang lain. Tetapi, ini kembali lagi kepada perlunya menyadari property apa saja yang kita miliki, sehingga dapat berkompromi dengan tepat.
- Bagaimana muda-mudi dapat mengenal batasan pasangan padahal belum menikah? Ibu Enny Dewi mengatakan bahwa kunci utama untuk mengenal pasangan adalah melalui komunikasi, demikian juga dengan mengenal batasannya. Melalui komunikasi, kita dapat mengetahui batasan yang dimiliki oleh pasangan. Apabila pasangan selalu berkata “iya” maka dapat dipastikan bahwa dia tidak memiliki batasan. Jika dalam relasi yang ada tidak pernah terjadi konflik, maka perlu juga dipertanyakan sebab itu menandakan tidak ada batasan. Ketika dalam berelasi pasangan kita dapat menjadi diri sendiri dan berani untuk menolak, itu menandakan batasan yang jelas dalam sebuah relasi.
Acara ini kemudian ditutup dengan ‘closing statement’ dari Ibu Enny Dewi dengan mengutip hukum yang utama dan terutama yang diajarkan oleh Yesus dari Matius 22:37-39 demikian, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Mengasihi Allah memampukan dan menolong manusia untuk mengasihi orang lain. Dan sebelum mengasihi orang lain, perlu untuk mengasihi diri sendiri, menerima diri apa adanya, sehingga dapat menghargai orang lain dan membangun batasan yang sehat, khususnya dalam relasi suami-istri.
Acara ini diliput oleh Ibu Maria Metta Saraswati, S.Th.,
salah seorang guru program Bina Iman Anak
Kita tidak dilahirkan sama. Ada yang memunyai banyak kesanggupan; ada yang memunyai sedikit kesanggupan. Ada yang memunyai kemampuan tinggi; ada yang memunyai kemampuan rendah. Perbedaan ini berasal dari Tuhan dan bukan merupakan kesalahan. Namun pada kenyataannya kita—yang berkemampuan sedikit dan rendah—merasa minder. Kita pun menyimpulkan bahwa kita adalah warga kelas dua di dalam keluarga Tuhan. Dan, Tuhan tidak terlalu memerlukan kita. Anggapan ini keliru sebab Tuhan memakai orang yang minder sama seperti Ia memakai orang yang percaya diri. Mari kita melihat dua contoh di Alkitab dan mengkontraskannya.
Musa
Sewaktu Tuhan memanggil Musa dan memintanya untuk membawa Israel keluar dari Mesir, ia menolak. Musa beralasan, -Ah, Tuhan. Aku ini tidak pandai bicara, dahulu pun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mu pun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah- (Keluaran 4:10). Perhatikan jawaban TUHAN pada ayat berikutnya, -Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta; bukankah Aku, yakni TUHAN?- Tuhan ingin mengutus Musa melakukan pekerjaan-Nya tetapi Musa menampik sebab ia merasa minder. Ia tidak merasa berkemampuan cukup untuk melakukan tugas itu. Jawaban Tuhan menegaskan bahwa Tuhan tahu kondisinya — sulit bicara — sebab Tuhanlah yang membuatnya seperti itu. Singkat kata, keterbatasan Musa berbicara bukanlah sebuah kesalahan penciptaan; Tuhan memang mendesainnya seperti itu. Kendati Musa minder, Tuhan tetap memanggil dan akhirnya mengutusnya. Selama 40 tahun Tuhan memakai Musa memimpin Israel keluar dari Mesir. Keminderan Musa tidak menghalangi Tuhan memanggil dan memakainya; keterbatasan Musa tidak merintanginya melaksanakan dan menggenapi pekerjaan Tuhan.
Saul
Raja pertama Israel adalah Saul. Ia tidak pernah mencalonkan diri, bahkan ia tidak tahu bahwa Tuhan memilihnya menjadi raja. Nah, sewaktu Tuhan ingin menetapkan pilihan-Nya, ternyata Saul takut. Ia malah lari dan bersembunyi di antara barang-barang (1 Samuel 10:21-22). Ini menandakan bahwa Saul minder. Sama seperti Musa, ia pun merasa tidak mampu melakukan tugas yang Tuhan embankan kepadanya—memimpin Israel. Namun Tuhan tidak mengurungkan niat-Nya; Ia tetap memanggil Saul dan menetapkannya menjadi raja. Tuhan memakai Saul yang minder.
Sekarang marilah kita mengkontraskan keduanya dan menarik beberapa pelajaran.
- Dapat kita simpulkan bahwa perbedaan utama di antara keduanya adalah, Musa adalah seseorang yang sedikit bicara, banyak berbuat. Sedang Saul adalah kebalikannya, banyak bicara, sedikit berbuat. Pada akhirnya kita dapat melihat bahwa Musa melakukan begitu banyak hal buat Tuhan sedang Saul tidak. Jadi, bagi kita yang merasa minder, gunakanlah kesempatan yang diberikan Tuhan sebaik-baiknya. Berbuatlah sebanyak-banyaknya dan jangan menghitung-hitung imbalannya. Bersedialah untuk mengorbankan kepentingan pribadi dan mengedepankan kepentingan orang. Jadi, kita yang minder: UTAMAKANLAH PERBUATAN!
- Perbedaan kedua antara keduanya adalah Musa jauh lebih banyak taat ketimbang tidak taat, sedangkan Saul lebih banyak tidak taat daripada taat. Apa yang Tuhan perintahkan, Musa kerjakan; sebaliknya, apa yang Tuhan perintahkan, Saul tidak kerjakan. Tidak heran, Tuhan memakai Musa dan tidak memakai Saul. Dari sini kita dapat menarik satu pelajaran lagi yakni jangan sampai keminderan menghalangi ketaatan kita. Minder pada kemampuan sendiri seharusnya mendorong kita untuk percaya dan berserah pada kemampuan Tuhan. Jadi, kita yang minder: UTAMAKANLAH KETAATAN!
- Perbedaan ketiga di antara keduanya adalah Musa siap meletakkan tampuk kepemimpinannya dan menyerahkannya kepada orang yang bukan anaknya sendiri—Yosua. Sebaliknya, Saul tidak siap. Mati-matian ia menolak pilihan Tuhan atas Daud sebab ia menginginkan putranya Yonatan untuk menggantikannya. Dari sini kita dapat menarik satu pelajaran lagi yaitu jangan biarkan keminderan membuat kita gelap mata dan haus kuasa. Ya, betapa sukarnya bagi kita yang minder untuk melepaskan kuasa di tangan. Sesungguhnya, kita yang minder merasa tidak memunyai kuasa atau pengaruh apa pun. Itu sebab begitu memunyai kuasa, kita tidak mudah melepaskannya. Jadi, yang harus kita lakukan adalah bagilah kuasa. Jangan memonopoli kekuasaan; delegasikan dan percayakanlah tanggung jawab kepada yang lain. Singkat kata, kita yang minder: UTAMAKANLAH KEBERSAMAAN!
Kesimpulan
Terimalah pemberian Tuhan dengan penuh syukur. Jangan membanding-bandingkan diri dan jangan menuding-nuding diri. Amsal 15:33 mengingatkan, -Takut akan TUHAN adalah didikan yang mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati mendahului kehormatan.- Meski merasa minder dan tidak mampu, peliharalah takut akan Tuhan dan pupuklah kerendahan hati. Tuhan dapat memakai kita yang minder selama kita takut kepada-Nya dan mengikut-Nya dengan penuh kerendahan hati.
Ringkasan T482A
Oleh: Pdt.Dr.Paul Gunadi
Simak judul-judul kategori -- Pengembangan Diri -- di www.telaga.org
PERTANYAAN :
Bagaimana cara menghadapi kekesalan terhadap seseorang yang dengan sengaja mencemooh di depan orang lain? Pada waktu itu didepan gerbang saya sedang memberi salam kepada guru. Ternyata ada guru lain yang memanggil dari belakang. Setelah itu saya memberi salam kepada guru kemudian ada teman lain yang juga memberi salam seperti biasanya. Ada orang yang melihat tingkah aneh saya dan tertawa. Sebal rasanya, apalagi memerhatikan teman lain yang sejujurnya saya merasa benci sekalipun saya memunyai teman yang juga mirip seperti dia, sepertinya mereka munafik.
Salam: OKZ
JAWABAN :
Sdr. OKZ,
Perasaan kesal yang muncul terhadap orang yang dengan sengaja mencemooh kita atau orang lain di depan umum itu memang suatu hal yang wajar dan manusiawi. Tampaknya Sdr. OKZ merasa sangat kesal karena dianggap aneh dan ditertawakan oleh orang dibelakang Saudara ya? Saya bisa memahami dan dapat membayangkan bagaimana situasi dan perasaan Saudara pada waktu itu. Pasti ada rasa malu dan canggung juga ketika ditertawakan. Pertanyaannya :
- Menurut saudara, apa yang membuat orang itu menertawakan saudara?
Menurut saya mereka melihatnya lucu saja. - Ketika ditertawakan, bagaimana sikap saudara waktu itu atau hal apa yang saudara lakukan setelah itu? Saya menatap tajam dengan hati kesal ke arah belakang dan mohon digarisbawahi mereka bukan tertawa tapi “cengengesan” di belakang saya.
- Apakah perasaan kesal terhadap satu orang dapat dijadikan alasan untuk membenci semua teman yang berada di lingkungan saudara? Menurut saya tidak juga, saya merasa sebal saja saat itu tapi setelah saya melihat sendiri 2 hari yang lalu seorang teman di kelas saya diejek sesamanya akibat hal yang lebih memalukan. Melihat hal itu saya angkat bicara agar jangan hal itu tersebar di luar kelas.
Sdr. OKZ,
Terima kasih sudah berbagi cerita. Nampaknya saudara merasa sangat kesal sekali dengan kejadian waktu itu. Saya melihat saudara memunyai kepedulian yang besar terhadap teman-teman dan lingkungan sekitar hingga saudara mengkhawatirkan dan mau angkat bicara untuk membantu agar teman yang dicemooh tidak terus-menerus mendapat ‘bully’an tanpa memandang apa agamanya. Setiap orang pasti memiliki sisi sensitif karena hal itu merupakan sifat bawaan. Sensitif itu tidak dapat dihilangkan, namun tentu dapat dikurangi dan diminimalisir. Menurut saya untuk dapat mengatasi rasa sensitif, hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah cara pandang terhadap sesuatu hal dan mencoba menghargai bahwa segala sesuatu itu dinilai bukan berdasarkan ego kita saja. Pada intinya mencoba memunculkan pikiran-pikiran positif dan bersikap lebih santai itu akan membawa pengaruh luar biasa dalam mengatasi rasa sensitif. Bagaimana menurut saudara? Mudah-mudahan cara ini relevan untuk dilakukan ketika saudara merasa kesal saat mendapat cemoohan dari orang lain.
Salam:
Andrew A.Setiawan
Di masa Prapaskah ini marilah kita memerhatikan seorang tokoh laki-laki yang dipaksa untuk memikul salib Tuhan Yesus menuju ke Bukit Golgota, yaitu Simon dari Kirene. Simon dari Kirene dapat diketahui identitasnya pada ayat-ayat yang terdapat dalam ketiga Injil di Alkitab yaitu dari :
Matius 27:31-32: -Sesudah mengolok-olokkan Dia mereka menanggalkan jubah itu daripada-Nya dan mengenakan pula pakaian-Nya kepada-Nya. Kemudian mereka membawa Dia keluar untuk disalibkan. Ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus-.
Markus 15:20-21: -Sesudah mengolok-olokkan Dia mereka menanggalkan jubah ungu itu daripada-Nya dan mengenakan pula pakaian-Nya kepada-Nya. Kemudian Yesus dibawa ke luar untuk disalibkan. Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus-.
Lukas 23:26: -Ketika mereka membawa Yesus, mereka menahan seorang yang bernama Simon dari Kirene, yang baru datang dari luar kota, lalu diletakkan salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus-.
Dari beberapa ayat di atas, para ahli meyakini bahwa Simon Kirene tetaplah penting dalam perjalanan Yesus menuju Golgota. Selain diartikan menjadi teladan bagi orang Kristen yang ingin memberitahukan bahwa mengikut Yesus itu berat, dapat juga untuk mencari bukti sejarah. Namun yang paling penting adalah bahwa peristiwa Simon Kirene memikul salib ke Golgota menjadi ibarat orang Kristen yang ikut mengalami sengsara Yesus dan umat Kristen yang senantiasa dapat merasakan penderitaan Juruselamatnya dalam menebus dosa manusia.
T090 Hikmat dalam Mengambil Keputusan / Kedewasaan
T097 Mengalahkan Pikiran Negatif / Mengalahkan Sikap Egois
T101 Menerima Kelebihan dan Kekurangan Kita / Melawan Keputusasaan
T136 Memelihara Hati / Tes Pujian
T148 Rasa Bersalah / Dari Kejatuhan Menuju Kemenangan
T181 Bersukacita Dalam Tuhan / Melawan Iri Hati
T203 Pribadi Yang Cemas / Mengambil Keputusan
T215 Manusia Baru / Bayang-Bayang Masa Lalu
T234 Dari Mana Datangnya Pencobaan? / Sikap Kita Terhadap Pencobaan
T280 Mengakhiri Dengan Baik (I + II)
T354 Keterampilan Untuk Mengampuni / Keterampilan Untuk Memahami
T375 Seni Menegur (I + II + III)
T384 Peran Iman Dalam Pengambilan Keputusan (I + II)
T411 Mengampuni Diri / Membedakan Dosa
T425 Menebus Kesalahan Masa Lalu / Kesalahan Berakibat Panjang
T454 Berani Mengambil Keputusan / Antara Rasio dan Perasaan
T502 Bahaya Pertemanan Online / Menyikapi Berita yang Membanjir
T504 Merajut Hidup / Kapankah Perlu Konseling ?
T531 Berpikir Sebelum Berkata / Berkata Sebelum Berbuat
T532 Berbuat Sebelum Berkata / Mendengarkan Sebelum Didengarkan
T548 Ikatan Sehat Dalam Berelasi / Batasan Yang Sehat / Ketika Batasan Dilanggar
Tiga bulan pertama dari tahun 2022 sudah akan kita lalui, kita sudah terbiasa dengan 5M yaitu Memakai Masker, Menjaga Jarak, Mencuci Tangan, Mengurangi Mobilitas dan Menghindari Kerumunan, karena pandemi Covid-19 belum berakhir. Kita juga sudah memasuki masa Prapaskah dimana gereja-gereja telah mempersilakan jemaatnya untuk mengikuti kebaktian secara tatap muka. Memandang ke masa depan yang serba tidak menentu, biarlah kita belajar dari Yosua dan Kaleb dalam memasuki Tanah Perjanjian dengan berpegang pada janji Allah dan percaya kepada-Nya. Ketika mata kita terarah kepada Tuhan, maka masalah yang kita hadapi akan terlihat kecil.
Bersyukur untuk kesehatan yang Tuhan berikan selama ini.
- Bersyukur dalam bulan Maret 2022 ini, ada donasi yang diberikan oleh NN di Tangerang sebesar Rp 1.650.000,- dan Rp 1.600.000,-, dari Ibu Gan May Kwee di Solo sejumlah Rp 500.000,-.
- Bersyukur untuk pemilik rumah Jl. Cimanuk 56 Malang yang telah 14 tahun meminjamkan rumahnya untuk digunakan sebagai Sekretariat LBKK dan TEgur sapa gembaLA keluarGA.
- Kalau bulan yang lalu kita syukuri untuk perubahan angka 23 menjadi 24 sehubungan dengan ulang tahun program radio TEgur sapa gembaLA keluarGA yang ke-24, bulan ini kita syukuri ulang tahun ke-2 dari PKTK di Sidoarjo dengan mengadakan webinar berjudul -- Healthy Boundaries in Marriage -- atau -- Batasan yang Sehat dalam Pernikahan -- disampaikan oleh Ibu Enny Dewi, S.E., M.Th.Konseling melalui zoom.
- Bersyukur untuk 24 radio streaming (23 radio di Indonesia dan 1 radio di Hongkong) yang menyiarkan program TEgur sapa gembaLA keluarGA
- Doakan agar para konselor diberi hikmat untuk menolong para klien di Pusat Konseling Telaga Kehidupan. Doakan juga untuk tim dan keluarga yang melayani di Telaga Kehidupan.
- Doakan untuk pendaftaran dan penerimaan murid baru program Bina Iman Anak Tunas Kehidupan mulai tanggal 1 April s.d. 15 Juni 2022 serta doakan untuk kontrak rumah Telaga Kehidupan di Sidoarjo yang akan berakhir pada bulan Agustus 2022.
- Kita tetap mendoakan untuk Bp. Paul Gunadi yang menjalani test PSA (Prostat Spesifik Antigen) dan juga Bp. Heman Elia yang secara rutin menjalani kemoterapi untuk kanker paru-paru dan tulang.
- Kita tetap mengingat Pemerintah dalam doa yang harus menangani berbagai hal, baik dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
- Bersyukur untuk dana yang diterima dari donatur tetap di Malang, yaitu dari :
- 1377 kali dibaca