Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang sumber-sumber kemarahan dalam di keluarga. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, banyak pasangan-pasangan muda atau yang baru menikah mengharapkan bahwa kalau nanti mereka menikah, mereka bisa tetap rukun, bisa damai di rumahnya. Tetapi kenyataan berbicara lain, membuktikan bahwa apa yang diharapkan itu tidak menjadi kenyataan, bahkan sejak hari pertama ada pasangan-pasangan yang bertengkar, saling marah dan sebagainya. Sebenarnya apa saja sumber-sumber yang bisa menimbulkan kemarahan, karena pada saat kita marah itu kita tidak sadar lagi untuk memikirkan penyebabnya apa. Pada kesempatan ini kita coba berbincang-bincang, kalau tahu sumbernya kita bisa belajar meredamnya.
(2) PG : Sebelum saya menjawab yang tadi Pak Gunawan tanyakan, saya ingin memberikan suatu pengantar dulu bahwa kita ini cenderung lebih mudah marah di rumah daripada di luar sebetulnya. Alasanya adalah di rumah kita itu harus berhadapan dengan dekat.
Waktu kita harus berhadapan dengan dekat dengan orang-orang yang ada di rumah, itu juga merupakan orang yang paling mudah memancing kemarahan kita. Kita cenderung lebih bisa menoleransi perbuatan orang yang di luar, rekan kerja kita atau karena mereka pun tidak terlalu dekat dengan kita. Tapi segala sesuatu yang sangat dekat dengan kita dan kemudian bermasalah sedikit dengan kita, memang memiliki kecenderungan untuk lebih menggugah reaksi marah kita.
IR : Oleh karena itu, sifat seseorang itu lebih bisa dilihat di dalam rumah daripada di luar ya, Pak Paul?
PG : Tepat, kalau kita kembali ke masa berpacaran ya, memang hal-hal ini sukar kelihatan pada masa berpacaran, setelah menikah barulah hal-hal ini muncul. Yang kedua kenapa di dalam rumah emosimarah itu lebih mudah meletup, karena rumah tangga kita sekarang sebetulnya sedikit banyak merupakan pengulangan dari kehidupan kita sewaktu masih kecil.
Jadi kalau misalkan kita ini tidak suka dengan sikap papa terhadap mama yang seolah-olah mengejek atau merendahkan mama, namun hal itu tidak terlalu kita pikirkan sewaktu kita remaja dan dewasa, kemudian kita menikah. Tiba-tiba waktu istri kita mulai mengatakan kata-kata misalnya "Kok kamu begitu-begitu saja, tidak ada usaha untuk memajukan diri," tiba-tiba kita bisa meledak dengan begitu keras. Pertanyaannya adalah kenapa kita meledak mendengarkan komentar seperti itu dari istri kita. Tanpa disadari memang akhirnya rumah tangga kita yang dulu kita bawa ke dalam rumah tangga kita sekarang, hal yang dulu tidak kita sukai yang kita lihat dilakukan oleh papa terhadap mama kita atau mama terhadap papa kita, sekarang kita interpretasi itulah yang dilakukan oleh pasangan kita, oleh istri kita misalkan terhadap kita. Ya sekarang istri melecehkan saya dan tiba-tiba kita bereaksi dengan sangat marah. Jadi dua faktor tersebut memang cenderung membuat kita mudah bereaksi di dalam rumah dan bukan di luar rumah.
GS : Tapi mungkin juga di luar rumah kita masih menjaga semacam harga diri kita Pak Paul, jadi kita agak berpura-pura walaupun marah, kita tahan, karena nanti dikatakan orang yang pemarah dan sebagainya. Kalau di rumah kita tidak menanggung resiko itu, Pak Paul.
PG : Tepat sekali, karena kita tahu kita sudah diterima dan apapun yang terjadi istri atau suami kita atau anak kita terpaksa harus menerima kita, jadi tidak ada lagi reputasi yang harus kita prtahankan.
Dan yang kedua adalah kalau memang di luar rumah ada resikonya, misalnya dipecat dari pekerjaan, dijauhi teman.
(3) IR : Bagaimana Pak Paul mengatasi kemarahan yang seringkali terjadi di dalam rumah?
PG : Pertama-tama kita lihat dulu sumber-sumbernya Bu Ida, setelah kita kenali sumber-sumbernya mungkin baru kita usahakan mengatasinya. Yang saya akan lakukan adalah membagi kemarahan yang teradi antara suami dan istri, kemudian orang tua terhadap anak dan anak terhadap orang tua.
Dalam kaitan suami dan istri penyebab umum yang membuat kita marah, biasanya karena pertama kita tidak suka hal yang sama diulang-ulang, itu cenderung menjadi penyebab kemarahan kita. Kita sudah memberitahukan misalkan suami kita, "Kalau menaruh baju jangan sembarangan, dilempar di batu dan sebagainya di lantai, taruh di tempatnya!" Tapi suami kita terus melakukan hal yang sama. Atau kita beritahu istri kita, "Mohon kalau saya pulang makanan disediakan, jangan sampai saya sudah pulang lalu menunggu 1 jam lagi" dan engkau selalu berkata: 'Saya repot anak-anak butuh perhatian' dan sebagainya, tapi terlalu sering terjadi. Hal yang sama diulang kembali dan kita sudah memberitahukan supaya jangan dilakukan lagi cenderung menjadi pemicu kemarahan kita dan ini salah satu penyebab kemarahan antara suami dan istri sering terjadi. Dan yang kedua adalah (GS : Tapi itu 'kan karena kejengkelan kita itu Pak Paul ya) betul-betul (GS : Jadi jengkel tadi menimbulkan kemarahan) karena kita akhirnya merasa tidak dihargai.
GS : Omongan-omongan ini tidak didengarkan atau tidak sungguh-sungguh, padahal di sisi yang lain itu suatu kebiasaan yang kita lihat, misalnya tadi melempar baju yang kotor di lantai, itu kebiasaan yang mungkin sejak kecil dilakukan. Dulu di rumahnya yang lama dia tidak dimarahi, sekarang diberitahu dia balik marah.
PG : Betul, jadi seringkali memang kebiasaan-kebiasaan itu tidak bisa diterima oleh pasangan kita, jadi kita akhirnya tersinggung dan akhirnya merasa tidak dihargai.
GS : Jadi dua-duanya bisa jadi marah ya, Pak Paul?
PG : Betul, dua-duanya bisa marah sekali. Ini salah satu sumber kemarahan yang sering terjadi Pak Gun. Yang kedua adalah kalau kita menyaksikan sifat suami atau istri kita yang tak kita sukai dn ini bisa jadi kita sudah sadari sebelum kita menikah atau tidak kita sadari.
Kalau sudah kita sadari terus tidak kita sukai, kecenderungan kita adalah berharap bahwa nanti setelah menikah sifat ini bisa hilang atau berubah. Namun setelah menikah kita akhirnya harus menyaksikan bahwa sifat itu tidak berubah. Nah sifatnya macam-macam, contoh kita dulu berpikir misalnya suami kita itu hemat tapi setelah menikah baru sadar dia kikir. Nah, hemat dan kikir memang seolah-olah bisa hampir serupa, waktu sebelum menikah kita panggil dia hemat lama-lama kikir setengah mati. Semua harus dicatat dan diberikan budget, setiap bulan harus bisa memenuhi budget tersebut, tidak boleh melampaui, hal-hal lain sebagainya. Atau kita melihat istri kita yang begitu boros, beli barang banyak tanpa memikirkan keuangan di rumah tangga nah akhirnya itu juga bisa mengganggu kita. Seringkali dua hal itu adalah pemicu kemarahan antara suami istri.
GS : Itu sifat atau kebiasaan, Pak Paul ?
PG : Bisa dua-duanya, jadi bisa juga suatu kebiasaan tapi juga bisa sifat, seperti misalnya kikir itu memang ada unsur kebiasaannya tapi juga ada sifatnya. Atau sifat yang lain ya yang tadi telh kita telah singgung sedikit yaitu misalkan kemarahan.
Ada orang yang mudah marah dan kita tidak suka hal itu sedikit-sedikit meledak, sedikit-sedikit marah, contoh yang sering kita dengar adalah istri yang mengeluh kalau suaminya itu suka marah sewaktu mengendarai mobil. Misalnya sedikit-sedikit memaki orang, nah sebelum dia menikah mungkin dia pergi dengan calon suaminya, ya tidak terlalu sering jadi tidak begitu tahu, tapi setelah menikah baru dia sadar, sedikit-sedikit memarahi orang di jalanan. Nah, akhirnya dia tidak suka dengan sifat seperti ini atau sifat kecurigaan dengan orang, maksudnya apa orang ini ya? Maksudnya apa orang ini ya? Nah sebelum menikah kita tidak begitu melihat hal ini sebagai suatu hal yang serius tapi setelah kita menikah sangat mengganggu sekali. Karena kita melihat orang ini atau suami kita ini memandang orang dengan negatif terus, melihatnya pasti ada apa-apa dibalik ini. Nah sifat-sifat seperti itu yang akhirnya sukar kita toleransi, sebab apa? Sebab kita ini sebetulnya masing-masing mempunyai suatu nilai hidup siapa yang kita akan hormati, siapa yang tidak akan kita hormati. Biasanya kita akan kaitkan dengan sifat-sifat tertentu yang memang kita senangi, misalkan kita mengagungkan orang yang sabar, orang yang kebapakan; ternyata setelah menikah tidak sabar, suami kita mudah marah nah akhirnya apa yang terjadi kita memindahkan dia dari kategori orang yang bisa kita hormati menjadi orang yang justru kita tidak hormati. Akhirnya itu yang mengganggu kita, karena kita ini tidak bisa menoleransi hidup dengan orang yang tidak bisa kita hormati, jadi seringkali itu yang menyulitkan kita menerima sifat-sifat pasangan kita.
GS : Kalau kemarahan yang terjadi antara orang tua dan anak Pak Paul, sumber-sumbernya apa biasanya?
PG : Yang paling umum adalah orang tua harus mengakui atau melihat bahwa si anak ini mewarisi kelemahannya, itu salah satu penyebab yang sering terjadi. Tapi kadang-kadang si orang tua ini tida menyadarinya, contoh misalkan suami kita orang yang keras kepala ya, kepala batu, lalu kita punya anak kebetulan kepala batu, nah kita bisa mulai menyaksikan dinamika hubungan antara si ayah dengan si anak ini, sering berkelahi.
Yang terjadi adalah sebetulnya si ayah tidak menyukai sifat si anak yang kepala batu ini tanpa menyadari bahwa si anak sebetulnya mewarisi sifat kepala batunya ini. Atau kita ini orangnya lembut, kita ini orangnya susah untuk tegas dan kita tidak suka dengan sifat kita yang terlalu lemah, kita anggap kita lemah. Anak kita begitu juga, didorong oleh temannya diam, PR-nya dipinjam tidak dipulangkan diam, kita akhirnya melihat begitu jengkel. "Kamu harus lebih tegas, kamu harus berani melawan teman kamu dan sebagainya, kita lupa bahwa waktu kita kecil kita pun diperlakukan sama dan kita pun juga begitu.
GS : Itu sebenarnya kemarahan terhadap dirinya sendiri, Pak Paul.
PG : Betul, jadi seringkali orang tua marah melihat sifat-sifat anak yang persis dengan sifat mereka yang mereka anggap sebagai kelemahan, itu yang susah mereka terima.
IR : Ini yang jadi korban orang ketiga ya, Pak Paul, misalnya ibunya, si anak meniru tabiat si suami, ayahnya, tapi bagaimana si ibu harus mengatasi anak yang misalnya mudah marah.
PG : Biasanya dalam kasus seperti itu, si ibu menjadi wasit ya, pelerai menjaga supaya ayah jangan marah pada si anak dan si anak jangan marah terhadap si ayah dan dia berdiri di tengah-tengah.Kadang-kadang dia yang menjadi sasaran pukulan-pukulan itu, kemarahan-kemarahan dari kedua belah pihak.
GS : Tapi seringkali juga kemarahan itu timbul karena ini Pak, tuntutan dari anak yang terlalu berlebihan, nah kita tidak bisa memenuhi tuntutan itu.
PG : Bisa, saya kira adakalanya memang anak itu menuntut orangtua untuk selalu bisa memenuhi kebutuhan mereka atau keinginan mereka. Dan sewaktu kita melihat hal itu kita jengkel sekali sebab esan kita adalah anak ini anak yang tidak tahu diri begitu.
GS : Bagaimana dengan hadirnya orang lain di dalam keluarga itu Pak Paul, kadang-kadang bisa menimbulkan kemarahan juga Pak Paul, misalnya ada mertua di sana atau bibi dan sebagainya atau bahkan ada pembantu di sana yang kita tidak berani marah terhadap mereka. Itu karena kita anggap di luar lingkungan keluarga kita, lalu yang jadi sasaran seperti tadi ibu Ida katakan ya kalau tidak istri atau suami, ya anak yang dijadikan sasaran, itu 'kan merupakan sumber kemarahan juga.
PG : Bisa sekali, misalkan ini seringkali terjadi pada suami istri yang tinggal di rumah mertua, nah ini cukup sering menjadi masalah di dalam hubungan suami istri karena kehadiran mertua seola-olah menjadi seperti pengatur di dalam hubungan mereka dan mereka tidak lagi memiliki kebebasan untuk menjadi diri mereka; mau berbicara, mau apa tidak bisa langsung karena ada mertua.
Dan juga kalau mertua ikut campur dalam urusan mereka itu seringkali menjadi kemarahan. Sebab kecenderungan mertua seperti kita tahu kita ini orangtua, kita membela anak tidak bisa tidak, jadi kebanyakan menantu akan merasa dipersalahkan dan mertuanya tidak adil, akhirnya yang timbul adalah kemarahan-kemarahan juga.
GS : Setelah kita coba menggali sumber-sumber konflik tadi Pak Paul, tentunya kita akan melanjutkan perbincangan kita dengan bagaimana mengatasinya itu Pak Paul, bagaimana Pak Paul kalau pasangan suami-istri ribut atau orang tua dengan anak.
PG : OK! Kalau antara suami-istri saya kira ini tidak bisa tidak harus ada pengkomunikasian misalkan dalam hal yang kita minta jangan dilakukan, terus dilakukan. Kita harus bicara dengan tegas,"ini sangat mengganggu saya dan sangat serius, saya minta jangan sampai terjadi lagi."
Selain itu adalah kita menawarkan diri menjadi penolong baginya misalkan dia itu suka lupa untuk menjemput anak misalnya terulang lagi, terulang lagi, terulang lagi nah akhirnya kita tawarkan jalan keluar, "Bagaimana kalau saya menelpon engkau kira-kira ½ jam sebelum anak dijemput saya telepon engkau, dan maaf jangan sampai engkau itu terganggu atau marah karena saya harus menelepon engkau." Jadi kita usahakan memberikan pertolongan atau jalan keluar supaya dia itu tidak lalai dan mengulang lagi perbuatan yang sama, itu yang pertama. Yang menyangkut sifat juga sama, misalkan dia pemarah sifatnya mudah marah dan dia akan mudah marah dengan anak, kita bisa mengatakan kepada dia, "Saya mau menyampaikan sesuatu tapi saya minta engkau jangan memarahi anakmu, kalau engkau memarahi anakmu, engkau mempermalukan saya sebab saya sudah berjanji kepada dia, kami akan bereskan ini dengan baik. Nah mohon kamu hormati saya jadi baru kita beritahu dia." Jadi hal-hal itu bisa dan harus kita lakukan. Kita tidak bisa melepas tangan dan berharap pasangan kita berubah dengan sendirinya.
IR : Juga terhadap anak Pak Paul, kalau misalnya anak suka marah apakah perlu kita memberi sanksi-sanksi, untuk membatasi kemarahan anak terhadap orang tua?
PG : Ya saya kira perlu Bu Ida, jadi kita tidak melarang anak untuk marah tapi nomor satu kita melarang anak untuk kurang ajar, jangan sampai anak itu berani kurang ajar (GS: Memarahi kita) ya emarahi kita, sebab saya kira itu sudah melewati batas ya.
Jadi kita bisa beritahu dia "Kamu boleh marah, silakan kamu tidak suka itu, tapi tidak boleh kamu misalkan menunjuk-nunjuk saya, mata kamu melotot-lotot dan tangan kamu teracung kepada saya, jangan lakukan itu sekali lagi." Jadi kita bisa katakan seperti itu dan sudah tentu kita harus lakukan ini, bukan sewaktu dia umur 17 tahun (GS: Sudah terlambat, mulai kecil sudah dididik seperti itu Pak Paul) betul sejak kecil kita harus beritahukan dia.
GS : Ya tetapi di dalam hubungan suami-istri yang saya sendiri alami biasanya tahun-tahun awal pernikahan itu yang seringkali terjadi salah mengerti lalu timbul kemarahan, Pak Paul. Tapi dengan berjalannya waktu mungkin kita lebih akrab atau lebih tahu, frekwensinya memang agak menurun, Pak Paul.
PG : Seringnya begitu Pak Gunawan, karena selama kita hidup dan berusaha memperbaiki diri ya, memperbaiki hubungan kita ini, sesungguhnya pernikahan itu dengan berjalannya waktu akan lebih baik kalau kita memang berusaha memperbaiki ya, tidak bersikap masa bodoh.
Kenapa makin baik, karena sesungguhnya dengan berjalannya waktu kita makin mengerti isi hati dan cara pikir pasangan kita, sehingga hal yang dulu mengganggu kita, yang membuat kita marah karena kita anggap dia itu tidak hormat kepada kita makin hari makinlah kita mengerti tidaklah demikian. Maksudnya dia tidaklah mau menghina saya atau apa, jadi dengan kata lain dengan berjalannya waktu suami dan istri itu sebetulnya makin bisa sepadu, terpadu ya sehati, karena cara berpikir makin sama, cara melihat problem dan hidup juga makin serupa.
GS : Tapi 'kan kenyataannya juga bisa terjadi makin tahu kelemahannya atau seringkali terjadi kemarahan-kemarahan sehingga mereka pisah saja, suami-istri itu pilih pisah saja, Pak Paul.
PG : Dan salah satu penyebabnya saya kira adalah karena kita melihat pasangan kita sudah berhenti mencoba seolah-olah memasabodohkan, tidak ada lagi keinginan untuk memperbaiki diri atau hubungn ini, nah itu seringkali memadamkan semangat kita sehingga kita pun terpengaruh dan berkata ya sudah masa bodoh, dan itu yang berbahaya.
GS : Sudah ada masa bodoh itu yang berbahaya Pak Paul, sekarang kalau ini Pak, kemarahan anak terhadap orangtua itu Pak Paul ya, memang sejak dini kita sudah mau coba ajarkan tetapi 'kan lingkungan itu membuat mereka itu juga menjadi anak-anak yang mudah marah di dalam rumah, kalau keinginannya tidak dipenuhi lalu marah-marah. Dan kemarahannya seringkali tidak diekspresikan dengan nyata tapi dia mengurung diri dan sebagainya itu, tapi kita sebagai orang tua tahu bahwa anak ini sedang marah, nah itu bagaimana Pak Paul, apa kita yang lebih dahulu mesti datang kepada anak ini atau bagaimana?
PG : Kebanyakan anak marah terhadap orang tua dengan satu alasan, anak merasa orang tua tidak mengerti akan dirinya. Keluhan yang paling umum di kalangan anak-anak remaja adalah "Orang tuasaya tidak mengerti saya."
Nah saya kira alasan ini atau cetusan isi hati ini perlu kita perhatikan ya, mengerti tidak berarti memenuhi, memang adakalanya itulah yang diminta oleh anak memenuhi kebutuhan atau keinginannya. Teman-temannya beli sepatu roda, dia juga mau beli sepatu roda, teman-temannya mengganti komputernya dari pentium I ke pentium II, kita juga mau mengganti komputernya sampai ke pentium II dan sebagainya. Sewaktu kita melarang, dia marah, nah memang tidak selalu kita harus memenuhi keinginan anak, tapi yang harus kita lakukan adalah mengerti anak. Contohnya begini, misalkan dia meminta kita membelikan sepatu roda dan kita merasa kita ini belum mampu ya membelikan sepatu roda itu atau kita lihat memang belum begitu perlu untuk si anak. Yang kita bisa lakukan adalah berkata kepada dia, "Anakku, saya sadar bahwa engkau mau main sepatu roda karena teman-temanmu semua main sepatu roda dan kalau engkau yang tidak ada sepatu roda sendirian engkau akan merasa aneh sendirian, saya juga dulu waktu masih SMP, SMA pernah minta ini dan tidak dapat, saya merasa jengkel sekali, jadi saya mengerti yang sedang kau alami sekarang ini. Namun boleh tidak saya minta satu hal dulu, sementara waktu memang kami sedang memprioritaskan uang untuk membeli apa misalnya kita beritahu dia. Nah nanti setelah mungkin 2, 3 bulan, akan ada uang yang kami sisihkan untuk kamu membeli sepatu roda itu, bisa tidak kamu tolong tunggu dulu?" Nah saya kira penyampaian yang seperti ini menolong anak untuk merasa dimengerti bahwa permintaannya itu bukanlah permintaan yang keterlaluan atau dibuat-buat, jadi pengertiannya itu, pengertian kita kepada si anak membuat dia merasa tenang dan lebih siap untuk berkompromi dengan kita.
GS : Perlu ada suatu komunikasi atau dialog dengan anak itu ya, Pak Paul?
GS : Tetapi kadang-kadang memang tidak langsung membuahkan hasil Pak Paul, seperti tadi Pak Paul katakan dijanjikan seperti itu. Ada juga anak yang tidak mau menunggu, pokoknya sekarang harus diberikan, hal itu 'kan bisa menimbulkan kemarahan orang tua terhadap anak. Kalau dia sudah memaksakan permintaannya supaya dipenuhi pada hal kita tidak mau memenuhi, tadi contoh yang Pak Paul katakan mungkin ya nanti disuruh tunggu 2,3 bulan. Tapi memang tidak berniat untuk membelikan dia sebenarnya.
PG : Dan kita harus mengkomunikasikan kenapa kita tidak berniat (GS :Alasannya itu ya?) ya ini yang kadang kala memang anak tidak mengerti. Nah misalkan kita harus berkata kepada dia bahwa sebeulnya kita punya uang, jadi jangan misalkan kita memang punya uang, jangan katakan pada anak kami tidak punya uang (GS : Mereka tahu itu) mereka tahu dan mereka akan lebih marah kepada kita.
Jadi kalau misalnya memang bukan soal uang kita harus beritahukan bukan soal uang. Misalkan kita bisa beritahu, "Saya melihat kau itu terlalu mau berkompetisi dengan teman-teman dan saya merasa tidak baik, jadi sekali-sekali saya mau engkau belajar untuk tidak mempunyai yang teman punya, dan kamu pun tahu, saya tidak selalu berbuat itu kepadamu. Banyak hal yang kau minta sudah kami penuhi, tapi kami mulai merasa kamu semakin hari harus semakin sama dengan teman-temanmu dan ini tidak baik, dalam hidup adakalanya kita tidak mempunyai yang teman punya, adakalanya kita mempunyai yang teman tidak punya. Nah saya atau Mama, Papa inginkan agar engkau belajar untuk menoleransi keadaan seperti ini."
IR : Itu sekalipun anak tidak bisa menerima tetap kita diamkan saja?
PG : Betul, tetap harus kita lakukan.
IR : Supaya dia belajar ya Pak Paul?
PG : Betul, karena kedewasaan anak tercapai bukan sewaktu semua yang dia inginkan terpenuhi, tapi bagaimana dia menghadapi keadaan di mana keinginannya tidak terpenuhi, baru kematangannya itu aan lebih menyeluruh ya.
GS : Bagaimana kita harus menghadapi sumber kemarahan, kalau sumbernya itu dari pihak ketiga yang tadi kita bicarakan itu Pak Paul, kalau ada orang lain di dalam rumah tangga kita dan itu menjadi sumber dari kemarahan.
PG : Kalau orang ketiga itu memang sumbernya saya kira suami/istri lebih bisa menghadapinya. Misalkan ya dua-dua bersepakat untuk bagaimana bersikap kepada orang ketiga itu. Namun yang seringkai membuat masalah ini menjadi lebih kompleks dan lebih susah diselesaikan adalah kita merasa pasangan kita tidak berpihak pada kita, seolah-olah dia lebih berpihak kepada orang ketiga itu, orang tuanya atau siapa.
Nah jadi kita marah bukan karena orang ketiga itu saja, tapi karena kita merasa pasangan kita (GS : Tidak mendukung kita) tidak mendukung kita; justru itu yang harus kita bicarakan dengan dia.
GS : Jadi pasangan suami/istri ini dulu harus menyelesaikan masalahnya, lalu bersama-sama menghadapi pihak ketiga itu.
PG : Sebab misalkan orang tua kita yang keliru ya, kita harus berani konsekuen membela istri kita, meskipun orang tua mungkin menuduh kita engkau lebih sayang istri daripada kami. (GS : terjadigitu) betul, tapi kita bisa berkata kepada orang tua kita tidak, saya berpihak kepada yang benar dan dalam hal ini saya melihat istri saya benar.
Tapi lain kali kalau istri kita yang keliru kita pun berani konsekuen untuk memberitahu istri kita, jadi akhirnya semua melihat bahwa kita itu berdiri di pihak yang benar.
IR : Di dalam mengatasi kemarahan di sekitar kita baik itu suami/istri atau anak-anak tentu ada sikap dari kita untuk meredam kemarahan itu, apakah kata-kata yang lemah lembut ataukah bagaimana, Pak Paul?
PG : Bagus sekali Bu Ida, tadi Bu Ida sudah katakan ya yang memang dikatakan juga oleh firman Tuhan di Amsal 15:1, "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkaaan yang pedas membangkitkan marah."
Jadi saya kira betul Bu Ida, penting sekali kita ini menyampaikan pendapat kita dengan lemah lembut dan itu cenderung meredam kemarahan orang lain.
GS : Para pendengar demikian tadi kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang bagaimana mengatasi sumber-sumber kemarahan di dalam keluarga, bersama dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.