Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Remaja Bergolak. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, mengapa banyak orang tua yang mengeluh soal anaknya yang mulai memasuki usia remaja?
PG : Ini keluhan yang kita dengar setiap hari Pak Gunawan, sebab rupanya ini adalah masalah yang sangat mengganggu. Banyak orang tua sungguh-sungguh tidak tahu bagaimana harus bersikap kepada anak remaja mereka. Karena mereka sudah kehilangan kendali atas anak-anak remaja mereka, mereka tidak bisa lagi mengarahkan si anak-anak remaja, tidak bisa meminta mereka melakukan yang si orang tua harapkan nah benar- benar mereka kehilangan kendali dan seolah-olah mereka melihat masa depan anak remaja mereka benar-benar akan sangat hancur. Dan sering kali juga yang terjadi karena masalah dengan anak-anak remaja ini sudah muncul akhirnya masalah ini terbawa ke dalam relasi suami-istri. Sehingga akhirnya mereka pun bisa turut saling bertengkar jadi akhirnya rumah tangga itu seperti kobaran api yang terus menyala.
GS : Berarti ada suatu perubahan besar yang terjadi di dalam diri seorang anak menuju ke remaja ini Pak?
PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi pada masa anak-anak menginjak usia remaja dia akan mengalami transisi, masa transisi yang melepaskan mereka dari masa kanak-kanak dan menghantar mereka masuk ke masa dewasa. Dan sebagaimana kita tahu semua masa transisi biasanya masa yang sulit, tidak mudah untuk kita lewati. Mengapa, sebab mereka saat itu tidak lagi kanak-kanak tapi belum dewasa. Salah satu hal yang menjadi bahan pertengkaran biasanya adalah permintaan hak yang lebih lebar dan lebih luas, tapi orang tua tidak begitu saja mau memberikan kepada mereka, karena apa, karena mereka memang orang yang masih belum dewasa jadi akhirnya ada pembatasan- pembatasan. Maka akhirnya yang sering kali terjadi adalah bentrokan, bentrokan karena yang satu ingin lebih bebas sedangkan di pihak orang tua masih terus menerapkan pembatasan. Nah, ini memang tidak ada jalan keluar yang mulus, untuk setiap keluarga pasti ada proses-proses penemuan jalan yang paling cocok untuk mereka. Dan jalan yang paling cocok hari ini belum tentu cocok tahun depan karena bisa jadi akan berlainan pula.
GS : Sebaliknya yang terjadi kalau di rumah dia banyak dikekang, justru di luar dia merasakan banyak memperoleh kebebasan, fasilitasnya begitu memungkinkan untuk dia bergerak dengan sangat bebas.
PG : Betul sekali, jadi perbedaan-perbedaan ini memang bisa menambah masalah yang muncul karena anak-anak ini di luar bisa tambah liar karena tidak ada yang mengendalikan. Karena di rumah terlalu dikuasai oleh orang tuanya, jadi memang susah masalah- masalah seperti ini. Kadang kala orang tua terpaksa membatasi karena melihat si anak
sudah mulai memasuki daerah berbahaya, namun anak-anak tidak menyadarinya. Nah, karena kita adalah orang tua yang lebih bisa melihat bahaya, kita yang melarang si anak. Meskipun saya juga menyadari ada sebagian orang tua yang berlebihan dalam kekhawatirannya sehingga semua itu dianggap ancaman yang bisa merusak anak-anak. Akhirnya mereka lebih sering membatasi si anak, sehingga si anak merasa terlalu dikekang nah dia ke luar, dia akan menjadi lebih bebas lagi daripada yang orang tua ini pikirkan.
GS : Ya, banyak yang dikeluhkan oleh anak remaja adalah kalau di luar dia memperoleh
kebebasan yang demikian besar mengapa kalau di rumah dia mendapatkan kekangan seperti itu. Karena di luar dia misalnya mempunyai fasilitas internet, handphone, di mana dia bisa berkomunikasi dengan siapa saja, kapan saja dan dengan cara-cara yang sangat mudah.
PG : Betul sekali, jadi salah satu unsur yang memang menjadi dasar pertengkaran orang tua dan remaja selain dari soal pembatasan itu adalah hal percaya. Banyak orang tua yang mengeluhkan bahwa orang tua saya tidak mempercayai saya, kenapa tidak percaya padahal saya tidak berbuat apa-apa, teman-teman saya berbuat saya 'kan tidak. Nah, di sini memang timbul masalah karena orang tua tidak memberikan kepercayaan itu sebab orang tua menyadari pengaruh luar bisa lebih kuat lagi maka orang tua terpaksa membatasi. Nah, dianggap oleh anak tidak percaya, nah ini masalah-masalah yang umum muncul Pak Gunawan. Sudah tentu orang tua harus lebih siap untuk menerima dan menghadapi semua ini. Tapi saya akan memberikan satu pengamatan saya yang sering kali ini dilakukan oleh orang tua. Orang tua acapkali membandingkan diri mereka dulu sebagai remaja dengan keadaan anak-anaknya sekarang. Dulu kami tidak perlu diberitahu; kami sudah tahu diri, dulu tidak berani menjawab orang tua saya karena kami hormat; sekarang kamu kok berani menjawab, dulu kami jam 09.00 sudah pulang ke rumah; kamu sekarang jam 09.00 baru mau keluar rumah. Nah saya tidak mengatakan semua pengalaman dulu itu buruk, tapi saya memang harus akui bahwa zaman mempunyai keunikannya masing-masing, tidak sama ada hal-hal yang sudah sangat berbeda, salah satunya misalnya zaman sekarang jauh lebih demokratis artinya orang lebih berani mengungkapkan pendapat termasuk anak-anak kita. Dan bukan saja di luar misalnya di sekolah, anak-anak kita lebih berani mengungkapkan pendapat, di rumah pun dia lebih berani mengungkapkan pendapat, maka ketika dia tidak setuju dengan kita dia lebih berani untuk berbicara. Kita dulu tidak karena memang kita dulu tidak terlalu mempunyai demokrasi yang sebesar dan sebebas sekarang ini.
GS : Berarti sebenarnya perbedaan persepsi itu masih bisa disamakan, Pak Paul?
PG : Masih bisa, tapi memang karena adanya perbedaan-perbedaan itu agak susah maka saya kira penting bagi orang tua sebelum menyamakan persepsi perlu juga mengetahui sebetulnya apa itu yang membedakan zaman sekarang ini di mana anak-anak mereka bertumbuh besar dengan zaman mereka. Apa yang unik tentang zaman sekarang ini. Sekurang-kurangnya ada dua yang mau saya angkat Pak Gunawan, yang pertama adalah sekarang memang zaman komunikasi. Misalkan handphone sudah begitu canggih sehingga orang bisa mengirim gambar bukan hanya kata-kata melalui SMS dengan kata lain jarak antara manusia makin dekat, mereka bisa langsung mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain. Artinya apa, yang dari luar bisa masuk ke dalam rumah kita jauh lebih mudah sekarang. Dulu tidak bisa diperoleh, sekarang bisa diperoleh dengan sangat mudah contohnya dulu hendak menonton film-film yang porno harus menyewa
film-filmnya, sekarang hanya tinggal men-download dari internet, dulu untuk bisa berbicara dengan orang-orang yang mempunyai keanehan-keanehan tertentu tidak bisa karena tidak ada akses, sekarang kita bisa berbicara dengan orang-orang yang seaneh apapun melalui sistem chatting di komputer kita. Berarti apa, yang di luar sekarang hadir di rumah kita, nah anak remaja mesti mempunyai panduan yang jelas dalam hal ini. Apakah kita bisa menutup mereka 100% dari pengaruh luar ini, tidak bisa, tapi kita harus batasi. Misalnya apa yang bisa kita lakukan, misalnya komputer dengan fasilitas modem ke internet ditaruh di luar kamar si anak, kita tidak membiarkan dia bermain komputer berjam-jam di dalam kamar, karena kita tidak tahu apa yang akan dia lakukan di dalam kamar, kita mesti bisa mempunyai akses melihat dia sedang melihat atau menulis apa di sana.
GS : Tetapi pembatasan seperti itu juga masih bisa diatasi dengan anak ini tidak melakukan
akses itu di rumah tapi di warnet misalnya.
PG : Itu bisa saja dilakukan dan memang itulah yang juga sering dilakukan, bukan hanya di warnet atau yang paling gampang adalah di rumah teman mereka. Tapi dengan kita membatasi dia di rumah, kita setidak-tidaknya sudah menambah kesulitannya untuk mengakses sehingga setidak-tidaknya ada pengurangan. Sudah tentu di luar itu kita mesti juga berbicara dengan si anak, kenapa ini tidak baik bagimu, kenapa kamu harus berhati-hati. Misalkan chatting, dia berbicara dengan seseorang melalui internet, kita harus tahu dengan siapa dia berbicara, apa yang orang ini tanyakan kepada anak kita,
kita juga mau tahu jadi kadang-kadang kita bertanya kepada anak kita. Apa yang kamu bicarakan? Oh.......ini, ini. Tidak, tidak mungkin kalau hanya itu saja sampai berjam- jam, apa yang kamu lakukan coba kamu beritahu. Nah, kadang-kadang dia lagi menulis kita berjalan di belakangnya dan kita mau baca, jadi sekali-sekali kita lakukan itu. Kenapa, anak-anak kita tahu bahwa kita tetap memantau mereka sebab sekali lagi pertanggungjawaban penting. Anak remaja yang tidak memiliki pertanggungjawaban kepada siapapun karena orang tuanya tidak peduli atau tidak di rumah memang lebih cenderung untuk terlibat dalam hal-hal yang salah ini. Tapi anak remaja yang tahu bahwa dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada orang tua karena mereka memantau perbuatan si anak ini dia akan jauh lebih berhati-hati.
GS : Berarti tugas orang tua ini bukan cuma menyediakan fasilitas, tetapi menyiapkan anak menggunakan fasilitas itu dengan baik.
PG : Betul, itu yang perlu kita sampaikan kepada anak-anak bahwa hal-hal ini baik untuk kamu, untuk hal-hal yang positif tapi benda yang sama ini bisa menjadi hal yang sangat buruk bagimu karena bisa mempengaruhi hidup kamu. Nah, misalkan kita berikan penjelasan kenapa dengan melihat gambar-gambar porno ini buruk bagimu, kenapa ini bisa menjadi hal yang tidak positif bagi pertumbuhanmu kita harus jelaskan, kamu mengisi pikiran-pikiran kamu dengan hal-hal porno ini berarti hatimu, pikiranmu, setiap menit akan dikuasai oleh hal-hal yang bersifat seksual. Kamu berbicara dengan orang yang tidak kamu kenal dan dia orang dewasa, kamu masih berumur 12 tahun, dia bisa menaruh hal-hal buruk di benakmu dan akhirnya kamu terpengaruh oleh dia. Dan apa yang dia minta kamu lakukan kamu juga harus bisa membedakan baik atau buruk, jadi gunakanlah kesempatan ini untuk mengajarkan hal-hal yang benar kepada anak.
GS : Kemajuan teknologi seperti yang kita bicarakan, itu juga pasti bisa membawa dampak yang positif buat remaja pada masa kini. Mungkin Pak Paul bisa sebutkan dampak- dampak positif apa?
PG : Misalkan apalagi di kota-kota besar saya tahu anak-anak remaja kebanyakan berhandphone, apa dampak positifnya? Kita bisa mengirimkan SMS menanyakan keadaannya, kita di kantor dia mungkin baru pulang sekolah atau dalam perjalanan dengan teman-teman kita bisa saling sapa, kita bisa memberikan ayat firman Tuhan, kita bisa berkata kami mendoakan kamu dalam perjalanan, ada apa-apa mohon hubungi kami. Jadi dengan kata lain benda-benda komunikasi itu bisa menjadi perlambangan kita di sampingnya kalau kita juga sering-sering menggunakan untuk bersapa dengan anak kita, jadi jangan gunakan handphone terus-menerus untuk memberikan wejangan atau nasihat kepada si anak, si anak lama-lama menjadi kesal juga. Tapi kalau untuk saling bersapa dia akan senang dan dengan kata lain handphone itu menjadi representasi kehadiran kita di sampingnya juga bahwa kita itu masih tetap sekali-sekali bersapa dengan dia dan dia menjawabnya, sehingga bisa mengakrabkan relasi kita dengan anak- anak remaja.
GS : Pak Paul, sering kali gejolak remaja ini justru terlihat atau mencerminkan kondisi orang
tua mereka sendiri yang kurang harmonis atau memang seperti itu, Pak?
PG : Sering kali begitu, Pak Gunawan, meskipun saya ingin mengatakan bahwa tidak semua masalah remaja bersumber dari masalah relasi orang tuanya, belum tentu. Tapi ini juga yang bisa saya katakan kalau orang tua mempunyai relasi yang kuat maka relasi yang kuat itu lebih bisa menahan gejolak si remaja yang sedang bermasalah. Sebaliknya kalau relasi orang tua tidak kuat maka relasi itu tidak akan kuat menahan gejolak permasalahan si remaja, meskipun tidak selalu masalah remaja muncul dari masalah antara orang tua. Tapi kalau orang tua tidak mempunyai relasi yang kuat itu akan lebih menyulitkan relasi mereka menghadapi gejolak si remaja. Contoh yang gampang misalkan si anak mulai malas membersihkan kamar, tidak membersihkan ranjangnya, barangnya tergeletak di mana-mana, akhirnya terjadilah pertengkaran. Nah, si mama yang marah dan meminta anak remajanya membereskan, si papa tidak marah. Nah, kalau di dalam relasi orang tua memang sudah ada masalah ini, si papa tidak suka karena si mama itu sedikit-sedikit maunya bersih, sedikit-sedikit barang ditaruh di sini dimarahi, nah jadi waktu si papa melihat si mama memarahi si anak, tidak bisa tidak dia merasa seolah-olah dia yang dimarahi, sebab di masa lampau atau sampai sekarang pun dia pernah mendapat amarah si istri karena hal yang sama. Akhirnya waktu si anak dan si ibu bertengkar, si ayah akhirnya ya terlibat tapi membela si anak. Apa yang terjadi kemudian, si ibu akan marah sekali karena si ibu merasa ayah tidak mendukungnya malah menjatuhkannya di hadapan si anak, masalahnya adalah pada awalnya atau pada dasarnya si ayah sudah marah pada si ibu karena ketidakcocokannya itu akhirnya masalah tambah ruwet.
GS : Memang di situ remaja sering kali merasa dirinya itu hanya sebagai obyek saja tapi tidak pernah menjadi subyek di dalam rumah itu, Pak Paul.
PG : Itu yang sering terjadi, Pak Gunawan, karena pada saat-saat ini setiap orang tua merasa khawatir dan mereka mulai bergolak, jadi orang tua seolah-olah itu makin mengeraskan genggaman pada si anak. Kalau pada masa kanak-kanak justru si anak pergi ke mana, pulang jam berapa dia dijemput, apa yang dimainkan di sana orang tua juga tidak bertanya-tanya. Tapi sekarang begitu anak remaja pergi umur 16 tahun atau 15 tahun dia pulang orang tua langsung bertanya: Kamu melakukan apa saja tadi? Waktu umur 10 tahun, 11 tahun, 12 tahun, pergi-pergi, pulang tidak pernah ditanya: Kamu melakukan apa saja tadi? Sekarang umur 15 tahun pergi waktu pulang ditanya: Kamu
melakukan apa tadi? Nah, apa yang terjadi orang tua memang mulai mengeraskan genggamannya pada si anak. Akhirnya si anak berontak, marah, tidak suka, kenapa saya diperlakukan seperti ini, seolah-olah saya menjadi obyek. Makanya orang tua harus berhati-hati dan salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah orang tua mesti belajar mendengarkan anak remaja, membuka jalinan komunikasi. Seorang pemerhati remaja, seorang hamba Tuhan yang bernama Jay Kessler pernah menulis sebuah buku tentang remaja dan dia mengadakan survey di tengah-tengah remaja. Keluhan apa yang sering diungkapkan oleh anak-anak remaja terhadap orang tuanya. Nomor satu dalam daftar itu adalah keluhan orang tua saya tidak mendengarkan saya, jadi hanya satu arah, hanya sepihak dan kami hanyalah obyek yang harus ikut saja apa yang orang tua inginkan.
GS : Pak Paul, sebenarnya pada saat-saat gejolak seperti ini bukankah anak remaja itu membutuhkan bimbingan dari firman Tuhan dan kegiatan-kegiatan rohani yang
membangun dia. Tetapi justru pada saat-saat seperti ini para remaja ini seolah-olah banyak yang menjauhkan diri atau kurang menyukai hal-hal yang berbau rohani, Pak Paul?
PG : Saya berikan contoh dari pengalaman hidup saya pribadi Pak Gunawan, waktu saya SMA saya berambut panjang. Nah, saya itu juga senang memakai baju-baju yang sedikit aneh, nah saya masih ingat sekali sewaktu hari Minggu saya di kelas Sekolah Minggu saya diajar oleh seorang guru yang lain, biasanya guru saya adalah guru yang biasa tapi sekarang ada guru lain yang menggantikan. Guru Sekolah Minggu saya ini rupanya sangat tidak suka melihat rambut saya yang panjang, jadi sedang membahas topik apa saya tidak tahu tiba-tiba dia memunculkan topik tentang kita harus berubah dan tidak boleh sama dengan dunia ini, dan langsung yang dia tegur adalah rambut panjang. Nah, saya tahu dia sedang membicarakan saya karena di dalam kelas saya itu mungkin hanya satu, dua orang yang berambut panjang, salah satunya adalah saya. Saya masih ingat sekali saya tidak suka dengan tegurannya itu, teman saya yang berambut pendek membela dan berkata: Tapi bukankah Tuhan Yesus pun berambut panjang? Memang tidak ada bukti Tuhan berambut panjang pada saat itu, hanya gambar-gambar-Nya sajalah yang menggambarkan Tuhan berambut panjang. Tapi intinya adalah saya tidak suka, sebab memang penekanan pada hal-hal yang lahiriah itu tidak mudah diterima oleh remaja. Kebanyakan remaja pada saat-saat ini mereka lebih membutuhkan penjelasan yang lebih bersifat batiniah, yang lebih pribadi, yang lebih ke dalam bukannya yang di luar atau penampakan. Mereka pada saat-saat remaja memang lebih bersifat idealis sehingga mengabaikan yang di luar dan lebih mementingkan yang di dalam, nah waktu guru Sekolah Minggu saya menekankan penampakan yang di luar yakni rambut saya, saya tidak terima. Kenapa, sebab memang buat saya rambut tidak mencerminkan siapa saya, jiwa saya seperti apa, sama sekali tidak. Jadi hati-hati orang tua jangan terlalu mudah juga akhirnya terkecoh, terlalu memfokuskan pada yang di luar, penampilan-penampilan lahiriah. Kalau tidak suka dengan anak yang tidak membereskan kamarnya dan sebagainya jangan kita menyerangnya kamu orang jorok, kamu orang malas, kamu orang yang tidak bertanggung jawab dan sebagainya, sebab belum tentu. Bisa jadi dalam hal sekolah anak ini sangat bertanggung jawab, jadi kita hanya katakan kamu perlu membereskan, langsung saja minta tapi tidak usah kita tambahkan kamu tidak bertanggung jawab dan kamu tidak mencerminkan kesaksian Kristen yang baik dan sebagainya, tidak perlu sampai seperti itu.
GS : Juga kadang-kadang nasihat kita sebagai orang tua itu seolah-olah mau menggunakan firman Tuhan dari ayat-ayat Alkitab itu supaya lebih berwibawa, Pak Paul. Tapi ternyata remaja kita tidak bisa menerima itu.
PG : Saya kira intinya adalah penjelasan firman Tuhan itulah yang harus kita lakukan dengan lebih baik sehingga tidak terdengar menghakimi dan tidak hanya memfokuskan pada penampakan luar. Jadi kita masuk ke lebih dalam, nah daripada mempersoalkan yang lahiriah saya kira lebih penting membangun kehidupan rohani anak-anak remaja kita.
GS : Tetapi apakah remaja ini sudah bisa membayangkan hal-hal yang ideal seperti itu, Pak
Paul?
PG : Kita akhirnya frustrasi ya kenapa kita lempar, kita tanam benih-benih firman itu tapi rasanya tidak ada dampaknya pada diri anak remaja kita. Namun sesungguhnya, firman yang telah mereka dengar itu tertanam pada benak mereka dan karena tertanam suatu
hari kelak tatkala dibutuhkan itu akan bertunas dan bisa mengingatkan mereka untuk tidak melakukan hal-hal salah yang sedang mereka pikirkan untuk lakukan. Jadi jangan kita kecewa, putus asa, tidak ada gunanya, tidak. Firman yang kita tebarkan akan ada hasilnya untuk anak-anak remaja kita.
GS : Ya tetapi itu memang membutuhkan ketekunan, ketelatenan, membutuhkan pendekatan yang baik kepada anak-anak remaja kita. Mungkin Pak Paul bisa menyampaikan ayat firman Tuhan yang bisa menolong orang tua maupun anak remaja.
PG : Firman Tuhan yang akan saya kutip adalah Roma 12:2, ayat yang sangat kita kenal yaitu Janganlah kita menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi hendaklah kita berubah oleh pembaharuan akal budi kita. Tujuannya adalah supaya kita mengenal atau mengetahui apa yang menjadi kehendak Tuhan. Nah, saya mau menerapkan ayat ini bukan hanya untuk remaja tapi juga untuk kita Pak Gunawan, kita sebagai orang tua kita juga harus rohani, kalau tidak rohani kita juga tidak mungkin akan mengerti inti firman Tuhan, isi hati Tuhan sendiri, tidak mungkin. Akhirnya kita hanya bisa mengutip dan melontarkan ayat-ayat itu tanpa bisa menerapkannya dalam kehidupan anak-anak kita. Kita mesti diperbaharui dulu, kita mesti mempunyai kehidupan rohani yang baik sehingga dilihat oleh anak-anak remaja kita. Akhirnya waktu kita datang kepadanya, berbicara kepadanya kita pun memiliki wibawa rohani. Sehingga ayat yang kita sampaikan, bimbingan yang kita lakukan kepadanya akan lebih efektif dan dia akan lebih tanggap. Dia mendengarkan masukan dari seorang yang rohani, bukan hanya orang yang bisa berbicara tapi orang yang berbuat, nah ini akan jauh lebih menyentuh hatinya. Dan sekali lagi saya tekankan remaja lebih mudah berubah kalau hatinya tersentuh, jadi penjelasan yang bersifat rasional itu tidak terlalu efektif mengubah remaja, kalau hatinya yang tersentuh dia akan lebih mudah untuk berubah.
GS : Berarti remaja pun bisa mempunyai hati yang lembut sebenarnya, Pak Paul ya.
PG : Bisa, dan firman Tuhan kalau sudah masuk menyentuh hatinya akhirnya bisa mengubah perilakunya pula.
GS : Bukankah pertobatan banyak terjadi pada masa remaja juga. PG : Tepat sekali.
GS : Terima kasih banyak Pak Paul, untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Remaja Bergolak. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda
menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs atau website kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Masa remaja adalah masa yang selalu ditandai dengan pergolakan. Hampir setiap keluarga mengeluhkan betapa susahnya membesarkan anak-anak remaja. Dan kecenderungan yang terjadi adalah orang tua membandingkan bahwa masa remaja mereka atau masa mereka dahulu jauh lebih baik dibandingkan dengan masa sekarang. Namun yang perlu ditekankan adalah ada hal-hal tertentu yang harus diwaspadai dengan zaman sekarang ini yaitu adanya hal-hal yang unik yang hanya ada pada zaman ini, yang tidak ada pada zaman dahulu. Keunikan zaman sekarang ini adalah globalisasi. Sekarang ini dunia disebut sebagai global village artinya kampung global yang artinya juga adalah suatu permukiman yang dihuni oleh semua penduduk dunia.
Ada beberapa hal yang mempersatukan penduduk dunia dalam satu kampung besar yaitu:
1. Adanya jaringan komunikasi yang canggih. Sehingga batas antara manusia yang bermukim pada tempat yang berbeda menjadi sangat kabur.
2. Adanya jaringan transportasi yang makin bertambah canggih, sehingga kita bisa terbang dari satu benua ke benua yang lain.
Jadi memang kita menjadi satu permukiman yang besar sekali, jadi bangsa atau budaya yang dominan akan menjadi budaya yang mempengaruhi budaya-budaya lain di dunia ini. Akhirnya mereka ini mempunyai satu budaya universal di kalangan remaja. Globalisasi memang tidak bisa tidak mentransmisikan atau meneruskan budaya dan didalam budaya ada nilai hidup, ada etika- etika tertentu yang memang menjadi bagian dari budaya itu sendiri. Sebab budaya tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai hidup kita atau nilai-nilai moral kita.
Dampak globalisasi dalam banyak aspek positif sekali. Misalnya penyampaian dan penerusan ilmu pengetahuan dan wawasan dunia. Dan itu semua diberikan pada para remaja kita dan itu adalah hal yang bermanfaat bagi mereka.
Namun juga perlu diwaspadai juga adalah bahwa budaya-budaya yang masuk ini membawa bobot
moral yang adakalanya berlawanan dengan iman kepercayaan kita sebagai orang Kristen.
Di antara sekian masalah-masalah, sebetulnya ada masalah yang paling hakiki atau masalah yang lebih menjadi landasan munculnya masalah-masalah lain yaitu:
1. Disintegrasi keluarga atau perpecahan keluarga.
Karena inilah banyak keluarga atau banyak anak-anak remaja kehilangan arah. Karena mereka menyaksikan kontradiksi-kontradiksi di dalam keluarga, sehingga akhirnya mempengaruhi nilai hidup dan perilaku mereka. Kontradiksi yang dimaksud adalah ketidakcocokan antara apa yang dikatakan orang tua dan yang diperbuat orang tua.
2. Dan masalah yang lebih dalam lagi adalah masalah kerohanian.
Sebab jika kita hidup dalam terang Firman Tuhan, takut akan Tuhan, mau benar-benar
mengamalkan Firman Tuhan dalam hidup, maka akan ada banyak masalah yang dapat diselesaikan. Roma 12 : 1 berkata: Hendaklah kita diperbaharui dalam akal budi kita, diperbaharui artinya setelah kita menerima Yesus sebagai Juru Selamat kita dan diisi oleh Roh Tuhan seyogyanyalah kita tidak melihat dunia dan hidup ini dengan kacamata yang sama tapi kita melihatnya dengan perspektif Tuhan sendiri, apa yang Tuhan akan lakukan atau apa yang Tuhan akan katakan dalam situasi-situasi seperti ini.
Membingkai Seks Secara Tepat|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T397B|T397B|Pendidikan|Audio|Seks diciptakan Tuhan dengan tujuan yang mulia, namun seringkali manusia menyalahgunakannya sehingga seks kehilangan kemuliannya. Dan di zaman sekarang begitu mudah mendapatkan materi tentang pornografi. Sebagai orang tua, peran kita di dalam memberikan penjelasan tentang seks sangatlah DIHARUSKAN agar anak tidak salah mengerti tentang seks. Apa saja yang harus diajarkan? Di sini akan diajarkan 3 hal utama yang harus diajarkan kepada anak, agar anak memahami arti tentang seks secara benar.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T397B.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang- bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Membingkai Seks Secara Tepat. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, membicarakan tentang seks ini mudah-mudah sukar bagi orang tua terutama bicara dengan anaknya, anak juga merasa enggan bertanya kepada orang tua dan orang tua juga merasa enggan membicarakan seks kepada anaknya. Tapi sebagai anak kepingin tahu segala sesuatu termasuk seks. Kalaupun dia tidak mendapat tanggapan dari orang tua dia akan mendapat informasi dari tempat-tempat lain dan itu seringkali menyesatkan. Orang tua baru terkejut ketika pengertian anak tentang seks itu agak bertentangan dengan yang dipikirkan oleh orang tua. Dan bagaimana menjembataninya, Pak Paul ?
PG : Saya setuju dengan yang Pak Gunawan katakan kalau kita sebagai orang tua tidak membicarakannya si anak juga pasti akan tahu, masalahnya adalah darimana dia tahunya kalau kebetulan tahunya dari sumber yang tepat dan baik dan benar maka tidak apa-apa, tapi kalau tahunya dari sumber yang tidak baik maka itu akan mengotori si anak itu sendiri. Jadi inilah yang harus kita lakukan, kita harus berani membicarakan seks kepada anak-anak kita dan juga pentingnya kita membicarakan dengan anak-anak kita adalah kita tidak bermasalah untuk membahas pembicaraan tentang seks kepada anak supaya lain kali kalau dia sampai ada pertanyaan atau dia bingung, dia tahu kalau tidak apa-apa bicara dengan kita soal seks, kalau kita sama sekali tidak bicara dan ketika kita ditanya memberikan respons yang tidak senang membicarakan tentang seks, si anak nanti akan berpikir, Nanti kalau saya punya masalah, saya tidak perlu bicara dengan orang tua saya. Jadi dengan kata lain kalau kita beranikan diri bicara soal seks dengan anak, itu seolah-olah membuka pintu komunikasi untuk selanjutnya sehingga waktu si anak membutuhkan nasehat kita untuk masalah ini, dia tahu dia akan bisa bicara dengan kita soal ini.
GS : Sumber orang tua untuk mendapatkan modal bicara tentang ini darimana, Pak
Paul ?
PG : Sudah tentu orang tua bisa membaca buku-buku yang baik, dari situ anak- anak nanti bisa belajar dari orang tua tentang bimbingan yang juga baik atau orang tua juga bisa berbicara misalnya dengan rohaniwan di gereja minta nasehat-nasehat, dari situ juga anak-anak nanti mendapatkan informasi yang baik dari orang tua.
GS : Sebagai keluarga Kristen tentunya kita punya pandangan yang khusus tentang seks ini, dalam hal ini seperti apa, Pak Paul ?
PG : Kita adalah anak-anak Tuhan jadi kita mendasari semua kehidupan kita ini, termasuk soal seksual ini pada pandangan Alkitab. Ada beberapa yang harus kita ajarkan kepada anak-anak supaya mereka memunyai pandangan yang tepat tentang seks. Ada tiga yang akan saya angkat, yang pertama adalah kita perlu mengajarkan kepada anak bahwa seks itu mulia dan kudus. Coba saya jelaskan apa yang saya maksud dengan kata mulia dan kudus. Mulia dalam pengertian seks bukan hanya aktivitas fisik untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti makan dan minum, lebih dari sekadar pemenuh kebutuhan, seks adalah sarana yang digunakan Tuhan untuk meneruskan proses penciptaan manusia. Kita tahu bahwa penciptaan adalah tindakan Tuhan yang mulia untuk melahirkan karya yang mulia pula yang sesuai dengan gambar Allah sendiri yaitu adalah kita manusia. Dalam artian inilah seks merupakan sesuatu yang mulia. Saya juga berkata seks itu kudus, artinya Tuhan memisahkan seks (karena menguduskan artinya adalah memisahkan) dari perbuatan lainnya dan menempatkannya di dalam naungan pernikahan. Sebagaimana pernikahan adalah kudus dalam pengertian pernikahan merupakan relasi yang eksklusif maka seks pun kudus dalam pengertian yang sama sebagaimana kita ini tidak menikah dengan siapapun yang kita jumpai demikian pulalah kita tidak berhubungan seks dengan siapa pun yang kita sukai. Jadi inilah yang saya maksud dengan seks itu mulia dan kudus berdasarkan pandangan Alkitab.
GS : Bagaimana kita sebagai orang tua menjelaskan hal ini kepada anak-anak supaya jangan dianggap bahwa pandangan itu kuno, pandangan itu ketinggalan zaman, itu bagaimana, Pak Paul ?
PG : Kita bisa memulai dengan mengatakan apa yang sekarang ini diyakini atau diikuti oleh kebanyakan orang-orang muda, yang akhirnya keluar dari jalur Tuhan. Jadi kita bisa memulai dengan berkata bahwa di dunia ini konsep bahwa seks adalah mulia dan kudus bertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh dunia ini. Kita perlu menyadarkan anak bahwa besar kemungkinan dia akan dibombardir dengan pelbagai pandangan tentang seks yang pada intinya mengingatkan bahwa seks adalah aktifitas fisik belaka, sama seperti makan dan minum, atau bahwa seks untuk orang yang telah saling suka. Maka kita akan katakan kepada anak ada pertentangan antara apa yang Alkitab katakan dan apa yang dunia katakan. Jadi kita yang ingin menaati Tuhan tidak bisa tidak, harus bergumul melawan gempuran-gempuran dari luar ini. Jadi kita ingatkan anak-anak bahwa hampir semua elemen di luar Tuhan akan membujuknya untuk menjadikan seks lebih rendah daripada mulia dan kudus. Jadi sekali lagi dalam pembicaraan dengan anak, kita mulai dengan apa yang dia ketahui atau dengar, atau yang mungkin dia lihat, dari situ baru kita masuk ke dalam apa yang sebetulnya Alkitab ajarkan.
GS : Disini ketika anak diajarkan dikaitkan dengan Alkitab mereka mulai menjauh karena tidak terbiasa atau menganggap, Itu 'kan ajaran Alkitab, tapi faktanya yang dia jumpai tiap-tiap hari berbeda dengan yang yang diajarkan oleh orang tuanya berdasarkan Alkitab itu tadi.
PG : Memang akhirnya tidak ada yang lebih kuat daripada kenyataan. Jadi anak itu tidak akan bisa melawan kenyataan. Saya masih ingat salah satu anak kami berkata begini, Saya melihat sendiri Papa Mama bahwa orang yang hidup sesuai dengan apa yang firman Tuhan katakan akhirnya lebih bisa menikmati hidup sebab hidup mereka itu berada di jalur yang benar dan saya melihat bahwa siapa, siapa yang hidupnya tidak di jalur Tuhan, sembarangan dan penuh dengan dosa akhirnya menuai masalah dalam hidup mereka. Jadi sekali lagi waktu anak-anak melihat kita ini sebagai orang tua menerapkan prinsip ini bahwa seks itu adalah mulia dan kudus, maka anak-anak akan melihat Papa dan Mama setia satu sama lain, Papa dan Mama tidak berbuat macam-macam. Ini menjadi sebuah kesaksian yang sangat-sangat kuat sekali. Jadi lewat kehidupan pribadi kita menunjukkan bahwa seks adalah mulia dan kudus, misalnya karena seks itu mulia maka kita tidak melihat video atau film porno yang menjadikan seks sebagai komoditas murahan. Karena kudus maka kita juga tidak berhubungan dengan pria atau wanita lain secara seksual, sebaliknya kita hidup setia kepada suami atau istri kita. Lewat perbuatan nyata ini, anak berkesempatan melihat bahwa seks itu mulia dan kudus dan layak dipertahankan sebagai sesuatu yang mulia dan kudus, sebaliknya kalau orang tua hidupnya sembarangan gonta-ganti pacar atau nonton film-film porno, apa yang anak-anak nantinya pelajari ? Seks itu tidak mulia dan tidak kudus. Jadi nanti setelah dia besar dia juga akan memerlakukan seks seperti itu pula, tidak mulia dan tidak kudus. Jadi sekali lagi penting sekali orang tua menunjukkan contoh.
GS : Disitu kita mengharapkan agar anak menghargai seks sebagai karunia Tuhan yang luar biasa, jadi sesuatu yang sangat berharga dan harus dijaga dan digunakan dengan hati-hati.
PG : Betul sekali. Jadi waktu kita memerlakukan seks sebagai sesuatu yang mulia dan kudus anak juga akhirnya akan belajar untuk memerlakukannya secara mulia dan kudus. Saya tidak berkata bahwa kalau kita hidup benar memerlakukan seks sebagai sesuatu yang mulia dan kudus maka anak-anak pasti akan mengikuti jejak kita, memang tidak. Sebab saya juga mengerti bahwa anak-anak kita nantinya akan memunyai kehendak sendiri dan pilihan sendiri, dia bisa ikuti teladan kita atau dia bisa ikuti keinginan hatinya yang bisa saja bertolak belakang, tapi setidak-tidaknya kalau anak itu diberikan kesempatan melihat kenyataan dan kita menunjukkan lewat perbuatan kita bahwa seks adalah mulia dan kudus, anak itu lebih terdorong untuk mengikuti contoh itu.
GS : Hal kedua yang perlu kita ajarkan apa, Pak Paul ?
PG : Hal kedua adalah bahwa seks itu berbobot sangat berat. Maksudnya saya menyadari bahwa semua dosa adalah pelanggaran terhadap hukum Tuhan namun pada kenyataannya dosa tidak memunyai bobot dampak yang sama, itu sebab dampak dosa perkosaan sebagai contoh tidak sama dengan dampak dosa pencurian. Korban perkosaan acapkali harus mengalami trauma berat yang berkepanjangan, itu juga sebab mengapa dampak dosa perzinahan tidak sama dengan dampak dosa dusta lainnya, memang perzinahan mengandung
dusta tapi itu tidak sama dengan dusta yang lainnya misalnya pulang terlambat, dan itupun sebab orang yang berpacaran kemudian putus namun sudah terlibat hubungan seksual akan mengalami dampak emosional yang jauh berbeda (lebih berat) daripada orang yang putus pacaran tanpa hubungan seksual. Lewat contoh-contoh ini kita tekankan kepada anak bahwa semua perintah Tuhan berasal dari hati Tuhan dan hati Tuhan berisikan kebaikan. Tuhan senantiasa memikirkan apa yang baik bagi kita anak-anak-Nya. Tuhan melarang kita untuk berhubungan seksual di luar pernikahan oleh karena Dia tahu dampak perbuatan ini adalah berat. Jadi kepada anak kita ingatkan agar dia berhati-hati bukan saja supaya dia tidak menjadi korban tapi supaya dia tidak menjadikan orang lain korban perbuatannya. Sebab sekali lagi seks itu berbobot berat, orang yang di luar Tuhan inilah yang mencoba untuk menyebarkan gagasan bahwa seks itu ringan, gampang, tidak apa-apa, tidak ada efeknya. Itu salah! Tadi saya sudah berikan contohnya, perkosaan tidak sama dengan pencurian, dampaknya itu sangat berbeda, perzinahan tidak sama dengan dusta lainnya, contoh yang klasik adalah kalau orang sudah berhubungan seksual dan kemudian putus pacar dampak emosionalnya lebih berat dibanding dengan orang yang putus pacaran tapi tidak pernah berhubungan seksual. Jadi tidak ada yang ringan tentang seks, maka inilah yang harus kita ajarkan kepada anak-anak, tidak ada yang ringan tentang seks dampaknya berat jadi berhati-hati jangan sampai menjadi korban dan jangan sampai menjadikan orang lain korban.
GS : Ini sangat berkaitan dengan hal yang pertama tadi, jadi kalau seseorang sudah menyadari bahwa seks itu mulia dan kudus maka ia akan bisa mengerti apa yang Pak Paul uraikan pada bagian yang kedua ini tapi sebelum dia menghargai seks itu sebagai sesuatu yang mulai dan kudus mungkin akibatnya juga dia tidak menghargai dampaknya dan menganggap dampaknya ringan.
PG : Tepat sekali. Memang semua berpulang pada yang pertama tadi, pandangan kita tentang seks itu apa, kalau kita sudah meremehkannya, aktifitas belaka, ungkapan cinta sama suka dan tidak lagi mulia dan kudus, maka kita akan gunakan seks semaunya tapi dampaknya itu tidak pernah ringan. Kalau orang berkata, Tidak ada dampaknya sama sekali itu tidak benar! Karena saya sudah berikan contoh-contoh tadi itu perkosaan dampak emosionalnya tidak sama dengan pencurian. Itu menunjukkan seks berbobot berat dan bukan sesuatu yang ringan.
GS : Mungkin kita bisa memberikan contoh konkret kepada anak yang kepadanya
kita bisa beritahukan tentang akibat-akibat penyalahgunaan seks ini, Pak Paul. PG : Betul. Berapa banyak orang yang mau menikah berdebat menimbang-nimbang
cerita atau tidak cerita, cerita apa ? Karena sudah pernah berbuat. Laki-laki
juga sama, kadang laki-laki berpikir, Saya tidak apa-apa tapi kalau sampai istrinya tahu bahwa sebelum menikah suami saya juga pergi ke sana ke sini berhubungan seksual dengan orang lain, itu menimbulkan suatu prasangka buruk pada diri si istri sebab ini menjadi catatan gelap, kalau suami saya dulu gampang berbuat begitu, nanti setelah menikah bisa saja dia berbuat yang
sama. Jadi sekali lagi tidak ada yang ringan tentang seks, kalau kita mengatakan itu ringan maka kita sedang mendustai diri sendiri.
GS : Memang berat buat kaum muda pada saat ini karena lingkungan itu sangat tidak mendukung bahwa seks itu adalah sesuatu yang kudus dan mulia.
PG : Betul sekali. Begitu banyak ide-ide yang bertebaran, yang mencoba untuk menghancurkan sesuatu yang sebetulnya mulia dan kudus sebagaimana dimaksudkan oleh Tuhan. Jadi kita sebagai orang beriman kita harus menjaganya, sudah tentu tadi saya sudah katakan tugas kita sebagai orang tua adalah menanamkan hal ini pada diri anak dan tidak ada jaminan anak pasti akan menuruti apa yang kita katakan, tapi setidak-tidaknya kita sudah katakan atau ajarkan dan tunjukkan lewat kehidupan kita dan mudah-mudahan nanti akan menjadi bekal yang akan diingat oleh anak.
GS : Mungkin kita bisa beritahukan kepada anak justru disitulah letak perbedaan
antara manusia dengan binatang, Pak Paul.
PG : Tapi memang anak sekarang ini apalagi kalau sudah dipengaruhi oleh lingkungannya seringkali tidak dipikirkannya sejauh itu maka kitalah sebagai orang tua yang harus mengajak anak melihatnya sejauh itu karena lingkungan dia itu tidak akan mengajarkan mereka untuk melihat seks sejauh itu.
GS : Masih banyak orang tua yang hanya menekankan hal ini pada anak perempuannya tapi pada anak laki-lakinya tidak, sebab dipikir tidak ada resikonya atau resikonya kecil padahal dampaknya sama.
PG : Sama sebab misalkan anak-anak yang akhirnya boleh berbuat hubungan seksual meskipun dia laki-laki nanti setelah menikah rem itu sudah jebol, meskipun dia sudah menikah karena rem itu sudah jebol maka dia lebih gampang, tapi laki-laki yang bisa menjaga diri dan tidak melakukannya sebelum dia menikah maka rem itu ada bahkan sampai setelah menikah. Saya tidak berkata, Pasti tidak bisa jatuh ke dalam pencobaan orang yang seperti ini tidak ada yang pasti, karena kita manusia bisa jatuh ke dalam pencobaan, tapi kalau kita dari awal sudah memunyai rem itu maka rem itu yang juga akan kita bawa setelah menikah, tapi kalau dari muda kita tidak punya rem itu dan berbuat semaunya dengan orang maka nanti setelah menikah karena kita memang tidak pernah punya rem itu, maka kita akan sulit menahan diri kita.
GS : Hal ketiga yang bisa kita ajarkan apa, Pak Paul ?
PG : Seks bukanlah tujuan melainkan hasil dari tujuan yang telah dicapai. Di dunia anak akan mendengar gagasan bahwa seks adalah tujuan, misalnya tujuan berpacaran, bagi sebagian orang seks bahkan telah menjadi tujuan hidup itu sendiri, pikirannya terisi hanya oleh seks dan tidak ada yang terlebih penting daripada seks, ada orang-orang yang benar-benar terobsesi oleh seks. Seks dimaksudkan oleh Tuhan untuk menjadi hasil atau akibat dan perayaan dari suatu kemenangan, itu sebab dalam konteks pernikahan seks menjadi wujud puncak dan perayaan kasih itu sendiri, seks bukan kendaraan yang membawa kita kepada kasih sebagaimana didengungkan oleh orang di dunia. Jadi berhubunganlah nanti kamu akan lebih mengasihi, tidak! Seks juga tidak membawa kita kepada komitmen, berhubunganlah nanti dia akan berkomitmen dengan kamu, tidak! Sebaliknya komitmen membawa kita
kepada seks, itu yang seharusnya, kita menikah itu adalah komitmen maka baru kita berhubungan. Jadi sekali lagi kita mengerti kenapa Tuhan menghendaki seks dilakukan dalam pernikahan, karena di dalam pernikahanlah terdapat komitmen yang terdalam. Jadi mungkin di dunia anak kita akan mendengar omongan teman yang mengajarkan bahwa seks akan membuat pria atau wanita itu lebih mengasihinya, lebih berkomitmen kepadanya, itu menurut saya adalah dusta iblis. Jadi kita harus mengajarkan anak-anak untuk tidak meyakini atau memeluk keyakinan yang seperti itu.
GS : Memang di sini ada dua pandangan yang saling bertolak belakang, satu sisi begitu mengagungkan seks tapi di sisi lain tidak menghargai seks sama sekali, seolah-olah itu hanya sebuah kegiatan yang rutin yang dilakukan sebagai pasangan suami istri atau semacam kesukaan atau senang-senang saja tanpa ikatan apa-apa.
PG : Kalau orang memang menempatkan seks hanyalah sebagai aktifitas fisik
kebanyakan nantinya seks itu akan kehilangan daya tariknya, pada akhirnya setelah usia tertentu benar-benar tidak ada lagi suatu keinginan bahkan menolak, justru kalau kita menempatkannya dalam posisi yang tepat bahwa ini adalah mulia dan kudus, maka kita akan berusaha untuk menuju ke sana, lain perkara saya mengerti adakalanya memang ada masalah, ini sesuatu yang harus kita terima di dalam kehidupan bahwa tidak semua orang akan bisa karena kadang-kadang ada masalah tertentu yang menghalangi kita untuk melakukannya. Dalam kasus dimana memang tidak ada masalah sama sekali pandangan bahwa seks adalah mulia dan kudus, yang tepat itu justru akan membuat pasangan suami istri itu akan terus melakukannya sampai panjang sebab saya mendengar berapa banyak kasus seperti ini waktu masih muda, baru menikah ada juga yang karena sudah berbuat sebelum menikah, tapi setelah menikah atau berapa lama setelah menikah padam semuanya. Itu adalah contoh orang-orang yang memang melihat seks hanyalah sebagai pemuas atau hanyalah aktifitas fisik belaka. Jadi sekali lagi yang seperti itu akhirnya runtuhnya cepat sekali.
GS : Kalau seks itu bukan suatu tujuan, tentu anak akan bertanya kalau begitu apa tujuannya ? Jadi apa yang harus kita jawab, Pak Paul ?
PG : Jadi memang seks itu adalah sebuah akibat dari penyatuan dua manusia, jiwa dengan jiwa, hati dengan hati, kasih dengan kasih yang menyatu. Barulah seks itu merupakan akibatnya sekaligus merupakan perayaan karena dua-dua menjaga diri, dua-dua berjuang keras membela kesucian dan setia kepada satu sama lain sehingga seks merupakan sebuah perayaan terhadap hubungan mereka yang kuat itu. Jadi memang seks tidak pernah dimaksudkan sebagai tujuan, Tuhan tidak pernah memaksudkan seks sebagai tujuan sehingga kalau di Alkitab apakah pernah Tuhan berkata berkali-kali berhubungan sekslah tidak! Di Alkitab hanya satu kali tercantum yaitu di 1 Korintus 7 waktu Paulus menasehati istri dan suami untuk menunaikan kewajibannya, hanya itu saja, tapi selain itu tidak ada karena memang tidak pernah seks menjadi sangat besar yang harus dikejar-kejar karena seks bukanlah tujuan.
GS : Lengkapnya apa firman Tuhan yang ada pada 1 Korintus 7, Pak Paul ?
PG : Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya. Jadinya tunaikanlah kewajiban jangan sampai tidak menunaikan kewajiban tapi sebetulnya ayat ini kita bisa melihat adanya penyerahan kepercayaan dan komitmen terdalam di antara manusia, tidak ada penyerahan kepercayaan dan komitmen sedalam ini di antara semua ikatan di dunia. Jadi waktu Tuhan berkata, Istri tidak berkata atas tubuhnya sendiri tapi suaminya demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri tapi istrinya ini benar-benar penyerahan. Tubuhku kuserahkan kepadamu dan kepercayaan, Aku mempercayakan tubuhku kepadamu dan komitmen, Aku tidak memberikan tubuhku kepada yang lain tapi hanya kepada engkau jadi benar-benar firman Tuhan ini melukiskan ketiga unsur ini, di dalam penyerahan, kepercayaan dan komitmen terdalam inilah seks berada dengan aman, di luar ini tidak ada tempat yang aman. Inilah rencana Tuhan mengaruniakan seks kepada kita.
GS : Jadi ini sesuatu hal yang harus disadari betul dan harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh karena untuk menyerahkan diri kepada orang lain kadang- kadang orang juga masih pikir-pikir, demikian juga dengan kepercayaan dan komitmen, kalau hal-hal ini mungkin ada tapi hanya porsinya kecil sekali sehingga orang tidak bisa menikmati seks secara benar di hadapan Tuhan.
PG : Betul sekali, jadi ketiga unsur ini memang harus ada di dalam pernikahan barulah seks bisa dilakukan, adanya penyerahan, adanya kepercayaan dan adanya komitmen.
GS : Biasanya kalau kita bicara dengan anak-anak kita maka mereka akan sulit
memahami hal ini karena bentuk penyerahan atau kepercayaan atau komitmen ini butuh waktu untuk ada di dalam diri seseorang.
PG : Betul sekali. Oleh sebab itu kita tidak bisa sekaligus mengajarkan anak-anak untuk bisa menerimanya, tapi kita harus menyiapkannya dulu, misalnya supaya anak bisa menerima bahwa apa yang firman Tuhan katakan itu adalah baik dan itu perlu dituruti. Kalau anak tidak bisa menerima itu sudah tentu apa yang akan kita ajarkan tentang seks ini tidak bisa lagi diterima oleh anak.
GS : Jadi 1 Korintus7:4 memang menjadi kunci pembicaraan kita pada saat ini. PG : Betul.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan saat ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Membingkai Seks Secara Tepat. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56
Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Untuk dapat mengoperasikan produk barang baru secara tepat, kita harus membaca buku petunjuk yang dikeluarkan oleh perusahaan yang memproduksi barang tersebut. Jika kita tidak mengikuti petunjuk pemakaiannya, maka besar kemungkinan kita akan mengalami masalah. Demikian pulalah dengan seks. Oleh karena kita manusia--dan termasuk seks--adalah ciptaan Tuhan, maka kita harus melihat dan memakai seks sesuai dengan Buku Petunjuk Tuhan, yaitu Alkitab Firman Tuhan. Sebagai orang tua kita mesti mengajarkan tentang seks kepada anak secara tepat supaya setelah dewasa ia pun dapat hidup seturut dengan petunjuk Tuhan.
Hal pertama yang kita perlu ajarkan kepada anak adalah bahwa seks itu MULIA dan KUDUS. Mulia, dalam pengertian seks bukan hanya aktivitas fisik untuk memenuhi kebutuhan fisik, seperti makan dan minum. Lebih dari sekadar pemenuh kebutuhan, seks adalah sarana yang digunakan Tuhan untuk meneruskan proses penciptaan manusia. Kita tahu bahwa penciptaan adalah tindakan Tuhan yang mulia untuk melahirkan karya yang mulia pula--sesuai dengan gambar Allah sendiri. Dalam artian inilah, seks merupakan sesuatu yang mulia.
Seks adalah kudus dalam pengertian, Tuhan memisahkan seks dari perbuatan lainnya dan menempatkannya di dalam naungan pernikahan. Sebagaimana pernikahan adalah kudus--dalam pengertian, pernikahan merupakan relasi yang eksklusif--maka seks pun kudus dalam pengertian yang sama. Kita tidak menikah dengan siapa pun yang kita jumpai; demikian pulalah kita tidak berhubungan seks dengan siapa pun yang kita sukai.
Pandangan atau konsep bahwa seks adalah mulia dan kudus bertolak belakang dengan gagasan yang bertebaran di dunia. Kita perlu menyadarkan anak bahwa besar kemungkinan ia akan dibombardir dengan pelbagai pandangan tentang seks, yang pada intinya mengatakan bahwa seks adalah aktivitas fisik belaka, sama seperti makan dan minum, atau bahwa seks adalah buat orang yang telah saling suka. Oleh karena adanya pertentangan ini maka ia--dan kita semua yang ingin menaati Tuhan--akan harus bergumul melawan gempuran dari luar.
Hal kedua yang kita perlu tanamkan kepada anak adalah bahwa seks berbobot sangat BERAT. Saya menyadari bahwa semua dosa adalah pelanggaran terhadap hukum Tuhan namun pada kenyataannya dosa tidak memunyai bobot dampak yang sama. Itu sebabnya dampak dosa perkosaan tidak sama dengan dampak dosa pencurian--korban perkosaan acap kali harus mengalami trauma berat yang berkepanjangan. Itu juga sebabnya mengapa dampak dosa perzinahan tidak sama dengan dampak dosa dusta lainnya. Dan, itu pun sebab orang yang berpacaran kemudian putus namun sudah terlibat hubungan seksual akan mengalami dampak emosional yang jauh berbeda dari orang yang putus pacaran tanpa hubungan seksual.
Hal ketiga yang seyogianya kita ajarkan kepada anak adalah bahwa seks bukanlah tujuan melainkan HASIL dari tujuan yang telah dicapai. Di dunia ia akan mendengar gagasan bahwa seks adalah tujuan--tujuan dari berpacaran. Bagi sebagian orang, seks bahkan telah menjadi tujuan hidup itu sendiri--pikirannya terisi hanya oleh seks dan tidak ada yang terlebih penting daripada seks. Seks dimaksudkan Tuhan untuk menjadi hasil dan perayaan dari suatu kemenangan. Itu sebabnya dalam konteks pernikahan, seks menjadi wujud puncak dan perayaan kasih itu sendiri. Seks bukanlah kendaraan yang membawa kita kepada kasih--sebagaimana didengungkan oleh orang di dunia. Seks juga tidak membawa kita kepada komitmen; sebaliknya, komitmen membawa kita kepada seks. Itu sebab Tuhan menghendaki seks dilakukan dalam pernikahan karena di dalam pernikahanlah terdapat komitmen yang terdalam.
Di dunia mungkin ia akan mendengar celoteh teman yang mengajarkan bahwa seks akan membuat pria itu atau wanita itu mengasihinya dan berkomitmen kepadanya. Itulah dusta yang disebarkan iblis.
Firman Tuhan mengajarkan di 1 Korintus 7:4, Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya; demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya. Inilah bentuk penyerahan, kepercayaan, dan komitmen terdalam di antara manusia. Tidak ada penyerahan, kepercayaan dan komitmen sedalam ini di antara semua ikatan di dunia. Nah, di dalam penyerahan, kepercayaan, dan komitmen terdalam inilah seks berada dengan aman. Inilah rencana Tuhan mengaruniakan seks kepada kita.
Komunikasi Suami dan Istri|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T398A|T398A|Suami-Istri|Audio|Prinsip komunikasi adalah satu yaitu kejelasan, apakah berhasil berkomunikasi atau tidak diukur dari apa didengar, dipahami dengan jelas.|3.7MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T398A.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan juga seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang komunikasi suami dan istri. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
(1) GS : Pak Paul, kita memang menyadari bahwa salah satu bagian di dalam kehidupan suami- istri atau hubungan pernikahan adalah komunikasi. Tetapi juga disadari bahwa itu bukan sesuatu hal yang mudah, karena itu sering kali terjadi benturan-benturan di dalam komunikasi dengan pasangan kita. Nah pada kesempatan ini mungkin yang bisa kami bahas adalah bagaimana sebenarnya suami-istri itu harus membangun komunikasinya sedemikian rupa sehingga betul-betul menumbuhkan kehidupan mereka sebagai suami dan istri, jadi komunikasi itu yang sebenarnya apa Pak Paul?
PG : Pak Gunawan, sebetulnya prinsip komunikasi adalah satu atau satu yang paling penting
yaitu kejelasan. Jadi apakah saya berhasil berkomunikasi atau tidak, diukur dari satu yaitu apakah yang saya katakan didengar dan dipahami dengan jelas oleh lawan bicara saya. Meskipun saya ini pandai berorasi namun kalau yang saya ingin sampaikan tidak
diterima persis sama dengan yang saya kehendaki saya telah gagal berkomunikasi. Nah ternyata hal komunikasi bukanlah hal yang mudah, apalagi kalau dikaitkan dalam konteks rumah tangga, suami-istri. Ternyata salah satu ciri keluarga yang bermasalah adalah rusaknya komunikasi di antara suami dan istri. Ada lagi yang malah lebih jauh yakni rusaknya komunikasi antara suami-istri atau orangtua dan anak-anak mereka.
GS : Tapi menurut pengalaman kita, pada waktu pacaran Pak Paul itu 'kan sudah banyak yang kita bicarakan bahkan kita bisa berbicara berjam-jam dengan pacar kita yang sekarang menjadi pasangan hidup kita. Tetapi kenapa tiba-tiba setelah menikah justru menjadi hambatan padahal dulu waktu pacaran ini menjadi sesuatu yang didambakan. Senang mendengar suaranya, bisa berbicara dengan dia.
PG : Ya kita mesti melihat beberapa hal di sini Pak Gunawan, yang pertama adalah sewaktu
berpacaran kita ini berbicara pada level yang relatif dangkal, jadi kedalaman komunikasi itu biasanya memang harus melewati proses waktu dan pengenalan. Tanpa pengenalan yang dalam, tanpa waktu yang panjang dan tanpa kesempatan mengarungi hidup bersama-sama, komunikasi kita tidak akan bisa dalam. Nah pada masa berpacaran komunikasi memang tidak bisa dalam karena kita belum mengarungi hidup bersama-
sama, kita belum melewati proses waktu yang panjang. Dan kita belum berkenalan dan mengenal pasangan kita dengan benar-benar intim, sehingga akhirnya komunikasi kita relatif berkisar pada hal-hal yang dangkal. Yang berikutnya lagi adalah, pada masa berpacaran komunikasi itu memang komunikasi yang saya boleh gunakan istilah sesuai dengan kehendak atau kenyamanan kita yang 'convenient' artinya kita akan berbicara pada waktu kita ingin berbicara, kita menelepon dia tatkala memang berhasrat menelepon dia, kita pergi dengan dia tatkala memang kita berkunjung ke rumahnya ingin
bertemu dengan dia. Dengan perkataan lain, kontak kita dengan pacar kita dilakukan pada umumnya pada waktu-waktu yang lumayan cocok dengan jadwal kita. Setelah kita menikah, hal itu tidak lagi dikuasai oleh kita, kita harus bertemu dengan pasangan kita di waktu di mana adakalanya kita tidak ingin bertemu dengan siapapun, kita harus berbicara dengan pasangan kita di waktu kita sebetulnya lagi tidak ingin berbicara dengan siapapun. Jadi benar-benar 2 konteks kehidupan yang berbeda, nah pada saat kita tidak ingin bicara, terus diajak bicara dan harus bicara di situlah komunikasi bisa terganggu. Jadi kita cenderung bisa berbicara dengan baik kalau memang kita lagi mau berbicara saat itu dan memang hati kita lagi senang, namun kita tahu setelah menikah hal itu tidak lagi bisa kita miliki.
(2) IR : Jadi jelas Pak Paul bahwa komunikasi itu sangat dipengaruhi dengan emosi, dengan pikiran. Tapi mungkin ada contoh gaya-gaya komunikasi yang mungkin Pak Paul bisa
berikan, karena setiap orang itu 'kan belum tentu mengerti cara berkomunikasi dengan gaya-gaya yang positif, mungkin Pak Paul bisa memberi contoh?
PG : Dan sudah pasti gaya komunikasi kita ini akhirnya mempengaruhi komunikasi kita dengan pasangan kita. Nah ada yang mudah memahami gaya komunikasi kita, ada yang kesulitan sebab biasanya gaya komunikasi dua orang itu tidak sama.
GS : Walaupun mereka suami-istri Pak Paul? PG : Walaupun mereka suami-istri.
GS : Itu justru yang menarik.
PG : Ya, salah satu gaya yang umum dan ini biasanya dimiliki oleh pria, yakni gaya yang boleh saya gunakan sebutan si asumsi atau si anggap, si menganggap. Artinya orang ini menganggap bahwa seharusnya engkau sudah tahu apa yang ingin saya katakan, jadi sebelum saya katakan ya engkau sudah mengerti dan intinya adalah saya tidak usah katakan lagi. Nah ini salah satu gaya komunikasi yang tidak sehat karena akhirnya lawan bicara akan bingung, apa yang sedang kita pikirkan dia tidak tahu sebab kita tidak mengungkapkan. Tatkala dia tidak memberikan jawaban atau melakukan yang kita harapkan, kita marah dan akhirnya kita merasa orang ini tidak mengerti kita.
GS : Sebaliknya ada juga orang yang mengatakan sesuatu itu berputar dulu tidak 'to the
point' tapi penuh dengan kata-kata yang bersayap sehingga kita itu sulit memahaminya. PG : Betul sekali, dan ini biasanya dipengaruhi oleh budaya Pak Gunawan, jadi memang ini
gaya bicara yang bisa kita sebut gaya bicara putar-putar. Yakni sebelum menyampaikan atau tiba pada sasarannya, dia harus keliling kota dulu baru ke sasarannya. Nah ini memang tidak salah, tergantung budaya tersebut dan apakah pasangan kita bisa memahami gaya bicara kita.
GS : Faktor waktu Pak Paul, saya rasa itu juga menentukan, kadang-kadang kami sebagai suami kalau sedang lelah, lalu diajak bicara padahal istri itu banyak sekali yang dibicarakan mulai pagi sampai sore apa yang dialami dia mau sampaikan itu sering kali dan kami tidak bisa menanggapi dengan sungguh-sungguh begitu, Pak Paul?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, saya masih ingat waktu kami belum lama menikah, saya mengalami gangguan juga dalam hal komunikasi dengan istri saya. Sejak saat itu saya masih ingat istri saya cenderung bicara tentang problem apa yang terjadi di rumah tatkala saya baru pulang, waktu saya makan malam. Nah saya ini orang yang menikmati makan Pak Gunawan, Pak Gunawan mungkin bisa melihat dari tubuh saya, saya kalau makan ingin menikmati makanan yang saya makan itu, saya orangnya begitu. Nonton televisi ya saya ingin nonton televisi, saya tidak bisa nonton televisi sekaligus
berdiskusi tentang isi film itu saya tidak bisa, jadi saya satu ya satu begitu. Nah lagi makan ya saya makan, saya tidak suka lagi makan itu ngobrol tentang hal-hal yang serius, nah yang terjadi adalah istri saya suka cerita tentang masalah yang terjadi hari itu, nah saya tidak bisa mendengar. Dia memang senang menemani saya duduk di meja makan tapi akhirnya menjadi waktu yang tidak saya nikmati, maka saya katakan kepada dia: Lain kali ya jangan ngomong setelah atau lagi saya makan. Jadi akhirnya kami memutuskan waktu yang paling cocok untuk kami bicara hal yang serius adalah malam hari, setelah semua tidur. Dan saya berikan persiapan yaitu istri saya beritahu saya, Nanti malam ada waktu tidak, saya mau bicara sesuatu yang penting, saya bilang ada. Nah jadi saya sudah bisa antisipasi kalau saya sudah bilang ada dan saya bersedia, saya harus pegang janji itu, jangan setelah malam saya langsung tidur, nah itu tidak baik ya, tidak etis. Jadi siapkan waktu untuk bicara hal yang serius sebab waktu itu akan menjadi lebih produktif kita gunakan.
GS : Tapi bagaimana kalau hal-hal itu yaitu masalah-masalah yang memang serius itu rutin
Pak Paul dari hari ke sehari, masalah-masalah yang dibicarakan di dalam rumah tangga itu sama, mirip yaitu masalah anak-anak, masalah harga barang itu 'kan tidak terlalu membutuhkan banyak pemikiran Pak Paul, nah kalau itu dibicarakan pada jam-jam makan, apakah itu juga mengganggu?
PG : Tergantung orangnya, bagi saya cukup mengganggu, sebab bagi saya kalau saya sedang makan saya ingin menikmati yang saya makan, tidak bisa dicampur dengan memikirkan problem, Pak Gunawan. Nah saya percaya ada orang-orang yang saya rasa tidak apa-apa dan dia bisa menikmati makan sambil ngobrol dengan hal-hal yang serius, yang mengganggu, ya sudah tidak apa-apa, jadi tergantung.
IR : Apakah perlu Pak Paul, seseorang itu mengkomunikasikan secara utuh apa yang ada di
dalam hatinya?
PG : Maksudnya apakah perlu keterbukaan total begitu? IR : Ya total.
PG : Apapun yang dia pikirkan dia katakan. Saya kira tidak, jadi kita perlu bijaksana apa yang perlu kita sampaikan saat ini, nah itu saya gunakan. Saya garis bawahi kata saat ini, sebab tidak semua hal cocok disampaikan saat ini, itu satu prinsipnya. Prinsip kedua adalah kita tidak boleh berbohong untuk menutupi suatu hal yang memang telah terjadi, jadi jangan kita ini menggunakan kebohongan untuk melindungi diri atau untuk menyelamatkan diri atau untuk memecahkan problem kita, jadi itu prinsip yang kedua. Jadi yang saya maksud kalaupun kita tidak menceritakan, itu bukan berarti kita sedang mencoba menutupi suatu fakta dari pasangan kita atau sedang mencoba menyelamatkan diri atau kita berpikir dengan berbohong kita akan memecahkan problem ini. Itu tidak boleh, sebab memang Tuhan melarang kita untuk berbohong. Nah kita tidak menyampaikan yang kita alami atau rasakan atau pikirkan semuanya kepada pasangan kita saat ini artinya adalah kita selalu menimbang apakah memang inilah waktu yang cocok untuk kita membicarakan hal ini. Apakah memang dia ini siap mendengar yang saya ingin katakan, apakah ini hanya untuk memuaskan hasrat saya saja dan saya tidak peduli dampaknya pada pasangan saya. Jadi dalam komunikasi kita perlu mempertimbangkan semua faktor-faktor itu, sebab sekali lagi kita tidak hidup untuk diri kita, jadi Tuhan pun meminta kita selalu menimbang orang lain pula.
IR : Jadi bertahap Pak Paul ya?
PG : Ya jadi bisa bertahap juga tapi ini bukannya kasus di mana misalnya terjadi perselingkuhan dan misalkan seorang istri bertanya meminta pertanggungjawaban suami yang telah berselingkuh. Nah di sini sudah pasti yang dituntut dan yang seharusnya dilakukan adalah keterbukaan total. Jadi tidak boleh si suami berkata saya akan ceritakan satu bagian, mungkin 3 bulan lagi bagian yang lainnya, tidak bisa. Jadi untuk merestorasi atau memulihkan hubungan yang telah putus atau telah retak karena perselingkuhan si suami harus terbuka dengan total apa yang telah dia lakukan dan apa yang istri ingin tanyakan dia mesti ceritakan, sehingga si istri bisa mulai membangun rasa percayanya kembali.
GS : Sebenarnya pokok-pokok pembicaraan apa yang bisa membangun kehidupan pernikahan kita Pak Paul, 'kan ada pembicaraan itu yang sekadar istilahnya basa-basi saja, sambil lalu. Tetapi apakah ada pokok-pokok pembicaraan itu yang memang perlu untuk
dibicarakan oleh suami-istri?
PG : Saya kira tidak ada hukumnya atau aturannya, berapa banyak atau hal-hal apa saja yang bisa dibicarakan, saya kira berapa dalam dan berapa luasnya percakapan itu akan dipengaruhi sekali oleh berapa dekatnya hubungan itu. Karena hubungan yang sangat akrab akan juga memperluas topik percakapan, sehingga banyak hal yang bisa dibicarakan. Dan juga pengalaman hidup bersama, itu juga penting dalam pembicaraan kalau si istri terputus dari si suami dalam pengalaman hidupnya sebab suami bekerja dari pagi sampai malam, jarang cerita tentang pekerjaannya dengan si istri, nah si istri
tidak membagi hidup dengan si suami, akibatnya tidak bisa berbicara secara luas juga. Jadi berapa banyak yang bisa dibicarakan dan berapa dalam tergantung pula pada dua hal itu, yaitu berapa dekatnya hubungan suami-istri dan berapa seringnya mereka berbagi pengalaman hidup ini.
IR : Nah ini ada contoh Pak Paul seorang suami dan istri itu memang dekat, cuma si suami ini sangat labil emosinya, kemudian si istri itu di dalam mengkomunikasikan suatu masalah tidak semuanya begitu. Apakah sisanya itu dianggap kebohongan Pak Paul?
PG : Tidak, itu hikmat ya Bu Ida, jadi kita tahu berapa banyak yang bisa diserap oleh si suami tanpa dia harus akhirnya goyang, kalau dia memang beremosi tinggi, kita tahu kalau kita berikan 10 kilo dia pasti akan marah, meledak dan sebagainya. Nah jadi kita akan sampaikan 1 kilo, 1 kilo dan 1 kilo, perlahan-lahan. Dan mungkin juga itu adalah hal yang ideal dan diharapkan oleh si suami secara tidak langsung, karena kalau dia serap semuanya diapun akan menderita, diapun tidak bisa menguasai dirinya. Dan mungkin dia akan menyesali juga kenapa tadi saya bereaksi begitu keras, jadi saya kira itu adalah aspek yang baik, itu adalah suatu kebijaksanaan dalam berkomunikasi, jadi saya pikir itu baik, bukannya berbohong.
IR : Soalnya istri itu kadang-kadang mempunyai perasaan aduh....ada sebagian yang saya
rahasiakan, dia itu punya kebohongan, tapi pada akhirnya nanti disampaikan karena kalau proses masalahnya itu sudah lama dia bisa menerima begitu Pak Paul, tapi kalau pada waktu itu dia pasti akan marah.
PG : Betul, tapi sekali lagi saya ingin garis bawahi, mungkin ada pendengar yang baru langsung mendengar percakapan ini, jadi jangan sampai salah sangka. Tidak diberitahukan dalam pengertian bukannya sedang menutupi fakta tentang diri kita. Misalkan kita telah berselingkuh, kita telah melakukan hal yang salah dan kita tidak mau memberitahu pasangan kita, bukan itu sama sekali. Jadi ini adalah pembicaraan tentang hal-hal lain misalnya soal urusan bisnis atau urusan anak dan sebagainya nah
kita tidak sampaikan dalam pengertian kita mau melihat waktunya kapan, kesiapan pasangan kita begitu.
GS : Ya sering kali yang menjadi masalah di dalam komunikasi atau salah pengertian itu sebenarnya kadang-kadang justru hal-hal yang sepele Pak Paul, bukan hal-hal yang prinsip. Nah itu kenapa, kalau sudah terjadi lalu kita pikir, sebenarnya itu tadi 'kan sesuatu yang bisa dibicarakan atau diselesaikan dengan baik, cuma hal yang sepele misalnya saja makanan yang terlalu asin atau terjatuh di tanah waktu makan dan sebagainya itu 'kan sepele, tapi itu menjadi masalah besar. Sedangkan hal-hal yang sebenarnya prinsip tidak pernah muncul ke permukaan.
PG : Betul, saya juga katakan bahwa kita jarang bertengkar mempeributkan siapa yang
menjadi kepala negara Yugoslavia, kita jarang memikirkan soal-soal itu. Komunikasi kita ini dipengaruhi oleh beberapa faktor; yang pertama adalah sangat dipengaruhi oleh apa
yang terjadi, sebelum terjalinnya kontak komunikasi itu. Misalnya saya ini baru saja mengalami tekanan-tekanan di tempat kerja misalnya karena ide-ide saya tidak disambut, saya kesal sekali kemudian saya pulang, terus saya bercerita tentang hal lain kepada istri saya dan saya mengusulkan misalnya bagaimana kita ini merenovasi rumah, sebab rasanya makin kecil rumah ini dengan bertambahnya usia anak-anak. Istri misalnya berkata bagaimana kalau kita tunggu dulu, nanti kita lihat lagi beberapa bulan apakah memang perlu dibuat kamar ini atau apa. Nah tiba-tiba saya marah, kenapa saya marah? Sebab saya ini langsung menggolongkan istri saya sama dengan orang-orang tadi di tempat kerja yang menghalangi saya, saya ini merasa terhalang tadi, diri saya tadi merasa tergunting karena yang saya usulkan tidak diterima, sekarang saya mengusulkan hal lain tidak berkaitan dengan pekerjaan saya, tapi istri saya meminta saya menangguhkan terlebih dahulu, saya marah sekali. Nah di situ kita melihat bahwa komunikasi tergantung atau dipengaruhi oleh apa yang terjadi sebelumnya sebab kita cenderung mengkategorikan atau menggolongkan orang berdasarkan apa yang terjadi sebelumnya, meskipun kasusnya tidak sama. Jadi itulah salah satu contoh kenapa kita adakalanya meledak atas hal-hal yang kecil, Pak Gunawan.
GS : Apakah pihak ketiga itu bisa mempengaruhi komunikasi suami-istri, maksud saya misalnya di sana ada mertua atau orang lain, saudara, komunikasi kita sering kali tidak sebebas kalau kita waktu berdua, Pak Paul.
PG : Tepat sekali, sangat dipengaruhi, Pak Gunawan. Jadi hal kedua yang bisa mempengaruhi komunikasi kita adalah kehadiran orang lain. Bisa positif, bisa negatif, bisa misalnya gara-gara ada mertua kita tidak berani berbicara kasar atau kebalikannya Pak Gunawan, gara-gara ada mertua kita sebetulnya ingin mengekspresikan kedongkolan kita kepada mertua, tidak bisa. Nah akhirnya yang kita jadikan sasaran adalah pasangan kita, kita marah pada pasangan kita dengan harapan si mertua juga ikut marah, si orang tua juga ikut tertembak, begitu. Jadi sering kali kehadiran orang ketiga memang mempengaruhi komunikasi kita, betul itu.
GS : Apakah ada hal-hal lain Pak Paul, yang bisa diupayakan oleh suami-istri supaya komunikasi itu bertambah baik dari hari ke sehari itu?
PG : Ada Pak Gunawan, jadi komunikasi juga sangat dipengaruhi oleh rasa percaya kita pada pasangan, apakah kita bisa bicara bahwa waktu pasangan kita mengatakan A memang A-lah yang dia ingin sampaikan. Kalau sudah ada kecurigaan Engkau bicara A karena engkau ingin mendapatkan B, nah itu berarti masalahnya bukan lagi komunikasi, namun sudah menyangkut masalah kepercayaan dan ini adalah hal yang lebih serius.
Berarti kita tidak lagi bisa percaya pada kemurnian, kejujuran atau motivasi pasangan kita, kalau ini terjadi, memang kita harus kembali kepada hal-hal yang lebih mendasar. Apa yang telah terjadi dalam hubungan kita sehingga kita tidak lagi bisa percaya pada pasangan kita ini, apakah kita pernah merasa tertipu. Adakalanya kita akhirnya sangat berjaga-jaga sewaktu pasangan kita berkata-kata karena kita takut terjebak, kita takut mengeluarkan janji sebab janji kita itu bisa dipegang atau kita takut menceritakan kelemahan kita kalau ini adalah kelemahan. Sebabnya adalah kelemahan ini bisa dipegangnya untuk menyerang kita kembali, jadi komunikasi sangat dipengaruhi oleh rasa percaya. Berbahagialah pernikahan yang memiliki rasa percaya yang kuat, kalau itu tidak ada, biasanya hal berikutnya yang akan rontok adalah komunikasi antara dua orang itu.
GS : Saya ingat bahwa firman Tuhan selalu mengingatkan kita agar kita itu kalau berbicara
yang lemah lembut Pak Paul ya, menahan amarah dan sebagainya. Itu berkaitan dengan kehidupan kerohanian kita Pak Paul?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, sebab orang cenderung lebih bisa mendengar perkataan lemah lembut daripada perkataan kasar. Perkataan kasar meskipun dikatakan saya jujur berbicara apa adanya tapi kalau kasar, tetap akan mengurangi keefektifan komunikasi itu.
GS : Ya jadi dalam hal ini bukan isinya, isinya tetap penting tapi gaya dia menyampaikan itu juga penting, Pak Paul.
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, dan juga komunikasi sangat dipengaruhi oleh pandangan kita tentang orang lain. Jadi kita sebetulnya berkomunikasi sesuai dengan gambar dalam kepala kita, siapa orang itu. Misalkan, kita berbicara dengan orang yang kita anggap kasar, nah kita tiba-tiba sudah mulai mengubah pola pikir kita. Kita harus berbicara dengan kasar juga kepada dia sebab dengan cara itulah baru dia mengerti. Kalau kita berbicara dengan orang yang kita anggap halus sekali, nah tiba-tiba kita mengubah gaya bicara kita dengan lebih halus agar dia jangan sampai tersinggung. Jadi tergantung pada persepsi atau pandangan atau penilaian kita terhadap lawan bicara itu. Nah dalam konteks suami-istri, siapa istri atau suami kita menurut kita itu akan mempengaruhi bagaimana kita berkomunikasi dengan dia. Salah satu unsurnya adalah yang kita sering bicarakan yaitu respek. Kalau kita menilai dia dengan penuh respek, otomatis komunikasi kita juga akan lebih berhati-hati, kita tidak sembarangan bicara, kita tidak sembarangan mengeluarkan perasaan kita karena kita mau mengindahkan perasaannya. Tapi kalau respek itu sudah hilang otomatis penilaian kita terhadap orang tersebut negatif, nah sewaktu penilaian kita negatif komunikasi kita akan diisi dengan hal-hal negatif pula.
GS : Jadi sesuatu hal yang memang tidak mudah, tetapi saya rasa kita perlu terus-menerus belajar Pak Paul dalam hal berkomunikasi. Apakah ada bagian dalam Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya akan ambil dari Efesus 4:15, Tetapi dengan teguh berpegang kepada
kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia Kristus
yang adalah kepala. Nah ini terjemahan bahasa Inggrisnya lebih bagus yaitu Speak
the Truth in love kita bertumbuh ke arah Kristus, tapi syaratnya adalah bicaralah hal
yang benar di dalam Kristus dan dalam kasih.
GS : Ya terima kasih Pak Paul, dan demikianlah tadi telah kami persembahkan ke hadapan
Anda sebuah perbincangan seputar komunikasi suami-istri bersama Bp. Pdt. Dr. Paul
Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga) dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58
Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Prinsip komunikasi yang paling penting adalah kejelasan. Jadi apakah kita berhasil berkomunikasi atau tidak diukur dari satu yaitu apakah yang kita katakan didengar dan dipahami dengan jelas oleh lawan bicara kita.
Komunikasi bukanlah hal yang mudah, apalagi kalau dikaitkan dengan konteks rumah tangga suami-istri.
Salah satu ciri keluarga yang bermasalah adalah rusaknya komunikasi di antara suami dan istri.
Komunikasi saat masih berpacaran dan setelah menikah, berbeda hal ini disebabkan:
1. Sewaktu pacaran kita ini berbicara pada level yang relatif dangkal. Kedalaman komunikasi biasanya memang harus melewati proses waktu dan pengenalan, tanpa pengenalan yang dalam, tanpa waktu yang panjang dan tanpa kesempatan mengarungi hidup bersama komunikasi kita tidak akan dalam.
2. Pada masa pacaran komunikasi kita adalah komunikasi yang sesuai dengan kehendak atau kenyamanan kita. Artinya kita akan bicara pada waktu kita ingin bicara. Dengan kata lain pertemuan kita atau kontak
kita dengan pacar kita dilakukan pada waktu-waktu yang lumayan cocok dengan jadwal kita. Sementara setelah menikah kita harus bertemu dengan pasangan kita di waktu dimana adakalanya kita tidak ingin bertemu dengan siapapun. Jadi benar-benar dua konteks kehidupan yang berbeda, saat kita tidak ingin bicara terus diajak bicara dan harus bicara di situlah komunikasi bisa terganggu.
Prinsip dalam berkomunikasi / faktor yang perlu kita pertimbangkan dalam berkomunikasi:
1. Perlu bijaksana apa yang perlu kita sampaikan saat ini. Sebab tidak semua hal cocok disampaikan saat ini.
2. Tidak boleh berbohong, untuk menutupi suatu hal yang memang telah terjadi. Jadi jangan kita ini menggunakan kebohongan untuk melindungi diri atau untuk menyelamatkan diri atau untuk memecahkan problem kita.
Tidak menyampaikan yang kita alami atau rasakan atau pikirkan secara keseluruhan kepada pasangan kita saat ini artinya adalah kita selalu menimbang apakah memang inilah waktu yang cocok untuk kita bicarakan hal ini. Apakah memang dia siap mendengar yang kita ingin katakan, apakah ini hanya untuk memuaskan
hasrat kita saja dan kita tidak peduli dampaknya pada pasangan kita. Jadi faktor-faktor ini sangat perlu kita mempertimbangkan dalam berkomunikasi.
Berapa banyak dan dalamnya kita berkomunikasi dengan pasangan kita dipengaruhi oleh:
1. Berapa dekatnya hubungan itu. Hubungan yang sangat akrab akan juga memperluas topik percakapan sehingga banyak hal yang bisa dibicarakan.
2. Berapa seringnya sepasang suami-istri berbagi pengalaman hidup bersama.
Hal-hal kecil di dalam rumah tangga seringkali justru malah menjadi pemicu timbulnya masalah, biasanya hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu:
1. Sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi, sebelum terjadinya kontak komunikasi. Misal: sedang mengalami tekanan-tekanan di tempat kerja.
2. Kehadiran orang lain, bisa berpengaruh negatif maupun positif.
Hal-hal yang bisa diupayakan agar komunikasi bertambah baik:
1. Komunikasi dipengaruhi oleh rasa percaya kita pada pasangan, apakah kita bisa percaya bahwa waktu pasangan kita bilang A memang A-lah yang dia ingin sampaikan.
2. Komunikasi dipengaruhi juga oleh pandangan kita tentang orang lain.
Efesus 4 : 15 berkata: Tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran dalam kasih kita bertumbuh didalam segala hal ke arah Dia Kristus yang adalah kepala. Kita bertumbuh ke arah Kristus tapi syaratnya adalah bicaralah hal yang benar di dalam Kristus dan dalam kasih.
Mengajar Pasangan Bersikap Jujur|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T398B|T398B|Suami-Istri|Audio|Tidak semua orang dibesarkan dengan nilai moral yang baik. Ada yang justru dibesarkan dengan ketidakjujuran sehingga akhirnya terbiasa bersikap tidak jujur terhadap sesama. Kadang kita tidak begitu memperhatikan karakteristik ini sebelum menikah dan baru menyadarinya setelah menikah. Apakah yang harus kita perbuat bila pasangan terbiasa bersikap tidak jujur?|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T398B.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Mengajar Pasangan Bersikap Jujur. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Bukannya menganggap pasangan kita tidak jujur tapi sesuatu yang penting dimana kita perlu mengajarkan sikap jujur kepada pasangan. Menurut saya ini harus dimulai dari diri kita sendiri, kalau kita tidak jujur bagaimana kita bisa mengajarkan kepada pasangan untuk bersikap jujur.
PG : Betul. Jadi kalau kita menghendaki pasangan kita jujur maka kita juga harus bersikap jujur. Kita tidak bisa mengharapkan apa yang kita sendiri tidak melakukannya namun saya kira kita perlu mengangkat topik ini Pak Gunawan karena pada faktanya adalah tidak semua orang dibesarkan dengan nilai moral yang baik dan itu adalah kenyataan. Waktu kita menikah dengan pasangan kita, kadang-kadang barulah kita menyadari kalau dia orangnya tidak jujur. Waktu masih berpacaran kita tidak bisa melihatnya dan setelah menikah barulah terlihat, sedikit-sedikit berbohong, kita tahu faktanya tapi tetap penyampaiannya dia harus memutar balikkannya. Sudah tentu hal-hal sekecil ini mengganggu. Saya tidak akan membicarakan ketidakjujuran yang lebih serius misalkan dalam kasus perzinahan atau perselingkuhan. Saya memang lebih mau memfokuskannya ini kepada ketidakjujuran di dalam hal yang bersifat sehari-hari.
GS : Justru yang sehari-hari ini yang kadang-kadang karena berulangkali dilakukan lalu menjadi semacam duri di dalam pernikahan, Pak Paul.
PG : Betul sekali dan pasti kita akan frustrasi berat kalau pasangan kita omongannya tidak bisa dipegang, terlalu banyak ketidakbenarannya.
GS : Itu apakah karena latar belakang keluarganya atau memang dia sendiri yang mutunya seperti itu, Pak Paul ?
PG : Memang campuran dari semuanya itu, ada pengaruh latar belakang dan juga ada pilihan-pilihan yang dibuat oleh pasangan kita. Maka saya kira kita perlu untuk bisa membahas dengan saksama satu persatu karena kita tidak bisa mengelompokkan itu dalam satu kategori dan bereaksi dengan satu cara yaitu marah. Sebab kalau itulah reaksi kita dan menyamaratakan semua penyebabnya seringkali itu tidak efektif. Maka kita mesti tepat sasaran, kita mesti mengerti dulu mengapakan pasangan kita terlalu sering bersikap tidak jujur, apa yang membuat dia menjadi seperti ini.
GS : Rasanya kita juga perlu melihat diri kita sendiri mungkin pasangan kita merasa tertekan atau takut dengan apa yang kita lakukan sehingga dia berkata saya terpaksa melakukan kebohongan.
PG : Kalau kita bersikap seperti itu sudah tentu sikap-sikap kita akan mempengaruhinya. Saya kira sebaiknya kita menyimak satu persatu kira-kira apa penyebabnya. Yang pertama saya kira kita harus bertanya apakah ketidak jujuran ini merupakan upaya untuk menutupi dosa. Ada pasangan yang sebetulnya berbohong untuk menutupi dosanya, misalnya dia malam-malam pergi dengan teman-temannya atau mengantar kliennya ke club-club malam dan disana akhirnya ikut-ikutan berbuat dosa misalnya memegang-megang menyentuh-nyentuh lawan jenisnya dengan tidak sepatutnya. Mengeluarkan kata-kata yang juga penuh dengan dosa, belum lagi mungkin melewati batas. Hal-hal seperti ini sudah tentu dosa dan dia tahu kalau itu salah, makanya waktu ditanya oleh pasangannya, dia berbohong, dia menutupi dosa itu dengan dustanya. Jika memang ini merupakan upayanya untuk menutupi dosa, kita harus memperhadapkannya dengan Firman Tuhan. Jadi maksud saya begini, dari pada kita yang bereaksi marah, tidak suka, sebal, benci dan sebagainya, lebih baik kita dengan tenang mengingatkan dia akan Firman Tuhan. Biarkan dia kembali melihat cahaya atau sinar kekudusan Tuhan dan kehendak Tuhan sehingga kita akhirnya diingatkan, waktu dia disana kita tidak bersama dengan dia tapi ada Tuhan di sana yang mengawasinya dan melihatnya. Maka dia harus mempertanggungjawabkan itu kepada Tuhan dan kita harus ingatkan kalau Tuhan tidak berkenan dengan dosa dan kita harus takut dengan ganjaran Tuhan namun kita juga harus menegaskan bahwa kita pun tidak dapat menoleransi dosa dalam pernikahan sebab pada akhirnya dosa yang bersemayam dalam pernikahan akan menghancurkan sendi pernikahan yaitu percaya, respek dan kasih kita.
GS : Ada kekhawatiran di pihak yang dibohongi, kalau diperhadapkan dengan Firman Tuhan, khawatirnya pasangannya akan menjauh dari Tuhan. Jadi mungkin tidak mau ke gereja atau tidak mau baca Alkitab lagi dan itu kekhawatirannya, Pak Paul.
PG : Sudah tentu kalau ini hanya terjadi sekali, maka dalam menghadapinya kita
juga harus dengan lemah lembut dan sebagainya. Tapi kalau berulang, saya kira sudah pada tempatnyalah kita memperhadapkannya dengan Firman Tuhan untuk memperingatkannya bahwa pertanggungjawabannya yang pertama bukanlah kepada kita tapi kepada Tuhan, bahwa dia tidak bisa menutupi apa pun di hadapan Tuhan dan semua itu terbuka lebar di mata Tuhan. Jadi sekarang kita mau mengingatkannya bahwa saya tidak akan bisa tahu, saya tidak akan bisa melakukan apa-apa tapi ingat Tuhan melihat. Jadi selalu kita tekankan hal itu.
GS : Apakah ada hal lain yang bisa kita pelajari atau perbuat, Pak Paul?
PG : Yang kedua adalah kita harus bertanya apakah ketidakjujuran merupakan upaya untuk lari dari tanggung jawab. Kadang-kadang pasangan terbiasa dengan dusta untuk melepaskannya dari tanggung jawab, misalnya sejak kecil dia telah belajar untuk lepas dari tanggung jawab karena mungkin dengan
mudah dia mengelabui orang tuanya. Jadi setiap kali dia berhadapan dengan tanggung jawab maka muncullah dalih agar dia terbebaskan oleh tanggung jawab. Pola perilaku yang bisa kita lihat adalah dari pada berkata tidak mau atau tidak suka, maka dia dengan cepat akan mengatakan Ya, namun tidak mengerjakannya. Sewaktu ditanya kenapa tidak dikerjakan, maka dalih demi dalihlah yang meluncur dari mulutnya, ada anak-anak yang seperti ini pada waktu masih kecil tidak suka diberikan tanggungjawab, dia mengelak dengan dalih demi dalih. Orang tua ternyata bisa termakan dengan dustanya sehingga membiarkan, akhirnya si anak tahu dan berpikir saya punya ilmu untuk lepas dari tanggung jawab yaitu berdusta menciptakan skenario yang tidak ada, yang tidak benar. Kepada guru di sekolahnya akhirnya dia praktekkan ilmu itu dan ada keberhasilannya juga maka akhirnya dia makin gemar melakukan ilmu berdustanya itu. Sehingga nanti setelah menikah dengan kita, itulah juga yang dilakukannya, kita minta tolong kepada dia, kita minta untuk ini dan sebagainya kemudian muncul dalih demi dalih. Mula-mulanya bilang, Ya, baik tapi tidak dikerja-kerjakan, kalau kita konfrontasi maka muncul alasan-alasan.
GS : Kalau kita mengetahui dan menyadari bahwa memang itulah masalahnya, apa yang bisa dilakukan?
PG : Saya kira kita bisa perbincangkan, Pak Gunawan. Kita jabarkan tanggung jawab yang mesti dipikulnya sebagai bagian dari keluarga. Kita bisa daftarkan atau kita bisa sebut, saya perlu ada orang yang membuang sampah, saya perlu ada orang yang mengantar anak, ada yang bisa menjemputnya. Jadi kita sebutkan semua itu dan kita tanyakan kepada dia manakah tanggung jawab yang bisa dilakukannya dan manakah yang tidak diinginkannya. Jadi kita berikan pilihan itu, berikan juga kepada dia dari pada mengatakan Ya tapi tidak mengerjakan, lebih baik mengatakan Tidak. Jadi kita minta dia untuk mengatakan ya atau tidak dengan jujur. Dan daripada dia meminta enam atau tujuh tanggung jawab, kita mau realistis dengan dia dan berkata, Bagaimana kalau mulai dengan satu dulu dan kita evaluasi dulu bagaimanana nantinya, sebab siapa tahu untuk satu tanggung jawab belum tentu bisa dikerjakan, maka satu dulu saja. Jadi adakalanya orang itu berdusta karena mau menyenangkan hati kita jadi tergesa-gesa bilang Ya tapi akhirnya tidak dikerjakan, bukankah itu lebih mengecewakan kita.
GS : Bukankah ada pasangan yang merasa dituntut untuk melakukan sesuatu dan dia merasa ini menjadi sesuatu tuntutan buat dia tapi untuk mengatakan menolak, dia juga merasa tidak pada tempatnya. Mestinya melakukan itu tetapi yang dia rasakan adalah sesuatu tekanan pada kehidupannya, Pak Paul.
PG : Kalau memang itu yang dihadapinya maka jangan sungkan untuk berbicara langsung kepada pasangannya dan berkata, Saya bahagia dalam menolong tapi jujur ada bagian yang saya tidak begitu suka atau rasanya saya tidak suka, bagaimana kalau saya melakukan yang ini saja. Dari pada saya menjanjikan yang muluk-muluk dan tidak saya lakukan, maka lebih baik saya tepati untuk melakukan hal-hal ini dan saya akan kerjakan dengan setia. Pembicaraan seperti inilah yang lebih membangun dari pada pasangan bereaksi dengan kemarahan dan berkata Kamu pembohong, mulut kamu tidak bisa dipercaya,
janji kamu kosong, bilang ya tapi tidak dilakukan alasan saja selalu memberikan alasan. Dari pada mengatakan hal seperti itu lebih baik mengajak dia duduk untuk melihat apa yang bisa dikerjakannya dan pilih satu saja.
GS : Apalagi kalau dikatakan tidak bertanggung jawab, dia malah marah, Pak Paul.
PG : Betul, meskipun ada benarnya. Memang betul dia tidak memikul tanggung jawab itu.
GS : Apakah ada pelajaran yang lain, Pak Paul?
PG : Kita harus bertanya apakah ketidakjujuran ini merupakan upaya untuk memperoleh apa yang diinginkannya dengan mudah. Ada orang yang tidak rela bayar harga untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Itu sebabnya dia berdusta untuk memenuhi keinginannya, orang seperti ini biasanya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya dan salah satu cara yang digunakannya adalah berbohong. Jika inilah situasi yang melatar belakangi sikap tidak jujur pasangan, kita perlu mengajaknya berbicara tentang keinginannya itu dan merancang sebuah kerjasama agar keinginannya dapat terkabul. Kita juga dapat menunjukkan niat baik kepadanya yaitu kita katakan kita bersedia membantunya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa harus berbohong. Jadi dia akhirnya terbiasa berbohong supaya mendapatkan yang diinginkannya, maka kita berbicara langsung kepada dia, Yang kamu inginkan sebenarnya apa sekarang ini? dan misalnya dia sebut, Ini yang saya inginkan. Maka mari kita rancang bagaimana bisa mendapatkan hal itu dengan cara yang halal dengan cara yang benar, jujur, bukan dengan cara berbohong. Jangan sampai akhirnya dia mudah sekali berbohong, inilah cikal bakalnya perbuatan kriminal, Pak Gunawan. Orang-orang yang menipu kanan-kiri, bohongi orang kanan-kiri, ambil uang orang, kepercayaan orang akhirnya punah karena dia ingin mendapatkan yang dia inginkan dengan cara-cara yang salah. Justru kita harus ingatkan bahwa, Tidak bisa seperti itu, tapi kamu harus jujur dengan yang kamu inginkan, dan kita tunjukkan niat baik untuk menolongnya, mungkin kita harus hadirkan bantuan lain dan sebagainya tapi kita mau terlibat dalam upayanya mendapatkan yang dia inginkan itu, namun dengan cara yang halal.
GS : Ini memang pola hidup yang banyak terjadi khususnya pada saat sulit seperti sekarang ini Pak Paul, dimana orang menghalalkan segala cara untuk memperoleh yang diinginkan. Dan kadangkala terbentuk di tempat kerjanya, kadang-kadang di tempat kerja dia terbiasa melakukan itu sehingga di rumah pun dia mencoba melakukan itu.
PG : Betul, misalkan ada contoh ini, saya masih ingat dulu saat anak-anak masih lebih kecil kami tinggal di sebuah rumah di kota Malang, ada orang yang suka datang meminta uang, orang yang sama dan setiap kali datang ceritanya berbeda-beda, istri saya sakit, anak saya sakit dan ceritanya selalu berbeda. Akhirnya saya bukan bereaksi berbelas kasihan karena saya tahu dia berbohong, yang penting apa yang dia inginkan dia dapat maka dia akan menceritakan segala jenis skenario untuk mendapatkan yang dia inginkan itu. Misalkan itulah pasangan kita, maka kita harus ajarkan dia dari pada
berbohong lebih baik bicara jujur apa yang engkau inginkan, mari kita coba untuk merancang strategi yang sehat, yang halal untuk mendapatkannya.
GS : Ada orang yang juga melakukan strategi itu Pak Paul, yaitu siasat berbohong karena tidak mau bertengkar dengan pasangannya dan itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Ini memang cukup sering tejadi di dalam pernikahan, jadi dari pada bertengkar akhirnya tidak mengatakan yang benar, menutupi perbuatannya karena tidak mau berselisih pandang. Jadi cenderung mengiyakan pendapat dan keinginan kita namun sesungguhnya pasangan kita tidak menyetujui apa yang kita katakan. Sudah tentu sikap seperti ini membuat kita frustrasi sebab kita tidak pernah tahu isi hati yang sebenarnya namun masalahnya adalah jika kita memaksanya untuk menyatakan pendapat, dia merasa lebih tertekan dan makin mencari celah untuk tidak jujur. Menghadapi sikap seperti ini kita pun perlu memeriksa diri mungkin kita dipandangnya sebagai penyulut konflik, itu sebabnya kita mesti bercermin diri dan jika memang dia peka terhadap konflik kita pun perlu mengubah sikap sehingga tidak cepat bereaksi.
GS : Di dalam hal ini sebenarnya sangat peka, kalau kita berbohong hanya untuk menghindari konflik. kadangkala kita mengetahui yang sebenarnya dan ini malah menimbulkan konflik yang lebih besar dari pada ketika kita berbohong tadi, Pak Paul.
PG : Kadang-kadang orang itu akhirnya terjebak dalam sebuah pilihan antara dua pilihan, mengatakan sebenarnya dan menuai konflik atau berbohong agar tidak menuai konflik. Kalau kita tidak mengatakannya bukankah nanti kalau diketahui oleh pasangan maka akan menuai konflik yang jauh lebih parah lagi. Jadi seyogianyalah kita terbuka dan jujur, dan harus memulai dari hal-hal kecil. Saya menengok ke belakang pada pernikahan kami, saya harus mengakui mungkin 10 tahun pertama itu merupakan kerja keras menanam membangun fondasi dalam pernikahan kami dan godaan terbesar pada saat-saat awal pernikahan adalah tidak membicarakan hal-hal yang dapat menuai konflik, jadi mengiyakan, tidak mau membicarakannya, tujuannya agar tidak menuai konflik tapi saya perhatikan bahwa pasangan nikah yang justru menghindar-hindar dari konflik sehingga tidak mengatakan hal-hal yang sebenarnya, nanti akan menuai konflik yang lebih besar, sebab relasi mereka sangat renggang tidak ada lagi kedekatan tapi justru kita harus benar-benar mengungkapkan isi hati untuk membereskannya meskipun harus berkonflik, berkata jujur asalkan nantinya bersatu kembali. Justru orang-orang seperti inilah yang nantinya menuai keharmonisan. Memang awalnya akan cukup sarat dengan konflik tapi setelah itu akan makin jarang dan makin jarang dan akhirnya justru lebih banyak mendapatkan titik temu di antara keduanya.
GS : Jadi sebenarnya konflik di dalam rumah tangga itu sesuatu yang lumrah terjadi tetapi masalahnya bagaimana kita menyelesaikan konflik itu, Pak Paul?
PG : Betul sekali Pak Gunawan. Jadi memang bukan saja memunculkan konflik tapi kita juga harus bertekun membereskan konflik itu.
GS : Apakah ada hal lain yang bisa kita lakukan?
PG : Yang lain adalah kita harus bertanya apakah ketidakjujuran ini merupakan upayanya untuk melindungi diri, mungkin dia takut kepada kita sehingga dia cenderung berbohong. Misalnya dia menganggap kita adalah pengawas yang mesti dijauhinya. Adakalanya kitalah sumber masalahnya, misalnya karena kita dulu pernah dikhianati maka kita tidak mudah percaya dan kita takut mengalami peristiwa yang sama, itu sebabnya kita cenderung memantau pasangan dan menuntut pertanggungjawabannya. Sikap seperti ini dengan mudah menjerumuskan masalah untuk tidak jujur, kendati tidak ada kesalahan yang diperbuatnya.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, perlindungan diri sangat diperlukan karena semua orang menginginkan dirinya aman sehingga dia menggunakan cara tidak jujur. Sebenarnya bagaimana supaya dia terlindung dan tetap aman tetapi juga tetap jujur, Pak Paul.
PG : Maka kalau itulah yang menjadi masalah diantara kita dengan pasangan, yang
pertama memang kita mesti bercermin diri dulu apakah kita itu terlalu mengawas-awasi, terus mengecek-ngecek, kalau itulah yang kita lakukan, kita mungkin harus mengurangi sikap yang mengecek-ngecek terus menerus, memberikan dia ruang gerak. Yang penting adalah bersikap jujur, bertanggung jawab kepada kita tapi kita tidak harus terus menanyakannya kemana, dengan siapa, jam berapa, melakukan apa saja dan sebagainya. Sikap-sikap memantau yang berlebihan akhirnya cenderung mengakibatkan orang takut, meskipun tidak berbuat yang salah, kita tidak mau mengatakannya sebab mereka berpikir dengan makin banyaknya informasi yang saya berikan berarti makin banyak bahan untuk nantinya ditangkap oleh pasangan saya dan dituduhkan kepada saya, saya begini, saya begitu. Akhirnya orang-orang ini berkata, Lebih baik saya membatasi arus informasi yang keluar, makin sedikit dia tahu maka semakin tidak ada urusan. Maka kita juga mesti bercermin apakah mungkin kitanya, akhirnya terlalu bersemangat mencari-cari bahan untuk nanti mengawasi pasangan kita.
GS : Jadi kita harus memberikan kepercayaan kepada pasangan kita, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Jadi kita mesti memberikan kepercayaan sebab adakalanya penyebab pasangan tidak jujur karena dia dibesarkan di keluarga yang keras sehingga sedikit saja ada ketidak konsistenan dalam ceritanya atau laporannya, cukup untuk membuatnya dipukul, dimarahi atau didera. Perilaku seperti ini biasanya membuat seseorang takut sekali ditemukan kesalahannya, akhirnya untuk menciptakan rasa aman, dia pun berupaya untuk membatasi arus informasi karena inilah pengalaman hidupnya dulu, sedikit pun tidak konsisten maka orang tuanya menuduhnya dia berbohong sehingga sekarang dengan pasangannya pun begitu. Dia takut sekali kalau nanti dia cerita akhirnya ada ceritanya yang kurang pas atau yang dia lupa kemudian dia berkata tidak tahu, kemudian dia terus ditanya-tanya lagi, kemudian tiba-tiba dia ingat dan pasangannya bilang, Kamu berbohong, tadi bilang tidak ingat sekarang bilang ingat, kemudian kita berkata, Memang tadi benar-benar tidak ingat dan sekarang benar-benar ingat, lalu pasangan kita tidak terima, Pasti kamu berbohong dan sebagainya. Jadi mesti lihat dua belah pihak, adakalanya
kitalah yang terlalu mengawasi seperti itu, sehingga akhirnya dia takut sekali diketahui meskipun tidak ada yang salah akhirnya dia tutupi dan akhirnya kita merasa dibohongi dan malah tidak percaya kepadanya.
GS : Jadi sebenarnya kita perlu menciptakan rasa aman buat pasangan kita untuk mengemukakan apa adanya. Kalau dia merasa terancam pasti dia akan melakukan kebohongan itu.
PG : Itu betul sekali Pak Gunawan, dan bukan hanya berlaku untuk kita sebagai suami istri tapi juga kepada anak-anak. Satu prinsip yang kita ingin tanamkan kepada mereka adalah bahwa kejujuran itu diatas segalanya artinya kalau jujur maka kita akan berupaya sekeras mungkin memaafkan. Yang penting kalau jujur kita akan memaafkan, prinsip ini adalah prinsip yang kita petik dari Allah sendiri. Meskipun Tuhan mempunyai standart yang tinggi tapi kalau kita bersedia mengaku dosa kita maka Tuhan akan mengampuni dosa kita, murah hati, adil, mengampuni tapi yang Dia minta adalah kejujuran untuk mengakui. Jadi Tuhan menekankan itu, kalau mengakui maka akan diampuni. Inilah nilai hidup yang kita juga mesti tanamkan di dalam keluarga kita, kalau jujur saya akan berusaha sekeras mungkin mengampuni. Kalau sudah dipercaya dan diyakini oleh satu keluarga maka orang akan hidup di dalam ketenangan.
GS : Pak Paul, ada pasangan yang mengatakan, Saya berbohong kepada pasangan untuk kepentingan pasangan saya, jadi dia merasa mau melindungi pasangannya lewat kebohongan. Apakah itu bisa dibenarkan, Pak Paul?
PG : Sudah tentu ada waktu dimana kita harus berkata, Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk kami membicarakan hal ini, saya setuju itu sebab kita juga perlu hikmat. Namun secara prinsip umum pada akhirnya kita harus terbuka kepada pasangan kita.
GS : Misalnya saja ada orang yang meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya tetapi ketika istrinya tanya apakah uang ini pinjam, dan dia katakan, Tidak, ini uang hasil kerjanya saya, itu berati suatu kebohongan sebenarnya, Pak Paul.
PG : Dalam kasus seperti itu, saya kira jelas kalau dia harus bercerita dengan apa adanya bahwa dia memang meminjam. Meskipun akan menuai konflik tapi lebih baik dia jujur dan dia berkata Pilihan saya hanya dua, sekarang ini tidak meminjam dan tidak ada uang untuk makan atau saya meminjam dan ada uang untuk kita makan, yang penting saya akan benar-benar berupaya membayar utang saya ini.
GS : Jadi tetap tidak bisa dibenarkan Pak Paul, dengan alasan seperti itu.
Kesimpulan dari perbincangan ini apa, Pak Paul ?
PG : Kita tidak bisa begitu saja menyamaratakan semua sikap ketidak jujuran sebab ada pelbagai penyebabnya, menegur dan memarahinya seringkali tidak memberi dampak. Jauh lebih efektif mendoakannya dan dengan kasih mengajaknya kembali hidup dengan Tuhan yang telah menjanjikan. Di Yohanes
8:32, Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.
GS : Ini berlaku untuk kehidupan suami istri, keluarga, orang tua dan anak juga, Pak
Paul ?
PG : Tepat sekali.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Mengajar Pasangan Bersikap Jujur. Bagi Anda yang berminat untuk mengikuti lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran- saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Tidak semua orang dibesarkan dengan nilai moral yang baik. Ada yang justru dibesarkan dengan ketidakjujuran sehingga akhirnya terbiasa bersikap tidak jujur terhadap sesama. Kadang kita tidak begitu memperhatikan karakteristik ini sebelum menikah dan baru menyadarinya setelah menikah. Apakah yang harus kita perbuat bila pasangan terbiasa bersikap tidak jujur?
Pertama, kita harus bertanya apakah ketidakjujuran ini merupakan upaya untuk menutupi dosa. Bila memang merupakan upaya untuk menutupi dosa, kita harus memperhadapkannya dengan Firman Tuhan. Kita harus menyadarkannya bahwa Tuhan tidak berkenan dengan dosa dan seyogianyalah kita takut akan ganjaran Tuhan. Kita pun harus menegaskan bahwa kita tidak dapat menoleransi dosa di dalam pernikahan sebab pada akhirnya dosa yang bersemayam dalam pernikahan akan menghancurkan sendi pernikahan yakni percaya, respek, dan kasih.
Kedua, kita harus bertanya apakah ketidakjujuran ini merupakan upaya untuk lari dari tanggung jawab. Kadang pasangan terbiasa dengan dusta untuk melepaskannya dari tanggung jawab. Sejak kecil ia telah belajar untuk lepas dari tanggung jawab karena mungkin memang dengan mudah ia dapat mengelabui orangtuanya. Jadi setiap kali ia berhadapan dengan tanggung jawab, maka muncullah dalih demi dalih agar ia terbebaskan dari tanggung jawab. Pola perilakunya adalah, daripada berkata, tidak mau atau tidak suka, ia akan mengatakan, ya, namun tidak mengerjakannya. Sewaktu ditanya, maka dalih demi dalih meluncur keluar dari mulutnya.
Jika inilah duduk masalahnya, kita perlu berbincang bersamanya dan menjabarkan tanggung jawab yang mesti dipikulnya sebagai bagian dari keluarga. Tanyakanlah manakah tanggung jawab yang sanggup dilakukannya dan mana yang tidak diinginkannya. Beritahukanlah bahwa daripada mengatakan, ya, tetapi tidak mengerjakannya, lebih baik mengatakan, tidak.
Ketiga, kita harus bertanya apakah ketidakjujuran ini merupakan upaya untuk memperoleh apa yang diinginkannya dengan mudah. Ada orang yang tidak rela membayar harga untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Itu sebabnya ia berdusta untuk memenuhi keinginannya. Orang ini menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya dan salah satu cara yang digunakannya adalah berbohong. Kita perlu mengajaknya bicara tentang keinginannya itu dan merancang suatu kerja sama agar keinginannya dapat terkabul. Tunjukkanlah niat baik kepadanya yaitu kita bersedia membantunya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa harus berbohong.
Keempat, kita harus bertanya apakah ketidakjujuran ini merupakan upaya untuk menghindar dari konflik dengan kita. Kadang pasangan berbohong karena tidak ingin berselisih pandang. Jadi, ia cenderung mengiyakan pendapat dan keinginan kita namun sesungguhnya ia tidak menyetujuinya. Namun masalahnya adalah, jika kita memaksanya untuk menyatakan pendapat, ia merasa lebih tertekan dan makin mencari celah untuk tidak jujur. Menghadapi sikap seperti ini, kita pun perlu memeriksa diri; mungkin kita dipandangnya sebagai penyulut konflik. Itu sebabnya kita mesti becermin diri dan jika memang ia peka dengan konflik, kita pun perlu mengubah sikap sehingga tidak cepat bereaksi.
Kelima, kita harus bertanya apakah ketidakjujuran ini merupakan upaya untuk melindungi diri. Mungkin ia takut kepada kita sehingga ia cenderung berbohong. Ia menganggap kita adalah pengawas yang mesti dijauhinya. Adakalanya memang kitalah sumber penyebabnya. Misalnya karena kita pernah dikhianati maka kita tidak mudah percaya dan takut mengalami peristiwa yang sama. Itu sebabnya kita cenderung memantau pasangan dan menuntut pertanggungjawabannya.
Atau, kadang penyebabnya adalah pasangan dibesarkan dalam keluarga yang sangat keras sehingga sedikit ketidakkonsistenan cukup untuk membuatnya didera. Perlakuan seperti ini biasanya membuat seseorang takut sekali
ditemukan kesalahannya. Akhirnya untuk menciptakan rasa aman, ia pun berupaya membatasi arus informasi sehingga
pasangannya tidak mengetahui banyak tentang kegiatannya.
Kesimpulan
Kita tidak dapat begitu saja menyamaratakan semua sikap ketidakjujuran sebab ada pelbagai penyebabnya. Menegur dan memarahinya sering kali tidak memberi dampak; jauh lebih efektif mendoakan dan dengan kasih mengajaknya kembali hidup dengan Tuhan yang menjanjikan, dan kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu. (Yohanes 8:32)
Peran Orangtua Menghadapi Anak Berpacaran|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T399A|T399A|Orangtua-Anak|Audio|Materi ini mengarahkan orangtua untuk menyampaikan pesan-pesan moral secara positif jauh sebelum anak masuk dalam jenjang berpacaran. Juga membahas bagaimana sikap orangtua ketika mengetahui anak berpacaran dengan yang tidak seiman.|3.6MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T399A.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar di bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang berpacaran, kami percaya bahwa topik ini sudah sering Anda dengar dan dibahas namun kami akan berusaha pada kesempatan perbincangan ini juga akan menyuguhkan sebuah perbincangan yang menarik dan bermanfaat bagi anda sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
(1) GS : Pak Paul, tentu sebuah proses pernikahan itu diawali dengan berpacaran. Kita pernah mengalami dan mungkin kita sekarang menghadapi anak-anak kita mulai terlibat dalam proses berpacaran. Sebenarnya yang membedakan antara berpacaran dan berteman akrab itu selain hanya perbedaan jenis kelamin, apakah ada hal-hal lain yang sifatnya lebih spesifik, Pak Paul?
PG : Ada Pak Gunawan, jadi yang menjadi perbedaan utama adalah ketertarikan secara
romantis dan emosional. Persahabatan biasanya diikat oleh rasa kebutuhan emosional yang dipenuhi oleh seorang sahabat. Sedangkan berpacaran mengandung unsur suatu ketertarikan secara romantis, Pak Gunawan.
GS : Ya itu saya ajukan karena begini, Pak Paul, sering kali kalau anak-anak itu ditanyakan, Kamu pacaran dengan itu ya? Dia cuma menjawab, Tidak, kami cuma berteman saja! Kalau berteman biasanya kita biarkan saja, tapi kalau berpacaran kita harus memperhatikan lebih serius hubungan mereka.
PG : Kecenderungannya memang anak-anak remaja pada awal-awalnya tidak berterus-terang bahwa dia memiliki ketertarikan secara romantis terhadap teman lawan jenisnya. Jadi yang biasa dia ungkapkan adalah Kami hanya berteman, tujuannya adalah untuk menghindari larangan dari orangtua, Pak Gunawan, jadi orangtua itu cenderungnya tidak memberikan izin kepada anak remajanya untuk berpacaran. Oleh karena itulah mereka tidak menyebutnya itu pacar, hanya teman saja. Tapi sebetulnya dalam hati si anak remaja itu mengakui bahwa ada rasa ketertarikan secara romantis.
GS : Apakah kalau mereka sering pergi berduaan dan mengambil kesempatan-kesempatan
hanya berdua saja, kemudian kita bisa mengatakan mereka sedang berpacaran?
PG : Kemungkinan kalau dengan lawan jenis dan sudah mulai bepergian berdua, saya kira sudah menjurus ke situ. Sebab dalam persahabatan sering kali tidak kita lakukan, biasanya kita bersahabat itu berdua, bertiga apalagi pada anak-anak remaja jarang
sekali yang eksklusif hanya berdua dengan lawan jenis. Jadi kalau mulai berdua dengan lawan jenis mungkin juga mereka pada awalnya mengatasnamakan itu persahabatan, namun dalam hati saya menduga meskipun mereka belum tentu mau mengakuinya mereka sudah memiliki ketertarikan yang romantis, tapi karena untuk penjajakan pada tahap awal masing-masing tidak mau mengungkapkan perasaan sebetulnya. Jadi mereka hanya bepergian dan berpikir ini adalah persahabatan, tapi biasanya setelah melewati satu jangka waktu tertentu mereka makin menyadari betapa bergantungnya mereka pada
satu sama lain, betapa butuhnya kehadiran pasangannya itu. Jadi akhirnya mungkin salah satu akan mengungkapkan isi hatinya dan resmilah mereka menjadi pacaran.
IR : Seringkali yang kita dengar dari anak-anak bilang saya tidak ada apa-apa, tapi dari pergaulan yang selalu berduaan itu sudah menjurus ke pacaran ya Pak Paul?
PG : Betul, jadi kita bisa membedakannya dari segi berapa eksklusifnya persahabatan itu, sebab kalau dengan lawan jenis dan usianya tidak jauh berbeda dan eksklusif kemungkinan besar itu adalah berpacaran.
GS : Mungkin juga mereka khawatir disebut 'gonta-ganti' pacar kalau mereka disebut berpacaran karena itu mereka katakan berteman. Kalau berteman mau gonta-ganti tidak apa-apa.
PG : Betul sekali, sebab ada pengaruh juga tekanan dari teman-teman apalagi kalau mereka mulai berteman secara eksklusif itu pada usia yang relatif muda. Misalkan pada usia 15 tahun mayoritas teman-temannya belum berpacaran. Biasanya anak-anak remaja mulai berpacaran secara eksklusif itu pada usia 16 tahun ke atas. Nah waktu dia umur 15 tahun atau 14 tahun mulai mengembangkan persahabatan yang eksklusif dengan lawan jenis, dia juga merasa malu untuk membuka fakta itu di hadapan teman-temannya. Jadi ada kecenderungan anak remaja juga menyembunyikan fakta tersebut, karena malu juga di hadapan teman-teman dianggap terlalu dini berpacaran dan sebagainya.
(2) GS : Nah kalau seandainya kita tahu memang anak ini /anak kita itu sudah mulai menjurus ke berpacaran, Pak Paul, apa yang bisa kita lakukan sebagai orangtua?
PG : Nomor satu adalah jauh sebelum anak kita mulai berpacaran, kita seharusnya sudah mulai berbicara kepada dia tentang calon pacarnya, tentang suami atau istri yang baik. Jadi itulah yang harus kita tekankan jauh sebelum dia itu akhirnya berpacaran. Misalkan kita mulai berbicara tentang hal-hal seperti ini secara rileks, santai itu kira- kira pada waktu anak usia sekitar 9, 10 tahun. Nah ini tidak harus dilakukan secara terencana dan sistematik tapi kita bisa lakukan serileks mungkin, namun juga mengandung pesan moral yang jelas. Misalkan belum lama ini saya berdua dengan salah satu putri saya dan saya berkata kepada dia, Nanti saya mengharapkan kamu akan menikah dengan seseorang yang lebih baik dari saya. Dia seperti terkejut mendengar perkataan tersebut, Lebih baik dari Papa? Saya bilang, Ya ; Maksudnya? Ya kamu akan menemukan orang yang lebih baik dari saya, jangan mengira bahwa sayalah orang yang terbaik! Akan ada pria yang lebih baik daripada saya. Terus saya bilang, Saya hanya minta kamu mencintai seseorang yang sangat mencintai Tuhan Yesus dan sangat mencintai kamu. Pilihlah orang yang mencintai Tuhan Yesus dan mencintai kamu dengan sepenuh hati. Itu saya ucapkan kepada dia secara sepintas waktu kami sedang berduaan, berbincang-bincang. Hal-hal inilah yang kita perlu mulai sampaikan kepadanya, sehingga dia mempunyai kerangka atau standar atau tolok ukur sewaktu dia akhirnya mulai dekat dengan seorang pria tanpa disadarinya prinsip-prinsip tersebut atau kriteria tersebut sudah melekat padanya dan menjadi panduan yang dia akan gunakan. Nah itu yang pertama yang seharusnya kita lakukan jadi jauh sebelum anak remaja kita mencapai usia berpacaran kita sudah mulai harus berbicara. Nah sebaiknya pembicaraan kita itu juga tidak bernada instruksi, larangan, keharusan atau menggurui, jangan sampai kita menggunakan kata-kata, Kamu tidak boleh menikah dengan ini, kamu harus begini dan sebagainya. Nah itu larangan-larangan yang bagi saya bisa efektif namun dampaknya bagi saya kurang begitu konstruktif, karena anak itu cenderung tidak begitu tanggap terhadap larangan-larangan. Justru bisa-bisa anak itu merasa ingin tahu
mengapa tidak boleh berpacaran dengan orang yang dilarang oleh orangtuanya. Akhirnya malah melakukannya, jadi sampaikanlah pesan-pesan moral kita itu secara positif bukannya secara negatifnya. Itu saya kira langkah awalnya, Pak Gunawan.
GS : Tapi apakah mereka tidak canggung, Pak Paul, untuk diajak bicara seperti itu. Kalau umur 9 atau 10 tahun, lalu tanggapannya tidak serius kadang-kadang.
PG : Memang ada kecenderungan anak tidak akan menunjukkan sikap bahwa dia itu sungguh-
sungguh memperhatikan karena ada rasa malu. Jadi ada kecenderungan dia akan menganggap itu sepertinya tidak serius, tapi sebetulnya dalam hatinya dia akan dengarkan dengan serius. Sebagai contoh lagi saya juga berduaan dengan salah satu anak saya dan saya berkata kepada dia, Waktu saya masih kecil saya berkata, saya ini menyukai seorang wanita, tahu tidak umur saya berapa saat itu? Dia sepertinya tidak menghiraukan saya, sepertinya lagi berkonsentrasi dengan hal yang lain tapi terus dia
jawab dia tanya saya, Berapa umur Papa? Saya bilang, Saya kira-kira umur 9 tahun,
10 tahun saat itu, saya menyukai sekali gadis itu. O, ya ? 'Ya. Saya bilang, Ya, tapi akhirnya setelah saya besar ya sudah, saya tidak menyukai dia lagi dan saya tidak menikahi dia, sebab saya sekarang menikah dengan mama kamu, dia diam saja. Terus saya sambung, saya bilang, Ya itulah yang terjadi pada kita, adakalanya kita menyukai seseorang. Sesudah itu saya diam, saya tidak sambung lagi, tidak tanya-tanya juga tidak korek-korek dari dia. Tujuannya adalah saya mau memberitahu dia bahwa natural, alamiah bagi dia untuk suatu hari kelak menyukai seseorang yang berlawanan jenis dan
tidak perlu dia merasa malu. Saya bertujuan mengambil inisiatif mengungkit, memunculkan hal ini agar dia akhirnya mempunyai keberanian untuk bercerita kepada saya, itu tujuannya.
GS : Di situ, Pak Paul, tidak membedakan misalnya ayah harus bicara dengan anak putra, atau ibu dengan anak putri, apakah tidak ada pengaruhnya?
PG : Tidak, dua-duanya sebenarnya boleh saja tapi sebaiknya memang dua-dua, jangan hanya satu sebab ada kecenderungan ayah akan berkata, Ini tugas ibu. Saya kira justru tidak, ini tugas dua-duanya.
IR : Kalau kadang-kadang orangtua sudah menanamkan seperti yang dikatakan, Pak Paul, tadi tapi kadang-kadang sesudah anak ini menginjak dewasa, sudah waktu pacaran yang saya sering ketahui itu, mereka justru tertarik pada orang-orang yang dikatakan tidak seiman. Kalau ditanya kenapa kamu justru tertarik dengan yang tidak seiman. Mereka menjawab karena yang seiman itu kadang-kadang kurang cantik. Bagaimana kalau menurut Pak Paul?
PG : Sebetulnya yang harus kita akui adalah kematangan iman kita yang sering kali memang dipengaruhi oleh kematangan usia dan jiwa kita. Maksud saya begini, ada memang anak- anak remaja yang usia 11-12 tahun, 13 tahun yang memiliki kematangan rohani. Tapi pada umumnya kalau kita lihat secara umum, kebanyakan kita ini mulai memikirkan dengan serius akan iman kita, akanTuhan, itu pada umumnya sekitar usia 17 tahun, 18 tahun ke atas, bukan di bawahnya. Dan saya kira ini cukup alamiah jadi jangan kita ini merasa anak kita kurang rohani, sebab ada tahapannya. Biasanya memang setelah usia
17 tahun, 18 tahun anak-anak itu baru mulai memikirkan dengan lebih serius tentang
hal-hal yang rohani. Artinya apa? Artinya adalah pada usia sebelumnya hal-hal rohani
itu kurang menempati posisi yang penting di dalam kehidupannya, kecenderungannya adalah dia ikut dengan kita ke gereja karena kewajiban. Pada masa dia belum memiliki kematangan rohani ini dan di mana hal-hal yang rohani itu penting baginya mungkin saja
dia tertarik dengan lawan jenisnya. Nah harus kita akui bahwa pada umumnya pintu pertama yang menjadi penghubung antara kita dengan yang kita sukai adalah ketertarikan fisik, Bu Ida, kita harus akui itulah yang seringkali menjadi daya tarik pertama. Seringkali adalah ya syukur-syukurlah kalau dia juga sesama iman, sesama orang percaya, tapi seringkali unsur percaya atau tidak itu soal kedua sama juga dengan unsur misalnya kecocokan kepribadian, sifat-sifatnya. Seringkali pada anak-anak remaja itu bukan faktor yang penting, jadi ketertarikan mereka lebih didasari atas ketertarikan fisik. Nah dari pengertian ini kita bisa belajar atau menyimpulkan satu hal ya Bu Ida, bahwa sewaktu anak kita itu menjalin hubungan dengan lawan jenisnya yang kebetulan tidak seiman, itu dilakukannya tidak dengan sengaja. Bukannya dia sengaja mencari yang tidak seiman tapi karena memang prosesnyalah seperti itu, rasa ketertarikan karena menyukai penampilan fisiknya. Dari situ baru dia akan mulai memusingkan faktor-faktor lainnya, sifat-sifatnya, kebaikan hatinya, kecocokannya dan nanti yang terakhir yang dia akan pikirkan barulah kesamaan imannya. Sehingga sering terjadi anak-anak remaja yang kita didik dari kecil di dalam Tuhan, akhirnya berpacaran dengan yang tidak seiman.
GS : Kalau kita sudah tahu yang tadi Pak Paul katakan tanda-tandanya cukup jelas bahwa mereka sedang berpacaran dengan yang tidak seiman, padahal sejak dini kita sudah menanamkan norma-norma itu. Nah apa yang harus kita lakukan karena sering kali kita itu panik mengapa pacaran dengan orang yang tidak seiman atau tidak sesuku atau yang
lain-lain yang tidak sesuai dengan kita?
PG : Ya itu reaksi yang umum, Pak Gunawan, kita merasa panik karena (GS : Tidak sesuai
dengan apa yang kita harapkan). Dan kita takut ini menjadi kerugian pada si anak. Nomor satu adalah kita mencoba untuk berdialog dengan dia, makin hari makin saya menyadari bahwa larangan yang keras kurang begitu efektif, justru anak-anak itu kalau kita larang dengan keras berbalik malah membela pacarnya dan merasa bahwa kita itu tidak adil. Nah jadi yang saya akan lakukan adalah saya akan mengembalikan tanggung jawab ini pada pundaknya dan saya akan mendorongnya untuk mempertanggungjawabkan
tindakannya itu di hadapan Tuhan, ini penting sekali kita lakukan. Kecenderungan kita adalah kita ini memaksakan si anak supaya si anak menuruti permintaan kita. Anak remaja sedang berada pada tahap pemberontakan, sering kali anak remaja itu melakukan hal yang justru tidak disukai oleh orangtuanya. Nah waktu kita lebih menekankan Mama tidak setuju, papa tidak setuju kamu menikah dengan dia karena dia bukanlah seorang yang percaya dan sebagainya. Ada kecenderungan si anak ini tidak mendengarkan kita, jadi cara yang saya anjurkan adalah kita beritahu si anak, Anakku ini adalah keputusanmu, pada akhirnya yang menikah adalah engkau tapi hendaklah kamu yakin satu hal, dapatkah engkau mempertanggungjawabkan pilihanmu di hadapan Tuhan? Jadi kita memaksa dia atau menggiring dia kembali berhadapan dengan Tuhan bahwa dia harus mempertanggungjawabkan tindakannya itu di hadapan Tuhan. Misalkan kita bisa membacakan satu ayat yang ditulis oleh Amsal 19:14, Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan. Nah saya akan tanya kepada dia, Dapatkah engkau mempertanggungjawabkan keputusanmu ini dan berkata bahwa dia adalah pemberian Tuhan. Sebab sebagai seorang Kristen kita harus berkata bahwa pasangan hidup kita itu adalah pemberian Tuhan. Pemberian Tuhan berarti yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita tahu bahwa firman Tuhan meminta kita menikah dengan yang seiman, kita tidak diizinkan untuk
menikah dengan yang tidak seiman, tapi sekali lagi kita tidak menekankan pada kehendak kitanya tapi kita menekankan pada engkau sekarang bertanggungjawab secara langsung kepada Tuhan . Jadi itulah yang kita harus lebih tekankan sehingga dia tidak melawan kita, jadi kalau dia mau melawan dia tahu dia melawan Tuhannya sendiri.
GS : Itu 'kan menambah beban buat dia itu sebenarnya ya Pak Paul, dia 'kan sedang dalam kebingungannya. Dia tahu sebenarnya bahwa ini tidak boleh, karena sejak dini sudah ditanamkan norma-norma itu tapi kenyataannya yang tadi Pak Paul katakan dia tertarik secara fisik dengan orang yang tidak seiman. Sekarang kita kembalikan kepada dia, kamu pergumulkan sendiri dengan Tuhan, cari kehendak Tuhan. Tetapi itu saya rasa makin memberatkan dia, Pak Paul?
PG : Dan ada baiknya, memberatkan dia dalam pengertian agar dia sekarang mulai memikul tanggung jawab itu. Sebab kita harus berhati-hati jangan sampai masalah ini menjadi konflik antara dia dengan kita, dia melawan kehendak kita. Yang kita mau beritahukan kepada dia adalah, Engkau sedang melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki Tuhan, nah apa keputusanmu? Itu fakta yang harus kita berikan kepada dia. Namun setelah itu kita juga mau berdialog dengan dia misalkan sekali waktu kita tanya kita bisa berkata, Engkau tertarik kepada dia sebab pasti ada hal-hal yang baik tentang dia yang kau sukai, boleh saya tahu apa saja yang kau sukai tentang dia? Dengan cara itu kita ini memberikan kesan kepada anak kita bahwa kita juga tertarik atau kita ini merasa berkepentingan mendengarkan sisi dia. Sebab adakalanya si anak merasa orang tua belum apa-apa sudah menjatuhkan vonis tidak boleh, tapi tidak mengerti pergumulan dia, nah ini yang kita mau tunjukkan kepadanya bahwa kita pun mau memahami dirinya, bahwa dia menyukai orang ini karena ada hal-hal yang memang baik tentang orang tersebut, yang dia sukai. Nah waktu kita dengarkan dia bercerita tentang apa yang dia suka mengenai atau tentang orang tersebut dia akan merasa setidak-tidaknya orangtua mau mendengarkan sisi dia. Setelah dia cerita begitu kita bisa misalkan berikan komentar, Saya mengerti ini pergumulan yang besar bagi kamu. Di satu pihak kamu mau mengikuti kehendak Tuhan, di pihak lain orang ini kurang pas dengan kamu dan kamu sangat menyukainya. Nah adakalanya itulah yang harus kita hadapi dalam hidup dan di situlah Tuhan meminta kita untuk kembali kepadaNya dan menyerahkan masalah ini kepadaNya dan tidak berjalan sesuai dengan kehendak kita saja. Jadi kita beri panduan seperti itu, jadi bukan dengan sikap yang frontal, konfrontatif tapi dengan sikap memandu, membimbing dia.
GS : Pak Paul, bisa katakan dia mengambil keputusan untuk putus dengan pacarnya yang tidak seiman itu, lalu ada perasaan bahwa ternyata dia tidak berani lagi untuk pacaran. Dia
memilih supaya dia tidak terluka lagi hatinya lalu tidak pacaran lagi dia, itu bagaimana cara kita menolongnya?
PG : Ya kita bisa sampaikan kepadanya bahwa setelah kita putus, luka itu akan terus tinggal dalam hati kita untuk jangka waktu yang lama, jadi sudah sepantasnya kalau dia itu tidak mau mencoba kembali namun kita bisa beritahu dia, Setelah lukamu sembuh nanti keinginan itu akan muncul juga secara lebih alamiah, makanya engkau perlu lebih berhati-hati lain kali. Misalkan kita bisa bagikan pengalaman kita. Saya secara pribadi sejak masih SMA mempunyai kriteria istri seperti apa yang saya inginkan. Setelah saya kuliah dan saya lahir baru saya menambahkan kriteria saya bahwa orang itu harus orang percaya. Jadi saya tidak lagi mempedulikan lawan jenis saya yang tidak seiman dengan saya, sebab saya tidak mau mencari penyakit. Mungkin bisa saya berikan firman Tuhan,
dari Amsal 20:18, Rancangan terlaksana oleh pertimbangan sebab itu berperanglah dengan siasat, jadi rancangan terlaksana oleh pertimbangan sebab itu berperanglah dengan siasat. Ayat ini bisa kita bagikan kepada anak kita bahwa lain kali engkau harus mempertimbangkan dengan baik sebelum melangkah masuk dalam hubungan yang lebih serius, karena yang terluka adalah kita dan Tuhan mau melindungi kita dari luka dan kerugian-kerugian. Oleh sebab itulah sebelum kita melangkah, kita dasari dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang.
IR : Tapi sebaliknya, Pak Paul, kalau mereka putus, tapi kalau si anak ini berdialog dengan orangtua mengatakan kebaikan-kebaikan sang pacar. Tapi misalnya dari sumber luar ada sisi-sisi yang negatif tentang pacarnya, apa yang dilakukan orangtua terhadap anak ini?
PG : Kita harus sampaikan tapi dengan nada bukan memaksakan. Kita bisa beritahu dia bahwa saya mendengar begini, saya juga tidak tahu benar apa tidak, namun saya sampaikan kepada kamu supaya kamu perhatikan saja. Sebab waktu kita menyampaikannya seperti itu si anak biasanya akan mendengar, dia akan pikir apalagi kalau dia percaya dengan perkataan kita.
IR : Soalnya biasanya kalau orang sudah jatuh cinta itu keburukannya tidak dipikirkan ya
Pak Paul. (PG : Betul sekali) terus mengeraskan hati, tidak mau menghadapi untuk putus cinta itu rasanya dia takut, biasanya begitu.
PG : Betul, kita juga pernah muda ya Bu Ida, mengerti hal ini juga.
GS : Memang di sini kita melihat bahwa peranan orangtua itu sangat besar sekali, dan kita
sebagai orangtua tidak bisa lepas tangan begitu saja, kalau ada orangtua yang mengatakan, sesuka anaknyalah pilih pasangannya sendiri, itu sebenarnya kurang bertanggung jawab ya, Pak Paul?
PG : Betul.
GS : Jadi semoga perbincangan yang kita sudah lakukan pada saat ini bisa berguna bagi para pendengar kita. Demikianlah tadi saudara-saudara pendengar, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang kehidupan berpacaran bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda
berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami mengucapkan terima kasih untuk Anda yang sudah mengirim surat kepada kami namun saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda masih sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.