Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Perlunya Kesiapan Sebelum Pernikahan. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, perbincangan kita kali ini masih seputar tugas-tugas yang harus dikerjakan dalam berpacaran yang akan menuju ke pernikahan. Kita sudah membahas tentang perlunya ketertarikan dan perlunya kecocokan, tetapi kita akan bicara tentang kesiapan. Bagaimana ini, Pak Paul ?
PG : Pada dasarnya ada tiga kesiapan yang mesti kita perhatikan. Yang pertama adalah kesiapan batiniah, kedua adalah persiapan emosional dan ketiga adalah persiapan jasmaniah. Kita langsung fokus pada yang pertama yakni kesiapan batiniah. Yang saya maksud adalah sebetulnya kesiapan rohaniah. Kita mesti datang kepada Tuhan, membawa relasi kita kepada-Nya dan minta pimpinan-Nya. Kita mesti peka melihat apa yang terjadi dalam relasi kita dan memohon Tuhan memberikan hikmat kepada kita untuk menilai kesiapan relasi ini masuk ke dalam pernikahan. Saya percaya Tuhan menunjukkan kehendak-Nya lewat firman-Nya, lewat anak- anak-Nya, dan lewat situasi yang kita alami. Kenapa ? Sebab Dia adalah Bapak. Dia Bapak yang sayang kepada kita anak-anak-Nya. Dia tidak ingin kita terjerumus dalam lembah masalah. Itu sebabnya Dia akan memeringatkan kita supaya kita bisa melihat bahwa relasi ini bukanlah relasi yang diberkati-Nya. Sebaliknya bila Allah Tuhan kita menilai bahwa ini adalah relasi yang dikehendaki-Nya, maka Ia pun akan memberkatinya. Jadi kunci untuk melihat apakah relasi ini berada dalam kehendak Tuhan adalah dengan bertanya kepada diri sendiri, apakah Tuhan berada dalam relasi ini dan memberkati relasi ini ? Kita mesti dapat melihat bahwa Tuhan bekerja dalam relasi ini lewat berbagai cara. Kita harus dapat menyaksikan bahwa Tuhan hadir dalam relasi ini. Sewaktu kita mengalami pimpinan Tuhan dalam menjalani relasi ini, barulah kita dapat dengan pasti berkata bahwa Tuhan beserta dengan kita. Dan ini adalah sebuah kesiapan batiniah yang mesti kita dapatkan.
GS : Ini suatu kesiapan yang penting dan mutlak harus ada terutama bagi kita orang yang beriman. Tetapi biasanya pasangan merasa pokoknya sudah dapat orang yang seiman itu sudah cukup. Bagaimana ini, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu kalau kita sudah memilih yang seiman adalah hal yang baik, jadi kita tidak sembarangan dalam memilih pasangan hidup. Namun belum tentu yang
seiman itu yang cocok buat kita. Jadi kita harus tetap jalani. Jangan sampai kalau kita sudah mendapatkan yang seiman seolah-olah menstempel pasti cocok. Tidak! Tetap harus kita jalani dan kita lihat apakah Tuhan berkarya di dalam relasi kita ini. Apakah Dia sungguh-sungguh menuntun dan memberkati relasi ini. Jikalau misalnya kita melihat kita lebih sering berkelahi daripada hidup damai sejahtera. Hubungan kita dengan Tuhan bukannya makin dekat malah makin menjauh. Kok sepertinya kita lebih jarang berbakti, lebih jarang melayani Tuhan. Nah, semua itu adalah pertanda yang harus kita awasi, bahwa mungkin sekali ini bukan relasi yang Tuhan kehendaki.
GS : Tapi biasanya dalam masa berpacaran kita menganggap bahwa ini memang sudah kehendak dan rencana Tuhan bagi kita, makanya kita dipertemukan, begitu Pak Paul.
PG : Makanya kita tidak bisa hanya melihat satu sisi saja. Tapi kita harus benar-benar
meneliti selama ini apakah relasi ini merupakan relasi yang sungguh-sungguh Tuhan berkati. Apakah iman kita dan kasih kita kepada Tuhan bertumbuh ? Apakah Tuhan memakai relasi ini untuk mengenal kuasa Tuhan dengan lebih dekat dan nyata ? Jadi yang terpenting adalah bukan saja diri kita yang bertumbuh tapi kita juga melihat pasangan kita juga bertumbuh. Pada akhirnya kita berdua makin dapat melayani Tuhan bersama. Ini penting, Pak Gunawan, sebab hidup ini tidak selalu berjalan lurus. Saya ingat sekitar tujuh tahun setelah kami menikah, kami pindah ke Malang, ke Indonesia. Perpindahan tempat, perubahan sosial, perubahan jadwal kehidupan, benar-benar memberikan tekanan tambahan kepada relasi kami. Jadi saat itu kami adalah orang tua muda dengan tiga orang anak berusia 5 tahun, 3 tahun dan 1 tahun. Akibatnya saya dan istri mulai sering dilanda konflik. Saya masih ingat dalam satu kondisi yang frustrasi saya mulai bertanya-tanya, apakah saya keliru memilih istri ? Tidak bisa tidak pertanyaan itu muncul. Namun, tiap kali saya bertanya, saya diingatkan bahwa ketika kami berpacaran kami selalu meminta pimpinan Tuhan dan kami melihat Tuhan sungguh-sungguh memimpin relasi kami. Dengan kata lain, saya tidak bisa menyangkal melihat campur tangan Tuhan yang jelas. Ini menjadi seperti jangkar, pegangan saya melewati masa transisi yang sarat konflik itu. Jadi sebaliknya Pak Gunawan, kalau saya melihat ke belakang dan tidak berkata bahwa Tuhan campur tangan, saya meminta Tuhan memimpin saya dan saya melihat Tuhan memberkati relasi kami, kalau saya tidak bisa bilang begitu, besar kemungkinan pada waktu saya mengalami konflik, saya akan goncang. Saya mungkin akan bertanya-tanya, Ini benar kehendak Tuhan apa tidak ? Mungkin ini bukan kehendak Tuhan. Jadi sekali lagi kalau kita mau menikah kita mesti memiliki kesiapan batiniah. Kesiapan yang ada dalam roh dan hati kita bahwa ini adalah relasi yang Tuhan kehendaki dan Tuhan berkati. Nah, ini akan menjadi bekal yang kuat dalam kita nanti mengarungi pernikahan kita.
GS : Ada sepasang muda-mudi yang tengah berpacaran. Sampai berpacaran sekian tahun lamanya, kemudian si wanita mengatakan ini bukan kehendak Tuhan untuk
mereka menikah. Tapi si pria berkata bahwa ini kehendak Tuhan ! Nah, bagaimana mencari titik temunya, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu yang wanita dan yang pria itu keduanya harus memaparkan kenapa baginya ini kehendak Tuhan dan mengapa baginya ini bukan kehendak Tuhan. Dalam kondisi seperti itu, menurut saya yang penting kita melihat kondisi relasi itu. Kalau memang kita harus memanggil orang ketiga misalnya seorang konselor atau hamba Tuhan dan akhirnya orang ketiga itu berkata relasi ini bukan relasi yang sehat, banyak konflik dan sebagainya, mungkin kita harus melihat hal itu. Kita tidak bisa berkata konflik adalah pertanda bahwa Tuhan tidak menyetujui relasi ini. Tapi konflik setidak-tidaknya harus membuat kita berhati-hati. Dan kalau kita tidak bisa menyelesaikan konflik malah muncul lagi konflik yang sama, dan kalau ini berlangsung untuk waktu yang panjang, disitu kita harus bertanya- tanya apakah ini pertanda dari Tuhan apakah kita tidak bisa meneruskan relasi ini. Kalau memang kita sudah coba selesaikan, kita minta bantuan orang menyelesaikan, tapi tidak bisa selesai malah terus muncul konflik-konflik yang sama, nah mungkin ini adalah tanda dari Tuhan. Jadi sekali lagi, Tuhan tidak selalu bicara dengan jelas kepada kita lewat firman-Nya. Kadang lewat kondisi realitas relasi kita itu sendiri. jadi Tuhan memberikan kepada kita hikmat. Jika kita melihat relasi ini kok lebih banyak berkelahinya dari pada berdamainya, berarti kalau saya menikah ini yang harus saya lalui, ya lebih baik jangan dipertahankan.
GS : Tapi pertanyaannya, kalau mereka seiman, yang diimaninya sama, mereka sama- sama melayani Tuhan, kenapa yang satu bisa punya keyakinan ini kehendak Tuhan untuk putus, tapi yang satu berkeyakinan ini kehendak Tuhan untuk lanjut ?
PG : Memang kita ini manusia seringkali tidak bisa terlepas dari unsur kepentingan pribadi, Pak Gunawan. Saya ingat waktu saya kuliah, dalam persekutuan kami ada seorang pria yang menyukai seorang teman wanita. Kami adakan persekutuan doa dan setelah persekutuan doa, pria ini menghampiri teman wanita ini dan berkata,
Tadi dalam doa Tuhan berfirman kamulah pasangan saya. Teman wanita ini orangnya bijaksana, dia bercerita kepada saya bahwa waktu itu dia menjawab pria ini begini, Kalau itu memang adalah suara Tuhan, Dia pasti akan berbicara juga kepada saya. Akhirnya dia tidak menolak juga tidak mengiyakan, dia hanya berkata saya akan tunggu apakah nanti Tuhan juga berbicara kepada saya. Dan ternyata memang tidak, tidak ada suara Tuhan! Akhirnya mereka tidak jadi, dan akhirnya mereka masing-masing memunyai keluarga. Yang saya hargai adalah, teman pria saya ini beberapa waktu setelahnya mengakui langsung kepada wanita itu, Maaf, saya menggunakan nama Tuhan dengan sia-sia. Sebab sesungguhnya ini adalah daging saya. Memang saya menyukai kamu. Jadi saya langsung mengaitkan bahwa itu adalah suara Tuhan padahal itu adalah suara saya sendiri yang memang menyukai kamu. Jadi maaf, saya tidak berani berkata begitu lagi. Kalau memang sampai ada pasangan yang seorang berkata lain dari pasangannya, ada dua kemungkinan. Yang mau memertahankan karena memang mencintai akan berkata ini suara Tuhan. Dan yang satunya yang mungkin juga bukan hanya karena
ada banyak konflik tapi bisa jadi dia sendiri sudah berubah pikiran, cintanya sudah berkurang atau bagaimana dan dia tidak mau lagi, dia jadi memakai nama Tuhan. Dalam kondisi seperti itu kita tidak bisa pastikan karena memang hanya Tuhan yang tahu. Saya hanya akan lihat relasi itu sendiri. Kalau satu sudah tidak mau, ya lebih baik jangan. Apakah itu kehendak Tuhan atau tidak, saya tidak tahu pasti, tapi saya kira Tuhan juga akan mengerti bagaimana bisa meneruskan relasi dengan seseorang yang jelas-jelas sudah tidak mau lagi berada dalam relasi ini. Jadi dalam kondisi itu ya lebih baik jangan.
GS : Jadi memang ini suatu kesiapan mutlak dan sangat penting. Selain kesiapan batiniah atau rohani, kesiapan apa lagi yang perlu kita miliki, Pak Paul ?
PG : Kita mesti memiliki kesiapan emosional, Pak Gunawan. Pernikahan dan kehidupan berkeluarga menuntut kesiapan untuk mengorbankan banyak hal. Saya dan Pak Gunawan sama-sama sudah menikah, kita tahu ada banyak pengorbanan. Misalnya kita harus siap mengorbankan pilihan. Sebelum menikah kita dapat mengambil keputusan dan menjatuhkan pilihan sesuai dengan pertimbangan pribadi. Setelah menikah kita mesti mengikutkan pasangan dalam keputusan kita. Dan kalau kita memunyai anak, kita juga sedapat-dapatnya melibatkan anak dalam setiap pertimbangan. Jadi kita harus memikirkan apa saja yang terbaik bagi mereka tapi juga apa yang menjadi keinginan mereka. Jadi kalau kita mau menikah, kita mesti siap dengan hal mengorbankan pilihan. Tidak bisa pokoknya kita ikuti pilihan pribadi. Harus selalu memertimbangkan kepentingan semuanya. Kalau kita tidak siap, ya jangan menikah.
GS : Artinya seseorang yang mau menikah ini dituntut untuk bisa menyangkal dirinya sendiri, Pak Paul ?
PG : Itu adalah istilah yang sangat baik, Pak Gunawan. Betul sekali ! Memang Tuhan meminta kita untuk berani menyangkal diri, tidak lagi mendahulukan pilihan atau kehendak pribadi. Kalau kita memang memiliki ego yang terlalu kuat, mau apa harus dapat, ini akan menyusahkan orang, sebab pernikahan bukan suatu penjajahan. Pernikahan adalah sebuah persatuan dimana dua orang menjadi satu.
GS : Selain untuk mengorbankan pilihan, artinya kita mengalah dalam memilih, yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Yang berikut adalah kita juga mesti siap mengorbankan waktu. Sebelum menikah kita dapat menggunakan waktu sesuai keinginan dan kebutuhan pribadi. Kita mau bangun jam berapa terserah saja. Setelah menikah, kita harus bersedia mengorbankan waktu bukan untuk kepentingan dan kebutuhan kita melainkan untuk kepentingan dan kebutuhan pasangan dan anak-anak. Misalnya kita selalu berkata, Saya harus buang waktu karena harus mengantarmu, karena harus mengurus anak ! berarti kita tidak rela ya mengorbankan waktu. Jadi barangsiapa hendak menikah dia harus siap mengorbankan waktu. Dan memang kadang- kadang rasanya memang seperti membuang waktu. Tapi itu memang bagian dari pernikahan. Kalau kita orang yang tidak bisa sedikit pun melihat bahwa tidak apalah membuang waktu demi kepentingan pasangan, kita susah masuk dalam
pernikahan dan kita akan menyusahkan pasangan dan anak-anak kita. Kita mesti siap mengorbankan waktu.
GS : Bagaimana dengan hak milik kita, apakah itu juga perlu dikorbankan ?
PG : Pasti, Pak Gunawan! Kalau kita ini orang yang tidak bisa berbagi barang, kalau sudah milik pribadi akan kita simpan dan orang lain kita larang menyentuhnya, orang lain tidak boleh pakai, kita tidak bisa menikah. Kalau kita mau menikah kita harus siap berbagi. Kadang-kadang kita juga mesti siap barang kita rusak dipakai oleh anak kita. Misalnya kita punya barang elektronik. Kita harus siap bila anak kita pasang ini, itu dan akhirnya rusak. Ya sudah tidak apa-apa. Kita tetap harus beritahu dan jaga, tapi kalau tetap kejadian ya mesti kita terima. Jadi kita yang mau menikah harus siap mengorbankan barang pribadi kita.
GS : Tapi dalam pernikahan ada semacam perjanjian, barangmu barangmu, barangku
barangku, sehingga dibuatlah suatu daftar kepemilikan. Bagaimana ini, Pak Paul ? PG : Saya pikir kalau kita mau menikah ya kita harus bersedia untuk berbagi. Tidak bisa
ini eksklusif barang saya, itu eksklusif barangmu. Kalau kita menyatu tapi dengan konsep barangku barangmu, ini bukanlah sebuah penyatuan tapi sebuah kemitraan belaka seperti perusahaan. Seperti P.T. (Perseroan Terbatas) yang masing-masing punya sahamnya. Dalam pernikahan kita meleburkan diri, dua menjadi satu. Jadi kita mesti siap berbagi.
GS : Tapi ada juga yang memang sepakat. Ada barang-barang yang memang khusus milik masing-masing, ada barang-barang yang boleh digunakan bersama-sama. Saya rasa wajar-wajar juga.
PG : Ada kalanya dalam kasus khusus, misalnya ada dua orang yang sudah paro baya, anak-anak sudah besar, pasangannya sudah meninggal dunia, masing-masing hidup sendirian, lalu keduanya bertemu dan memutuskan untuk menikah. Akhirnya sebelum mereka menikah, mereka membuat surat perjanjian tentang apa yang menjadi hak dan harta masing-masing. Itu bisa saya mengerti. Kenapa ? Sebab dalam kasus ini, mereka nanti harus mewariskan kepada anak-anak. Sudah tentu itu terpisah dengan keluarga yang satunya. Anak-anaknya memang memunyai hak atas harta warisan dari orang tua kandungnya. Jadi dalam kasus ini saya pikir tidak apa-apa. Namun dalam kasus dimana kedua orang memang menikah dari muda, tapi kalau dari awal sudah membagi-bagi seperti itu, saya takut nantinya yang satunya akan merasa sedikit banyak terhina. Sebab biasanya dalam kasus seperti itu melibatkan satu pihak yang sangat kaya, dan yang kurang kaya akan merasa belum apa-apa sudah diwajibkan untuk tanda tangan seperti ini. Jadi sudah melukai perasaannya.
GS : Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk emosional ini apa, Pak?
PG : Kita harus siap mengorbankan kebebasan. Sebelum menikah kita bebas berbuat apa pun yang kita anggap baik. Kita bisa pergi dengan siapa pun dan kemana pun. Nah, setelah menikah kita mesti siap melepaskan kebebasan itu. Kita harus siap mengikatkan diri dalam sebuah relasi pertanggungjawaban. Jadi kita tidak bisa berkata saya masih mau hidup bebas, kumpul dengan teman-teman, mau pulang
jam berapa pun terserah saya. Ada yang begitu, Pak Gunawan, pasangan nikah yang menganggap masih lajang, hidup semaunya. Ya tidak bisa ! Kebebasan itu harus dikurangi.
GS : Itu juga bisa menyangkut tentang emosi pasangan kita atau diri kita sendiri.
Bagaimana mengenai perasaan, Pak Paul ?
PG : Betul ! Kalau kita mau menikah kita juga harus siap mengorbankan perasaan.
Maksudnya siapa pun yang mau menikah harus siap terluka, kecewa, sedih dan sebagainya. Kalau kita sayang perasaan dan tidak siap untuk tersakiti, kita tidak siap untuk menikah. Saya tahu kita tidak mau sengaja menyakiti, tapi pada kenyataannya kita akan saling menyakiti. Jadi walaupun kita tidak mau mengecewakan pasangan, akhirnya kadang-kadang kita mengecewakan pasangan. Dengan kata lain, disamping tawa dan cinta, kita harus hidup bersama dengan air mata dan kadang-kadang dengan benci juga. Itulah kenyataan yang mesti kita terima. Sekali lagi, kita mesti siap mengorbankan perasaan juga.
GS : Kalau kita bahas panjang lebar tentang hal ini, ini 'kan menyangkut tentang hak
dan kewajiban masing-masing, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Jadi kita bisa simpulkan, kalau namanya siap secara emosional adalah siap untuk mengurangi hak dan mesti siap menambahkan tanggung jawab. Jadi kalau kita menikah berpikir pokoknya saya mau menambah hak dengan menikah. Ya tidak bisa ! Atau berpikir saya mau menikah supaya saya bisa mengurangi tanggung jawab, itu juga tidak benar ! Kita mesti siap mengurangi hak dan menambahkan tanggung jawab. Sebagai contoh, sebelum menikah kita punya hak penuh atas tubuh kita, namun setelah menikah, pasangan juga memiliki hak atas tubuh kita. Sebelum menikah kita punya hak atas uang kita, namun setelah menikah pasangan turut memunyai hak atas uang kita. Kita tidak boleh berkata ini uang saya, kamu tidak boleh menyentuhnya. Nah itu tidak benar ! Karena keduanya harus melebur menjadi satu. Namun bukan hanya siap mengurangi hak, kita juga harus siap menambahkan tanggung jawab. Setelah menikah, kita bertanggungjwab bukan saja atas diri kita tetapi juga atas pasangan dan anak- anak. Kita harus memikirkan dan mengupayakan kesejahteraan mereka. Jadi inilah yang harus kita lakukan sebagai pasangan. Sebelum menikah kita harus siap secara emosional, kita harus siap mengurangi hak kita dan kita harus siap menanggung lebih banyak tanggung jawab.
GS : Inti atau kesimpulan dari kesiapan emosional itu seperti apa, Pak Paul ?
PG : Kita harus siap untuk tidak lagi hidup untuk diri sendiri, itu intinya. Bila kita masih ingin hidup untuk diri sendiri sepenuhnya, mustahil kita dapat menikah. Sebab pernikahan dan berkeluarga adalah hidup berbagi. Di dalam berbagi, kita melepaskan dan di dalam melepaskan kita justru menerima. Itulah pernikahan yang Tuhan kehendaki.
GS : Di awal Pak Paul menyatakan ada tiga hal yang perlu disiapkan sungguh-sungguh.
Hal yang ketiga itu apa, Pak Paul ?
PG : Selain kesiapan batiniah dan emosional, kita juga harus mempunyai kesiapan jasmaniah. Saya ingin fokuskan pada dua hal, yaitu kesehatan dan keuangan. Mohon dimengerti, saya tidak mengatakan bahwa untuk dapat menikah kita senantiasa harus berada dalam kondisi kesehatan yang prima. Tidak! Namun saya mesti mengingatkan bahwa kesehatan berdampak besar pada kelangsungan pernikahan. Jadi biaya pengobatan yang besar dan hambatan akibat sakit penyakit, tidak bisa tidak memberikan tekanan besar kepada pernikahan. Ada banyak pasangan yang akhirnya mengalami masalah yang berawal dari problem kesehatan. Namun saya tidak melarang orang untuk menikah dengan seseorang yang memunyai masalah fisik. Namun saya perlu mengingatkan bahwa jika kita memutuskan untuk menikah dengan dia, kita harus siap menanggung konsekuensinya. Jika tidak siap, lebih baik kita mengakui apa adanya.
GS : Sekarang ini sudah lazim pasangan menjelang menikah memeriksakan kesehatannya ke laboratorium atau ke dokter. Ini bermanfaat sekali, Pak Paul ?
PG : Saya kira, ya. Kita memastikan bahwa pasangan kita sehat. Misalnya ketahuan ada masalah serius dan memerlukan pengobatan, mungkin kita bisa menunda dulu. Kita fokuskan pada kesembuhannya dahulu. Atau karena sekarang kita tahu dia memunyai penyakit seperti itu dan kita jujur tidak siap untuk menghadapinya, lebih baik kita berkata apa adanya. Misalkan ada orang yang siap, ya tidak apa- apa. Saya tahu ada orang yang tahu bahwa suaminya tidak akan hidup panjang karena penyakit yang dideritanya, tapi memang dia mencintai suaminya dan keluarganya mendukung, ya mereka tetap menikah. Walau tidak lama setelah menikah memang suaminya ambruk lagi, sakit dan akhirnya meninggal dunia. Kadang hal seperti itu terjadi. Kalau siap, tidak apa-apa. Kalau tidak siap, lebih baik jujur apa adanya. Daripada menikah kemudian tidak bisa memegang janjinya, bahkan lari atau bagaimana, itu 'kan lebih melukai pasangan kita.
GS : Kadang penyakit itu tidak muncul sebelum pernikahan, tapi setelah pernikahan, Pak Paul.
PG : Kalau itu terjadi kita harus memegang janji nikah kita. Dalam sehat dan dalam sakit kita akan mendampingi pasangan kita.
GS : Selain memertimbangkan kesehatan, hal lain dalam kesiapan jasmaniah ini apa,
Pak Paul ?
PG : Kesiapan keuangan, Pak Gunawan. Berkaitan dengan keuangan, saya kira sikap terbaik adalah bertanggung jawab. Saya mengerti bahwa standard setiap keluarga akan kecukupan itu tidak sama. Ada orang tua dan ada kalanya pasangan itu sendiri yang menuntut penyediaan berlimpah. Masalahnya adalah belum tentu pasangan muda dapat memenuhi standard yang telah dicapai oleh orang tuanya. Jadi sebaiknya kita tidak menentukan standard kecukupan yang terlalu tinggi. Sebaliknya, saya juga mengingatkan ya, hati-hati ! Karena ada orang yang memang bersikap kurang hati-hati, Pak Gunawan. Ada yang beranggapan bahwa tidak apa hidup ala kadarnya yang penting saling mencintai. Saya mengerti cinta itu penting tapi kecukupan juga penting. Jadi sebelum menikah sebaiknya kita memunyai
kesamaan harapan akan standard kehidupan yang diinginkan. Jangan sampai terdapat jurang perbedaan yang besar. Sebab bila itu terjadi hampir dapat dipastikan, uang akan menjadi masalah yang kerap diungkit-ungkit. Kuncinya adalah siapkanlah pernikahan dengan bertanggungjawab. Pastikan kebutuhan mendasar seperti makan, minum, tempat tinggal dan biaya kehidupan bersama akan tercukupi. Kalau memungkinkan perhitungkan adanya biaya tambahan, seperti nanti kalau hamil, biaya kelahiran anak dan apakah bisa kita tabung uang untuk biaya sekolah anak dan sebagainya. Kalau itu bisa kita siapkan, saya kira barulah kita siap untuk menikah secara keuangan juga.
GS : Minimal di antara mereka sudah ada yang memunyai penghasilan tetap, ya Pak
Paul ?
PG : Betul sekali. Dan bukan hanya tetap tapi juga memang bisa mencukupi kebutuhan mendasar itu.
GS : Sehubungan dengan perbincangan kita ini, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Lukas 14:28-30 berkata, Sebab siapakah diantara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Ini nasihat yang baik dari
Tuhan Yesus. Jadi apa pun yang menjadi kondisi kita, kita nantinya harus siap. Kalau tidak siap untuk menikah sebaiknya jangan dipaksakan.
GS : Lebih baik ditunda atau dibatalkan daripada hancur-hancuran setelah pernikahan, ya Pak Paul ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Terima kasih banyak Pak Paul untuk perbincangan kita kali ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Perlunya Kesiapan Sebelum Pernikahan. Dan ini merupakan bagian dari pembicaraan mengenai Tugas Dalam Berpacaran. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e- mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.