Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Pengaruh Keluarga Asal. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pasangan suami istri masing-masing tentu punya keluarga asal. Orang tua kandung atau orang tua angkat. Yang pasti mereka punya latar belakang yang kadang-kadang tidak sejalan atau tidak sepadan dan banyak perbedaan di sana. Apa pengaruhnya dalam hubungan suami istri, Pak Paul ?
PG : Ternyata memang bagaimanakah orang tua kita berelasi, bagaimanakah mereka memerlakukan kita sebagai anak, akhirnya itu akan sangat memengaruhi relasi kita dengan pasangan kita sekarang ini, Pak Gunawan. Jadi kita mau coba fokuskan pada dua pola relasi yang mewarnai relasi pernikahan kita yang sekarang. Yang pertama adalah relasi pernikahan orang tua kita. Singkat kata, bagaimanakah mereka memerlakukan satu sama lain berpengaruh pada cara kita memerlakukan pasangan kita sekarang. Contohnya, misalnya ibu adalah seorang yang dominan sedangkan ayah adalah seorang yang pasif. Jika kita adalah anak yang dekat dengan ayah, maka besar kemungkinan kita akan berperilaku kebalikan dari ibu. Karena kita tidak suka dengan ibu yang bersikap dominan. Kita pun bertekad untuk tidak seperti itu. Jadi kita akan menikah, kita akan mencoba menjadi orang yang tidak dominan. Ingatan tentang mama yang dominan itu negatif bagi kita. Jadi kita coba tidak dominan. Nah, sebaliknya bila kita dekat dengan ibu yang dominan itu, maka kita cenderung mengadopsi sikap ibu yang dominan dan akan bersikap dominan terhadap pasangan kita sekarang. Misalnya kita melihat ayah kita orangnya pasif, tidak bertanggung jawab, sedangkan ibu bekerja keras. Ya, tidak apa-apa ibu dominan karena memang ibu harus bekerja keras. Akan besar kemungkinan kita akan mengadopsi sikap ibu yang dominan itu. Apalagi kalau nanti kita punya pasangan yang kita anggap juga pasif. Kita akan benar-benar menjiplak pola relasi orang tua kita.
GS : Tapi itu 'kan tergantung kita, kita sebagai yang pria atau wanita. Kalau anak wanita
'kan kebanyakan cenderung mencontoh ibunya, baik ibunya dominan maupun tidak.
PG : Sebetulnya tergantung juga, misalnya kalau anak wanita itu dekat dengan ayahnya dan dia kasihan melihat ayahnya diperlakukan seperti itu oleh ibunya. Mungkin dia tidak mau jadi seperti ibunya. Walaupun karena dia sering melihat, bisa jadi ada yang sudah dia adopsi atau dia tertular. Tapi ya dia mencoba untuk tidak dominan. Namun kalau anak perempuan itu tidak suka melihat ayahnya yang pasif itu, dia
akan betul-betul menjiplak pola ibunya, dia juga ingin dominan dan menguasai suaminya.
GS : Itu 'kan juga tergantung seberapa akrabnya si anak dengan orang tuanya. Kalau sejak kecil memang tidak terlalu akrab, mungkin juga tidak terlalu berpengaruh.
PG : Betul. Ini memang sedikit banyak tergantung pada kedekatan hubungan kita dengan ibu maupun ayah. Dampak itu akan lebih besar jika kita dekat dengan ayah kita atau dekat dengan ibu kita. Namun coba kita lihat yang lain, Pak Gunawan. Misal kita seorang laki-laki melihat mama dominan terhadap papa, besar kemungkinan kita tidak suka. Kita dekat atau tidak dekat dengan ayah itu nomor dua. Yang kita lihat mama dominan kepada papa dan kebetulan kita laki-laki, biasanya kita tidak suka. Sebagai akibatnya kita akhirnya mengembangkan kepekaan yang sangat tinggi terhadap tindakan-tindakan yang kita anggap dominan. Misal kita menikah, istri menyuruh kita, sebetulnya bukan menyuruh dengan nada kasar, tapi kita bisa tidak suka. Kita bisa berkata, Saya tidak suka dengan cara kamu menyuruh-nyuruh saya ! Istrinya bisa kebingungan dan berkata,Saya tidak ada niat apa-apa, cuma memintamu menolong saya mengerjakan ini. Tapi dia tidak suka sekali. Kenapa ? Dia sensitif karena dulu dia tidak suka dengan perilaku ibu yang dominan kepada ayahnya.
GS : Berarti sebenarnya sebelum memasuki pernikahan, kedua orang ini harus tahu tentang latar belakang masing-masing, Pak Paul ?
PG : Sebaiknya begitu, Pak Gunawan. Jadi kalau kita mau menikah dengan seseorang, sebaiknya pelajari latar belakang keluarganya. Sebab kenapa ? Karena pada akhirnya relasi suami istri dari ayah dan ibu akhirnya berdampak pada relasi pernikahan kita yang sekarang ini. Apabila mereka memunyai relasi yang sehat, masing-masing menjalankan peran suami istri secara tepat, hal ini memudahkan kita mencontoh pola yang sehat itu dan menerapkannya pada relasi nikah kita sekarang. Contohnya, kita melihat ayah kita orang yang bertanggung jawab dan bisa mengasihi mama, mama juga sopan dan menghormati papa dan berusaha mendukung papa. Kita melihat contoh yang sehat itu dan tinggal meneruskannya. Kalau kita anak laki-laki kita akan ambil sikap papa. Kalau kita perempuan, kita akan teruskan sikap mama. Jadi peralihannya lebih mulus. Akan menjadi sangat kompleks kalau relasi orang tua kita memang tidak begitu sehat.
GS : Itu juga tergantung bagaimana dia diperlakukan oleh orang tuanya, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Ini membawa kita pada point berikutnya. Jadi yang juga akan memengaruhi relasi pernikahan kita, selain relasi orang tua sebagai suami istri, adalah bagaimana orang tua memerlakukan kita sebagai anak dahulu. Dengan kata lain, reaksi kita sebagai anak terhadap perlakuan orang tua akan turut mewarnai bagaimana kita berelasi dengan pasangan kita sekarang. Contohnya, apabila sebagai anak kita kerap menerima pelecehan. Dimarahi, dianggap rendah atau tidak dihargai. Maka besar kemungkinan kita akan cepat bereaksi terhadap perlakuan pasangan yang kita anggap melecehkan. Sedikit-sedikit kita menginterpretasi, Kamu melecehkan saya. Kamu tidak menghargai saya. Kenapa?
Sebab kita sewaktu jadi anak tidak merasa dihargai bahkan merasa direndahkan oleh orang tua kita. Contoh yang lain, jika kita merasa orang tua dulu terlalu membatasi ruang gerak kita, maka ada kecenderungan sekarang kita mudah bereaksi terhadap sikap pasangan yang kita anggap mau membatasi kita, walaupun sebetulnya belum tentu demikian, Pak Gunawan. Tapi kita menangkapnya, Kamu mau mengontrol saya ya ? Kamu mau membatasi saya ya ? Padahal pasangan tidak berniat begitu. Hal yang normal dalam pernikahan kita saling menjaga dan mengingatkan. Jadi kita lihat disini, akhirnya kita memerlakukan pasangan sebagaimana kita bereaksi terhadap orang tua pada waktu mereka membesarkan kita.
GS : Memang banyak faktor yang bisa memengaruhi hal seperti itu, Pak Paul. Jumlah anak dalam keluarga itu dan kita anak nomor berapa, itu pun sangat besar pengaruhnya saat kita nanti menjalin hubungan suami istri.
PG : Betul. Misalkan kita anak yang di tengah dan ada kakak dan adik. Kita merasa kita yang paling diabaikan. Bisa jadi dalam pernikahan kita akan peka sekali dengan sikap pasangan kita yang sepertinya tidak menghargai atau mengabaikan kita. Kita bisa marah kepada dia. Tidak heran dalam pernikahan kadang kita mendengar cetusan seperti ini, Jangan perlakukan saya sebagi anakmu. Sesungguhnya cetusan ini merupakan reaksi ketidaksukaan kita terhadap perlakuan orang tua dulu. Makin banyak ketidaksukaan terhadap cara orang tua memerlakukan kita dulu akan makin banyak reaksi yang kita keluarkan kepada pasangan kita sekarang. Kecuali dia memerlakukan kita 100% kebalikan dari orang tua kita dulu.
GS : Jadi sebenarnya yang lebih banyak diserap oleh anak itu sikap-sikap positif atau sikap-sikap negatif dari orangtua, Pak Paul ?
PG : Sebetulnya kalau memang banyak yang negatifnya dan seringkali kita bereaksi terhadap yang negatif, itu yang akan mewarnai kita. Tapi kalau memang kita melihat cara orang tua terhadap kita adalah baik, sehat, menghargai kita tapi juga mendisiplin kita dan sebagainya, besar kemungkinan kita juga akan mengharapkan pasangan berbuat yang sama kepada kita, Pak Gunawan. Kita berbicara dengan orang tua, didengarkan dan dihargai. Kita juga mau pasangan mendengarkan dan menghargai kita. Atau orang tua tidak memaksakan kehendak, mencoba berdiskusi dan berdialog dengan kita, maka kita juga mengharapkan pasangan seperti itu. Jangan paksa saya. Tolong kalau ada apa-apa bicarakan. Jangan sampai mendesak-desak. Saya tidak suka. Itu reaksi yang kita berikan, sebetulnya kepada orang tua kita dulu yang sekarang kita terapkan dalam relasi kita dengan pasangan nikah kita.
GS : Tapi kalau kita bersikap dengan cara yang banyak dipengaruhi oleh orang tua kita, pasangan 'kan jadi bingung menghadapi kita. Pasangan baru beberapa tahun mengenal kita, kita mengenal orang tua kita sudah lebih lama daripada dia.
PG : Betul sekali. Memang dalam pernikahan, akhirnya kedua pihak harus memahami tentang pasangan kita, kalau kita telusuri, kita ajak dia bicara, kita akan bisa temukan, sebetulnya apa yang dia lakukan kepada kita itu berkaitan sekali dengan
dia sebagai anak atau dia melihat melihat orang tuanya dulu berelasi sebagai suami istri. Tidak jauh-jauh, Pak Gunawan.
GS : Tapi sebagai pasangan kita menghendaki dia sebagai pribadi yang utuh, tidak terlalu banyak dicampuri oleh orang tuanya dulu.
PG : Yang sering terjadi adalah kalau relasi orang tua kita itu sehat, kita akan mengembangkan diri yang lebih mandiri. Tapi kalau kurang sehat, kita akan lebih sering dipengaruhi oleh mereka.
GS : Pengaruh itu berdampak negatif terhadap pernikahan. Karena kita mengharapkan hubungan ini adalah hubungan antara saya dengan pasangan saya. Kalau ini dicampurkan, padahal dua latar belakang yang berbeda sekali, 'kan sulit.
PG : Makanya kalau latar belakang keluarga kita kurang sehat dan pas kita menikah dengan pasangan yang seperti kita juga, itu akan lebih rumit. Rumit sekali, Pak Gunawan. Karena kedua belah pihak akhirnya kompleks. Apa yang dulu orang tuanya katakan akan dia lakukan, atau kebalikannya. Akhirnya nanti akan berpengaruh ke dalam relasi mereka. Maka kalau bisa sebelum menikah, ada pendekatan, ada penyesuaian. Kalau ada masalah, misalnya perlu mendapat bimbingan, carilah pembimbing supaya hal-hal ini bisa dibereskan dulu.
GS : Biasanya nanti akan berdampak juga pada anak-anak yang lahir di tengah keluarga ini, Pak Paul. Anak-anak akan mencontoh neneknya.
PG : Betul. Kalau tidak hati-hati akhirnya pola yang kurang sehat itu kita teruskan, dari orang tua kita dan nanti kepada anak-anak kita.
GS : Jadi apakah kita harus tetap berputar-putar pada masalah seperti itu ataukah ada jalan keluarnya, Pak Paul ?
PG : Ada jalan keluarnya, Pak Gunawan. Saya akan coba paparkan beberapa jalan keluarnya. Langkah yang pertama adalah kita mesti mengakui bahwa kita lahir dan besar dalam keluarga yang bermasalah serta telah mewarisi cara berelasi yang tidak sehat. Kita mesti mengakui bahwa memang kita membawa masalah yang berpotensi merusak relasi pernikahan kita ini. Saya pikir penting kita mengawali dengan pengakuan, sebab ketika kita menempatkan diri sebagai pihak yang bermasalah, kita sudah menempatkan masalah pada tempat yang sebenarnya. Jangan sampai akhirnya kita menyalahkan pasangan kita. seolah-olah dialah yang tidak mengerti kita dan sebagainya. Itu akan memperkeruh masalah. Jadi kalau kita menyadari orang tua kita bermasalah, ya sudah akui dulu.
GS : Tapi pengakuan ini harus didasari dari kesadaran. Kalau dia tidak menyadari bahwa dia adalah prototipe dari kedua orang tuanya, 'kan tidak mungkin sampai kepada pengakuan ini ?
PG : Betul. Kalau orang itu tidak mau menyadari, ya sudah, kita tidak bisa bilang apa- apa. Hidup ini tidak ideal, Pak Gunawan. Kadang-kadang dalam pernikahan, itulah yang kita jumpai. Ya sudah kita bersabar. Ada Tuhan dan siapa tahu suatu hari nanti dia bisa membuka mata dan mengakuinya.
GS : Iya. Biasanya orang seperti ini akan berdalih, Saya ya seperti ini. Waktu kita pacaran 'kan kamu tahu kalau saya seperti ini. Begitu, Pak Paul.
PG : Iya. Makanya kalau kita bisa mengakui, Iya ini masalah saya dan bukan masalah kamu sudah lebih gampang untuk menyelesaikannya.
GS : Tapi biasanya sebaliknya, Pak Paul. Masalahnya menyalahkan pasangan, menyalahkan orang tua, menyalahkan lingkungan.
PG : Betul. Tidak bisa tidak kalau pasangan yang disalahkan, dia jadi marah. Dia tak lagi mau peduli, jadi memperkeruh masalah. Kalau kita akui bahwa ini memang masalah saya, itu lebih mudah diselesaikan.
GS : Selain pengakuan, apa lagi ?
PG : Kita mesti bertekad mengubah cara berelasi yang tidak sehat. Kita tidak boleh membanggakan apa yang tidak sehat sebagai sesuatu yang baik. Dan kita tidak boleh menyematkan siapakah diri kita pada cara yang tidak sehat. Singkat kata, kita harus menjadikan perubahan ini sebagai proyek pribadi seumur hidup. Hati- hatilah dengan orang yang akhirnya membanggakan cara yang tidak sehat itu. Dan ada orang yang seperti itu. Memang saya orangnya seperti ini. Ini adalah prinsip saya atau apa, tidak mau berubah! Kalau kita tahu ini memang tidak sehat, akui dan cobalah ubah.
GS : Mengubah memang perlu dibantu oleh pasangannya juga. Kalau dia sudah
mengakui dan mau berubah tapi pasangannya tidak mendukung dengan aktif, perubahan itu akan sulit sekali terjadi.
PG : Betul. Langkah ketiga adalah berani minta maaf kepada pasangan. Kita mau melibatkan pasangan. Kalau tidak, masalah ini tidak pernah selesai. Memang kita perlu minta maaf kepada pasangan. Sebab dalam perjalanan menuju pemulihan, tidak bisa tidak kita akan melukai pasangan. Baik melalui perbuatan maupun perkataan. Jadi minta maaflah. Jangan sampai kita gengsi dan menunggu pasangan minta maaf terlebih dahulu.
GS : Ini juga bisa harus dilakukan kalau sudah punya anak-anak, Pak Paul. Karena mereka pun terkena dampaknya. Dampak negatif dari sikap kita yang berasal dari masa kecil kita, terpengaruh oleh orang tua kita dan kita harus berani minta maaf kepada anak-anak karena mereka juga jadi korban kita, Pak Paul.
PG : Mungkin ini agak berat dilakukan karena kita anggap kita orang tua. Tapi betul sekali, Pak Gunawan. Dalam perjalanan ini kita juga sering melukai anak-anak dan sebagian dari mereka membawa luka yang dalam itu nanti ke dalam kehidupan mereka sendiri. akan sangat indah jika orang tua bisa berkata, Saya salah. Memang ini masalah saya, bukan masalahmu. Jadi papa minta maaf kepadamu.
GS : Jadi intinya memotong sikap-sikap negatif yang terbawa dari masa lalu, Pak Paul. PG : Iya. Jadi kalau kita juga bisa ceritakan kepada anak-anak kita bahwa inilah cara
saya dibesarkan dulu oleh orang tua saya. Anak-anak juga akan lebih mudah mengerti dan memberi maaf kepada kita. Justru kalau mereka menyadari, Oh ternyata papa atau mama adalah korban, kasihan ya. Mereka lebih mengerti. Sehingga mereka tidak memberikan reaksi yang terlalu keras juga. Kadang karena tidak mengerti, mereka memberikan reaksi yang keras terhadap orang tua. Sekarang karena sudah mengerti, mereka lebih menahan diri dan kita sebagai
orang tua tidak mudah terpancing sehingga relasi membaik. Saya sarankan waktu kita berbincang-bincang dengan anak-anak atau pasangan kita, kita berterus terang. Inilah yang saya dulu lihat, alami dan akhirnya saya bawa ke dalam pernikahan ini.
GS : Tapi itu mesti dikomunikasikan dengan benar, Pak Paul. Kalau tidak, akan terkesan pada anak-anak atau pasangan kita, seolah-olah kita membela diri sendiri.
PG : Betul. Jangan sampai anak-anak melihat kita tidak mau berubah. Seolah-olah membenarkan diri atau berdalih, Saya begini karena masa lalu saya itu. Jadi mereka mau melihat bahwa kita berusaha. Saya kira kalau kita menunjukkan usaha meskipun tidak selalu berhasil, maka pasangan atau anak-anak kita akan bisa menerimanya.
GS : Selain itu apakah ada langkah lain yang bisa kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Langkah yang keempat dan terakhir adalah kita harus rela meminta dan menerima pertolongan dari pasangan. Misalkan kita dapat memintanya untuk mengajarkan cara yang sehat menyampaikan sesuatu atau memohon bantuannya supaya kita tidak mudah meledak. Kita libatkan dia dalam proses pemulihan ini supaya dia pun tahu bagaimana bersikap kepada kita.
GS : Kalau yang bersangkutan meminta, rasanya agak sulit, Pak Paul. Jadi harus pasangannya yang tanggap dulu, yang tahu lebih dulu bahwa dia bersedia memberikan bantuan. Tapi itu pun bisa ditanggapi keliru juga kalau hubungan suami istri kurang sehat.
PG : Memang orang enggan meminta bantuan atau mengakui ini masalah dia sebab dia ada rasa takut, jangan-jangan ini nanti dijadikan bahan untuk menyerang dia. Apalagi kalau minta bantuan bisa disalah mengerti. Pasangan bisa menyalahgunakannya untuk menyerang dia, atau pasangan merasa, Kok kamu enak sekali. Kamu yang bermasalah, saya yang harus berkorban, saya yang harus lebih mengerti kamu lagi. Memang bisa begitu. Tapi saya kira tidak ada jalan lain. Memang kalau kita butuh pertolongan, kita harus bicara apa adanya. Tolonglah saya. Misalnya kalau kamu sedang bicara dengan saya, karena saya mudah terpancing melihat kamu membelalakkan mata, tolong kamu jangan begitu. Meskipun kamu marah, bisakah kamu bicara dengan nada yang lebih perlahan? Saya kira kalau ini bisa dituruti bisa baik.
GS : Mungkin lebih mudah kalau nasihat itu datang dari pihak ketiga, bukan dari pasangan.
PG : Saya kira kalau misalnya pihak ketiga terlibat, seorang pembimbing atau pendeta terlibat dalam masalah itu, akan lebih baik lagi. Kalau kita tidak bisa menemukan jalan keluar, sebaiknyalah kita mencari bantuan.
GS : Mungkin para pendengar kita juga sudah melaksanakan apa yang Pak Paul uraikan dari nomor 1 sampai dengan 4. Namun pada kenyataannya mereka masih kesulitan dalam berinteraksi suami istri. Bagaimana, Pak Paul ?
PG : Langkah terakhir adalah kita mesti bersabar dan terus bergumul dengan pola yang tidak sehat. Kita tidak boleh menyerah meski kadang kita gagal. Kita mesti ingat
prinsip ini, pertumbuhan rohani itu adalah pergumulan rohani. Tidak ada pertumbuhan tanpa pergumulan. Saya bacakan dari kitab Roma 7:19-21, Sebab bukan apa yang aku kehendaki yaitu yang baik yang aku perbuat melainkan apa yang tidak aku kehendaki yaitu yang jahat yang aku perbuat. Demikianlah aku dapati hukum ini. Jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Ini adalah pengakuan Paulus, Pak Gunawan. Bukan pengakuan di masa lampau tapi pengakuan di masa sekarang. Dia pun bergumul. Rupanya masih ada pola-pola yang tidak sehat, berdosa, yang masih melekat pada dirinya dan itu menjadi pergumulannya. Kita mesti ingat, pertumbuhan rohani itu merupakan sebuah perjalanan dan pergumulan. Jadi jangan berhenti berjalan, jangan berhenti bergumul. Suatu hari kelak pasti kita akan tiba.
GS : Artinya selama kita masih manusia yang tidak sempurna dan hidup sebagai pasangan suami istri, interaksi itu pasti mengalami gangguan-gangguan itu, ya Pak Paul ?
PG : Saya kira demikian. Jadi jalan terus, jangan menyerah.
GS : Kita tahu di dalam Tuhan pasti ada cara yang tepat untuk kita bisa menyelesaikan masalah yang ada, Pak Paul. Apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa memberikan pedoman bagi kita?
PG : Amsal 24:6 berkata, Karena hanya dengan perencanaan engkau dapat berperang, dan kemenangan tergantung pada penasihat yang banyak. Artinya karena kita
sudah mengerti duduk masalahnya, maka sebaiknya kita menyelesaikan dengan sebuah perencanaan. Kalau kita mau menang perang, mesti ada strateginya. Kalau kita mau membangun relasi pernikahan kita juga mesti ada langkah-langkah yang kita ambil. Jangan berharap pernikahan ini tiba-tiba menjadi baik, berubah dengan sendirinya. Tidak! Kita yang harus berusaha. Langkah-langkah ini harus kita ambil.
GS : Memang butuh waktu dan Tuhan pasti akan membantu kita untuk bisa menyelesaikan masalah itu, Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kita kali ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Pengaruh Keluarga Asal. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Salah satu hal yang mesti disadari dalam membangun pernikahan adalah pengaruh keluarga-- di mana kita lahir dan dibesarkan--pada pernikahan kita sekarang. Sudah tentu pada prinsipnya makin sehat latar belakang kita, makin besar kemungkinan kita akan berelasi dengan pasangan secara sehat pula. Nah, berikut akan diuraikan pengaruh keluarga asal pada relasi nikah kita sekarang dan apa yang seharusnya kita perbuat untuk mengurangi dampak negatifnya.
Sesungguhnya ada dua pola relasi yang ikut mewarnai relasi pernikahan kita sekarang :
(1) RELASI PERNIKAHAN ORANG TUA KITA. Singkat kata bagaimanakah mereka memperlakukan satu sama lain berpengaruh pada cara kita memperlakukan pasangan kita sekarang. Sebagai contoh, Ibu adalah seorang yang dominan sedangkan Ayah seorang yang pasif. Jika kita adalah seorang yang dekat dengan Ayah, maka besar kemungkinan kita akan berperilaku kebalikan dari Ibu. Karena kita tidak suka dengan sikap Ibu yang dominan, kita pun bertekad untuk tidak bersikap seperti Ibu. Sebaliknya, bila kita kebetulan dekat dengan Ibu, maka kita cenderung mengadopsi sikap Ibu yang dominan dan akan bersikap dominan terhadap pasangan kita sekarang. Jika kita adalah seorang laki-laki, maka besar kemungkinan kita tidak akan suka dengan sikap Ibu yang dominan dan akan mengembangkan kepekaan yang tinggi terhadap sikap istri yang kita anggap dominan. Juga, ada kemungkinan karena figur ayah yang kita kenal adalah figur ayah yang pasif, kita pun akhirnya mengadopsi sikap pasif ayah. Jadi, dapat kita lihat bahwa pola relasi suami-istri dari Ayah dan Ibu akhirnya berdampak pada relasi pernikahan kita sekarang. Apabila mereka mempunyai relasi yang sehat dan masing-masing menjalankan peran suami-istri secara tepat, hal ini akan memudahkan kita mencontoh pola yang sehat itu dan menerapkannya pada relasi nikah kita sekarang. Sebaliknya, makin buruk pola relasi mereka, makin berat pekerjaan rumah yang tertinggal pada diri kita.
(2) POLA RELASI YANG AKAN MEMPENGARUHI RELASI KITA SEKARANG ADALAH POLA RELASI ORANG TUA-ANAK DI MANA KITA DIBESARKAN DULU. Dengan kata lain, reaksi kita sebagai anak terhadap perlakukan orang tua dulu akan turut mewarnai bagaimana kita berelasi dengan pasangan kita sekarang.
Sebagai contoh, apabila sebagai anak kita kerap menerima pelecehan, maka besar kemungkinan kita akan cepat bereaksi terhadap perlakuan pasangan yang kita anggap melecehkan. Atau, jika kita merasa orang tua terlalu membatasi ruang gerak kita dulu, maka ada kecenderungan kita pun akan mudah bereaksi terhadap sikap pasangan yang kita anggap terlalu membatasi. Tidak heran dalam pernikahan kadang kita mendengar cetusan, Jangan perlakukan saya sebagai anakmu. Sesungguhnya cetusan ini merupakan reaksi ketidaksukaan kita terhadap perlakuan orang tua dulu. Jadi, makin banyak ketidaksukaan kita terhadap cara orang tua memperlakukan kita dulu, akan makin banyak reaksi yang kita keluarkan kepada pasangan kita sekarang--kecuali bila ia memperlakukan kita 100% kebalikan dari perlakuan orang tua dulu.
Sebaliknya bila kita mengalami perlakuan yang baik dari orang tua, besar kemungkinan kita pun akan mengharapkan perlakuan yang sama dari pasangan kita. Misalkan, jika orang tua tidak memaksakan kehendak dan kita diberikan kebebasan untuk mengutarakan pendapat, maka kita pun akan menuntut pasangan untuk tidak memaksakan kehendak dan memberi kebebasan.
Kesimpulannya adalah relasi pernikahan tidak lepas dari pengaruh keluarga asal. Relasi suami-istri dari orang tua dan relasi orang tua dan kita sebagai anak akan berpengaruh. Pertanyaannya adalah, apakah yang mesti kita perbuat bila kita dibesarkan dalam keluarga yang kurang sehat di mana relasi orang tua tidak sehat dan relasi kita dengan mereka juga tidak sehat ?
1. MENGAKUI BAHWA KITA LAHIR DAN BESAR DI DALAM KELUARGA YANG BERMASALAH SERTA TELAH MEWARISI CARA BERELASI YANG TIDAK SEHAT. Kita mesti mengakui bahwa kita membawa masalah yang berpotensi merusak relasi pernikahan kita. Pengakuan ini penting dilakukan sebab pengakuan ini menempatkan masalah pada posisi yang tepat. Jika kita tidak mengakui, bukankah yang biasanya terjadi adalah kita saling menyalahkan satu sama lain ?
2. BERTEKAD MENGUBAH CARA BERELASI YANG TIDAK SEHAT ITU. Kita tidak boleh membanggakan apa yang tidak sehat sebagai sesuatu baik. Dan, kita tidak boleh menyematkan siapakah diri kita pada cara yang tidak sehat itu. Singkat kata kita harus menjadikan perubahan ini sebagai proyek pribadi seumur hidup.
3. BERANI MEMINTA MAAF KEPADA PASANGAN. Dalam perjalanan menuju pemulihan kita akan melukai pasangan baik melalui perbuatan maupun perkataan. Jadi, mintalah maaf kepadanya. Kita tidak boleh menahan gengsi dan menunggu pasangan meminta maaf terlebih dahulu.
4. MEMINTA DAN MENERIMA PERTOLONGAN DARI PASANGAN. Kita dapat memintanya untuk mengajarkan cara yang sehat untuk menyampaikan sesuatu atau memohon bantuannya supaya kita tidak mudah meledak. Libatkanlah dia dalam proses pemulihan supaya ia pun tahu bagaimana bersikap dan bertindak. Amsal 24:6 mengingatkan, Karena hanya dengan perencanaan engkau dapat berperang, dan kemenangan tergantung pada penasihat yang banyak.
Masalah Ego Pria|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T446A|T446A|Dewasa|Audio|Sebenarnya istilah ego berarti diri.Namun dalam perkembangannya, istilah ini dipakai untuk merujuk kepada sikap mementingkan diri. Dalam pembahasan kali ini penggunaan istilah ego diartikansebagai sesuatu yang kita kenali sebagai diri. Secara khusus saya akan menyoroti hal ego pada pria, yang sayangnya kerap berkonotasi negatif, terutama bila dikaitkan dengan keluarga. Apa yang perlu kita ketahui tentang ego atau diri pria?|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T446A.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Masalah Ego Pria. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kita sering mendengar kata ego. Tapi sebenarnya pengertian yang jelas atau yang mau kita perbincangkan saat ini, pengertian ego itu seperti apa ?
PG : Ego berarti diri. Namun dalam perkembangannya istilah ini lebih sering dipakai untuk merujuk pada sikap lebih mementingkan diri. Dalam pembahasan kali ini saya akan menggunakan istilah ego sebagai sesuatu yang kita kaitkan dengan dan kita kenali sebagai diri. Secara khusus memang saya akan menyoroti hal ego pada pria yang sayangnya kerap berkonotasi negatif, terutama bila dikaitkan dengan keluarga.
GS : Jadi sebenarnya semua orang baik pria maupun wanita itu memunyai ego. Tapi kali ini kita berbicara tentang ego pada pria?
PG : Betul.
GS : Kalau seseorang dikatakan egois, pengertiannya seperti apa, Pak ?
PG : Sekarang memang kita mengaitkan sikap egois dengan sikap mementingkan diri.
Tapi sebenarnya kata ego hanya berarti diri. Tapi kata egois berarti mementingkan diri.
GS : Banyak orang salah menafsirkan ketika Tuhan mengatakan bahwa kita harus mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri. Apakah ini terkait dengan ego, Pak Paul ?
PG : Tidak sama sekali terkait. Dalam pengertian kita mengasihi diri tidak berarti kita egois. Yang Tuhan maksudkan dengan perintah itu adalah jangan sampai kita kurang mengasihi orang. Sebab asumsinya orang pertama yang paling kita kasihi adalah diri kita sendiri. kalau ada apa-apa bukankah kita ingin melindungi diri sendiri. Waktu kita punya kebutuhan bukankah kita ingin mendahulukan kebutuhan kita sendiri. Tuhan meminta kita mengasihi orang lain sebesar itu. Memang tujuannya adalah supaya kasih kita itu tidak lebih terbatas sewaktu kita mengasihi orang.
GS : Jadi ego tidak melekat pada diri seseorang ketika dia lahir, Pak Paul ? Atau tumbuh perlahan-lahan sesuai dengan perkembangan jasmaninya ?
PG : Tentu ada bawaan yang diwarisi dari orang tuanya. Misalnya ada orang yang dari kecil membawa sikap keras kepala, kelembutan dan sebagainya. Itu berperan besar dalam pembentukan dirinya. Nantinya pembentukan itu terjadi di dalam rumah. Apa yang didengarnya, diterimanya, dari orang tua dan kakak adiknya, kemudian
waktu dia bersekolah dia akan mendapatkan hal yang sama dari guru dan teman- temannya. Semua itu nanti menjadi atau membentuk diri atau ego di dalam orang tersebut.
GS : Jadi apa yang ingin Pak Paul sampaikan mengenai ego seseorang itu apa ?
PG : Yang pertama adalah bahwa ego pria terbentuk lewat perlakuan lingkungan. Jadi, saya jelaskan. Pada masa kecil ego pria terbentuk dalam relasinya dengan orang tua. Setelah itu ego pria terbentuk lewat interaksinya dengan teman dan guru di sekolah. Pada umumnya lingkungan keluarga maupun guru dan teman di sekolah, memerlakukan anak laki-laki sebagai diri yang kuat dan tangguh. Itu sebab mulai dari permainan sampai olahraga untuk anak laki-laki hampir semua bersifat fisik dan menuntut ketahanan serta kekuatan. Sudah tentu perlakuan dan tuntutan lingkungan tidak salah. Kelebihan kekuatan fisik pria membuatnya cocok berperan sebagai sosok pelindung wanita dan anak-anak. Juga kelebihan fisik pria menjadikannya sanggup melakukan pekerjaan berat guna menafkahi keluarga. Tidak heran, sejak kecil lingkungan memersiapkan anak laki-laki untuk menjadi kuat dan tangguh sehingga akhirnya mampu mengemban peran sebagai pelindung dan pencari nafkah bagi keluarga.
GS : Memang secara fisik anak laki-laki kelihatan lebih kokoh daripada wanita yang lebih lemah gemulai. Tapi faktanya setelah menjadi besar, apakah memang laki- laki lebih kuat daripada perempuan ?
PG : Saya kira secara kekuatan kasar iya Pak Gunawan. Misalnya mengangkat barang yang berat. Kita juga tahu prestasi olahraga dalam bidang olahraga yang sama, pria selalu melampaui wanita, misalkan lari, angkat besi dan sebagainya. Namun kalau kita membicarakan tentang ketahanan fisik, kesehatan tubuh dan sebagainya sudah tentu belum tentu sama. Kita tahu banyak wanita yang bisa berumur lebih panjang daripada pria. Tapi secara kekuatan kasar paa umumnya pria memang lebih kuat daripada wanita.
GS : Jadi ego seseorang itu dikondisikan oleh lingkungannya, Pak Paul ?
PG : Ya. Jadi apa yang diterima oleh lingkungan akhirnya juga membentuk dia. Apa yang diharapkan oleh orang tuanya, apa yang diharapkan oleh teman-temannya, bahwa dia harus menjadi kuat dan tangguh akhirnya membentuk dia sebagai laki- laki yang kuat dan tangguh. Dalam prakteknya untuk menjadi kuat dan tangguh, anak laki-laki dibentuk untuk tidak mudah ambruk dalam tekanan dan dapat bertahan dalam penderitaan. Kira-kira demikian. Jadi tidak mudah ambruk dalam tekanan dan bertahan dalam penderitaan. Anak laki-laki dibentuk supaya tidak gampang menyerah sebesar apapun rintangan yang mesti dihadapi. Itu sebab setelah besar anak laki-laki mempunya sebuah ego atau diri yang kuat dan tangguh. Yang artinya adalah tidak mudah ambruk, tidak gampang menyerah dan tahan menderita. Kira-kira itu yang dicoba dicapai oleh lingkungan dalam membentuk seorang anak laki-laki atau ego laki-laki. Hasil akhirnya, ego laki-laki itu menjadi kuat dan tangguh, tidak mudah ambruk, tidak gampang menyerah dan tahan menderita.
GS : Dengan cara bagaimana lingkungan membentuk anak supaya tangguh, kuat, tidak mudah menyerah, Pak Paul ?
PG : Misalnya kalau anak itu berkata, Aduh aku tidak bisa ikut olahraga ini. Biasanya guru akan berkata kamu pasti bisa, kamu anak laki-laki. Misalnya main sepakbola, anak itu berkata,Saya tidak suka main sepakbola. Dijawab, Oh tidak. Kamu anak laki-laki mesti bisa main sepakbola. Misal hal seperti itu. Anak laki- laki memang diarahkan untuk menjadi kuat dan tangguh. Sebab tidak bisa kita sangkal memang fungsi pria adalah untuk mencari nafkah bagi keluarga dan untuk melindungi keluarganya. Dan untuk itu diperlukan kekuatan serta ketangguhan.
GS : Tapi 'kan ada anak yang sejak kecil sudah sakit-sakitan sehingga sulit dipengaruhi atau dipaksakan seperti itu. Bagaimana itu, Pak Paul ?
PG : Maka anak laki-laki yang tidak bisa mencapai standart itu atau memenuhi harapan
itu, tidak bisa tidak pada masa remaja seringkali mengalami krisis. Krisis jati diri. Karena dia mungkin akan diejek teman-temannya, kamu kok tidak bisa, kamu kok penakut, kamu kok seperti perempuan dan sebagainya. Jadi akhirnya anak laki-laki itu mengalami krisis kepercayaan diri. Tapi sebetulnya kita harus mengerti orang itu tidak sama. Tidak semua anak laki-laki senang dengan permainan yang kasar. Ada anak laki-laki yang senang dengan permainan yang tenang dan tidak ada kontak fisik. Tapi kita mengerti beginilah masyarakat dimana kita tinggal, bukan hanya di Indonesia, di mana-mana sama, kebanyakan orang mengharapkan anak laki-laki untuk kuat dan tangguh.
GS : Yang lainnya apa Pak Paul ?
PG : Hal kedua tentang ego pria yang perlu kita ketahui adalah dalam perkembangannya, ego atau diri yang dibentuk untuk menjadi kuat dan tangguh cenderung kehilangan kepekaan terhadap penderitaan dan kelemahan. Singkat kata, untuk dapat bertahan dalam penderitaan dan sanggup menahan rasa sakit, maka anak laki-laki terpaksa mengabaikan penderitaan dan rasa sakit itu sendiri. Ini yang menyebabkan ego atau diri pria sulit menyelami penderitaan dan rasa sakit. Tidak heran di dalam pernikahan, salah satu keluhan yang sering kita dengar adalah istri mengeluhkan kekurangtanggapan suami terhadap perasaan sedih atau sakit. Tidak jarang istri marah kepada suami karena suami bersikap tidak peka dan misalkan terlalu keras pada anak. Semua itu adalah akibat dari pembentukan diri atau ego pria yang mengharuskannya untuk tidak terlalu memberi perhatian kepada perasaan, baik itu rasa sakit ataupun rasa sedih.
GS : Berarti pria memang punya kecenderungan untuk menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya terutama kelemahan-kelemahannya, Pak Paul ?
PG : Saya kira demikian, Pak Gunawan. Sebab kita mesti mengakui kalau anak laki-laki menangis, misalnya betapa seringnya kita mendengar komentar dari orang dewasa Kamu anak laki-laki jangan cengeng. Anak laki-laki tidak boleh menangis. Nah, itu 'kan kata-kata yang sering kita dengar. Dengan kata lain, tidak boleh mengungkapkan kesedihan atau rasa sakitnya atau kelemahannya. Karena itu tadi,
lingkungan berusaha membentuk anak laki-laki harus kuat dan tangguh. Kuat dan tangguh artinya tidak boleh menangis, tidak boleh mengatakan rasa sakit.
GS : Tapi dia mengharapkan orang lain juga seperti itu ?
PG : Betul. Nantinya setelah dia besar dia akan menuntut hal yang sama kepada anak laki-lakinya atau kepada orang lain.
GS : Atau kalau punya saudara laki-laki, adiknya akan diperlakukan seperti itu.
PG : Ya. Makanya kita perlu mengakui, misalnya kita yang sudah dewasa dan sudah bekerja, ada teman laki-laki yang usianya paro baya seperti kita, misalnya waktu sedih dia menangis, saya kira kita merasa kurang nyaman dengan teman pria yang menangis, kadang-kadang mengeluh. Kenapa ? Karena sudah ada konsep atau tuntutan bahwa kita pria tidak seharusnya seperti itu. Kalau kita seperti itu berarti kita lemah. Jadi itu salah satu harga yang harus dipikul oleh anak laki-laki karena dibentuk untuk kuat dan tangguh akhirnya kurang tanggap terhadap perasaan dan penderitaan. Dalam pernikahan seringkali istri mengeluh, Kamu kurang memerhatikan perasaan saya. Kamu berbicara kasar. Kok kamu tidak lihat perasaan saya seperti apa. Kamu tidak tanggap dan berinisiatif ketika melihat saya sedih. Nah kebanyakan kita pria memang buta terhadap hal seperti itu.
GS : Apakah ego itu tumbuh terus dengan sempurnanya atau ada penyimpangannya, Pak Paul ?
PG : Dalam pembentukannya ego juga mengalami penyimpangan dan hal ini hal ketiga yang perlu kita ketahui. Mari kita perhatikan kembali ketiga karakteristik ego pria yang telah kita bahas tadi. Yang pertama, tidak mudah ambruk dalam tekanan. Yang kedua, sanggup bertahan dalam penderitaan. Dan yang ketiga, tidak gampang menyerah dalam menghadapi rintangan. Sesungguhnya tidak ada satu rumus atau tuntutan yang mengatakan bahwa untuk dapat kuat dan tangguh maka anak laki-laki tidak boleh mengakui bahwa ia tertekan, menderita dan tengah berjuang melawan rintangan. Tidak ada ! Tidak ada hukum atau tuntutan yang berkata bahwa anak laki-laki tidak boleh mengakui semua itu. Sayangnya itulah yang dikomunikasikan oleh lingkungan kepada anak laki-laki. Dia harus kuat dan tangguh tanpa boleh mengakui bahwa ia sudah letih dan kesakitan. Singkat kata, penyimpangan yang terjadi adalah ego pria menjadi begini: tidak semestinya mengakui adanya kelemahan dan kebutuhan.
GS : Jadi sebenarnya kalau orang tua atau lingkungan ingin mengharapkan agar ego yang terbentuk dalam anak laki-lakinya ini seimbang, bagaimana Pak Paul ?
PG : Anak laki-laki itu perlu diberi ijin untuk menyatakan perasaannya. Ijinkan dia marah. Dan ijinkan dia sedih. Kadang-kadang kita sebagai orang tua masih bisa diam ketika ada anak laki-laki marah. Tapi kalau ada anak laki-laki menangis, kita langsung berkata, Tidak boleh menangis! apalagi kalau dia anak laki-laki. Waktu dia marah, kita ijinkan, asal tidak marah terus menerus atau tidak mengungkapkan kemarahannya secara kasar. Demikian juga dengan menangis. Misal dia berumur
10 tahun, dia bersedih karena terjadi sesuatu di sekolah dan dia menangis. Ya tidak apa-apa, kita biarkan dia menangis. Kita mungkin bisa menerima anak laki-
laki menangis umur 3-4 tahun. Begitu dia berumur 10 tahun, kita larang. Kamu jangan menangis. Sudah sebesar ini kok menangis. Akhirnya anak itu jadinya belajar, lain kali kalau saya sedih, saya tidak boleh menunjukkan kesedihan saya. Waktu saya putus asa, saya tidak menyatakannya, saya harus sangkali semua perasaan itu. Orang tua perlu mengijinkan anak laki-laki untuk menyatakan kekecewaan, putus asa, sedih, merasa tertolak dan sebagainya. Disamping itu juga mendorong anak laki-laki untuk Oke saya mengerti kamu merasa begitu. Tapi ayo kita coba lagi, kita pikirkan jalan keluarnya, supaya kamu tidak usah harus menderita terus. Dengan cara seperti itu anak laki-laki lebih bisa diajar untuk lebih berimbang dalam mengungkapkan perasaan.
GS : Kalau sejak kecil anak ini terbiasa meredam emosinya, itu 'kan juga bisa mengganggu hubungan pernikahannya ?
PG : Seringkali itu yang terjadi. Ini menjadi wilayah konflik dalam pernikahan, seringkali istri mengeluh suaminya sulit meminta maaf, suami menuntut tapi tidak memberitahukan kebutuhannya, suami marah kalau dianggap tidak bisa. Ini semua adalah akibat dari penyimpangan. Akhirnya untuk menjadi kuat dan tangguh, ego pria menjadi diri yang sulit mengakui kelemahan dan kebutuhan. Padahal 'kan mengakui tidak sama dengan menyerah. Waktu dia berkata Aduh, saya lelah. Rasanya ingin menyerah saja. Itu tidak berarti dia menyerah. Tidak apa-apa kalau anak laki dibiarkan mengungkapkan kata-kata seperti itu. Menurut saya itu akan membuat dia menjadi lebih berimbang. Tidak membuat dia menjadi orang yang lemah dan mudah menyerah, tidak! Hanya bebas untuk mengatakan apa adanya tentang kondisinya itu.
GS : Kalau mereka sudah menikah, sebaiknya 'kan si istri menolong suaminya untuk bisa mengungkapkan perasaannya ya, Pak Paul ?
PG : Betul. Bagi pria ini tidak alamiah, sedangkan bagi wanita hal ini sangat alamiah.
Dan ini yang juga penting. Bagi wanita waktu pria bisa mengungkapkan perasaan- perasaan itu, itu akan jadi bahan terjadinya percakapan. Dan kita tahu percakapan adalah materi yang membentuk relasi. Kita tahu wanita mementingkan relasi, Pak Gunawan. Jadi waktu pria itu bisa mengungkapkan dirinya dengan lebih baik, nantinya itu akan menolong membangun relasi yang lebih sehat dalam keluarga pula. Wanita bisa menolong pria atau suaminya dengan berkata, Mungkin kamu sedang kesal, mungkin kamu sedang kecewa berat sekarang ini. Kalau itu perasaanmu, ya saya bisa mengerti. Jadi wanita bisa menolong dengan menyebutkan nama perasaan yang dirasakan oleh suami, lalu menyatakan dia menerima. Tidak apa-apa saya bisa mengerti. Nah, dengan cara-cara seperti itu si suami akan merasa lebih aman lain kali untuk menyatakan perasaannya.
GS : Artinya sesuatu yang diterima oleh orang laki-laki sejak kecil itu pada masa dewasa masih bisa diperbaiki lagi ?
PG : Masih bisa, Pak Gunawan. Memang perlu waktu, pembelajarannya tidak akan cepat. Tapi saya percaya itu bisa. Asal si laki-laki mau belajar dan juga mau berubah. Sebab kita laki-laki susah mengakui bahwa ini hal yang penting. Ya, tidak
apa-apa. Orang yang menangis tidak berarti lemah. Kita tahu Tuhan Yesus pun menangis, tapi bukan berarti Dia lemah, Dia terus bertahan dalam penderitaan- Nya. Jadi kita coba ubalah konsep-konsep yang kurang tepat ini.
GS : Hal lain yang perlu kita ketahui tentang ego pria, apa lagi Pak Paul ?
PG : Hal yang keempat yang perlu kita ketahui tentang ego pria adalah pada akhirnya ego pria memerlukan penebusan Kristus yang menyediakan kemerdekaan dan kekuatan. Penebusan Kristus di kayu salib memberikan kepada kita orang percaya kehidupan yang baru. Di dalam kehidupan yang baru ini kita memperoleh dan seyogyanya menikmati kemerdekaan untuk menjadi diri apa adanya. Kita 'kan tidak diselamatkan oleh karena perbuatan melainkan oleh karena kasih karunia Allah. Artinya Tuhan menerima kita apa adanya dan ini memberikan kepada kita suatu kemerdekaan sejati. Karya penebusan Kristus memberi kemerdekaan kepada ego atau diri pria untuk menjadi diri apa adanya lengkap dengan kelemahan dan kebutuhan. Saya kutip dari Roma 5:8, Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita oleh karena Kristus telah mati untuk kita ketika kita masih berdosa. Disini dapat kita lihat, Kristus mati dan sudah menerima kita apa adanya bahkan sewaktu kita tidak kuat dan tidak tangguh, sewaktu kita lemah dan hampir menyerah. Maka firman Tuhan berkata Kristus telah mati untuk kita ketika kita masih berdosa. Dengan kata lain, benar-benar sewaktu kita tidak kuat, tidak tangguh, waktu kita lemah dan hampir menyerah. Nah, kalau Dia sudah menerima kita apa adanya dalam kelemahan kita, berarti kita bisa menikmati kemerdekaan itu. Tuhan sudah menerima kita apa adanya, kita tidak usah pakai perisai, tidak usah memakai topeng, menjadi orang yang bukan diri kita kuat dan tangguh. Kita apa adanya. Ini akan memberi kita kelegaan.
GS : Tapi orang yang terbiasa untuk menekan perasaannya jadi tidak tampil apa adanya di hadapan sesamanya, itu juga akan terpengaruh ketika dia berkomunikasi dengan Tuhan ?
PG : Saya kira iya. Karena terbiasa tidak mau menjadi diri apa adanya, waktu dia datang kepada Tuhan lewat doa pun juga tidak bisa menjadi diri apa adanya. Akhirnya keintiman dengan Tuhan terbatas. Karena tidak bisa benar-benar terbuka apa adanya dengan Tuhan.
GS : Itu sebetulnya masih ada belenggu yang mengikat dia. Dia belum menikmati
kemerdekaan yang sesungguhnya, begitu Pak Paul ?
PG : Betul, Pak Gunawan. Justru kita melihat tokoh-tokoh di Alkitab. Mereka tidak malu untuk menangis. Kalau memang mereka perlu menangis, mereka sedang sedih, ya mereka menangis apa adanya. Misalnya Daud, waktu Absalom meninggal dunia, dia menangis sedih karena kematian anaknya itu, meskipun anaknya memang anak yang memberontak kepadanya. Tapi kita lihat Daud tidak malu mengakui bahwa dia hanya manusia biasa.
GS : Karena itu harus dibiasakan dalam menghadapi sesamanya terlebih dahulu ya, Pak
Paul ?
PG : Iya. Setuju, Pak Gunawan. Dalam pergaulan akui apa adanya perasaan kita, jangan takut dianggap lemah.
GS : Tapi seringkali disalahmengerti orang, karena itu dia lebih sering menggunakan topengnya itu, Pak Paul.
PG : Saya mengerti. Karena pada umumnya tuntutan di lingkungan seperti itu. Kita tidak bisa dan tidak boleh menjadi diri apa adanya nanti dinilai lemah atau apa. Yang penting adalah kita 'kan tidak ambruk, yang penting kita tidak lari dalam kesusahan, yang penting 'kan kita juga tidak menyerah, ada rintangan ya tetap kita hadapi. Apapun reaksi kita kalau kita tetap tidak menyerah, orang tidak bisa berkata apa-apa.
GS : Jadi sebenarnya ego pria ini di satu sisi masih ada sisi positifnya. 'Kan tidak semuanya harus dibuang, tidak perlu punya ego. 'Kan bukan seperti itu ?
PG : Betul. Yang kita bicarakan adalah mempunyai ego yang sehat. Ego yang sehat adalah ego yang ditebus oleh Kristus. Sebab penebusan Kristus pertama memberikan kemerdekaan. Dan yang kedua memberikan kekuatan. Menjadi kuat dan tangguh menghadapi tantangan dan tekanan kehidupan ini. Jadi misalkan kita pada saat lemah, pada saat hampir menyerah, kita datang kepada Kristus. Kita minta kekuatan kepada-Nya. Sewaktu kita mengakui kelemahan dan kebutuhan, justru di saat itulah Tuhan mengaruniakan kekuatan kepada ego atau diri pria. Sebagaimana firman Tuhan di 2 Korintus 4:7 meneguhkan, Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat. Supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah- limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. Jadi disini Paulus menggunakan pengibaratan kita adalah bejana untuk Tuhan. Terbuat dari apa ? Bukan dari besi. Bukan dari timah. Bukan dari tembaga. Tapi dari tanah liat yang memang bisa retak, bisa pecah. Inilah kondisi manusia kita apa adanya. Namun firman Tuhan menjanjikan Dia akan memberikan kekuatan melimpah-limpah.
GS : Yang dimaksud dengan harta itu apa, Pak Paul ?
PG : Sebetulnya harta di 2 Korintus mengacu pada Injil. Bahwa dia sudah diberikan kepada Tuhan kepercayaan yaitu Injil, Kabar Baik bahwa Allah telah mengampuni dosa manusia lewat Putra-Nya, Yesus.
GS : Terima kasih banyak, Pak Paul untuk perbincangan kita kali ini. Para pendengar
sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Masalah Ego Pria. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Sebenarnya istilah ego berarti diri. Namun dalam perkembangannya, istilah ini dipakai untuk merujuk kepada sikap mementingkan diri. Dalam pembahasan kali ini saya akan menggunakan istilah ego sebagai sesuatu yang kita kaitkan dengan dan kenali sebagai diri. Secara khusus saya akan menyoroti hal ego pada pria, yang sayangnya kerap berkonotasi negatif, terutama bila dikaitkan dengan keluarga.
Yang perlu kita ketahui tentang ego atau diri pria adalah :
(1)TERBENTUK LEWAT PERLAKUAN LINGKUNGAN. Pada masa kecil ego pria terbentuk dalam relasinya dengan orang tua dan setelah itu, ego pria terbentuk lewat interaksinya dengan teman maupun guru di sekolah. Nah, pada umumnya lingkungan--baik keluarga maupun guru dan teman di sekolah--memperlakukan anak lelaki sebagai diri yang kuat atau tangguh. Itu sebabnya mulai dari permainan sampai olahraga untuk anak lelaki, hampir semua bersifat fisik dan menuntut ketahanan serta kekuatan.
Sudah tentu perlakuan dan tuntutan lingkungan tidaklah salah. Kelebihan kekuatan fisik pria menjadikannya cocok berperan sebagai pelindung wanita dan anak-anak. Juga kelebihan fisik pria menjadikannya sanggup melakukan pekerjaan berat guna menafkahi keluarga. Tidak heran, sejak anak kecil lingkungan sudah mulai mempersiapkan anak lelaki untuk menjadi kuat dan tangguh sehingga pada akhirnya mampu mengemban peran sebagai PELINDUNG dan PENCARI NAFKAH bagi keluarga. Dalam prakteknya untuk menjadi kuat dan tangguh anak lelaki dibentuk untuk TIDAK MUDAH AMBRUK DALAM TEKANAN dan dapat BERTAHAN DALAM PENDERITAAN. Anak lelaki pun dibentuk supaya TIDAK GAMPANG MENYERAH--sebesar apa pun rintangan yang mesti dihadapi. Alhasil setelah besar anak lelaki mempunyai diri atau ego yang kuat dan tangguh--tidak mudah ambruk, tidak gampang menyerah dan tahan menderita.
(2) Cenderung KEHILANGAN KEPEKAAN TERHADAP PENDERITAAN DAN KELEMAHAN. Singkat kata untuk dapat bertahan dalam penderitaan dan sanggup menahan sakit maka anak lelaki terpaksa MENGABAIKAN penderitaan dan rasa sakit itu sendiri. Inilah yang membuat diri atau ego pria secara alamiah sulit memahami dan menyelami penderitaan dan rasa sakit. Tidak heran di dalam pernikahan, istri sering mengeluhkan KEKURANGTANGGAPAN SUAMI terhadap perasaan sedih atau sakitnya. Tidak jarang istri pun marah kepada suami karena suami bersikap tidak peka dan terlalu keras kepada anak. Nah, semua itu adalah akibat dari pembentukan diri atau ego pria yang mengharuskannya untuk tidak terlalu memberi perhatian terhadap perasaan--baik itu rasa sakit atau kesedihan.
(3) PEMBENTUKAN EGO JUGA MENGALAMI PENYIMPANGAN. Mari kita perhatikan kembali ketiga karakteristik ego pria yang telah kita bahas tadi: (a) tidak mudah ambruk dalam tekanan, (b) sanggup bertahan dalam penderitaan dan (c) tidak gampang menyerah dalam menghadapi rintangan.
Sesungguhnya tidak ada satu rumus atau tuntutan yang mengatakan bahwa untuk dapat kuat dan tangguh maka anak lelaki tidak boleh MENGAKUI bahwa ia tertekan, bahwa ia menderita dan bahwa ia tengah berjuang melawan rintangan. Sayangnya itulah yang dikomunikasikan oleh lingkungan kepada anak lelaki. Ia harus kuat dan tangguh tanpa boleh mengakui bahwa ia letih dan kesakitan. Penyimpangan yang terjadi adalah bahwa diri atau ego pria tidak semestinya mengakui adanya KELEMAHAN dan KEBUTUHAN.
Tidak heran dalam pernikahan masalah ini menjadi wilayah konflik. Sering kali istri mengeluh bahwa suami sulit meminta maaf, bahwa suami menuntut tapi tidak memberitahukan kebutuhannya dan bahwa suami marah bila dianggap tidak bisa. Ya, inilah akibat dari penyimpangan. Akhirnya untuk menjadi kuat dan tangguh, ego pria menjadi diri yang sulit mengakui kelemahan dan kebutuhan, padahal MENGAKUI tidak sama dengan MENYERAH.
(4) MEMBUTUHKAN PENEBUSAN KRISTUS YANG MENYEDIAKAN KEMERDEKAAN DAN KEKUATAN. Penebusan Kristus di kayu salib memberikan kepada kita, orang percaya, kehidupan yang baru. Di dalam kehidupan yang baru ini kita memperoleh--dan seyogianya--menikmati kemerdekaan untuk menjadi diri apa adanya. Kita tidak diselamatkan oleh karena perbuatan melainkan oleh karena kasih karunia Allah. Tuhan menerima kita apa adanya. Inilah kemerdekaan sejati.
Karya penebusan Kristus memberi KEMERDEKAAN kepada ego atau diri pria untuk menjadi diri apa adanya, lengkap dengan kelemahan dan kebutuhannya. Roma 5:8 mengingatkan, Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. Kristus mati dan sudah menerima kita apa adanya bahkan sewaktu kita tidak kuat dan tidak tangguh--sewaktu kita lemah dan hampir menyerah.
Karya penebusan Kristus juga memberi KEKUATAN kepada ego atau diri pria untuk menjadi kuat dan tangguh menghadapi tekanan dan rintangan kehidupan. Pada saat lemah dan hampir menyerah, datanglah kepada Kristus dan Ia akan memberi kekuatan. Singkat kata sewaktu kita mengakui kelemahan dan kebutuhan, justru di saat itulah Tuhan mengaruniakan kekuatan kepada ego atau diri pria. II Korintus 4:7 meneguhkan, Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. Ya, sesungguhnya kita adalah bejana untuk Tuhan, yang terbuat dari tanah liat.
Masalah Hati Wanita|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T446B|T446B|Dewasa|Audio|Bila bagian paling sensitif pada pria adalah egonya, maka bagian paling sensitif pada wanita adalah hatinya.Inilah bagian yang paling mudah terluka sekaligus paling cepat bereaksi.Itu sebabnya kita perlu memahami perihal hati wanita terutama dalam kaitannya dengan hidup berkeluarga.Apa yang perlu kita ketahui tentang hati wanita? |3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T446B.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Masalah Hati Wanita. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, memang memahami hati seseorang itu sangat sukar bahkan hampir mustahil. Apalagi menyelami hati wanita. Bagi kita para pria yang sudah memunyai pengalaman tersendiri betapa sulitnya menebak atau mereka-reka apa yang dimaksud dalam diri seorang wanita. Bagaimana ini, Pak Paul ?
PG : Iya. Pada perbincangan sebelumnya kita telah membahas tentang ego pria. Jadi sekarang kita masuk ke topik berikutnya yaitu, saya tidak menggunakan kata ego tapi saya menggunakan kata hati wanita. Karena saya kira ini lebih mewakili wanita. Kalau bagian sensitif pada pria adalah egonya, maka bagian paling sensitif pada wanita adalah hatinya. Inilah bagian yang paling mudah terluka sekalipun paling cepat bereaksi. Itu sebab kalau kita berniat menikah dan hidup bersama istri kita, kita para pria perlu memahami perihal hati wanita. Terutama dalam kaitannya dengan suami dan kehidupan berkeluarganya.
GS : Jadi sebenarnya masalah hati wanita ini banyak terpengaruh oleh egonya, Pak Paul?
Hanya kita tidak menyebutnya sebagai ego.
PG : Betul sekali. Memang yang kita maksud adalah ego wanita, tetapi supaya lebih mengena untuk wanita, saya menggunakan istilah hati.
GS : Apakah terbentuknya hati wanita ini adalah juga karena pengaruh lingkungan, Pak
Paul ?
PG : Dan juga bawaan, Pak Gunawan. Memang kita tidak bisa menyangkali bahwa kebanyakan wanita sejak lahir dikaruniai karakteristik yang nantinya dibutuhkan untuk tugas yang Tuhan embankan kepada mereka.
GS : Misalnya apa, Pak Paul ?
PG : Yang nanti kita lihat adalah kelembutannya, Pak Gunawan. Jadi inilah hal pertama yang mesti kita sadari bahwa hati wanita adalah lembut. Apapun sikap yang diperlihatkannya di luar, pada dasarnya hati wanita adalah lembut. Tuhan menciptakan hati yang lembut supaya wanita dapat menunaikan tugas yang diembankan Tuhan kepadanya yaitu sebagai pendamping dan pengasuh. Kalau kita kembali ke Alkitab, Kejadian 2:18, sewaktu Allah menciptakan Hawa, Dia menetapkannya untuk menjadi penolong yang sepadan bagi Adam. Kita mesti ingat bahwa untuk menolong ada syaratnya. Dan syarat untuk menolong adalah memunyai hati yang lembut. Tanpa hati yang lembut, kita tidak akan tergerak untuk menolong orang. Tuhan juga mengaruniakan hati yang lembut kepada
wanita karena kebanyakan wanita akan menjadi ibu. Siapa pun yang jadi ibu pasti tahu bahwa tidak mungkin menjalankan tugas sebagai ibu jika tidak memiliki hati yang lembut. Misalnya, bangun tengah malam, membersihkan kotoran anak, merawat anak ketika sakit dan sederet tugas lainnya. Semua itu menuntut adanya hati yang lembut. Saya percaya Tuhan memang mengaruniakan hati yang lembut kepada wanita sejak kecil dan juga ada bentukan dari lingkungan supaya nanti bisa menjadi penolong dan juga menjadi seorang pengasuh bagi anak-anaknya.
GS : Karena pengaruh lingkungan, kadang seorang wanita terbentuk menjadi wanita yang tangguh seperti laki-laki. Mungkin karena desakan ekonomi atau kondisi keluarga yang tidak memungkinkan. Tapi wanita ini bahkan bisa lebih kuat dari seorang pria.
PG : Memang ada yang seperti itu, Pak Gunawan. Tidak bisa kita sangkali bahwa hidup
ini tidak ideal. Ada kalanya sejak kecil wanita sudah diharuskan untuk kuat dan tangguh menghadapi tekanan hidup, tidak boleh ambruk, tetap jalan jangan sampai tersandung oleh rintangan. Wanita yang seperti itu memang akhirnya jadi wanita yang tangguh dan kuat. Namun tetap sejak lahir Tuhan sudah mengaruniakan hati yang lembut juga. Aspek hati yang lembut itu tetap ada. Karena sekali lagi, sekuat dan setangguh apa pun kalau nanti dia menjadi seorang istri atau ibu, tetap memerlukan hati yang lembut.
GS : Ya dan kelembutan itu akan nampak pada saat-saat tertentu ya, seperti yang tadi
Pak Paul katakan di dalam merawat anak, mengasuh ibunya.
PG : Iya, betul. Saya mau mengingatkan kita para pria atau suami, kita mesti ingat pada dasarnya istri kita itu berhati lembut. Kadang dia sebagai manusia bisa marah. Dalam kondisi marah dia bisa mengatakan hal-hal yang kasar, kita harus tetap percaya bahwa hatinya lembut. Dalam kondisi marah dia kasar, tapi hatinya lembut. Hati yang lembut artinya apa ? Mau menolong dan mau mengasuh. Perempuan itu akan mau menolong dan mengasuh sebab Tuhan telah karuniakan hati yang lembut kepadanya.
GS : Hal lain apa yang perlu kita ketahui tentang hati wanita, Pak Paul ?
PG : Hal kedua yang perlu kita ketahui tentang hati wanita adalah kehalusannya, Pak Gunawan. Kehalusan hati wanita memunyai akibat atau efeknya. Misalnya kehalusan hati wanita membuatnya mudah bereaksi, baik reaksi yang positif maupun negatif. Secara positif, wanita cepat bereaksi terhadap kasih sayang dan rasa dibutuhkan. Sebaliknya, secara negatif wanita cepat bereaksi terhadap penolakan dan rasa tidak dihargai. Jadi kita mesti menyadari, yang namanya halus itu punya akibat. Dan kita harus terima juga akibatnya. Wanita itu kalau kita sayangi, dia akan merespon dengan sangat hangat. Waktu kita membutuhkan dia, dia akan merespon sangat hangat. Juga kita harus terima bahwa kalau kita kurang memberikan perhatian atau membuatnya merasa tertolak, atau merasa dia tidak dihargai malah dimanfaatkan oleh kita, itu bisa membuat mereka bisa cepat marah.
GS : Perbedaan jelas antara kehalusan dan kelembutan itu seperti apa, Pak Paul ?
PG : Saya membedakannya begini. Secara terminologi memang hampir sama. Saya bedakan untuk membedakan fungsinya. Kalau kelembutan itu dibutuhkan untuk menjadi penolong dan pengasuh. Kalau kehalusan, wanita memang menjadi orang yang mudah bereaksi. Siapa pun yang hidup dengan wanita bisa mengakui hal ini seringkali bisa menyebabkan konflik dalam rumah tangga. Karena istri kita kadang terlalu cepat bereaksi karena perasaannya halus.
GS : Sehubungan dengan kehalusan seorang wanita, apa yang perlu kita pahami khususnya sebagai suami atau kaum pria, Pak Paul ?
PG : Yang pertama adalah kita mesti pahami bahwa wanita tidak selalu mengerti perasaannya sendiri dan tidak selalu mengeluarkan reaksi yang konsisten. Oleh karena kuatnya dan mudahnya dia bereaksi, kadang dia harus mengalami beberapa perasaan yang berkecamuk sekaligus. Contohnya, di saat dia marah kepada kita, dia pun merasa takut kehilangan kita. Di saat dia melayani kita karena cintanya kepada kita, dia merasa disingkirkan oleh kita. Oleh karena emosi yang bercampur, kadang dia memberikan beberapa reaksi sekaligus yang sudah tentu akan membingungkan kita. Kita sebagai pria atau suami mesti memahami hal ini dan kita mesti menerima ketidakkonsistenan ini sebagai bagian dari dirinya.
GS : Sedangkan kita kaum pria lebih cenderung kepada yang konsisten, ya Pak ?
PG : Betul. Bagi kita para pria ya kalau kamu tidak suka, ya tidak suka. Kalau kamu tidak setuju ya tidak setuju. Kadang ketika kita bicara dengan istri kita, kita bingung karena di satu pihak dia bilang tidak suka, tapi kok dia juga ya tidak apa- apa. Buat kita itu tidak konsisten. Kenapa wanita seperti itu ? Karena memang perasaannya halus dan karena halus, nomor satu dia tidak selalu mengerti perasaannya yang tepat apa. Yang kedua karena halus kadang muncul dua-tiga perasaan sekaligus. Akhirnya dia sendiri juga bingung, sebetulnya perasaannya apa dan maunya itu apa. Karena memang perasaannya peka.
GS : Itu yang justru seringkali dimanfaatkan oleh kaum pria untuk merugikan si wanita ini. Karena wanita itu sendiri emosinya berpindah-pindah, tidak tahu apa sebenarnya yang dirasakan.
PG : Ini masukan yang baik. Kalau tidak hati-hati, memang pria yang kurang bertanggung jawab atau kurang baik hati bisa memanfaatkan atau memanipulasi istrinya atau perempuannya karena dia tahu hati perempuan itu halus dan bisa bingung dengan perasaannya. Jadi pria ini masuk dan memanipulasi sehingga istrinya menjadi korbannya.
GS : Tapi di sisi yang lain, ini membingungkan kita para pria, Pak Paul. Mau dilayani seperti apa, mau ditanggapi seperti apa ? Kadang kalau kita salah menanggapi dia malah marah.
PG : Betul. Kalau kita tanggapi yang satu, perasaan yang satunya lagi melawan, karena tidak begitu. Sebaiknya kalau memang kita bingung, katakan terus terang. Saya tidak mengerti. Tadi kamu katakan begini, sekarang begini. Bisa tidak jelaskan kepada saya ? atau kita berkata, Saya tidak mengerti. Bisa tidak kamu katakan kepada saya apa yang kamu inginkan ? Apa yang kamu minta ? Supaya saya bisa
berikan. Jadi kita memintanya untuk sekali lagi merumuskan, mengenali perasaannya apa dan yang dia inginkan itu apa. Jadi kita tidak menuduh dia, kita katakan apa adanya bahwa kita bingung, kita sungguh-sungguh tidak mengerti. Tapi kita juga mau berbuat sesuatu. Kita mau menolong dia atau memberikan apa yang dia inginkan. Tapi tolong beri saya pengertian itu.
GS : Tapi biasanya itu membuat wanita lebih bingung lagi menentukan apa yang sebenarnya dia inginkan ! Dan kalau tidak bisa mengungkapkan, ujung-ujungnya ya menangis.
PG : Iya. Jadi kita yang mesti sabar. Mungkin kita bisa berkata, Oke, apakah ini yang kamu inginkan ? Kalau iya, saya coba lakukan. Hanya sekali lagi, ini bagian dari hidup bersama seorang istri dan kita laki-laki juga punya masalah sendiri. Dalam hal ini saya kira perempuan juga musti konsekuen. Maksud saya kalau dia sedang dalam kondisi bingung, perasaannya kadang ke kiri kadang ke kanan dan akhirnya suaminya itu mengambil keputusan sesuai dengan perasaannya yang ke kiri, maka terimalah. Jangan nanti sudah dibuat keputusan, perasaannya yang ke kanan muncul dan berkata, Bukan itu yang aku mau. Ini yang aku mau. Ya tidak bisa. Kalau keputusan sudah dibuat, ya sudah. Kalau sudah percaya kepada suami untuk membuat keputusan, ya percayakan. Jangan terombang-ambing terus-menerus.
GS : Yang membuat dia terombang-ambing 'kan bukan hanya masalah perasaannya sendiri. Seringkali ini juga dipengaruhi oleh kondisi di sekelilingnya, Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan. Kita mesti memahami bahwa sebetulnya semua orang mudah dipengaruhi bukan saja oleh suasana hati namun juga oleh lingkungan. Namun saya kira wanita memang lebih mudah dipengaruhi bukan saja oleh suasana hati tetapi juga oleh suasana lingkungan. Apa yang terjadi, berdampak langsung kepada dirinya seakan-akan tidak ada dinding pemisah antara dirinya dan lingkungan. Sesungguhnya ada dinding pemisah antara dirinya dan lingkungan. Namun oleh karena hati yang halus itu, dia mudah terpengaruh oleh apa yang terjadi di sekelilingnya. Itu sebab kadang dia mudah berubah pikiran. Apa yang diputuskan kemarin, hari ini diubahnya. Dan kalau tidak hati-hati, dia pun mudah diperdaya oleh penampakan. Orang tinggal menampakkan wajah memelas(ingin dikasihani) maka luluhlah hati wanita. Jadi kita harus mengerti inilah hati wanita.
GS : Jadi ini sehubungan dengan hati yang halus, bukan mengenai kelembutannya.
Kalau kelembutannya mengenai bagaimana penampilan dan sebagainya itu, Pak
Paul ?
PG : Iya. Kalau kelembutannya lebih ke soal perannya sebagai seorang pendamping suami, penolong bagi suami dan pengasuh bagi anak-anaknya. Tapi kita juga mesti memahami sifat dari hati wanita yaitu halus. Karena halus dia sensitif dan mudah bereaksi. Karena halus, juga mudah dipengaruhi oleh lingkungan sehingga kadang mudah berubah-ubah pikiran.
GS : Hal lain yang perlu kita pahami apa, Pak Paul ?
PG : Hal ketiga tentang hati wanita yang perlu kita ketahui adalah apa pun yang dipikirkan dan dirasakan, pada akhirnya yang dituju adalah memeroleh rasa aman.
Ini penting sekali, Pak Gunawan. Salah satu kebutuhan terbesar wanita adalah rasa aman. Dan sesungguhnya ini berasal dari hati yang halus yang membuatnya mudah cemas. Kita mesti terima bahwa pada umumnya wanita lebih mudah cemas, perasaannya cepat gelisah memikirkan dan mengkuatirkan sesuatu. Itu sebabnya salah satu kecenderungan wanita adalah memastikan supaya dia tidak usah cemas. Memastikan, misalnya anaknya mau pergi, dia lengkapi dengan baju tebal, takut pilek karena kena hujanlah, diberi bekal makanan. Jadi memastikan jangan sampai anaknya sakit atau lapar.
GS : Jadi sebenarnya disini suami harus menyadari bahkan ketika istrinya menanyakan, misalnya, Kamu itu betul-betul cinta padaku apa tidak ? karena dia butuh jaminan rasa aman itu.
PG : Betul. Kadang seperti itu, kita dengar pertanyaan seperti itu dari istri kita, Apakah
engkau mencintai aku ? Karena memang mencari rasa aman. Dia ingin memastikan bahwa pasangannya tetap mencintai dia.
GS : Dan itu bisa ditanyakan berulang kali, Pak Paul.
PG : Iya. Jadi saya kadang mendengar keluhan suami atau keluhan istri. Dalam hal ini yang berkata, Kalau saya tanya suami saya, 'kamu sebetulnya mencintai saya atau tidak?' suami saya menjawab ya, kamu 'kan tahu jawabannya. Saya sudah pernah berikan jawaban ini. Tapi bagi si istri, suaminya memberikan jawabannya dua bulan yang lalu, itu tidak sama dengan sekarang. Jadi yang saya perlu dengar adalah sekarang untuk memastikan bahwa kamu memang mengasihi saya.
GS : Mungkin kepastian secara verbal juga cukup menenteramkan dia, Pak Paul.
PG : Biasanya iya. Sedapat-dapatnya kita jangan hemat perkataan. Kadang kita pria susah bicara, saya mengasihi kamu. Kata-kata itu perlu di dengar oleh istri kita.
GS : Rasa aman ini secara emosional atau juga rasa aman secara fisik, Pak Paul ?
PG : Sebetulnya dua-duanya, Pak Gunawan. Tadi saya katakan tentang perlunya rasa aman itu sebabnya wanita ingin memastikan. Yang pertama ingin memastikan bahwa orang yang dikasihinya itu terlindungi dan tercukupi. Secara fisik terlindungi, secara fisik dan secara emosional tercukupi. Misalnya, kebanyakan ibu akan mengutamakan kebutuhan keluarganya di atas hal yang lainnya yang mungkin bagi kita kadang tindakan ini terlalu mendominasi sehingga membuat kita kurang nyaman, mengapa istri kita ngatur-ngatur, bertanya-tanya pergi kemana dengan siapa, mungkin kita dapat berprasangka bahwa istri kita terlalu berpusat pada keluarga dan kurang memikirkan kebutuhan orang lain. Kadang suami 'kan mau menolong orang, memberikan pinjaman, yang biasanya langsung mengeluh adalah istri. Istri melarang,Tidak boleh. Kamu tidak pikirkan keluarga. Dan suami berkata, Saya sudah pikirkan dan kita cukup. Oh tidak bisa. Nanti anak kita perlu ini, perlu itu. Kamu harus pikirkan mereka. Jadi kadang-kadang terjadi konflik karena hal seperti ini. Sebab memang hati wanita itu ingin memastikan bahwa orang yang dikasihinya terlindungi dan tercukupi.
GS : Iya. Banyak suami yang merasa hal-hal seperti itu terlalu berlebihan.
Kekuatirannya terlalu berlebihan sehingga tidak lagi rasional.
PG : Banyak laki-laki yang berpikir lebih praktis. Sudahlah, kita sudah bisa cukup. Tapi kadang-kadang karena perempuan ingin memastikan jangan sampai orang yang dikasihinya ada apa-apa, Tidak. Harus tambah lagi. Cukupkan dan pastikan lagi. Akhirnya ini menjadi sumber konflik dalam rumah tangga.
GS : Tapi 'kan tidak mungkin seseorang bisa memberikan perlindungan aman total kepada pasangannya ?
PG : Memang tidak bisa. Sedikit banyak, wanita harus menyadari realitas dan mesti percaya ada Tuhan yang memelihara kita, jadi serahkan pada Tuhan. Sedapatnya sebagai manusia kita memastikan, tapi selebihnya serahkan kepada Tuhan.
GS : Selain kebutuhan akan rasa aman ini, adakah kebutuhan yang lain, Pak ?
PG : Kebutuhan ingin memastikan bahwa orang yang dikasihinya terus bersamanya, Pak Gunawan. Ini juga hati wanita. Jadi hati yang halus, sekali tertambat akan terus tertambat. Tidak heran pada umumnya wanita sukar melepaskan orang yang dikasihinya kendati itu perlu dilakukan. Begitu mencintai, ingin terus bersamanya, diberitahu orang kalau tidak cocok, dia tidak mau dengar. Diberitahu kalau orang ini tidak begitu baik, juga tidak mendengarkan. Kenapa ? Karena sudah terlanjur tertambat jadi ingin selalu bersamanya. Ini salah satu ciri wanita yang ingin rasa aman. Bersama pria ini dia merasa aman, dia akan terus bersama pria ini.
GS : Tapi kebalikannya, Pak Paul. Kalau kelembutan hatinya ini disalahgunakan atau dikhianati, dia bisa membenci setengah mati.
PG : Betul sekali. Kalau sampai dia terluka ketika dia sudah memberikan semuanya dan dia menemukan rasa aman pada pria ini tapi kemudian dia dikhianati, lukanya dalam sekali, Pak Gunawan.
GS : Dan itu malah sulit juga buat pasangannya untuk mau berbaikan kembali.
PG : Betul. Karena sekali lagi, saat wanita mencintai, dia memberikan hatinya sepenuhnya. Dia benar-benar ingin bersatu bersama orang yang dicintainya. Saat orang itu berbalik arah, mengkhianatinya, berbuat hal-hal yang mengecewakannya, memang itu bisa sangat melukai hati wanita.
GS : Artinya dia juga mengharapkan orang lain juga memberikan hati sepenuhnya kepada dia. Padahal ini kadang-kadang tidak mungkin dilakukan juga.
PG : Betul. Memang ada perbedaan antara pria dan wanita dalam hal ini. Pria memang
mengasihi istrinya tapi memang tidak seperti wanita mengasihi suaminya. Saya akui itu. Pada waktu seorang wanita mengasihi suami dan anak-anaknya, dia benar-benar mendahulukan kepentingan suami dan anak-anaknya. Tidak apa-apa dia dinomorduakan asal suami dan anak-anaknya tercukupi. Mungkin pria tidak sebaik itu dalam mengasihi istri dan anak-anaknya.
GS : Tapi anak juga bisa berbalik tidak menyukai ibunya sehingga ibunya juga menderita sekali karena dia juga mengasihi anak ini sepenuhnya.
PG : Betul. Terhadap suami begitu, apalagi terhadap anak. Biasanya terhadap anak lebih kuat lagi. Hatinya begitu tertambat pada anak-anaknya, sudah, dia akan terus tertambat. Kadang kurang sehat. Seharusnya dia tegas, dia tidak tegas. Seharusnya dia jangan memberi lagi, dia tetap memberi kepada si anak sehingga akhirnya
tidak mendidik si anak. Tapi kita bisa mengerti inilah hati seorang wanita, seorang ibu.
GS : Kalau kita lihat di kehidupan sehari-hari, seorang wanita atau ibu lebih cenderung ke hal-hal rohani. Pelayanan ke gereja, datang ke gereja, dibandingkan dengan pria. Apakah ini sehubungan dengan kelembutannya, Pak Paul ?
PG : Saya kira iya, Pak Gunawan. Memang kita akui di gereja lebih banyak wanita daripada pria. Sebab hati yang lembut dan hati yang peka atau halus, akhirnya menjadi hati yang lebih mudah untuk menerima firman Tuhan. Sedangkan hati yang keras, tangguh, atau kita sebut ego, kadang-kadang lebih susah untuk datang kepada Tuhan. Kenapa ? Karena dia menekankan harga diri, saya harus kuat, saya tidak boleh gampang menyerahkan hidup saya kepada siapa pun, jadi lebih menghalangi pria untuk datang kepada Tuhan. Kalau wanita karena hatinya lebih lembut, dia lebih merasakan kasih setia Tuhan kepadanya, hatinya halus. Sewaktu Tuhan mengasihi dia, dia tambah mengasihi Tuhan. Tidak bisa disangkal akhirnya lebih banyak wanita yang berjalan erat dengan Tuhan dan berjalan dalam ketaatan kepada Tuhan.
GS : Tapi juga banyak wanita, yang bagi kami para pria, terlihat kurang disiplin. Mau seenaknya juga. Apakah ini ada kaitannya juga dengan hati seorang wanita.
PG : Ada, Pak Gunawan. Kadang dia terbawa emosi. Jadinya apa yang seharusnya dikerjakan tidak dia lakukan karena emosinya sedang bergerak ke arah lain sehingga dia tidak bisa berkonsentrasi. Mungkin dalam hal ini kita pria lebih bisa. Kita bisa mengesampingkan perasaan kita, masa bodoh, tugas tetap kita selesaikan. Kalau wanita suasana hatinya sedang tidak enak, itu memengaruhi segalanya, Pak Gunawan.
GS : Jadi kesimpulan dari perbincangan kita mengenai hati wanita ini apa, Pak Paul ?
PG : Hati wanita adalah hati yang mencari hati orang yang dikasihinya. Ini harus kita pahami. Berbeda dari laki-laki yang puas dengan penjelasan, wanita tidak puas dengan penjelasan sebab yang ingin diketahuinya adalah hati suaminya: apakah dia masih mengasihinya ? Apakah dia masih penting dalam hidup suaminya ? Kalau laki-laki puas dengan penjelasan, wanita tidak ! Istri tidak butuh penjelasan. Yang dia perlu adalah memang hati suaminya, dia perlu tahu itu, apakah suami masih mengasihi dia, apakah dia masih penting dalam hidup suaminya. Inilah yang dicari oleh wanita. Namun pada akhirnya terpenting akhirnya adalah kebanyakan hati wanita takut akan Tuhan. Yang kita saksikan di dalam gereja memang lebih banyak wanita dibandingkan pria. Firman Tuhan memang meneguhkan hal ini di Amsal
31:30 dikatakan Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia. Tetapi istri yang takut akan Tuhan dipuji-puji. Biarlah hati wanita menjadi hati yang
takut akan Tuhan. Sebab inilah yang akan menjadikan hati wanita itu dipuji baik oleh Tuhan maupun oleh manusia.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kita kali ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja
berbincang-bincang tentang Masalah Hati Wanita. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.