Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mahkota Ayah", kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, peranan ayah itu memang unik dibandingkan dengan yang lain di dalam masing-masing keluarga, tapi sebenarnya keunikannya itu di mana Pak Paul?
PG : Seperti yang telah kita bahas pada pertemuan yang lampau, peranan ayah itu peranan yang memberikan perlindungan, pengayoman dan sekaligus kepemimpinan di dalam rumah tangganya. Jadi ituah yang seharusnya kita ini sebagai ayah sediakan atau berikan kepada anak-anak terutama pada anak-anak laki kita.
Nah pada saat ini kita memang akan memasuki bagian yang tadi kita telah bahas yaitu tentang kepemimpinannya, kepemimpinan seorang ayah. Saya menggunakan istilah mahkota, sebab mahkota itu menunjukkan kepemimpinan sekaligus juga kemuliaan. Pertanyaannya adalah bagaimanakah ayah bisa menjadi seorang pemimpin yang dihormati terutama oleh anak-anaknya dalam hal ini anak laki-lakinya.
GS : Alkitab sendiri mengatakan bahwa suami atau ayah itu kepala keluarga Pak Paul, apakah itu tidak jauh berbeda dari itu?
PG : Saya kira sama, jadi ayah memang adalah kepala keluarga namun saya perlu sekali garis bawahi di sini jangan sampai disalah tafsir, kepala keluarga yang Tuhan maksudkan adalah yang sanga mengasihi tubuhnya, bukan kepala yang semena-mena terhadap tubuhnya tapi kepala yang sangat memperhatikan, mempertimbangkan tubuhnya dalam hal ini adalah istri dan juga anggota-anggota keluarganya yang lain.
GS : Ya memang itu kadang-kadang sangat sulit untuk dipisahkan, orang lebih menekankan pada kekuasaannya yang Pak Paul istilahkan dengan mahkota yang digunakan oleh raja-raja, raja itu bisa semena-mena, Pak Paul?
PG : Tepat sekali, jadi bukan itu yang menjadi disain Allah untuk kita sebagai ayah. Ada tiga Pak Gunawan yang saya akan bagikan. Yang pertama adalah wibawa ayah sebagai seorang pemimpin hana bisa terjadi atau bisa tercipta kalau dia menunjukkan hikmat.
Dia menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang bijaksana, saya akan membacakan
Amsal 24:5, "Orang yang bijak lebih berwibawa dari pada orang kuat." Nah ayah sudah tentu adalah pria yang lebih berotot dibandingkan ibu sebagai wanita. Adakalanya kita sebagai ayah terpancing menggunakan otot, kekuasaan, agar anak-anak melakukan kehendak kita. Nah ternyata wibawa tidak bisa tercipta melalui otot, wibawa hanya tercipta melalui hikmat. Kalau anak-anak melihat kita berhikmat maka dengan alamiah rasa hormat itu akan muncul dari anak-anak kita.
GS : Ya, contoh konkret ayah yang berhikmat itu seperti apa Pak?
PG : Misalkan dalam pengambilan keputusan, ayah yang berhikmat ayah yang tidak tergesa-gesa dalam pengambilan keputusan, dia akan mencoba untuk melihat alternatif yang tersedia, dia bisa beriam untuk berdoa meminta pimpinan Tuhan dalam keputusan yang harus diambilnya ini.
Dengan kata lain dia juga terbuka terhadap masukan, dia tidak menutup diri bahwa keputusannya, pertimbangannyalah yang paling benar. Nah ayah yang seperti ini akan dilihat oleh anak-anaknya sebagai ayah yang berwawasan luas, berhati lapang dan ayah yang juga mau untuk menerima masukan bahkan dari istri atau anak-anaknya. Nah dalam hal pengambilan keputusan hikmat ayah itu bisa terlihat atau kebalikannya, dalam hal pengambilan keputusanlah hikmat ayah tidak terlihat kalau dia melakukan yang sebaliknya tadi.
GS : Ya, tapi justru di situ seorang ayah itu khawatir kehilangan kewibawaannya itu Pak Paul, kalau dia terlalu lemah terhadap anak-anaknya, mau dikritik dan sebagainya dia mempunyai kekhawatiran wah.... saya nanti tidak berwibawa lagi terhadap anak-anak ini.
PG : Itu sebabnya dia akhirnya menggunakan otot untuk memaksakan kehendaknya. Jadi ini saya kira sesuatu yang harus kita pelajari terus-menerus karena kita terbiasa dengan konsep itu, konsepmenggunakan otot untuk bisa menegakkan wibawa dan ternyata bukan itu jalan Tuhan.
GS : Tetapi hikmat ini juga kita butuhkan pada waktu kita melakukan disiplin terhadap anak-anak kita.
PG : Betul Pak Gunawan, jadi ayah perlu sekali menunjukkan hikmatnya tatkala harus menghukum anaknya karena kesalahan yang diperbuat si anak. Bagaimanakah hikmat bisa muncul atau terlihat daam menghukum atau mendisiplinkan anak.
Kita melihat hikmat tatkala ayah itu tidak emosional, saya bukannya berkata ayah tidak boleh marah, tapi berapa marahnya dia itu menunjukkan dia seorang emosional atau tidak. berapa mudahnya dia marah itu juga menunjukkan dia orang yang emosional atau tidak, hal apa saja yang membuat dia marah itu juga menunjukkan dia seseorang yang bisa menguasai emosinya atau tidak. Jadi kalau dia menghukum anak berlebihan, terlalu mudah menghukum, tidak ada remnya nah ini menunjukkan dia tidak memiliki hikmat. Jadi ayah yang berhikmat bisa melihat kesalahan anak, bisa membedakan kesalahan yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, kesalahan yang diperbuat karena anak itu pada usianya memang cenderung melakukan kesalahan itu ataukah ini suatu pemberontakan. Ayah yang bijaksana bisa membedakan semuanya, bisa juga mengetahui bahwa hukuman ini terlalu berat, hukuman yang ringan ini lebih cocok. Nah ayah yang tidak emosional seperti ini akan dilihat sebagai ayah yang berhikmat.
GS : Kalau begitu hikmat ini atau kebijaksanaan ini tidak terkait langsung dengan tingginya jenjang pendidikan yang diperoleh oleh si ayah itu Pak?
PG : Tepat sekali, di sini kita melihat keadilan Tuhan Pak Gunawan, sebab memang tidak semua manusia diberikan kesempatan mencicipi pendidikan yang tinggi atau yang sama tingginya. Nah Tuhanmemberikan hikmat kepada semua orang, jadi kita akan menemukan orang yang tidak berhikmat di kalangan orang yang berpendidikan, sebaliknya kita akan bisa menemukan orang yang berhikmat di kalangan orang yang justru tidak berpendidikan, Tuhan adil.
GS : Ya, masih juga terdengar sampai sekarang, ayah itu menggunakan kekerasan terhadap anak-anaknya di dalam mendidik anak itu.
PG : Sering kali ayah itu dibesarkan seperti itu, dipukuli dengan keras sehingga waktu dia menjadi ayah dia menggunakan cara yang digunakan oleh orang tuanya dulu. Nah saya bukannya berkata idak boleh memukul anak, saya mengikuti nasihat Dr.
James Dobson yang membolehkan orang tua memukul anak di pantat karena memang banyak daging dan tidak membahayakan anak. Memukul anak di bagian yang lain bukan saja bisa membahayakan nyawanya tapi yang terutama adalah sangat merendahkan dia. Saya bisa membayangkan betapa anak itu merasa direndahkan kalau ayahnya menggamparnya, menjambaknya, menendangnya, nah ternyata pukulan-pukulan seperti itu sangat merendahkan martabat anak. Dipukul pantat ternyata memang secara emosional tidak merendahkan martabat si anak.
GS : Selain hikmat ada unsur yang lain itu Pak Paul?
PG : Wibawa ayah juga dibangun oleh kasih terhadap ibu, jadi maksud saya begini kalau si anak melihat si ayah itu mengasihi ibunya itu akan membuat si anak tambah menghormati si ayah. Saya aan memetik firman Tuhan yang diambil dari Efesus 5:28, "Siapa yang mengasihi istrinya, mengasihi dirinya sendiri."
Pertanyaannya adalah begini, kenapa anak cenderung menghormati ayah yang mengasihi ibu? Jawabannya ini Pak Gunawan, kebanyakan anak mengasihi ibunya karena melihat ibunya yang memberikan banyak waktu untuk merawat anak dan kebanyakan anak protektif terhadap ibunya juga karena melihat ibu itu adalah pihak yang lebih lemah secara fisik, banyak membuang waktu untuk mengurus mereka, jadi anak-anak itu protektif terhadap ibunya. Waktu mereka melihat ayah memperlakukan ibu semena-mena, tidak penuh kasih, tidak bisa tidak si anak-anak ini akan mulai kehilangan respek, tidak bisa lagi menghormati ayahnya. Sebaliknya kalau mereka melihat si ayah mengasihi ibunya mereka tambah menghormati si ayah, sebab mereka pun menyayangi ibu.
GS : Itu terjadi baik pada anak pria maupun anak wanita, Pak Paul?
PG : Dalam hal ini sama wanita atau pria mereka akan lebih salut, lebih menghormati ayah yang bisa mengasihi ibunya. Namun tentang mengasihi bukan hanya ibu di sini Pak Gunawan, anak juga leih hormat kepada ayah yang menununjukkan kasihnya kepada anak-anaknya, ini saya kira sangat alamiah.
Anak-anak yang merasakan kasih ayah terhadap dirinya akan lebih menghormati ayahnya, sebab kasih sayang si ayah akan ditanggapi bukan saja dengan mengasihi kembali tapi juga dengan hormat. Sebab sekali lagi kita cenderung menghormati orang yang mengasihi kita dan kebalikannya juga kita cenderung tidak menghormati orang yang tidak mengasihi kita.
GS : Ya dan saya melihat dalam hal ini memang yang penting menunjukkan kasih bagaimana ayah itu menunjukkan kasih kepada pihak lain, khususnya keluarga baik kepada ibu bahkan juga kepada orang tuanya sendiri maupun mertuanya Pak Paul.
PG : Itu point yang baik Pak Gunawan, memang kadang kala anak-anak itu mengintip bagaimana ayahnya memperlakukan kakek-nenek, nah waktu mereka melihat ayah memperlakukan kakek-nenek dengan bik mereka pun menghormatinya.
Sebaliknya kalau ayah memperlakukan kakek-nenek dengan tidak baik, anak juga akan susah menerima si ayah sebab mungkin sekali anak-anak sayang kepada kakek-neneknya. Jadi ini adalah pelajaran-pelajaran yang bisa diterima oleh si anak. Nah kembali kepada firman Tuhan tadi Pak Gunawan yaitu siapa mengasihi istrinya, mengasihi dirinya sendiri. Jadi saya simpulkan ayah yang mengasihi ibu, memperlihatkan bahwa dia mengasihi atau respek terhadap dirinya sendiri sebab inilah firman Tuhan siapa yang mengasihi istrinya, mengasihi dirinya sendiri. Sebab memang istri bagian hidupnya, dia mengasihi istrinya, dia baik kepada istrinya bukankah dia nanti juga akan diuntungkan oleh si istri. Dengan kata lain makanya Alkitab berkata yang mengasihi istrinya sebetulnya mengasihi dirinya sendiri juga, hal yang positif. Nah anak-anak perlu melihat itu bahwa ayah mereka sebetulnya respek terhadap dirinya sendiri, bagaimanakah mereka tahu sebab mereka melihat ayah mereka mengasihi ibu mereka, jadi siapa mengasihi ibunya berarti mengasihi dirinya begitu.
GS : Tapi sering kali yang secara tidak sengaja dilihat anak adalah ayah yang memukuli ibunya, suami memukuli istrinya atau memaki-maki istrinya, Pak Paul?
PG : Dan itu akan membuat anak-anak tidak menghormati ayah mereka, sebab mereka akan melihat ayah sebagai figur yang tidak menghormati orang yang mereka kasihi yakni ibu, dan orang yang memai-maki ibu atau istrinya bagi si anak-anak, ayah ini juga tidak lagi hormat kepada dirinya.
Sebab kalau kita menghormati diri kita, kita juga menghormati orang yang dekat dengan kita, nah itu nanti yang akan ditangkap oleh si anak-anak.
GS : Ya memang tidak timbul respek, yang ada di sana adalah ketakutan Pak Paul, anak ini berpikir ibunya saja diperlakukan seperti itu apalagi kami yang kecil-kecil ini.
PG : Dan yang sering terjadi satu paket Pak Gunawan, kalau seorang ayah memukuli istri hampir dapat dipastikan dia juga memukuli anaknya, hampir dapat dikatakan satu paket.
GS : Sehingga anak itu hidup di dalam ketakutan terus dan fungsi ayah sebagai pelindung, pengayom itu hilang sama sekali Pak Paul.
PG : Dan anak tidak bisa menghormati orang yang ditakutinya, orang hanya bisa menghormati orang yang dikasihinya, ini prinsip yang kita tidak boleh lupakan.
GS : Nah unsur yang ketiga apa Pak Paul?
PG : Yang ketiga adalah kudus, jadi anak-anak menghormati ayah yang memelihara kekudusan. Saya bacakan firman dari Mazmur 101:2, "Aku hendak memperhatikan hidup yang tidak bercea, aku hendak hidup dalam ketulusan hatiku di dalam rumahku."
Pada dasarnya kita salut terhadap orang yang hidup bersih dan benar, nah ayah yang hidup benar tanpa cela akan memperoleh respek dari anak-anaknya Pak Gunawan. Jadi kita memang cenderung menghormati orang yang tulus, pada waktu kita merekam ini kita baru saja memperingati kelahiran Mohamad Hatta yang ke 100. Nah saya cukup terkejut melihat, (memang saya ini membaca Kompas dan membaca Tempo), saya melihat dua publikasi ini memang publikasi yang baik, begitu memberikan waktu dan ruang untuk memperingati Mohamad Hatta, sebab rupanya Hatta dipandang sebagai seorang pemimpin yang bijak sekali. Nah selain bijak kita juga tahu bapak Hatta adalah orang yang sangat jujur, bersih, tulus, ini orang yang mengagumkan orang. Jadi kita memang cenderung kagum dengan orang seperti itu, contoh yang lain bukankah kita kagum juga dengan hamba-hamba Tuhan yang rela hidup menanggung susah demi nama Tuhan Yesus. Kenapa kita begitu kagum, karena sekali lagi kita melihat sesuatu yang murni, yang kudus ada pada orang itu. Kalau ayah ingin berwibawa di hadapan anak-anaknya, dihormati di hadapan anak-anaknya, sebaiknyalah dia memelihara kehidupan yang kudus, yang bersih seperti yang dikatakan oleh pemazmur, hidup dalam ketulusan hatiku, hidup yang tidak bercela di dalam rumahku.
GS : Nah itu memang secara praktis anak-anak itu juga mendengar apa yang kita bicarakan Pak, misalnya pembicaraan kita itu pembicaraan yang memang membangun atau tidak itu salah satu ciri kehidupan yang kudus tadi.
PG : Betul dan juga kehidupan yang tidak mencemari ranjang pengantin, ini yang dikatakan dalam kitab Ibrani, kita ini menghormati perkawinan kita dan kita tidak mencemari ranjang perkawinan ita dengan berzinah dengan orang lain.
Nah hidup yang kudus, hidup yang mulia, hidup yang benar akan menjadi suri teladan bagi anak-anak. Juga hidup tanpa cela membuat anak dapat berjalan dengan tegap di masyarakat, karena anak bangga dan tidak malu dengan ayahnya. Berapa banyak anak yang malu dengan ayahnya Pak Gunawan, tidak berani memperkenalkan ayahnya karena malu, mungkin ayahnya penjudi, mungkin ayahnya tukang hutang kanan-kiri, mungkin ayahnya penipu jadi anak-anak membawa beban mental menjadi anak dari ayah ini, nah bagaimana dia menghormati si ayah yang penuh dengan cacat cela seperti itu. Nah sekali lagi anak hanya bisa menghormati si ayah kalau hidupnya kudus.
GS : Ya, sering kali memang ayah kurang peka bahwa hidupnya disorot dari teman-teman anaknya ini Pak, jadi dia bisa menyembunyikan perbuatan negatifnya di hadapan mata anak-anaknya tetapi ternyata ada teman-teman dari anaknya ini mengetahui perbuatan tidak kudus dari si ayah ini tadi Pak.
PG : Dan bisa menjadi bahan pembicaraan baik di sekolah ataupun di gereja, nah akhirnya si anak bisa-bisa malu ke sekolah atau malu ke gereja karena sekali lagi melihat kehidupan ayah yang tdak kudus itu.
Kehidupan kudus itu memang sangat nampak di mata anak-anak Pak Gunawan, orang tua sering kali berpikir ah.....anak-anak tidak tahu tapi sesungguhnya anak-anak bisa melihat hal itu, anak-anak bisa mulai merasakan jika ayah hidup tidak benar, ayah hidup dalam penipuan, ayah hidup dalam kedok, anak-anak bisa melihat hal-hal itu. Misalkan di rumah berbicara seperti apa, terus di luar berbicaranya kok lain, anak akan melihat hal seperti itu. Dan anak mulailah melihat kok ayah tidak konsisten berarti sedikit banyak ada kemunafikan di situ.
GS : Pak Paul ada ayah itu yang memang karena sifatnya yang suka bergurau dan sebagainya di tengah-tengah keluarga ini, lalu apakah dengan gurau-gurauannya itu membuat dia kehilangan wibawanya Pak?
PG : Ini yang sering kali kita takuti Pak Gunawan, kalau anak-anak melihat kita terlalu sering bergurau maka dia akan kehilangan wibawanya. Sudah tentu bergurau itu ada batas, tidak ada yangnamanya bergurau tanpa batas.
Dengan sesama kita pun, dengan sesama orang dewasa ya harus ada batasnya. Dengan anak-anak juga begitu, jadi kalau kita mulai melihat anak-anak itu kehilangan respek gara-gara kita terlalu menjadi badut di rumah, saya kira kita perlu membatasi diri. Nah itu hal yang harus kita lihat dengan baik, jangan sampai anak akhirnya berani misalnya ada anak yang tidak memanggil papanya 'Pa', memanggil papanya "hai Lu" otomatis kalau si ayah mendengar itu jangan dia tertawa waktu si anak memanggil dia 'hai Lu'. Dia harus berkata: "Kamu harus panggil saya papa, sebab saya ayah kamu dan jangan mengulang lagi perkataan itu." Jadi ada batas yang harus ditegakkan oleh si ayah ini, ini sebetulnya kembali kepada hikmat ya. Seorang ayah perlu memiliki hikmat agar bisa membedakan kapan mendisiplin si anak, kapan membiarkan si anak.
GS : Ya, memang ketiganya, ketiga unsur itu saya rasa saling berkaitan itu Pak Paul, antara hikmat, kasih dan hidup kudus itu.
PG : Betul sekali, dan memang tidak bisa kita pilih satu dari tiga atau dua dari tiga, kita boleh mengasihi istri kita dan mungkin sekali kita memiliki kekudusan hidup. Tapi kalau kita tidakberhikmat dalam hidup tetap anak-anak susah untuk menghormati kita.
GS : Semua itu kita lakukan dalam rangka mempersiapkan anak ini untuk masa depannya ini, Pak Paul.
PG : Betul, dengan kata lain ini adalah bahan-bahan yang kita harapkan diserap oleh anak kita. Banyak problem muncul tatkala anak-anak remaja, itu betul. Tapi sebetulnya problem sudah beraka sejak anak-anak masih kecil.
Kenapa? Semua anak-anak akan mengalami fase-fase pemberontakanlah, melawanlah itu normal, itu wajar. Yang membedakan satu keluarga dengan keluarga lainnya adalah ada atau tidak wibawa ayah di rumahnya, kalau si anak menghormati si ayah karena memiliki wibawa maka meskipun dia memberontak, pemberontakan itu cenderung lebih bisa dikuasai kembali dengan cepat tapi kalau si ayah tidak dihormati oleh si anak maka waktu si anak memberontak, si ayah tidak berkuasa, tidak lagi mempunyai wibawa untuk meredam pemberontakan si anak. Jadi sekali lagi ini akarnya bukannya di masa-masa remaja tapi di masa anak-anak masih jauh lebih kecil. Dapatkah anak-anak sejak kecil menghormati ayahnya, kalau dapat, ini akan menolong banyak problem sewaktu anak-anak menginjak usia remaja.
GS : Ya saya melihat bahwa tugas yang cukup berat dari si ayah ini memang harus mendapat dukungan penuh dari istrinya Pak Paul, tanpa dukungan penuh dia akan sulit untuk membawakan perannya sebagai ayah yang seperti kita perbincangkan ini.
PG : Saya setuju sekali, memang istri perlu mendukung memberikan masukan-masukan sehingga menambahkan hikmat pada si ayah. Dan sudah tentu istri tidak memprotes, mempermalukan, membantai-banai si ayah di hadapan anak-anaknya itu juga penting.
Satu hal lain Pak Gunawan yang ingin saya munculkan, sebab ini penting yaitu setiap kita, ayah-ayah ini harus menyadari bahwa wibawa atau hormat itu tidak muncul secara alamiah, kita yang harus mencarinya, memperolehnya. Melalui apa? Melalui kehidupan kita sebab anak-anak atau istri kita tidak dengan begitu saja memberikan hormatnya terhadap kita. Mereka perlu melihat bukti-bukti itu, barulah mahkota itu bisa ditempatkan di kepala kita, kalau tidak, tidak akan bisa. Ayah-ayah yang menggunakan otot memanipulasi istri atau hidup sembarangan tidak akan bisa mendapatkan mahkota itu dari anak-anaknya. Itu harus diperoleh melalui hikmatnya, melalui kasihnya kepada istri dan anak-anaknya dan melalui kekudusan hidupnya di hadapan Tuhan.
GS : Saya yakin keluarga itu harus menempatkan Tuhan Yesus sebagai pusat, bahwa di atas semuanya itu Tuhanlah yang berkuasa dalam rumah tangga ini.
PG : Sebagaimana yang dikatakan di kitab Amsal "Awal dari hikmat adalah takut akan Tuhan". Jadi ayah yang takut akan Tuhan sudah di jalur yang benar.
GS : Dan itu harus diturunkan, diwariskan kepada anak khususnya anak laki-laki di tengah keluarga itu Pak Paul.
GS : Terima kasih banyak Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar yang kami kasihi terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang "Mahkota Ayah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.