Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Hidup dengan Orang yang Kecewa". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, rasanya makin hari makin banyak saja orang-orang yang kecewa di sekitar kita. Sebenarnya apa yang dialami oleh orang yang kecewa itu, Pak Paul?
PG : Hidup ini memang tidak sempurna, Pak Gunawan. Ada kalanya hal-hal yang tidak menyenangkan yang tidak kita duga menimpa kita, kalau itu dilakukan oleh orang yang tidak kita kenal, kita menglami peristiwa yang buruk dan sebagainya meskipun kita sakit hati, kita marah, kita takut, kita kecewa, tetapi pada umumnya kita masih bisa melaluinya.
Yang terberat adalah kalau kita di- kecewakan oleh orang yang kita kenal dekat, yang mungkin kita sayangi, atau yang paling penting adalah kalau kita memercayainya. Biasanya kalau itu terjadi maka hasilnya adalah kita mengalami kekecewaan yang dalam. Kita sudah bahas pada kesempatan yang lampau bahwa ada hal-hal yang harus kita lakukan, misalkan pada akhirnya kita melepaskan genggaman kita. Maksudnya adalah kita harus siap membiarkan dia untuk memilih garis hidupnya sendiri. Kita tidak bisa memaksanya untuk dapat menjadi seperti yang kita inginkan dan kita harus menerima fakta bahwa sekarang relasi ini menjadi sebuah relasi yang berbeda, bahwa kita tidak bisa membawa relasi ini seperti sediakala lagi. Atau kita harus menerima fakta bahwa perasaannya kepada kita memang sudah berbeda, dia tidak lagi melihat kita sama seperti dulu. Meskipun berat tapi kita harus menerima semua itu, tetapi sekali lagi kita harus terima dan kita harus mulai mendoakannya. Sudah tentu pada awalnya kita memang sakit hati, marah, kita mungkin harus mengungkapkan kemarahan kita di dalam doa kita, itu tidak mengapa karena Tuhan akan mendengarkan, dan Tuhan tidak marah hanya karena kita marah. Setelah itu kita harus mendoakan orang tersebut yang telah berlaku buruk terhadap kita, supaya Tuhan juga memberinya kesempatan untuk melihat perilakunya dan bertobat kemudian berubah dari hal-hal buruk yang telah dilakukannya.
GS : Sulitnya kalau kita tinggal serumah dengan orang yang seperti itu Pak Paul, padahal bukan kita yang membuat dia kecewa. Apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Kalau kita hidup serumah dengan orang yang telah mengecewakan kita, sudah tentu berat sekali, karena seolah-olah luka itu tidak pernah bisa kering dan pada akhirnya terus-menerus terbuka dn terbuka lagi dan yang kita mesti ingat adalah kekecewaan itu pada akhirnya berkembang menjadi sebuah kepahitan yang awalnya sebuah kekecewaan.
Waktu kepahitan itu kita simpan, maka kepahitan itu akan meresap memengaruhi segenap lini jiwa kita. Maka kita harus menghadapi masalah ini, yang pertama misalkan yang bisa kita lakukan adalah kita tinggal dengan orang yang mengalami kekecewaan. Kita sebagai pasangan harus memahami penyebab kepahitannya, karena kita akan menolongnya. Nantinya setelah kita hidup dengan dia yang mengalami kekecewaan, kita mencoba untuk mengerti penyebab kepahitannya. Ada kalanya kepahitan dan kekecewaan keluar dari persepsi keliru atau kesalahpahaman. Dalam kasus seperti ini, tindakan yang dibutuhkan adalah meluruskan kekeliruan itu, jadi misalkan pasangan kita mencurigai atau menuduh bahwa seseorang telah bersikap tidak baik kepadanya, karena orang itu memandang rendah dirinya dan kebetulan kenal orang tersebut dan kita tahu juga bahwa tidak ada niat bagi orang tersebut memandang rendah pasangan kita. Kalau itu yang terjadi maka kita berusaha untuk meluruskan kekeliruan itu. Bila penyebabnya bukanlah persepsi yang keliru melainkan peristiwa yang selayaknya menimbulkan kekecewaan, sebaiknya kita memerlihatkan pengertian kita akan kekecewaannya. Pada tahap awal, kita sedapatnya menghindar dari kata-kata yang bersifat menghakimi atau yang mengharuskannya untuk melepaskan kekecewaan itu. Jadi yang terlebih penting adalah sebuah pengertian bahwa saya tahu kamu kecewa, tetapi dengan catatan memang faktanya seperti yang dilihatnya. Sekali lagi saya mau tekankan itu, sebab ada kalanya fakta tidak seperti yang dilihatnya.
GS : Seringkali orang yang kecewa tidak mau mendengar apa yang kita katakan. Dalam hal ini kita bisa menjadi musuh, dia memusuhi kita ketika kita tidak mau memahami akan kekecewaannya.
PG : Itu sebabnya pada awalnya, sebaiknya kita tidak mengatakan kata-kata yang berkontradiksi dengan pemikirannya. Jadi awalnya kita coba untuk memahami, menyelami perasaan kecewanya dan kita lbih banyak misalkan mendengarkannya dan tidak memberikan banyak komentar yang mengharuskan dia ini dan itu, sebab dengan cara itulah dia akhirnya yakin bahwa kita mengerti kenapa dia kecewa.
Ini tahap pertama yang harus kita lakukan karena kalau tidak ada tahap pertama ini, maka upaya-upaya kita selanjutnya akan dia sangkal dan dia tidak akan terima dengan mudah. Jadi langkah pertama benar-benar menunjukkan pengertian kita, namun kalau memang setelah kita dapatkan data-data bahwa ada kekeliruan persepsi, maka perlahan-lahan kita bisa bagikan dengannya serta mengajaknya melihat dari sudut pandang yang berbeda. Namun sekali lagi, setelah kita menyampaikan dan mengekspresikan pemahaman kita akan perasaannya.
GS : Misalnya saja ada seorang suami yang kecewa karena tidak jadi naik pangkat dan sebagai isteri akan sulit untuk menghadapinya, karena si suami pasti sangat kecewa. Dan dia menuduh ada rekannya yang sengaja menjegal dia, kalau itu yang terjadi bagaimana, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu kekecewaan seperti itu manusiawi. Jadi si isteri bisa berkata, "Saya mengerti kenapa kamu kecewa, kamu sudah mengharapkannya dan saya pun juga mengharapkannya. Saya tahu kekeceaan kamu dan tadi kamu berkata bahwa teman kamu itu tidak senang dengan kamu, menjegal kamu, sehingga akhirnya kamu tidak mendapatkan posisi yang kamu impikan.
Biarlah memang orang itu seperti itu dan saya mengerti. Tetapi untuk sementara kita biarkan saja dulu," jadi kita tidak terus menyuruhnya untuk meluapkan kemarahan, kekecewaannya, tetapi kita juga tidak terlalu cepat memadamkannya pula. Jadi langkah pertama adalah menunjukkan pengertian kita, kenapa dia kecewa dan bahwa reaksinya itu sebuah reaksi yang sepatutnya atau layak.
GS : Jadi yang dibutuhkan oleh orang yang kecewa ini adalah orang lain yang mau mendengar keluhannya, Pak Paul ?
PG : Tepat sekali, Pak Gunawan.
GS : Jadi langkah berikutnya apa, Pak Paul ?
PG : Untuk menolong orang yang kecewa agar kekecewaannya keluar ialah kita harus mengerti bahwa orang yang hidup dalam kekecewaan tidak dapat berfungsi optimal. Makin dalam kekecewaannya maka mkin sukar ia berfungsi maksimal.
Jadi dengan kata lain, misalnya dia terbiasa untuk membantu urusan rumah tangga, atau misalkan dia terbiasa membantu mengantar anak ke sana ke sini, atau menolong anak dengan pekerjaan rumahnya, namun dalam kondisi kecewa dia tidak bisa berfungsi seoptimal dulu, maka kita perlu menunjukkan pengertian kita bukan saja lewat kata-kata, tetapi lewat perbuatan. Dengan cara apa ? Kita menawarkan diri untuk mengambil alih tugas-tugas yang biasa dilakukannya, atau kita bisa berkata, "Kalau kamu letih atau kamu tidak bisa, tidak apa-apa biarkan saya saja yang mengerjakan." Adakalanya ada orang yang memang tidak terima dan berkata, "Tidak apa-apa saya masih bisa" sebab dia mau menunjukkan bahwa dia kuat dan tegar, dia tidak terpengaruh oleh peristiwa yang mengecewakannya itu. Kalau dia bersikap seperti itu, maka kita jangan melawannya dan berkata, "Tidak, kamu tidak mau mengakui bahwa sekarang kamu sedang sedih dan sebagainya, dan kamu juga harus rendah hati," pada akhirnya yang terjadi adalah keributan. Kalau dia berkata, "Tidak, saya tidak apa-apa, saya bisa dan biarkan saya," maka kita harus mengatakan, "Baiklah, kalau kamu perlu bantuan saya, saya siap." Mungkin yang bisa kita lakukan adalah melakukan hal-hal lain yang lebih kecil yang mungkin dia tidak perhatikan. Itulah yang bisa kita lakukan dan yang bisa kita kerjakan, sebab sekali lagi kita mau mengerti bahwa mungkin dia tidak bisa berfungsi optimal dan dia juga perlu melihat bahwa kita menunjukkan pengertian akan kondisinya secara konkret. Dan kita menawarkan untuk memikul bebannya supaya dia tidak terlalu tertindih oleh hal-hal yang harus dilakukannya.
GS : Maksud kita sebenarnya dengan memberikan dia kesibukan maka dia sedikit terhibur sehingga tidak hanya memikirkan penyebab kekecewaannya, misalnya seperti mengantar anak atau melakukan pekerjaan-pekerjaan lain. Dengan demikian dia akan lebih terhibur, bukankah demikian, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu kalau dia melakukannya maka itu akan sangat baik. Untuk hal-hal yang praktis, orang yang hidup didalam kekecewaan ini masih bisa melakukannya tetapi misalkan dalam pengambilan eputusan umumnya orang-orang ini akan lebih sulit, akan lebih suka bingung dan diam, mereka tidak yakin apa yang harus dilakukan.
Jadi di sinilah kita harus berperan sebagai pendampingnya, kita memikul beban yang tadinya dia harus pikul itu.
GS : Kalau orang yang kecewa itu menjadi pendiam, padahal tadinya itu tidak pendiam, apakah kita harus memancing dia untuk berbicara ?
PG : Saya kira, ya. Sebab pada dasarnya dia perlu mengeluarkan isi hatinya dan justru makin banyak dia mengeluarkan isi hatinya, maka beban itu makin keluar dari dirinya. Jadi di sini penting skali peran kita sebagai pendengar dan bukan sebagai wasit yang menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Kita dapat mendorongnya untuk mengenali perasaan yang dirasakannya dan jika memungkinkan kita mendorongnya untuk mengungkapkan perasaan-perasaan ini. Dalam pembicaraan sedapatnya kita menyampaikan pengertian kita akan apa yang dirasakannya, coba dengar ketika orang mengatakan, "Kita mengerti perasaannya," maka dia makin terbuka untuk bercerita dan bercerita lagi tetapi kalau dia belum siap untuk berbicara maka kita jangan terlalu menekannya, menyalahkannya dan berkata, "Kamu ini tidak mau bercerita, kamu seperti ini dan sebagainya." Lebih baik kita sering bersamanya dan waktu dia sedang sedih, kita bisa berkata, "Berat, memang susah untuk melupakan," kata-kata yang singkat dan sederhana, tetapi mengena. Itu biasanya akan lebih dapat menggugah dia untuk mau bercerita kepada kita.
GS : Tetapi seringkali yang diceritakan adalah hal-hal yang sama, sehingga kita harus mendengar hal-hal yang sama itu berulang-ulang, Pak Paul.
PG : Kalau sudah melakukan hal seperti itu kemudian dia mulai cerita, cerita dan cerita berarti itulah kesempatan kita untuk mulai dapat berinteraksi dengan dia, karena sekarang dia sudah mencritakannya berkali-kali.
Dengan cara itu sebenarnya beban perasaannya sudah mulai berkurang dibandingkan dulu berarti dia lebih mudah untuk mendengarkan masukan kita. Didalam tahap ini kita bisa mengajaknya untuk memertimbangkan atau melihat sudut pandang yang berbeda, "Mungkin orang ini seperti ini karena begini, atau menurut kamu apakah mungkin dia begini." Dengan kita melontarkan kemungkinan-kemungkinan itu sebenarnya kita mengajaknya untuk melihat dari sisi yang lain. Bisa jadi sebetulnya dia ingin menolak, "Tidak! Dia memang seperti ini," biarkan saja dan kita tidak perlu memaksanya karena kenyataan kita telah memunculkannya dan didengar oleh dia, sebetulnya kita sudah mulai membuat dia bertanya dan sudah mulai menyuruhnya untuk melihat dari sisi yang berbeda. Meskipun dia tetap bersikeras, biarkan saja sebab sekali lagi pemikiran itu sudah mulai muncul didalam hatinya.
GS : Kadang-kadang yang dibicarakan menjadi berkembang, bukan hanya peristiwa yang baru dialami yang membuat dia kecewa, tetapi dia menarik ke belakang. Pada waktu yang lalu ada kesalahan-kesalahan maka masalah ini menjadi lebih kompleks.
PG : Betul, kadang-kadang untuk kita memastikan, menyimpulkan, bahwa orang ini seperti ini, kita harus mempunyai bukti-bukti. Itu sebabnya didalam kondisi kecewa dan marah seringkali kita akan engumpulkan bukti-bukti yang lama, untuk menguatkan tuduhan kita, bahwa dia adalah seperti ini dan seburuk ini.
Sudah tentu kalau kita mendengar dia berkata seperti itu, kita coba untuk evaluasi karena bisa jadi dia benar, kita tidak bisa langsung beranggapan dia pasti keliru menggunakan bukti-bukti yang dulu, sebab bisa jadi bukti-bukti itu memang merupakan sebuah benang merah bahwa orang tersebut seburuk yang dikatakan oleh pasangan kita. Jadi tugas kita sekali lagi, bukan buru-buru meredam karena adakalanya ada pasangan yang mau buru-buru meredam perasaan-perasaan kecewa yang dialami oleh orang tersebut. Itu salah, kadang malah kebalikannya yaitu dia ingin didengarkan dan diakui bahwa bisa jadi reaksinya ini reaksi yang seharusnya, bisa jadi penilaiannya tentang orang yang telah berlaku buruk kepada dirinya ternyata adalah benar. Jadi sekali lagi kita jangan tergesa-gesa mau memadamkan api kekecewaannya, kita seharusnya lebih berperan untuk mendengarkannya dan menilai apakah memang seperti yang dikatakannya. Berarti kekecewaan seseorang itu bisa berkelanjutan, Pak Paul ?
PG : Betul, Pak Gunawan. Adakalanya ada orang yang bisa cepat melewati fase ini tetapi ada juga orang yang terus melanjutkan perjalanan didalam kekecewaan. Kalau ini yang terjadi maka ada tuntuan yang belum terpenuhi, maksud saya dengan tuntutan adalah dia berharap orang yang mengecewakannya itu datang dan meminta maaf.
Saya kira itu tidak realistik, maka tugas kita adalah mengajaknya melihat tuntutan tersebut dan mengakuinya bahwa dia sebetulnya mengharapkan atau menuntut orang yang telah berbuat buruk atau yang telah melukainya atau yang telah mengecewakannya untuk datang meminta maaf. Kita tahu bahwa tidak mudah bagi seseorang untuk mengakui bahwa sesungguhnya dia menyimpan suatu tuntutan, bisa jadi waktu kita melontarkan hal itu, dia berkata, "Tidak, saya tidak menuntut itu dari dia." Sudah tentu susah bagi dia untuk mengakui, tetapi pada akhirnya dia mesti melihatnya dari pihak kita, kalau kita dapat mengupayakan supaya tuntutan itu dapat dipenuhi. Sudah seyogyanyalah kita mencoba untuk memenuhi namun bila kita lihat itu tidak mungkin untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka tugas kita adalah mengajaknya mengakui hal itu, mengajaknya melihat bahwa tidak mungkin tuntutan kamu itu dipenuhi. Penting sekali pada tahap ini, kita tidak memaksanya untuk mengakui hal itu. Cukup bagi kita hanya mengajaknya melihat fakta ini, sudah tentu besar harapan kita bahwa sekali dia dapat melihatnya dia akan menarik tuntutannya, sehingga ia kembali dapat hidup merdeka.
GS : Ini membuat dia menyadari bahwa tuntutannya itu adalah sesuatu yang mustahil, ini suatu tugas yang sangat sulit, Pak Paul. Misalnya seorang anak yang menuntut orang tuanya meminta maaf dan sebagai pasangan kita tahu bahwa orang tuanya itu tidak mungkin meminta maaf kepada anaknya, seperti itu, Pak Paul ?
PG : Betul dalam kasus seperti ini maka perlahan-lahan dengan sensitif kita mesti menyadarkan misalkan anak kita, bahwa sesungguhnya kamu itu memunyai tuntutan ini. Meskipun awal-awalnya dia mugkin tidak mau menerimanya tetapi perlahan kita mesti mengajaknya melihat ada tuntutan dalam hatimu kepada orang tuamu untuk meminta maaf kepadamu, "Menurut saya itu tidak mungkin, semakin engkau terus memegang tuntutan ini semakin engkau terbelenggu olehnya, dan hidupmu tidak akan merdeka, sampai kapan pun engkau akan membawa duri ini di hatimu," kita mau mengajaknya untuk merdeka tidak lagi dibelenggu oleh tuntutan itu.
Sebab sekali lagi orang yang merdeka adalah orang yang tidak menetapkan tuntutan itu, tidak berarti dia tidak boleh meminta, sudah tentu boleh tetapi dia sadar bahwa orang memunyai kehendak dan pilihannya sendiri. Kita bisa lihat ini dalam diri Tuhan Yesus, Pak Gunawan, Tuhan Yesus menyerang, mengkritik orang-orang Farisi, dan ahli taurat pada zaman itu tetapi Tuhan Yesus tahu bahwa diri mereka berbeda, mereka punya kehendak yang berbeda dan sampai batas tertentu Tuhan hanya menyampaikan teguran kepada mereka apakah mereka nantinya berubah atau tidak. Itu memang keputusan orang-orang tersebut. Jadi di- sinilah diperlukan sebuah kesadaran bahwa dia sekarang tidak lagi merdeka gara-gara dibelenggu oleh tuntutan tersebut. Maka dia harus putuskan dan berkata, "Baik, saya tidak lagi memunyai tuntutan, saya bebaskan kamu dari tuntutan ini dan saya sudah serahkan kamu kepada Tuhan, nanti kamu yang bertanggung jawab kepada Tuhan."
GS : Kalau keputusannya adalah dia tidak lagi menuntut Pak Paul, hal itu masih bisa kita terima. Yang menjadi masalah adalah kalau dia memutuskan hubungan misalnya tadi dengan orang tuanya, "Kalau papa (misalnya) tidak mau memberikan maaf kepada saya maka saya tidak mau berhubungan lagi dengan papa," dan ini membuat pihak isteri atau ibu itu menjadi tersudut sekali begitu, Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi sudah tentu hati kita akan tambah hancur, tugas kita adalah mencoba untuk tetap berbicara kepadanya supaya dia tidak mengambil tindakan yang drastis seperti itu. Nmun pada akhirnya kita harus sampaikan kepada dia bahwa kalau itu yang kamu putuskan kami tidak bisa berbuat apa-apa, saya juga tidak bisa membuat kamu berubah namun kami hanya bisa sedih karena kami akan kehilangan seorang anak.
Namun kami juga tidak bisa apa-apa. Jadi dengan kata lain, kita mau menjadi sangat jelas kepada anak kita atau kepada orang yang sedang mengalami kekecewaan itu, bahwa kita tidak bisa melewati batas ini, kita harus terima bahwa kita hanya bisa berjalan sejauh ini saja.
GS : Apakah itu bukan pertanda bahwa kita menyerah, Pak Paul ?
PG : Bukannya menyerah dalam pengertian kita tidak mau menyelesaikannya, sebenarnya kita mau menyelesaikannya tetapi kita mau melihat dulu secara realistik seberapa jauh kita bisa melangkah.
GS : Yang berikutnya apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Setelah kita meminta dia untuk menarik tuntutannya, kalau dia tetap tidak dapat melakukannya pasti dia akan terus berkubang dalam kepahitan dan hal itu tidak bisa lagi dihindarinya. Dalam ondisi seperti ini kita mengajaknya berdoa memohon kepada Tuhan agar memberinya kekuatan dalam melepaskan tuntutan itu, kita pun dapat mendoakan si pelaku agar Tuhan menyadarkannya sehingga ia berubah.
Mungkin ini akan menjadi proses terlama, karena kalau kita melakukan proses tercepat biasanya tidak membuahkan hasil. Jadi lebih baik tidak perlu kita percepat, namun secara berkala kita ajak dia berdoa, minta Tuhan memberinya kekuatan, melepaskan tuntutannya. Hal yang seringkali juga saya hadapi, Pak Gunawan, waktu konseling dengan orang dewasa, yang pada masa kecil tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya, orang-orang ini biasanya hidup sampai masa dewasa membawa tuntutan itu, bahwa orang tuaku seharusnya mengasihiku, kenapa dulu tidak mengasihiku, seharusnya mengasihiku. Dalam konseling pada akhirnya kita mesti membawa dia ke titik dimana dia menyadari bahwa nomor satu dia tidak bisa membuat orang tuanya mengasihi dirinya, apa yang diputuskan orang tuanya memang adalah hak mereka seberapa pun kita merasa bahwa itu tidak adil atau tidak semestinya namun kita tetap tidak bisa mengubahnya. Maka tindakan kedua adalah melepaskan tuntutan itu, kita tidak lagi berkata, "Kamu seharusnya begini, kamu seharusnya mengasihi saya," tidak seperti itu dan kita harus mengakui bahwa memang engkau tidak lagi harus mengasihiku dan aku tidak lagi menuntut itu dari padamu. Waktu kita bisa melepaskan itu barulah kita akan dapat menikmati sebuah kelegaan dalam hidup ini.
GS : Masalahnya ketika kita mau mengajak dia berdoa dan mendoakan dia, dia selalu berkata, "Kenapa kamu mendoakan saya, seharusnya doakan orang yang mengecewakan saya juga."
PG : Betul. Jadi dalam doa kita harus mendoakan keduanya, Pak Gunawan. Jadi seperti yang dia minta bahwa pihak yang satunya harus didoakan, harus berubah dan sebagainya, tetapi kita juga doakansupaya Tuhan memberinya kekuatan untuk melepaskan tuntutan bahwa orang itu, misalkan dalam hal ini orang tua yang tidak mengasihinya, memang harus berubah kepadanya sekarang.
Hal itu memang terserah si orang tuanya sendiri. Ini suatu kenyataan yang seringkali menyedihkan, Pak Gunawan, dalam konseling dalam kasus seperti ini waktu seseorang akhirnya harus mengakui bahwa, "Memang benar bahwa dulu papa mama memerlakukan saya berbeda dengan mama papa memerlakukan misalnya adik, memang benar mereka lebih bangga dengan adik karena adik punya kelebihan-kelebihan ini yang saya tidak punya, makanya mereka memerlakukan saya berbeda," waktu kita mengakui hal itu memang sangat menyedihkan tetapi kita harus akui kalau memang berbeda, memang mereka tidak sebangga kepada kita dan kita harus lepaskan tuntutan itu, kita harus berkata bahwa, "Baik, saya tidak bisa membuatnya membayar supaya orang tua sekarang membanggakan kita," memang tidak bisa, maka kita harus terima dan kita tidak lagi menuntut itu dari padanya.
GS : Langkah yang lain apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Secara berkala kita dapat mengajaknya melihat Yusuf yang mengalami kekecewaan namun tidak membuatnya pahit oleh karena dia dapat melihat semua yang terjadi sebagai bagian dari rencana Alla yang lebih besar daripada dirinya.
Menurut saya inilah kuncinya, Pak Gunawan, untuk dapat lepas dari kepahitan yang harus kita lakukan adalah kita mesti memandang semuanya dari kaca mata Tuhan dan bahwa rencana Tuhan lebih besar daripada dirinya sendiri, bahwa semua ini tidak harus berubah atau terjadi sesuai dengan yang dikehendakinya. Tuhan memunyai rencana yang lebih luas daripada dirinya, ada hal-hal yang sedang Tuhan lakukan yang belum bisa kita lihat, tetapi yang harus kita terima adalah Firman Tuhan di Kejadian 50:20. Yang berkata ini adalah kata-kata dari Yusuf kepada saudara-saudaranya yang telah mencoba untuk mencelakakannya. "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar." Yusuf tidak tenggelam dalam kepahitannya sebab Yusuf melihat Allah memunyai rencana yang lebih besar, memelihara suatu bangsa dan memang dia harus pergi ke Mesir terlebih dahulu meskipun jalur menuju ke Mesir melewati jalur derita tetapi dia melihat ada rencana Tuhan, dan ini adalah rencana yang lebih baik. Seseorang yang pahit, yang menyimpan kekecewaan yang dalam harus keluar dari dirinya dan melihat rencana Tuhan yang lebih luas.
GS : Walaupun tidak mudah hidup dengan orang yang kecewa, tetapi kita punya Firman Tuhan yang bisa kita sampaikan kepadanya dan itu merupakan suatu pengharapan, penghiburan yang sangat dibutuhkan. Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hidup dengan Orang yang Kecewa". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.