Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang bimbingan dan konseling yang kini juga aktif mengajar di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan membicarakan suatu topik "Gangguan Stres Pasca Trauma".
Lengkap
GS : Pak Paul, makin hari makin banyak orang yang menyadari akan suatu pengaruh keluarga di dalam pertumbuhan kejiwaan. Nah masalahnya banyak masalah yang timbul dalam suatu pernikahan yang sebenarnya awal-awalnya itu berasal dari suatu trauma atau suatu masalah yang dialami sebelum mereka itu menikah. Nah apa yang bisa Pak Paul sampaikan atau uraikan tentang masalah-masalah seperti itu Pak Paul?
(1) PG : Baik Pak Gunawan, yang pertama adalah saya ingin menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah trauma. Trauma itu berarti peristiwa yang mengerikan yang sangat menakutkan, jadi di dalamsalah satu diagnosis ilmu gangguan jiwa ada yang disebut dalam bahasa Inggrisnya PTSD yaitu "Post Traumatic Stress Disorder" jadi artinya adalah gangguan stres pasca trauma.
Jadi stres yang muncul dan berkelanjutan namun stres itu sebetulnya timbul setelah atau sebagai akibat pengalaman mengerikan yang kita alami di masa yang lampau.
GS : Contoh-contoh konkret dari masalah yang mengerikan itu apa Pak Paul?
PG : Misalnya salah satu yang langsung saya ingat adalah masalah perkosaan Pak Gunawan, misalnya seseorang atau seorang gadis disergap pada waktu malam dan kemudian diperkosa atau dia waktu peri dengan teman-temannya tiba-tiba dicegat dan kemudian diperkosa, nah peristiwa itu akan menjadi trauma, peristiwa yang sangat mengerikan bagi dirinya.
Dan itu akan menyertai dia untuk waktu yang sangat lama.
GS : Atau dia melihat suatu pembunuhan dan hal itu akhirnya juga bisa mengganggu dia. Ini adalah gangguan yang sering dialami juga oleh para tentara Pak Gunawan, jadi saya ingat sekali bahwa cukup banyak veteran perang Vietnam di Amerika Serikat yang setelah pulang perang dari Vietnam menderita gangguan PTSD. Jadi salah satu tandanya adalah mereka sering diserang oleh mimpi buruk, malam hari terbangun dengan keringat dingin, ketakutan karena mengalami mimpi buruk yang sangat mengerikan. Dan mimpi buruk ini memang sangat unik sekali, unik dalam pengertian mimpinya mempunyai tema yang sama jadi temanya adalah tema yang mengerikan itu. Tidak harus dia memimpikan peristiwa yang dialaminya namun mempunyai tema yang serupa misalnya tema dia dikejar-kejar, tema dia akan dibunuh, tema dia akan disergap, nah peristiwanya bisa berbeda-beda dalam mimpi itu, namun dia akan sering mengalami mimpi buruk seperti ini.
GS : Bagaimana dengan orang tua yang suka menakut-nakuti anaknya pada masa kecil Pak Paul, apakah itu bisa juga menimbulkan suatu trauma pada anak dengan cerita-cerita tentang hantu atau apa?
PG : Bisa meskipun perkiraan saya tidak seberat kasus PTSD itu, soalnya benar-benar dia menyaksikan atau mengalami suatu peristiwa yang mengerikan. Tapi saya kira ada dampaknya ya. Saya tahu dimasyarakat yang lebih tradisional cerita-cerita setan itu cukup merakyat dan itu memang bisa menimbulkan ketakutan pada diri anak yang saat itu belum siap untuk menerima kisah-kisah yang terlalu mengerikan.
(2) IR : Nah, orang yang mengalami itu apa mempunyai pola tingkah laku yang lain Pak Paul daripada orang-orang biasa?
PG : Memang biasanya lain ya Bu meskipun tidak selalu nampak, sebagai contoh yang cukup umum terjadi, anak yang dibesarkan dalam rumah di mana dia harus menyaksikan orang tua berkelahi. Nah perelahian orang tua bisa menjadi trauma bagi anak, meskipun mungkin tidak sama dengan dia melihat suatu pembunuhan, tapi bisa menjadi trauma yang membekas pada diri anak.
Misalkan dia menyaksikan ayah memukul ibu dengan sadis atau dia melihat ibunya berteriak-teriak histeris kemudian melempar barang, memecahkan barang, bagi anak umur 4 tahun menyaksikan peristiwa seperti ini adalah suatu trauma, sebab jiwa si anak belum siap untuk bisa memahami dan menahan beratnya beban peristiwa tersebut. Jadi anak itu benar-benar tidak berdaya, tidak memiliki perlindungan yang cukup untuk bisa menjaga jiwanya. Nah, akibatnya peristiwa itu benar-benar tertanam dalam benaknya dengan begitu kuat, sehingga waktu dia sudah besar kalau dia cukup sering menyaksikan itu, misalkan sebulan sekali dia menyaksikan orang tuanya berkelahi seperti itu. Kalau dimulai dari umur 5 tahun menyaksikan itu dan dia tinggal misalnya sampai umur 15 tahun saja, 10 tahun dia menyaksikan ayah ibunya bertengkar dan berkelahi. Berarti 10 tahun x 12 kali berarti sekitar 120 kali dia menyaksikan peristiwa seperti itu. Memang akan terbentuk toleransi dari dalam dirinya yaitu kemampuan untuk menerima ya jadi bertahan dalam situasi seperti itu karena terpaksa dan dia akan bisa bertahan. Namun dalam keberhasilannya bertahan itu tidak berarti dia lepas dari dampak trauma itu. Dia akan menjadi orang yang misalnya saja peka sekali dengan ketegangan, begitu ada orang yang menaikkan nada suara agak sedikit tegang, dia tegang dia akan merasa sepertinya ada sesuatu yang buruk akan menimpanya. Jantungnya mulai dag-dig-dug , dag-dig-dug dan tubuhnya mulai menegang dan keluar keringat dingin. Nah itu ciri-ciri atau gejala-gejala yang lebih ringan daripada mimpi buruknya pada waktu malam.
(3) GS : Sebenarnya seorang anak itu rentan terhadap pengaruh-pengaruh luar, itu antara umur berapa Pak Paul? Kalau kecil sekali dia 'kan tidak mengerti apa yang terjadi itu.
PG : Dia tidak mengerti tapi itu tetap mempengaruhi dia, sebab kalau kita perhatikan anak-anak kecil yang berumur 2, 3 bulan pun kalau sedang menangis kita marahi dia akan makin menangis. Dan mnangisnya itu bukan menangis marah tapi menangis ketakutan sebetulnya (GS : Itu reaksi yang dia tunjukkan kepada kita) betul, jadi meskipun anak itu belum bisa menjelaskan dengan bahasa verbal tapi sebetulnya dia sudah mengalami rasa takut itu.
Jadi trauma itu tetap membekas pada dirinya. Saya tahu ada suatu kasus di mana seseorang hamil, hamilnya itu hamil tua sudah di atas 5 bulan kalau tidak salah, kemudian rumahnya dirampok nah ini saya bukannya mau membicarakan klien saya, saya tidak membicarakan kasus konseling saya, tapi ini saya mendengar cerita. Bagaimana dia takut sekali sewaktu dirampok dan akhirnya dia melarikan diri ngumpet/bersembunyi di kamar dan berteriak-teriak histeris, karena rumahnya sedang dijarah di luar. Anak yang dikandungnya mati, gugur langsung sedangkan dia sudah hamil tua saat itu, jadi pertanyaan yang timbul 'kan anak itu tidak mengerti sebetulnya dirampok itu apa, tapi si anak yang masih dikandung itu sangat merasakan ketakutan si mama yang mengalami shock yang sangat besar. Sehingga akhirnya menggoncangkan diri anak, anak itu mati, gugur, nah ini kisah nyata.
IR : Jadi jiwanya terpengaruh oleh jiwa orang tuanya Pak Paul?
PG : Sangat terpengaruh, jadi meskipun belum bisa berpikir seperti kita tapi sudah bisa merasakan Pak Gunawan dan Ibu Ida.
(4) IR : Nah Pak Paul kalau orang sudah mengalami seperti itu, mengalami traumatik ya, itu 'kan menyimpan suatu ketakutan ya. Nah bagaimana cara menghilangkan itu Pak Paul?
PG : Pertama-tama dia harus mengenali dulu apa yang menjadi penyebab gangguan itu, sebab tidak sama dalam setiap kasus. Setelah dia bisa mengingatnya dengan bantuan seorang ahli terapi, seyogyaya dia kembali lagi ke saat itu, jadi dia menghidupkan kembali memorinya, mengunjungi kembali masa di mana dia mengalami peristiwa tersebut.
Dan mengeluarkan emosi yang seharusnya dia keluarkan saat itu, tapi mungkin karena ketakutannya atau apa dia tidak bisa mengeluarkan emosi itu. Atau dia sudah mengeluarkan emosinya, mengekspresikan perasaannya, namun belum cukup. Rupanya harus berlanjut pengekspresian emosi dan ketakutannya itu, nah karena tidak dilakukan sekaranglah saatnya. Jadi dia perlu kembali ke masa tersebut dan mengeluarkan emosi-emosi yang terpendam dan setelah itu dia mulai akan merasa lebih lega. Nah setelah itu berlalu baru dia masuk ke yang disebut (ini di dalam ilmu terapi) ke arah yang bersifat kognitif. Yaitu penyembuhan kognitif, artinya dia akan diajar atau mulai belajar melihat hidup ini atau situasi ini dengan kaca mata yang berbeda. Dulu dia itu dalam keadaan tidak berdaya, tapi sekarang dia dalam keadaan yang lebih berdaya. Dulu misalkan sewaktu orang tuanya berkelahi dia tidak bisa berbuat apa-apa, tapi sekarang dia sudah besar, nah adakalanya orang-orang yang mengalami gangguan stres pasca trauma ini tetap menempatkan dirinya sebagai orang yang tak berdaya, nah ini yang perlu kita sampaikan kepada mereka bahwa "Tidak! Engkau sekarang berdaya, engkau tidaklah setidak berdaya pada waktu engkau masih kecil." Jadi akhirnya harus dilawan dan diberikan perspektif yang lebih luas. Namun saya sadari ini memang berat sekali.
GS : Kalau kita mengambil contoh konkret tentang seorang anak gadis yang sudah diperkosa, lalu dia membangun kehidupan berumah tangga, nah itu bagaimana apakah dia harus kembali untuk ke tempat dulu diperkosa lalu mengingat-ingat orang yang memperkosa atau bagaimana Pak Paul?
PG : Yang saya maksud dengan kembali bukannya kembali mengunjungi tempat kejadiannnya bukan secara fisik, tapi secara emosional. Jadi dengan bantuan seorang ahli terapi dia mengunjungi kembali aat itu dan mengeluarkan perasaannya yaitu perasaan takutnya, perasaan marahnya biar diekspresikan semuanya.
Dia mungkin akan menangis, dia akan berteriak tapi setelah dia mengeluarkan emosi itu dia akan lebih lega. Namun tetap perasaan was-was akan muncul dan misalkan dia sudah menikah tidak bisa tidak ini menimbulkan dampak Pak Gunawan dan Ibu Ida, karena peristiwa yang serupa kalau dialami meskipun dalam konteksnya berbeda akan memicu kembali keluarnya peristiwa traumatis yang dialami dulu itu. Dan kita sadar bahwa perkosaan adalah suatu tindakan kekerasan yang melibatkan seks. Jadi sewaktu dia menikah dan melakukan hubungan intim dengan suami dia akan merasa takut juga, karena adanya kesamaan. Jadi kita yang pernah mengalami suatu peristiwa traumatis, kita akan berhati-hati, akan sangat was-was dengan hal-hal yang mirip dengan peristiwa traumatis itu, dengan bahaya yang pernah kita alami itu.
GS : Masalah yang timbul Pak Paul kalau si suami itu tidak pernah tahu tentang latar belakang istrinya, bahwa istrinya pernah mengalami diperkosa sampai trauma seperti itu.
PG : Ya kalau si suami tidak mengerti memang ini menimbulkan masalah karena pertolongan justru harus muncul dari suaminya. Jadi suami yang dengan pengertian dan kelemahlembutan, mulai mengajak i istri untuk percaya bahwa tidak saya ini lain dari orang lain, bahwa saya ini mengasihi engkau dan dia akan bisa menjadi penolong yang berpotensi untuk memulihkan si wanita ini.
GS : Dan mungkin mengajaknya ke konselor Pak Paul? Bersama-sama mengikuti bimbingan yang harus diberikan kepada suami maupun istri. Bentuk trauma yang lain yang dapat menimbulkan stres, itu seberapa jauh dampaknya pada anak-anak mereka Pak Paul. Jadi misalnya ibu yang sudah diperkosa tadi, apakah itu juga berpengaruh kepada anak-anak mereka?
PG : Biasanya ya Pak Gunawan, jadi kita yang pernah mengalami peristiwa traumatis tertentu cenderung berusaha menjauhkan diri dari segala sesuatu yang mirip dengan peristiwa itu. Nah dalam kasu ibu ini dia akan ekstra hati-hati menjaga anak-anaknya terutama yang putri, jadi dia akan misalnya berkata: "Jangan dekat dengan pria! Hati-hati dengan pria! Jangan jalan sendirian!" Jadi dia akan menanamkan sebetulnya rasa takut pada diri si anak.
GS : Nah dalam hal itu apakah ibu itu perlu cerita kepada anaknya, Pak Paul?
PG : Tidak perlu, tidak perlu sampai anak itu dewasa, kalau dia mau menceritakan ya silakan tapi juga tidak harus. Namun yang perlu dia ceritakan adalah kepada suaminya, suaminya harus tahu halitu dan bisa memaklumi dia.
IR : Jadi mau tidak mau si ibu ini masih tetap terpengaruh Pak Paul dalam pola untuk mendidik anaknya dalam situasi yang pernah dia alami itu Pak Paul?
PG : Biasanya ya Ibu Ida, karena begini ya, saya berikan contoh misalkan kita malam hari keluar terus ditodong, jam kita diambil misalnya. Saya kira setelah peristiwa tersebut mungkin selama 2,3 bulan kita agak enggan keluar malam karena peristiwa tersebut membayang, jangan-jangan sekarang waktunya saya ditodong lagi.
Dan waktu kita jalan malam hari misalnya, ada orang yang berjalan di belakang kita, kita akan merasa takut sekali. Jadi segala sesuatu yang mirip dengan peristiwa traumatis tersebut akan membangkitkan rasa takut kita. Saya pikir ini memang adalah reaksi yang normal ya, manusia senantiasa berusaha untuk melindungi diri atau menjaga diri jangan sampai mengalami ancaman bahaya. Sekali dia gagal, sekali dalam pengertian gagal, kecolongan ya setelah dicuri, ditodong atau apa dia akan benar-benar berusaha dua kali lipat lebih keras untuk melindungi dirinya untuk menjaga dirinya, jangan sampai hal ini terulang lagi. Nah caranya adalah dengan ekstra hati-hati Bu Ida, jadi waktu dia jalan begitu mendengar ada suara kaki di belakangnya dia akan langsung secara otomatis bersiap-siap untuk lari atau untuk apa karena dalam dirinya sudah ada perintah naluriah yang memerintah dia untuk berjaga-jaga jangan sampai terjadi lagi. Kita tidak mau mengalami sakit dua kali soalnya Ibu Ida.
GS : Ya itu merupakan suatu sisi yang positif Pak Paul dari pengalaman itu, tapi juga bisa menimbulkan sisi yang negatif ya, yaitu curiga pada orang yang lain yang ada di sekelilingnya.
PG : Betul, ini banyak dialami juga dalam kasus yang lebih ringan Pak Gunawan misalnya seseorang mengalami patah cinta tiga kali berturut-turut dalam waktu 3 tahun misalnya. Sebelum dia berani emulai dengan yang keempat, saya kira dia akan berpikir 1000 kali untuk mencintai seseorang, karena luka yang dialaminya itu tetap membekas.
GS : Menurut pengalaman Pak Paul selama ini, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menolong seseorang yang mengalami PTSD itu?
PG : Tergantung parahnya dan kekuatan orang itu, jadi semakin parah semakin lama dan semakin lemah diri orang tersebut semakin juga lama. Tapi kalau orang itu berani dan memiliki kekuatan biasaya prosesnya bisa lebih cepat dalam waktu beberapa bulan bisa keluar dari masalahnya.
Maksud saya begini, yang biasanya jadi penghalang terbesar pada akhirnya adalah diri orang tersebut. Waktu misalkan dalam terapi saya mengajak orang tersebut untuk kembali ke peristiwa-peristiwa traumatis yang dialaminya. Cukup banyak orang yang tidak berani kembali, karena begitu takutnya. Jadi dalam dirinya ada suatu konflik, konflik di mana pada satu sisi peristiwa yang menakutkan itu ingin keluar kembali tapi di pihak lain ada tangan dalam dirinya yang mencoba menekan agar peristiwa tersebut tidak muncul. Nah, waktu konselor berusaha untuk membawa dia kembali, otomatis reaksi dalam dirinya adalah melawan, tidak mau kembali ke peristiwa tersebut, justru dia ingin melupakannya. Namun masalahnya dia tidak bisa melupakannya, justru dia itu datang kepada konselor karena dia diganggu oleh perasaan-perasaan tegang ini, namun untuk bisa lepas dari perasaan tegang ini dia harus kembali ke sana. Nah saya temukan ada orang yang berani, nekad kembali dan orang yang seperti itu akhirnya lebih cepat sembuh.
GS : Bagaimana dengan kalau kita membacakan ayat-ayat Alkitab yang memberikan kekuatan, penghiburan jangan kamu takut, jangan kamu khawatir, damai sejahtera Tuhan diberikan kepadamu, itu bagaimana Pak Paul?
PG : Saya harus akui Pak Gunawan adakalanya ayat-ayat ini memang menjadi kekuatan bagi diri mereka, tapi adakalanya ketakutan mereka terlalu besar. Dan akhirnya malah mengalahkan firman Tuhan, alam pengertian mereka tidak bisa lagi mengamini dan menerima ayat atau menerima Firman Tuhan ini, janji Tuhan ini, sebab mereka terlalu takut.
IR : Pak Paul, kalau memori ketakutan itu terlalu disimpan, apakah itu bisa menimbulkan gila atau tidak Pak Paul?
PG : Untuk sampai gila ya, gila itu istilah yang memang sangat umum misalkan kalau secara klinisnya kita sebut dia menderita schizofrenia, ya tidak sampai sejauh itu ya tidak. Namun yang lebih ering terjadi adalah dia dirundung oleh kecemasan yang tinggi, mudah takut, mudah tegang dan emosinya labil.
Mudah turun naik kalau misalnya marah tidak bisa menguasai rasa marah, misalnya sedih benar-benar dirundung kesedihan yang dalam. Jadi kehidupan emosinya sangat labil sekali.
GS : Tapi kita percaya bahwa Tuhan Yesus sangat mengerti akan perasaan kita mengalami hal ini karena Tuhan Yesus sendiri pernah mengalami peristiwa traumatis yang luar biasa, pergumulannya di taman Getsemani dan waktu di disalibkan Pak Paul.
GS : Jadi mungkin itu yang bisa kita sampaikan untuk menolong seseorang, bagaimana Pak Paul?
PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi dikatakan di firman Tuhan di kitab Ibrani bahwa kita mempunyai Imam Besar yang mengerti kelemahan kita, sebab Diapun dicobai namun tidak berdosa. Jadi Tuhan engerti penderitaan kita sebab Dia mengenal penderitaan, tapi Dia tidak jatuh ke dalam dosa.
Jadi waktu kita berdoa dalam kesakitan kita, ketakutan kita, ketegangan kita, Tuhan mengerti.
GS : Karena Tuhan pun pernah mengalami Pak Paul?
PG : Betul, dan Tuhan tidak akan memarahi kita Pak Gunawan, adakalanya kita berpikir Tuhan pasti kesal melihat kita anak-anakNya kok tidak berani menghadapi fakta hidup dan malah ketakutan, tap Tuhan mengerti, Tuhan mengerti bahwa yang kita alami ini bukannya masalah takut atau berani, tapi ini adalah masalah gangguan yang kita alami pada masa-masa lampau terutama pada masa kecil yang terlalu berat untuk kita tanggung.
GS : Ya tentunya di dalam kita membangun rumah tangga yang bahagia kita mau menyelesaikan masalah-masalah masa lampau yang terus mengganggu di dalam kehidupan pernikahan itu, Pak Paul.
PG : Betul, salah satu dampak yang kadang muncul dalam kasus perkosaan, wanita merasa tidak lagi berharga Pak Gunawan, mereka merasa sudah cacat. Nah saya ingin membagikan satu ayat kepada merea yang mungkin pernah mengalami peristiwa yang serupa.
Di sini di
1 Korintus 15:40 berkata: "Ada tubuh sorgawi dan ada tubuh duniawi tetapi kemuliaan tubuh sorgawi lain daripada kemuliaan tubuh duniawi." Jadi ada tubuh sorgawi, mungkin tubuh duniawi kita telah dinodai tanpa kita bisa berkata tidak, kita tidak mau tapi dipaksa dan sebagainya. Tapi ingat Firman Tuhan berkata ada tubuh sorgawi, tubuh duniawi fana ya, akan hilang dan sewaktu-waktu akan dikubur, tapi ingat ada tubuh sorgawi dan bahwa yang menjadikan tubuh itu mulia adalah kenyataan bahwa kita dihuni oleh Tuhan Yesus, kita dihuni oleh Tuhan Yesus dan Roh Kudus Tuhan mendiami tubuh kita ini dan itulah yang menjadikan tubuh kita mulia. Tatkala kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, menaati Firman Tuhan, hidup kudus di hadapanNya, itulah yang membuat tubuh kita mulia, menjadi tubuh sorgawi.
IR : Juga hati kita Pak Paul seperti di Yehezkiel 11:19 berkata: "Aku akan memberikan hati yang lain dan Roh yang baru di dalam batin mereka, itu juga janji Tuhan yang bisa menyembuhkan hati yang telah terluka Pak Paul.
PG : Betul, betul Ibu Ida.
GS : Jadi Firman Tuhan itu memberikan pengharapan-pengharapan yang baru bahwa tidak ada sesuatu yang bisa dihancurkan total oleh kuasa kegelapan, tapi Tuhan sendiri yang akan memulihkan semuanya itu. Karena Tuhan juga menghendaki kehidupan rumah tangga kita berbahagia.
GS : Baik demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan tentang Gangguan Stres Pasca Trauma atau 'Post Traumatic Stress Disorder' bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga) dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan dan dukungan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.