Mengerti
Mengerti atau berempati ialah turut menghayati perasaan yang sedang dirasakan oleh orang itu dan melihat motivasi atau pemikiran yang membelakangi tindakannya
Dalam rangka menurunkan kolesterol, akhir-akhir ini saya sering bersepeda: dari rumah ke pusat konseling Pastorium, terus ke SAAT, dan akhirnya pulang ke rumah. Gara-gara naik sepeda inilah saya lebih mengerti beberapa hal yang sebelumnya tidak saya pahami. Pertama, saya baru mengerti mengapa adakalanya sepeda motor, sepeda, dan becak berjalan di jalur yang berlawanan arah. Penyebabnya adalah kadang menyeberang atau memotong jalan merupakan suatu tugas yang susah; jadi, lebih mudah dan lebih aman bagi si pengendara sepeda atau becak untuk membelok jika ia tetap di jalur yang salah itu.
Saya juga baru mengerti bahwa meski jaraknya sama, namun ongkos naik becak tidak sama untuk semua orang. Perbedaannya terletak pada berat badan si penumpang dan ini saya ketahui sewaktu saya harus mengayuh sepeda yang dibebani bobot badan saya yang hampir satu kwintal itu. Lebih lanjut, saya pun sekarang sering dibuat kesal oleh kendaraan beroda empat yang berjalan “seenaknya” kekesalan yang sama saya rasakan terhadap kendaraan beroda dua tatkala saya sedang mengendarai kendaraan beroda empat. Ternyata, menukar tempat atau menempatkan diri pada posisi orang lain menyingkapkan banyak pemahaman yang sebelumnya tertutup dari pandangan saya.
Salah satu keterampilan mendasar dalam konseling adalah kemampuan untuk berempati. Berempati berarti mengerti perasaan, pemikiran, atau isi hati seseorang dengan mendalam. Berempati bukan sekadar memahami perkataan seseorang; ini bisa dilakukan oleh hampir semua orang. Berempati ialah turut menghayati perasaan yang sedang dirasakan oleh orang itu dan melihat motivasi atau pemikiran yang membelakangi tindakannya. Dengan kata lain, sama dengan pemahaman yang saya peroleh dari bersepeda, berempati sebenarnya merupakan tindakan menempatkan diri pada posisi atau keadaan orang lain—setidak-tidaknya secara mental. Jadi, orang yang tidak sudi menempatkan dirinya pada keadaan orang lain, adalah orang yang tidak dapat berempati.
Salah satu “bumbu” pernikahan—begitulah sering diucapkan oleh orang-orang tua dulu—ialah pertengkaran. Secara pribadi, saya tidak pernah menganggap—apalagi menikmati—pertengkaran sebagai “bumbu.” Pertengkaran, baik itu antara suami-istri atau relasi lainnya, lebih merupakan duri yang menyakitkan. Pertengkaran yang tak terselesaikan adalah resep yang jitu untuk menghancurkan hubungan antara dua insan. Jika saya boleh melukiskannya secara hiperbolik, satu pertengkaran berkapastas menghapuskan 10 kebaikan atau kemanisan yang telah dikecap bersama. Itulah sebabnya, saya mengalami kesukaran membayangkan pertengkaran sebagai “bumbu” makanan.
Seluas apa pun dampaknya dan setajam apa pun tusukannya, pertengkaran adalah sesuatu yang harus kita lalui jika kita tetap ingin terlibat dalam hubungan dengan sesama. Ada banyak cara untuk menyelesaikan pertengkaran dan semua itu bergantung pada faktor penyebabnya yang juga beragam, namun semua penyelesaian yang sehat biasanya dialasi terlebih dahulu oleh pengertian atau dalam istilah psikologisnya, empati. Menurut hemat saya, pertikaian mulai mendekati titik penyelesaiannya tatkala kedua belah pihak berhasil berempati dan mengomunikasikan empati kepada satu sama lain.
Menerima empati atau dimengerti merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang berkaitan dengan kodrat kita sebagai makhluk sosial. Merasa dimengerti sudah cukup untuk membuat kita berhenti berteriak meminta pengertian dan cukup kuat untuk menyadarkan kita bahwa orang lain bukanlah diri kita. Jadi, berempati atau mengerti merupakan keterampilan atau mungkin lebih tepat lagi, keharusan, yang mesti kita miliki. Empati adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan orang lain sewaktu arus kemarahan melanda dan memisahkan kita. Tanpa empati, kita hanya bisa saling memandang dan tidak saling berpegangan tangan lagi.
Menumbuhkan empati bukan hal yang terlalu mudah. Ada yang mengaitkan empati dengan belas kasihan, artinya kita dapat berempati tatkala kita berbelas kasihan. Masalahnya dengan pemahaman empati yang seperti itu adalah, empati berhenti bekerja sewaktu belas kasihan lenyap dari permukaan hati. Empati bukan belas kasihan walau belas kasihan dapat memudahkan bertunasnya empati.
Empati juga sukar muncul sebab pada umumnya kita menuntut orang untuk mengerti kita terlebih dahulu dan nanti, jika kita masih mempunyai energi sisa, barulah kita mencoba mengerti orang lain. Empati sering kali keluar dengan tersendat karena kita ingin membenarkan diri dan enggan mengambil risiko untuk—mungkin saja—keliru. Bukankah dengan empati kita membuka peluang timbulnya kesadaran dan akhirnya pengakuan bahwa yang kita duga atau tuduhkan sebelumnya itu keliru? Empati sukar bersemi; sama sukarnya dengan menyangkal atau mengosongkan diri.
Empati hanya bisa kita miliki jika kita berhasil memenuhi syarat tuntutannya: bersedia mengosongkan diri. Empati lebih mudah bertumbuh apabila kita pernah mengalami yang dialami orang lain atau setidak-tidaknya, kita memiliki kesadaran bahwa kita mempunyai potensi yang sama untuk “jatuh” seperti orang lain. Itu sebabnya, Allah yang menyelamatkan haruslah Allah yang menjadi manusia, “bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. (
- Log in dulu untuk mengirim komentar
- 5085 kali dibaca