TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://m.telaga.org)

Depan > Kecanduan Seksual 4

Kecanduan Seksual 4

Kode Kaset: 
T378D
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan M.K.
Abstrak: 
Jarang kita mendengar seorang mencari pertolongan karena bergumul dengan kecanduan seksual. Sebagian karena tidak menyadari itu adalah masalah, sebagian karena hal itu dianggap terlalu pribadi sehingga tabu untuk diutarakan dan didengar. Padahal kecanduan seksual dapat merusak hubungan, menghancurkan pernikahan dan menggerus kehidupan. Mari kita kenali sifat dan siklus kecanduan seksual ini agar dapat merdeka darinya.
Audio
MP3: 
3.4 MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Kecanduan Seksual" bagian keempat. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, dalam sesi yang sebelumnya kita sudah membahas mengenai sebuah solusi untuk mengatasi siklus kecanduan seksual. Kita sudah membahas bahwa langkah pertama yang paling penting adalah pengakuan, kemudian dilanjutkan dengan mengenali siklus itu. Berikutnya apa, Pak ?

SK : Langkah yang ketiga yaitu kembangkanlah suatu rencana yang konkret. Dengan memahami siklus, kita membuat rencana yang konkret bukan sekadar resolusi awal tahun yang berakhir dengan kegagalan-kegagalan. Jadi tidak cukup hanya resolusi, tidak cukup hanya niat baik, tapi rencana yang disusun dengan seksama untuk siap mengantisipasai godaan-godaan. Jadi perlu tindakan proaktif untuk mempersiapkan jalan keluar termasuk bagaimana kita melatih untuk memberi tanggapan terhadap perilaku yang tidak sehat, diganti dengan tanggapan-tanggapan perilaku yang sehat.

H : Contohnya seperti apa ?

SK : Misalnya bagi kita yang menemukan pemicu kita adalah jika bertemu dengan teman-teman tertentu, misalnya kita bekas gay, bekas lesbian, bekas kaum homoseksual. Berarti kita memilih menjauhi teman-teman kita yang dulu berhubungan sebagai sesama kaum homoseksual. Misalnya kita memang pecandu pornografi internet, berarti kita sama sekali putus dari internet selama sekian bulan, ataupun bila menggunakan internet itu di jam dan tempat yang terbatas. Jadi kita menggunakan internet di jam yang kita bisa kuat menahan diri, tidak tergoda membuka situs porno, atau di tempat di mana ada orang lain yang lalu-lalang sehingga kita bisa terjaga karena ada orang yang bisa melihat kita. Ini tindakan yang konkret. Termasuk satu rencana ini nanti masuk kepada bagaimana kalau kita terpicu karena perasaan sedang galau, sedang sakit hati dan mulai terpikir untuk melampiaskan hasrat seksual lagi. Atau karena melihat gambar tertentu yang tidak kita rencanakan, akhirnya kita bisa juga terpicu. Apa yang kita lakukan ? Antisipasi dulu, masukkan dalam rencana. Misalnya kalau saya tergoda, mulai terpicu, saya akan kirim SMS, BBM, kepada 1-2 teman di mana kami sudah sepakat untuk saling melindungi. Misalnya SMS, "Tolong doakan, saya sedang tergoda saat ini." Teman kita karena sudah sepakat itu langsung mengerti apa maksud kita. Biasanya kalau kita membuat pengakuan, itu bagian dari langkah pertama ya, pengakuan bahwa kita tergoda. Jadi pengakuan itu bukan hanya ketika kita sudah jatuh dalam dosa, pengakuan saat kita sedang memasuki tahap pemicu itu juga penting. Ketika mengakuinya, seperti kita mengalami tiba-tiba hasrat itu menguap. Itu belum didoakan, baru sebatas kirim SMS/BBM, apalagi kalau dijawab, "OK, saya doakan sekarang." Atau kalau perlu teman-teman itu kita telepon, kita ajak doa bersama sekarang. Atau kalau kita sulit menangkis godaan yang datang, langsung telepon teman itu dan minta dia mendoakan saat itu juga. Itu bisa mengangkat hasrat dalam hati pikiran perasaan kita itu. Dan kita mengambil langkah, kalau kita tergoda ya pergilah, tinggalkan itu, jangan dibiarkan ! Jangan tetap di tempat yang sama, karena sungkan dan lain-lain. Nanti malah masuk ke fase terlena dan ritualisasi. Jadi itulah beberapa hal yang dimaksud dengan rencana yang konkret, Pak Hendra.

SK : Jadi saya memang melihat ini penting sekali, dalam merencanakan pun sebaiknya kita melibatkan teman atau partner kita, karena dengan kekuatan dua atau tiga orang itu akan jauh lebih besar untuk melawan daripada jika sendirian ya, Pak ?

SK : Iya, jadi memang dosa paling subur kalau kita sendirian. Tapi kalau kita menghayati panggilan Kristus, dilahirbarukan untuk hidup dalam komunitas rohani dalam komunitas tubuh Kristus, di sanalah letak pertumbuhan. Jadi tidak ada orang Kristen yang hidup sebagai "The Lone Ranger", sebagai musafir seperti koboi komik "Lucky Luke". Itu bukan rancangan Tuhan, itu rancangan Iblis. Rancangan Tuhan adalah kita lahir baru, menjadi orang percaya, menjadi murid Kristus, hidup dalam pertanggungjawaban, dalam komunitas orang percaya.

H : Ada satu hal yang mengingatkan saya, ini 'kan mengembangkan suatu rencana, mirip dengan siklus sebelumnya sebuah fase ritualisasi merencanakan tindakan perilaku seksual. Tapi disini melakukan sebuah perencanaan untuk melawan.

SK : Betul.

H : Nah, solusi berikutnya apa, Pak ?

SK : Langkah yang keempat untuk merdeka dari kecanduan seksual adalah rangkullah gaya hidup yang rendah resiko.

H : Maksudnya ?

SK : Jadi rendah resiko ini bukan kaitannya dengan diabetes ya, jangan makan yang manis-manis, kalaupun manis tapi berasal dari gula sintetik. Tapi disini rendah resiko dari godaan seksual. Jadi kerentanan itu bisa muncul, misalnya saat kita tertekan, cemas, jenuh dalam menghadapi tugas-tugas, saat kita berlama-lama di depan internet. Jadi kita perlu mengambil yang rendah resiko, di antaranya membatasi jam di depan internet, membatasi waktu sendirian. Kalau kita tahu kita gampang terpicu bila di kamar sendirian pada malam hari, ya pada malam hari lebih baik kita bersama orang lain. Jadi kita masuk kamar waktu lagi tidur. Tidur tidak larut malam, kita tidak berlelah-lelah, kita batasi jam kerja. Biasanya orang gampang terpicu bila kelelahan sehingga merasa jenuh. Coba jangan suka lembur kerja. Batasi jam kerja termasuk yang atas nama pelayanan. Berani berkata tidak. "Maaf ya, tugas saya sudah cukup penuh. Apa boleh tugas itu kamu berikan kepada orang lain ?" Kita perlu berani membatasi jam kerja kita. Jadi membatasi aktifitas kita ini, kita tahu titik-titik lemah dan kerentanan kita, jadi kita butuh jadwal hidup, jadwal kerja yang tidak padat tapi yang masih cukup ringan sehingga kita masih bisa menjaga kemurnian dan integritas kita dan membangun, memelihara relasi yang akrab dengan orang lain. Jadi ingat, salah satu isu kecanduan seksual itu karena kemiskinan relasi. Relasi dengan keluarga, dengan Allah dan diri sendiri itu penting. Kita memberi ruang waktu yang menikmati jalan-jalan, ngobrol, mempunyai waktu pribadi dengan Tuhan, saat teduh yang memadai. Merangkul gaya hidup rendah resiko ini termasuk kita memilih film-film yang memang sudah kita pastikan aman dari adegan seksual. Jadi jangan sungkan-sungkan waktu kita datang ke toko DVD kita bertanya, "Film ini ada adegan seksnya, tidak ?" bila ada adegan seksnya ya jangan dibeli ! "Film ini bersih dari adegan seksual, tidak ?" mungkin jawabannya, "Iya pak, ini 'kan film untuk 15 tahun ke bawah, pasti bersih." Belilah, jangan merasa malu. Termasuk kalau kita ke hotel yang biasanya mempunyai TV, TV kabel, ada parabola. Dan itu sumber godaan kita, jangan sungkan-sungkan. Kita bisa minta tolong supaya TVnya dibawa keluar sebelum kita memasuki kamar itu dengan alasan TV itu mengganggu kita dan kita ingin istirahat penuh. Tidak perlu berkata, "Saya sedang bergumul dengan masalah pornografi, jadi saya tidak mau ada TV di kamar saya." Nanti petugas hotelnya kaget. Ya tidak apa-apa kita dianggap sok alim, yang penting kita hidup benar di hadapan Allah dan itu lebih sehat dan itu bisa menjadi kesaksian kita. "Oh, ada ya orang yang berani menetapkan diri untuk seperti itu?" inilah bentuk-bentuk gaya hidup rendah resiko yang bisa kembangkan, Pak Hendra.

H : Bapak sempat menjelaskan bahwa kita harus membuat jadwal hidup yang lebih sehat, membatasi aktifitas kita supaya kita punya waktu untuk berelasi dengan pasangan dan anak-anak kita. Seideal apa jadwal yang harus kita batasi ?

SK : Intinya, ada waktu bekerja, ada waktu untuk istirahat. Ada waktu untuk hal-hal yang serius, ada waktu untuk yang santai. Ada waktu untuk melayani orang lain, ada waktu untuk melayani diri sendiri. Ada waktu untuk memberi diri kepada orang lain, ada waktu untuk kita menerima bagi diri kita menikmati. Ada waktu kita mencurahkan pikiran kepada orang lain, ada waktu kita membangun relasi dengan orang-orang terdekat kita.

H : Setelah kita merangkul gaya hidup yang rendah resiko ini, langkah berikutnya apa ?

SK : Langkah yang kelima adalah membangun pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Jadi pengakuan sebagai langkah pertama tadi itu silakan dilakukan sebagai tradisi/ritual. Paling tidak saya usul satu bulan sekali kita bertemu dengan teman-teman sejenis. Jangan dua orang, minimal tiga atau empat orang. Minimal sebulan sekali ada waktu kita bertemu dengan teratur, lalu kita melakukan pengakuan dan pertanggungjawaban. Termasuk SMS-SMS yang kita bahas tadi saat pemicu datang, itu bagian dari gaya hidup membangun pertanggungjawaban. Jadi dengan begitu, maka lewat kejujuran kita, kita membangun integritas. Kita boleh gagal, tapi paling tidak kegagalan ini bisa kita ceritakan kepada orang lain supaya kita tidak semakin terpuruk. Dengan leluasa, lewat orang-orang yang telah membangun kesepakatan ini, lewat kelompok pertanggungjawaban ini, kita bisa mengakui sisi rentan kita, kegagalan masing-masing, membuat pengakuan, pembaharuan komitmen, atau penyerahan dan sikap hati. Ditambah kita bisa menggunakan pertemuan 1-2 jam itu untuk membaca buku tertentu, menggali satu teks pendek dari firman Tuhan untuk mempertajam sisi identitas gender kita di dalam Kristus. Jadi bukan hanya kita mengaku, tapi juga ada Pendalaman Alkitab dan diskusinya untuk menumbuhkan wawasan dan penyerahan kita kepada kemurnian yang Tuhan kehendaki.

H : Kelompok pertanggungjawaban ini pasti akan sangat efektif bila ada satu orang yang menjadi motor, yang kemudian menggerakkan dan merintis terbentuknya kelompok ini. Tapi misalnya kita bukan tipe orang yang bisa merintis dan memulai, bagaimana cara untuk memulai, untuk bergabung, untuk memiliki kelompok pertanggungjawaban itu ?

SK : Kita bisa mengikuti sebuah kegiatan. Jadi sekarang ini mungkin saya kurang leluasa menyebut nama, tapi di Indonesia sudah ada beberapa kelompok pelayanan yang mengembangkan sisi-sisi membangun kemurnian, baik sebagai pria, wanita, bahkan menjangkau kaum homoseksual, juga mencakup pergumulan seksualitas dari kalangan heteroseksual. Saya mengenal kelompok ini dan kelompok ini beredar dan namanya dikenal. Mereka mengadakan camp, retreat-retreat, konferensi-konferensi yang dibuka untuk kalangan interdenominasi. Kita bisa ikut dalam beberapa hari itu, di sana kita akan bertemu orang yang sekota, kita bisa berkenalan. Biasanya disana ada fasilitator atau pemimpin kelompok. Kita bisa menghubungi pemimpin kelompok di mana kita dilayani selama camp itu, "Saya dari kota A, bagaimana tindak lanjutnya ? Apakah ada rekan dimana saya bisa membangun kelompok pertanggungjawaban ketika saya kembali ke tempat asal saya ?" Nanti pemimpin kelompok ini akan menjadi alat Tuhan membantu kita menemukan saudara seiman yang membangun komitmen yang sama untuk bertumbuh dalam kemurnian dalam kelompok pertanggungjawaban tersebut.

H : Tentunya selain bertanya kepada LBKK untuk mendapatkan informasi seperti yang Bapak sebutkan, apakah ada kemungkinan bagi pendengar untuk mencari informasinya melalui internet, Pak ?

SK : Bisa. Beberapa pelayanan ini punya situs tersendiri yang bisa diakses di internet, silakan menjelajah nanti akan ketemu. Mungkin bisa melalui Google, bisa muncul situs tertentu yang menceritakan tentang pelayanan-pelayanan ini. Kita bisa baca dan cek riwayatnya, kalau perlu tanya-tanya di sekitar kita mungkin ada yang tahu. Karena saya lihat dalam 10 tahun terakhir sudah semakin subur pelayanan yang bagus dan bisa memberkati kita untuk lepas dan merdeka dari kecanduan seksual.

H : Artinya sudah sangat banyak akses bagi kita untuk memulai kelompok pertanggungjawaban ini untuk kita bisa bergabung di dalamnya. Jangan menyerah, begitu Pak ?

SK : Betul, Pak Hendra.

H : Selain membangun kelompok pertanggungjawaban, langkah berikutnya apa, Pak ?

SK : Langkah keenam yaitu kembangkanlah perhatian diri. Kita perlu memberi waktu yang lebih memadai untuk melayani diri kita, diri ini disegarkan kembali, atau istilahnya "me time" (waktu untuk diriku). Misalnya kita butuh nutrisi, makanlah makanan yang bergizi. Beberapa pergumulan orang stres, galau, tertekan itu 'kan faktor kurang protein, kurang mineral tertentu, jadi makanlah makanan yang sehat dan seimbang. Kemudian nutrisi secara jiwa, kenalilah hobi kita apa, jangan hidup dengan irama yang terlalu tinggi, irama yang wajar dan ada hobi, nikmatilah. Tentunya hobi yang sehat seperti berolahraga, hobi berjalan-jalan, 'travelling', pijat, renang, silakan. Juga membangun rasa aman, peneguhan. Maka perlu kita punya komunitas yang sehat. Karena seringkali begini, masalah seksualitas itu hanya lapis di luar, hanya pucuk di atas permukaan air laut. Masalah yang sesungguhnya adalah relasi, termasuk relasi dengan diri kita sendiri. Rasa tidak aman, rasa terluka, ketertolakan yang pernah kita alami, merasa diri tidak berharga. Nah isu-isu inilah yang perlu kita perhatikan. Ada saatnya kita berduka, sedih, maka berilah waktu. Carilah mentor, konselor, kelompok pertumbuhan yang menjadi bagian kelompok pertanggungjawaban ini, supaya diri kita yang terluka ini terlayani, supaya diri kita yang pernah mengalami pengabaian ini dipulihkan. Jangan lupa, saya menemukan dua sisi dalam perjalanan pertumbuhan saya dan belajar melayani orang lain, yaitu sisi lain dari pemuridan adalah pemulihan, sisi lain dari pemulihan adalah pemuridan. Orang yang dimuridkan sebagai murid Kristus, kenal firman, hafal ayat, tapi tetap menyimpan luka, rasa tertolak, boleh dikatakan tidak dipulihkan, dia biasanya menjadi orang Kristen yang legalis atau keras. Menekankan kebenaran Allah tapi tanpa kasih karunia Allah, sisi bengis dan jahatnya yang dia tampilkan. Tapi orang yang sekadar dipulihkan dan dikonseling, tanpa dimuridkan, tanpa mengenal firman, tanpa mengenal panggilan hidup yang bertumbuh bergaul dengan Allah, dia akan menjadi orang Kristen yang lembek, yang gampang jatuh ke dalam pencobaan dan godaan. Hanya kasih karunia tanpa kebenaran akhirnya menjadi orang Kristen yang lembek. Jadi dua sisi ini perlu kita lakukan. Kalau kita mengakui dosa, dipulihkan dari luka-luka ketertolakan, keminderan kita, gambar diri yang buruk, saat itulah juga kita sebagai manusia juga bertumbuh. Kita perlu ingat firman Allah, "hendaklah kamu kenakan manusia baru". Tapi jangan lupa dalam perikop yang sama firman Tuhan mengatakan, "buanglah amarah, kepahitan, kegeraman". Jadi kata "membuang" dan kata "mengenakan" itu dua sisi mata uang yang sama, sama-sama memakai kata 'present tense', suatu proses pengudusan yang harus dilakukan terus menerus. Sering orang Kristen melalaikan membuang sampah ini, lalai membuang "kulit-kulit bawang" yang ada sisi baiknya yang terluka, cemas, takut dan kosong ini, perlu kita kenali dan akui. Ini bagian dari memperhatikan diri itu, Pak Hendra.

H : Jadi targetnya adalah kita mengenali yang dalam itu, Pak. Yang busuk-busuk di dalam diri kita itu dibuang, bukan sekadar perilaku yang di luar.

SK : Ya. Jangan lupa sisi yang lain, bahwa kita sebagai pria dan wanita ini membutuhkan diri yang bertumbuh. Kalau mau ditelusuri, kecanduan seksual itu salah satunya karena kekaburan identitas gender. Mungkin kita bukan orang homoseksual, kita normal. Tapi kalau diselidiki, apa yang kita hayati tentang kepriaan atau kewanitaan kita, masih mungkin terdistorsi, ada sisi-sisi yang keliru dan palsu. Dengan penelusuran, dengan mempelajari firman mungkin lewat buku-buku tertentu, lewat kita berdoa atau didoakan orang lain, membangun persahabatan dan pertanggungjawaban dengan sesama jenis, di sana kepriaan kita akan semakin kuat seperti Yesus, kewanitaan kita akan lebih kuat sebagaimana sisi feminin Allah. Saya usul juga, kembangkanlah untuk memakai bahasa tubuh keakraban, misalnya dengan pelukan. Tentunya bukan pelukan erotis ! Bagi wanita, berpelukan dengan sesama wanita itu sudah umum, wanita lebih ekspresif. Nah, pelukan dengan sesama pria yang masih kurang umum. Saya pernah dipeluk oleh kakak kelas saya yang sesama pria. Waktu itu saya bilang, "Ih, homo !" jadi waktu itu saya homophobia. Tapi setelah saya belajar lewat proses yang panjang, ternyata tidak demikian. Pria yang sehat itu pria yang bisa menangis bersama. Pria yang sehat adalah pria yang bisa berkoneksi dengan emosinya dan bisa mengekspresikan emosinya termasuk kepada sesama pria. "Aku menghargai persahabatan kita sebagai sesama laki-laki, aku merasa aman denganmu." Misalnya dalam kelompok pertanggungjawaban kita tadi, setelah selesai dan kita tutup dalam doa, kita bisa peluk teman kita itu dan tepuk punggungnya. Itu bahasa tubuh, bahasa kasih kita. Kita juga butuh sentuhan fisik, rata-rata kita memiliki bahasa kasih berupa bahasa fisik. Jadi seringkali, ini catatan penting, para aktivis gereja termasuk hamba-hamba Tuhan itu lebih sering berelasi di level pikiran kognitif, gerak psikomotorik, gerak-gerak kerja para pelayan, tapi kering di intimasi atau kedekatan relasi emosional. Kalau itu dibiasakan itu akan memuaskan jiwa kita. Kenapa orang tergoda dan hasrat seksualnya meledak-ledak ? Karena dia miskin relasi yang intim, keintiman yang sehat. Seringkali kita sudah terdistorsi bahwa intim/dekat dengan sesama pria itu homo, relasi intim dengan pasangan hubungan suami istri itu selalu berarti hubungan seksual. Tidak ! Kita bisa menikmati romantika kedekatan keintiman secara emosional tanpa haru identik dengan erotisme dan hubungan seksual. Inilah yang perlu ditebus, eros itu perlu ditebus, konsep seksualitas kita perlu ditebus dari konsep dunia yang sudah terdistorsi dengan pikiran yang najis dan kotor. Kita murnikan. Bahwa kita bisa merayakan seksualitas kita dalam kemurnian termasuk lewat pelukan, tepukan punggung, pengakuan dan pujian yang membangun. Ini memuaskan hasrat emosi kita, dan biasanya kalau relasi emosi dengan sesama kita sehat, dengan diri kita dan Tuhan, dengan sendirinya pergulatan seksual itu akan berbanding terbalik dan menurun. Fantasi, dorongan seksual yang liar itu. Karena sisi lain dari seksualitas adalah relasi yang sehat.

H : Mungkin hal ini juga yang membuat lebih banyak pria terikat dengan pornografi bila dibandingkan dengan wanita ?

SK : Ya. Karena relasi dia dengan sesama pria itu kering.

H : Apakah ada pengaruh dari faktor budaya, Pak ?

SK : Ya. Jadi memang budaya Indonesia demikian. Tapi kalau saya lihat budaya Indonesia yang bagian Barat ya. Kalau Indonesia Timur seperti saudara-saudara kita yang tinggal di daerah Papua, Maluku, Timor, saya pikir bahasa tubuh mereka lebih ekspresif. Indonesia bagian Barat mungkin dipengaruhi oleh budaya Jawa dan Tionghoa. Untuk budaya Batak, saya punya saudara seiman kakak kelas saya, mereka ekspresif; yang Jawa dan Tionghoa yang kurang ekspresif secara fisik. Jadi kita jangan menggeneralisasikan semua orang Indonesia. Lihat yang mana dulu. Tidak semua orang Indonesia itu impresif. Jangan bertahan pada budaya yang kurang sehat. Mari tumbuhkan budaya yang sehat. Malah kalau kita lihat firman Allah dalam konteks budaya Timur Tengah ada istilah cium kudus. Rasul Paulus cium kudus bagi saudara-saudara seimanku. Kok cium kudus, bukan cium yang erotik ? Ini menarik 'kan ? Jadi budaya kita tentang cium ini yang perlu kita murnikan, kita tebus oleh darah Yesus. Dalam konteks ini saya bukan berarti praktekkan cium kudus gaya Timur Tengah, tapi ekspresif. Minimal kalau saya membayangkan dalam bentuk pelukan dan tepukan punggung itu masih bisa kita terima ya. Saya lihat di pertemuan-pertemuan pejabat di layar televisi, mereka melakukan itu, sesama bapak-bapak berpelukan dan menepuk punggung, jadi itu sesuatu yang lumrah dan kita masih bisa nyaman dengan hal itu.

H : Terima kasih untuk semua penjabarannya, Pak Sindu. Kiranya materi ini akan sangat bermanfaat bagi semua pendengar, sehingga kita bisa terbebas dari jeratan kecanduan seksual untuk menutup seluruh rangkaian pembahasan kita, pada akhir sesi ini saya mohon Pak Sindu berdoa bagi kita semua.

SK : Mari kita berdoa. Bapa yang di surga, saat ini kami berdoa bagi kami semua terlebih para pendengar dimana pun berada. Kami sebagai pria dan wanita menghadapi banyak sekali dengan kerentanan seksual. Terlebih di abad 21 ini, Bapa, banyak nilai-nilai dunia yang mendistorsi nilai kami. Juga sisi yang lain, pengalaman-pengalaman hidup kami, yang mengalami kebutuhan dasar akan kasih dan kebermaknaan, yang secara alami orang tua kami mengabaikan dan tidak bisa mengisi. Beberapa kami mengalami pelecehan, kekerasan, trauma. Dan inilah yang membawa kami kedalam kerentanan dan bentuk-bentuk kecanduan seksual. Dari yang sifatnya imajinasi sampai yang aktual perilaku, dari hal yang berkaitan dengan ke-heteroseksual-an kami bahkan yang berkaitan dengan homoseksual kami. Kami berdoa, mari Bapa di dalam nama Yesus, biarlah Engkau menjamah kami di tengah pergulatan ini. Tidak ada seorang pun lepas dari tangan kasih Tuhan, dimana pun kami berada, di dalam nama Yesus, Roh Kudus menjamah masing-masing kami, menolong kami untuk memulai jalan untuk keluar dari kegelapan, berani mencari saudara seiman, hamba Tuhan, dimana kami bisa membuat pengakuan dari dosa dan keterpurukan kami. Pengakuan yang membawa kami kepada terang Kristus, kepada pembebasan dari kuasa dosa. Dan berikan kepada kami mentor-mentor di dalam Kristus yang menjadi saudara seiman yang akan membangun pertanggungjawaban dimana kami dilayani di sisi keterlukaan kami, kecemasan kami, sisi rasa tidak aman kami, ketakutan dan trauma kami, kekerasan dan pelecehan yang pernah kami lakukan. Kami dibimbing untuk bertemu dengan orang-orang yang diperlengkapi oleh Tuhan untuk menolong melayani kami dilepaskan dari keterlukaan dan kekosongan kami. Celikkan mata kami untuk mengenali titik kerentanan kami, titik ketergodaan kami dan kami mengambil jalan yang konkret untuk menjauhinya dan mendekat kepada hal-hal yang membangun gaya hidup yang rendah resiko. Berkati, Bapa. Dalam nama Yesus kami berdoa dan mempercayai kuasa Tuhan bekerja. Amin !

H : Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kecanduan Seksual" bagian keempat. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [2]. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Kita bisa kecanduan pada banyak hal, termasuk terhadap orang lain. Telaga kali ini membahas secara khusus tentang kecanduan seksual. Kecanduan seksual bisa berkenaan langsung dengan orang lain, baik sejenis mau pun lawan jenis, bisa juga berkenaan dengan orang yang kita imajinasikan, pornografi dan fantasi romantik, yang dapat menjadi sangat adiktif bagi wanita.

Jarang kita mendengar seorang mencari pertolongan karena bergumul dengan kecanduan seksual. Sebagian karena orang tidak menyadari itu adalah masalah, sebagian karena kita anggap hal-hal itu terlalu pribadi dan personal sehingga tabu untuk diutarakan dan didengar. Padahal kecanduan seksual dapat merusak hubungan, menghancurkan pernikahan dan menggerus kehidupan. Sangat mungkin kita sedang menjalani kenyataan tersebut saat ini.

Kita adalah orang-orang yang diciptakan dengan kebutuhan-kebutuhan dasar: kebutuhan untuk dikasihi dan kebutuhan untuk memiliki makna. Sayangnya kebutuhan itu tidak dipuaskan orang tua kita dalam masa tumbuh kembang kita sebagai anak. Malah kita mengalami pengabaian, pelecehan, bertumbuh dengan kebingungan akan identitas jenis kelamin. Kita bergumul dengan kesepian, kecemasan, kebencian pada diri, stres, rasa malu dan rasa takut. Semua itu menyatu membentuk kehidupan emosional yang merindukan penawar rasa sakit. Sementara itu kita tumbuh dalam budaya yang mengajarkan kita untuk menghindari penderitaan dan rasa sakit. Untuk apa susah-susah, kalau ada cara yang mudah. Pada tahun-tahun awal kehidupan, kita sudah mengembangkan pola-pola menghindari rasa sakit.

Di saat memasuki usia remaja, dengan kehadiran masa puber dan kesadaran akan seksualitas kita, kerinduan terdalam kita akan hubungan dan keintiman, yang sesungguhnya baik dan benar, mengalami pembelokan. Kerinduan yang sesungguhnya hanya dapat dipuaskan dalam relasi intim dengan Bapa di Surga dan relasi yang sehat dengan sesama, kita lampiaskan dengan mengejar objek-objek pengganti yang lebih rendah. Berbagai jenis perilaku seksual menjanjikan dan memberikan penawar rasa sakit kita dalam ukuran tertentu. Ketika rasa sakit muncul kembali, kita kembali pada perilaku seksual yang sebelumnya memberikan rasa nyaman.

Pada awalnya seolah sangat memuaskan dan menggairahkan karena memberi ilusi keyakinan bahwa dengan cara ini kita dapat mengendalikan dan mengatur kehidupan emosional. Kita berpuas diri dengan keintiman palsu dengan laki-laki atau perempuan lain atau dengan imajinasi atau fantasi kita. Kita berharap hubungan yang sementara ini akan memenuhi kerinduan yang lebih dalam untuk dikasihi, dikenal dan diterima. Namun, sesungguhnya kita telah masuk dalam penyembahan berhala, di mana kita menciptakan dan menginginkan "berhala" yang dianggap bisa memberikan apa yang kita inginkan. Kita menyembah ilah-ilah palsu dengan cara menyerah kepada kuasa hasrat seksual dan relasional kita. Kita telah menyerahkan diri kepada hawa nafsu; dan keinginan kita, tak pernah dapat dipuaskan.

Pola kegiatan yang berulang-ulang atau kompulsif ini, dengan cepat berubah menjadi kecanduan dan mengakibatkan kita kehilangan kendali dan sulit dihentikan. Kita akhirnya terperangkap dan terpenjara dalam PENJARA KETIDAKPUASAN. Ironis. Semua alternatif pemuasan lainnya menjadi tertutup. Tiap kali rasa sakit muncul, kita secara otomatis bergerak menuju perilaku kecanduan. Hasrat seksual telah membawa kita ke dalam penjara kecanduan ketika kita mencoba memenuhinya dengan cara kita sendiri. Kita merasa seolah-olah pintu penjara telah terkunci dan kunci telah dibuang jauh—sehingga kita terpenjara selamanya dalam penjara buatan kita. Kita merasa harapan untuk bebas telah lenyap dan tidak mungkin bagi kita untuk hidup bebas dari pergumulan dan kecanduan itu. Kita pun berteriak dengan seruan Paulus, "Siapa yang akan menyelamatkan aku dari tubuh celaka ini?"

Kolose 3:5 [4], "Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala". Rancangan Allah agar kita hidup dalam nilai-nilai Allah, membuang yang tidak berasal dari Allah, termasuk hawa nafsu seksual, kenajisan yang semuanya itu identik dengan penyembahan berhala. Ini bukan sekadar isu sosial tetapi isu rohani.

Kita hidup dalam budaya yang menghindari rasa sakit, mencari cara yang mudah. Kecanduan seksual bisa dimulai sejak masa remaja. Perilaku seksual bisa berkaitan dengan fantasi seksual, pornografi. Ketika rasa sakit, rasa kosong itu muncul, hati galau, akhirnya kita kembali pada perilaku seksual yang telah memberikan rasa nyaman. Awalnya masih bisa dikendalikan, tapi sebenarnya sudah terjadi tindak penipuan, kebohongan.

Dimulai dengan ketidaksengajaan, sesekali sampai akhirnya tidak bisa dikendalikan lagi. Mulai mendewakan, meng-ilah-kan, menjadi poros atau pusat hidupnya. Semestinya datang kepada Tuhan dan tidak menyerahkan tubuh dan jiwa kita pada hasrat seksual ini. Pada titik itulah kita masuk ke penjara ketidakpuasan, ketidaknikmatan. Tanpa sadar akhirnya masuk ke dalam kondisi pornografi, fantasi-fantasi romantis, masturbasi.

Hidup dalam kemenduaan, di gereja sebagai aktifis gereja, majelis, hamba Tuhan tapi di kamar pribadinya dia menjadi pribadi yang lain. Ada rasa bersalah, tapi tidak bisa lepas.

BERITA BAIKNYA, kita BUKANNYA TANPA HARAPAN. Kita sesungguhnya diciptakan untuk sesuatu yang jauh lebih besar dari kecanduan!

SIFAT KECANDUAN
  1. Toleransi
    Kita membutuhkan dosis yang kian ditambah untuk mempertahankan atau meningkatkan sensasi kesenangannya. Bertambah dosis dan bertambah buruk dan merusak. Dalam hal kecanduan seksual, bermula dari masturbasi dan berkhayal, menjadi kecanduan pornografi yang makin parah, lalu ke film-film dan obrolan mesum melalui telepon atau internet, sampai pada hubungan seks bebas.
  2. Menarik Diri (withdrawal symptoms)
    Perasaan-perasaan tertekan, cemas ketika tak melakukan aktifitas kecanduan itu, menjadi mudah marah, gelisah, sakaw.
  3. Menipu Diri
    Penyangkalan atau memendam: tak melihat diri bermasalah, OK-OK saja. Rasionalisasi: sadar diri kecanduan, tapi mencari-cari alasan membenarkan diri. "Yah, setidaknya 'kan hanya masturbasi dan pornografi, 'kan tidak merugikan orang lain." Menunda : yah ini memang masalah. Saya pasti akan mencari pertolongan, .... Kekalahan yang pasif : kita menyerah akhirnya pada perilaku kecanduan kita karena berulangkali gagal. Merasa Diri Gagal dan Hancur: merasa sama sekali tak ada harga diri dan berantakan. Mulai berfantasi bagaimana kalau mengakhiri hidup saja. Atau pindah kerja, pindah kota.
  4. Distorsi Diri
    Karena sifat kecanduan yang berulang, kita mulai meyakini beberapa pernyataan keliru yang menyimpang tentang diri kita. Saya memang maniak seks; saya pada dasarnya jahat dan cabul, dari turun temurun; Allah tak mungkin bisa mengampuni saya; tak akan ada yang mau terima saya kalau mereka tahu apa yang saya lakukan.
  5. Kesombongan
    Yakin mampu mengatur perilaku kecanduan, "Saya dapat berhenti kapan pun saya inginkan. Saya bisa mengontrol sendiri hal ini. Saya mampu berubah jika saya mau." Keyakinan ini lahir karena tidak memahami sifat dan kuasa dari kecanduan.
  6. Fiksasi (perasaan terikat atau terpusat pada sesuatu secara berlebihan)
    Kita merasa terjerat benar dengan kecanduan seksual. Tiap hari atau jam tanpa memikirkannya, merencanakan atau mengkhayalinya, merampas atau merampok perhatian dan energi kita dari aktivitas-aktivitas sehat lainnya. Seks bukan lagi diterima sebagai anugerah tapi menjadi segala-galanya dalam pengertian yang dangkal dan mekanis.
    Galatia 5:1 [5], "Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan". Kita bicara tentang bentuk keterbelengguan seksual. Itu rancangan iblis dari dunia yang tidak mengenal Allah, rancangan Allah, kita merdeka.
SIKLUS KECANDUAN
Ada siklus kecanduan seksual yaitu :
  1. Pemicu/ Trigger
    Yakni peristiwa atau perasaan yang menyebabkan semacam rasa sakit yang ingin kita hindari. Pemicu bisa berupa rasa tertekan, kecemasan, rasa sakit hati, konflik relasi, pembicaraan yang sulit, rasa tidak nyaman pada umumnya, penolakan, hari yang buruk, sebuah konfrontasi, pikiran yang putus asa, perasaan yang ditinggalkan, kesepian, perasaan buruk lainnya. Pemicu bisa berupa stimulus dari luar seperti: gambar-gambar di pinggir jalan, sampul majalah, 'chatting', berita atau gambar di internet, perjumpaan dengan orang tertentu yang memiliki sifat tertentu, wajah, kepribadian tertentu yang mengingatkan kita akan perilaku cabul di masa lalu.
  2. Preokupasi/ Keterlenaan
    Pikiran kita mengambil alih dan melampaui kendali kita. Di sini kita bergerak aktif ke arah kecanduan. Kita memilih untuk melakukan hal yang telah kita kenal dengan baik yang mampu memberikan kepuasan yang lebih rendah, dengan harapan, kita bisa memperoleh kelegaan. Ada perasan terhanyut, lepas kendali.
  3. Ritualisasi
    Kita mulai merencanakan untuk mencapai sasaran kita. Mungkin meninggalkan kegiatan kita lebih awal, merencanakan di mana bisa sendirian, menutup pintu agar tak ada yang akan mengganggu. Kita berhenti berpikir tentang apa pun yang lain. Kita terfokus pada gerak memuaskan keinginan kita. Terhisap ke dalam dengan tarikan yang kuat dan tak dapat dihentikan. Ibarat permainan kereta luncur ('roller-coaster') kita pelan-pelan sudah mendekati titik tertinggi dan siap turun dengan begitu cepat.
  4. Respons/ Tanggapan (Bertindak)
    Di sini kita bertindak sesuai keinginan kita dan terikat perilaku tersebut. Lampiaskan dorongan yang kita rasakan: pornografi, fantasi, seks bebas atau hal lain yang kita pakai saat itu. Inilah eksekusi dari ritualisasi.
  5. Keputusasaan
    Setelah terpuaskan, kita kemudian segera merasakan rasa bersalah dan keterputusasaan. Begini lagi, begini lagi. Kita menyalahkan diri, menghukum diri. Rasa bersalah dan rasa malu ini dapat juga membawa kita kembali ke langkah pertama siklus, menjadi pemicu/ trigger baru. Muncullah pikiran-pikiran: saya memang tak berharga, tak akan ada yang bisa menolong saya, Allah tak mungkin mengampuni saya. Siklus ini berulang dalam hitungan hari, jam, menit ; mengendalikan dan menggerogoti hidup kita.

KEMERDEKAAN DARI KECANDUAN
Yesus datang untuk membebaskan tawanan. Kitalah tawanan dari kecanduan kita. Segala cara yang kita lakukan tak menghasilkan apa-apa.

Maka jelaslah LANGKAH PERTAMA adalah :
  1. Pengakuan
    Kecanduan makin berkembang dengan subur dalam kegelapan. Selama kita bersikeras menyimpan rahasia, kecanduan akan terus memenjarakan kita. Yohanes 3:20-21 [6], "Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah". Kita harus membawanya dalam terang lewat pengakuan. Berseru pada Roh Kudus untuk memampukan kita dalam mengakui kelemahan dan menghadapi rasa malu. I Yohanes 1:6-7 [7], "Jika kita katakan, bahwa kita beroleh persekutuan dengan Dia, namun kita hidup di dalam kegelapan, kita berdusta dan kita tidak melakukan kebenaran. Tetapi jika kita hidup di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa". Sebenarnya relasi kita itu segitiga : ada Allah, ada kita pribadi dan saudara seiman kita. Allah terang, jadi kita adalah anak-anak terang. Praktek saling mengaku dosa kepada sesama saudara seiman merupakan praktek Bapa-Bapa gereja.
  2. Kenali Siklusnya.
    Pada saat kita mengetahui pemicunya, kita hindari pemicu tersebut. Ada tindakan konkret yang harus kita lakukan.
  3. Kembangkan Rencana Konkret.
    Jauhi teman-teman yang dulu, misalnya sama-sama pecandu internet, pembuka situs porno dan lain-lain. Dalam merencanakan sebaiknya kita melibatkan pasangan kita. Dosa paling subur jika kita sendirian.
  4. Rangkul Gaya Hidup Rendah Resiko.
    Batasi jam di depan internet, batasi waktu ketika kita sendirian. Batasi jam kerja, berani berkata "tidak" walaupun itu pelayanan. Kita membutuhkan jadwal hidup yang tidak padat dan membangun relasi yang mendalam dengan orang lain. Godaan seksual karena miskin relasi, baik dengan keluarga maupun dengan Allah dan diri sendiri. Pilihlah film yang aman dari gangguan seksual. Buat jadwal hidup yang lebih sehat, ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk istirahat, ada waktu untuk hal-hal yang serius, ada waktu untuk santai, ada waktu untuk melayani orang lain, ada waktu untuk melayani diri sendiri, ada waktu untuk memberi diri kepada orang lain, ada waktu untuk kita menerima diri kita, ada waktu kita mencurahkan pikiran kepada orang lain, ada waktu dimana kita membangun relasi dengan orang-orang terdekat kita.
  5. Membangun Pertanggungjawaban atau Akuntabilitas.
    Lewat kejujuran kita membangun integritas. Kita boleh gagal tapi kegagalan ini bisa kita ceritakan kepada orang lain supaya kita tidak semakin terpuruk. Kelompok akuntabilitas ini akan semakin efektif jika ada seseorang yang bisa menjadi motor tapi jika kita bukan tipe orang yang bisa memulai, kita bisa mengikuti kegiatan seperti kamp interdenominasi dimana kita bisa bertemu dengan orang yang sekota. Fasilitator atau pemimpin kelompok kita akan menjadi alat Tuhan yang membantu kita menemukan saudara seiman yang membangun komitmen yang sama untuk bertumbuh dalam kelompok akuntabilitas tersebut.
  6. Kembangkan Perhatian Diri.
    Kembangkan waktu untuk diri sendiri, termasuk nutrisi untuk jiwa, kembangkan hobi. Ada 2 sisi, yaitu sisi lain dari pemuridan adalah pemulihan sedangkan sisi lain dari pemulihan adalah pemuridan. Dua sisi ini perlu diperhatikan. Targetnya adalah mengenali hal yang di dalam diri kita. Kita perlu diri yang bertumbuh. Kembangkan kebiasaan dengan memakai bahasa tubuh. Para aktivis gereja atau hamba Tuhan lebih berelasi di level pikiran kognitif, tapi kering dalam hal relasi emosional, pujian yang membangun. Tumbuhkan budaya yang sehat.
Ev. Sindunata Kurniawan, M.K. [8]
Audio [9]
Masalah Hidup [10]
T378D [11]

URL sumber: https://m.telaga.org/audio/kecanduan_seksual_4

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T378D.MP3
[2] mailto:telaga@telaga.org
[3] http://www.telaga.org
[4] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=kolose&chapter=3&verse=5
[5] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=galatia&chapter=5&verse=1
[6] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=yohanes%203:20-21
[7] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=ii%20yohanes%201:6-7
[8] https://m.telaga.org/nara_sumber/ev_sindunata_kurniawan_mk
[9] https://m.telaga.org/jenis_bahan/audio
[10] https://m.telaga.org/kategori/masalah_hidup0
[11] https://m.telaga.org/kode_kaset/t378d