Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kali ini bersama Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Kami akan berbincang-bincang dengan Ibu Winny Soenaryo M.A. Beliau adalah seorang ahli terapis okupasi Perbincangan kami kali ini tentang "Menolong Penderita Depresi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, akhir-akhir ini kita sering mendengar istilah orang yang dilanda depresi, sebenarnya apakah itu?
PG : Istilah depresi sebetulnya adalah sebuah istilah klinis, sebuah istilah yang merujuk kepada sebuah penyakit. Tapi memang akhirnya istilah depresi itu digunakan cukup kendor atau cukup longar, jadi kalau kita merasa sebetulnya tidak depresi namun lagi agak sendu, kita langsung berkata, "O...saya
lagi depresi." Itu adalah istilah depresi dalam pengertian umum saja; yaitu perasaan yang lagi turun, lagi sendu. Namun sesungguhnya depresi itu sendiri sebuah penyakit. Salah satu cirinya adalah sendu, murung, namun kalau dilabelkan depresi mesti ada ciri-ciri lain yang lebih kuat. Misalkan keinginan untuk hidup itu berkurang, semangat untuk menghadapi tantangan hidup benar-benar merosot, pengharapan akan masa depan sirna-tidak bisa sama sekali melihat harapan. Dalam kasus depresi yang berat maka muncul gejala yang lebih serius, misalnya keinginan mengakhiri hidup karena merasa buat apa hidup, hidup tidak ada gunanya. Atau yang kedua, dalam depresi yang berat muncul delusi-delusi; mempunyai keyakinan bahwa ada orang yang sedang membicarakannya, ada orang yang mau mengancamnya, jadi orang ini dilanda ketakutan. Kadang-kadang dalam ketakutan itu dia ingin mengakhiri hidupnya; itu dalam depresi yang berat. Sebagian orang yang terkena depresi tidak terlalu berat dalam istilahnya disebut dysthymia. Dalam dysthymia atau gangguan yang tidak terlalu berat orang itu masih bisa bekerja, masih bisa bersosialisasi tapi kelihatan sekali wajahnya sudah murung, tidak ada semangat; hanya melanjutkan hidup, hanya bertahan hidup hari lepas hari tapi tidak ada lagi energi yang memotorinya, mendorongnya untuk mencapai sebuah target. Kira-kira itulah depresi.
GS : Apakah ada bedanya dengan stres Pak Paul?
PG : Stres sebetulnya adalah sebuah kondisi tertekan; kalau penekannya sendiri kita sebut stressor yaitu situasi atau kondisi yang menciptakan tekanan dalam diri kita. Kalau kita bilang, "Sayasedang tertekan, saya itu stres," artinya suatu kondisi atau situasi yang menimpa kita sehingga kita tertekan.
Tertekan itu sendiri bukanlah depresi tapi keadaan tertekan yang berkepanjangan, mudah sekali akhirnya membuat kita depresi. Karena pada akhirnya kita merasa seolah-olah hidup kita terhimpit, tidak bisa lagi kita bernafas dengan lega karena masalah terus datang menghimpit hidup kita. Lama-kelamaan kita memang bisa mengalami depresi kalau kita terus-menerus tertekan.
GS : Kalau kita sebagai anggota keluarga dan di dalam salah satu anggota keluarga itu mengalami depresi atau stres itu, apa yang bisa kita lakukan?
WS : Sebagai anggota keluarga kita juga harus mengerti, karena depresi kadang kala mengganggu orang yang sudah tua baik laki-laki maupun perempuan. Kita harus mengerti kondisi mereka seperti aa dan apa yang menyebabkan depresi itu.
Saya banyak mengalami pengalaman dengan banyak orangtua yang khususnya mengalami depresi; biasanya mereka tidak bekerja lagi, di rumah tidak mengerjakan apa-apa, sehingga itu membuat mereka merasa hidup mereka tidak berarti, itu juga bisa membuat mereka depresi. Dan kita sebagai anggota keluarga, bagaimana kita bisa membantu mereka yaitu dengan memberikan 'encouragement', memberikan kepada mereka kesempatan keluar atau beraktifitas dengan keluarga.
PG : Jadi memang penting Pak Gunawan, kita itu mengenali penyebab depresinya. Karena untuk bisa menolong penderita depresi pertama-tama kita memang harus mengerti penyebabnya. Depresi memang isa disebabkan oleh hal-hal yang bersifat eksternal.
Contoh, seseorang yang di-PHK kemudian mencari pekerjaan sampai berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun tidak mendapatkannya, bisa jadi dia akhirnya akan mengalami depresi. Penyebabnya jelas, sesuatu yang bersifat eksternal yang di luar dirinya. Mungkin nanti Ibu Winny bisa memberikan masukan apa yang bisa kita lakukan kepada penderita depresi akibat masalah eksternal ini. Tapi kadang-kadang depresi itu bukan disebabkan oleh masalah eksternal, namun masalah internal; masalah kejiwaan seseorang. Yaitu yang berkenaan bagaimanakah dia hidup. Ada orang-orang yang tidak bisa mengutarakan perkataannya, apa yang dialaminya selalu ditelannya; marah ditelan, sedih ditelan, melakukan sesuatu yang sebetulnya dia tidak suka tapi disuruh orang, tetap saja dia lakukan. Hal-hal itu akhirnya membuat dia seperti busa yang terus menyerap tekanan, tidak bisa mengeluarkannya akhirnya orang itu mengalami depresi. Kalau kasusnya seperti itu, untuk menolong dia keluar dari depresi memang yang akan kita coba ubah adalah kepribadiannya, cara dia hidup bahwa dia tidak bisa lagi seperti dulu; terus-menerus menerima, dia harus belajar mengeluarkan apa yang diterimanya sehingga perasaan-perasaan tersebut tidak mengendap masuk ke dalam dirinya. Tapi ada juga yang disebabkan oleh hal-hal yang lebih bersifat genetik, karena ada orang-orang yang memang membawa bakat atau kecenderungan untuk depresi. Misalnya, kalau salah satu orangtua kita mengalami depresi yang berat; memang ada kemungkinan potensi kita terkena itu lebih besar. Misalkan saya pernah membaca sebuah riset yang berkata, kalau kita dikandung oleh ibu yang tengah mengalami depresi-potensi kita terkena depresi akan meningkat. Nah dalam kasus seperti itu, artinya sejak lahir daya tampung terhadap stres kecil sehingga waktu kita mengalami stres, buat orang lain biasa, buat kita besar. Karena kita tidak sanggup menampungnya kita ambruk dan mengalami depresi. Jadi sebagai anggota keluarga atau anggota penolong, kita mesti pertama-tama memastikan dulu kira-kira penyebabnya apa, baru kita mencoba menolongnya keluar dari depresi itu.
GS : Apakah itu dimungkinkan kalau kita menanyakan kepada penderita depresi, sebenarnya penyebabnya apa kamu bersikap seperti ini?
PG : kadang-kadang mereka bisa menjawabnya karena mereka mengetahuinya, tapi kadang-kadang tidak. Ada anak-anak remaja yang misalnya mengalami depresi yang berat, waktu ditanya tidak bisa menybutnya, tidak bisa mengatakannya dengan jelas.
Dalam hal seperti itu kita mesti mengecek keluarganya, apakah ada hal-hal dalam keluarganya yang membuat dia akhirnya tertekan. Contoh klasik, misalnya kalau si anak dibesarkan di rumah dimana orangtua tidak berfungsi untuk menjadi orangtua bagi si anak. Mengapa orangtua tak berfungsi, karena mereka sendiri dilanda masalah; misalnya tidak rukun, cekcok atau mereka hidupnya sangat tertekan, susah. Jadi mereka benar-benar terpaksa hanya melihat yang di luar rumah, memfokuskan apa yang di luar rumah. Akhirnya anak-anak terbengkalai. Dalam kondisi seperti itu, si anak yang seharusnya menerima perhatian, kasih sayang, bimbingan dari orangtua namun tidak menerimanya, sudah tentu dia akan kekurangan gizi kasih sayang yang akhirnya membuat dia rentan terhadap depresi. Apa lagi dalam keluarga bermasalah, si anak didorong untuk memerankan sebagai peran penanggung masalah di rumah, menolong orangtua, menjadi anak yang super baik untuk menyelamatkan orangtuanya. Dalam kondisi seperti itu si anak memang rentan terhadap stres. Sejak muda dia harus memikul beban keluarganya, akhirnya masalah yang tidak terlalu berat muncul dia benar-benar ambruk. Mengalami depresi berat, tidak mau ke sekolah, tidak mau ketemu orang bahkan ada yang mau bunuh diri.
GS : Pengalaman Bu Winny bagaimana menangani anak remaja yang depresi seperti yang Pak Paul ceritakan?
WS : Memang anak-anak yang mengalami seperti itu, kita perlu membawanya ke konseling, karena dengan konseling kita akan lebih tahu mereka, bagaimana kondisi mereka sekarang dan apa yang harus kta perbuat dari konseling itu agar ada follow up-nya.
Jadi pertama-tama kita penting membawanya ke psikolog untuk diterapi atau dikonseling. Setelah kita tahu, baru kita bisa menentukan langkah berikutnya bagaimana.
GS : Ini masalahnya kalau disebabkan oleh genetik. Bukankah orangtua sendiri tidak menyadari bahwa anaknya depresi karena faktor genetik, jadi rasanya sulit mendorong orangtua ini untuk membawa anaknya ke psikolog atau psikiater. Nah ini bagaimana?
WS : Mungkin kita bisa mendapatkan informasi dari guru atau saudara-saudara yang lain melihat bahwa ada perbedaan atau dia dengan anak yang lain. Jadi kita perlu kalau ada keluarga atau orangta yang melihat bahkan mungkin di gereja, kita melihat ada sesuatu yang berbeda mungkin kita bisa memberitahukan kepada orangtua.
PG : Dengan kata lain kita mencoba menyadarkan orangtua lewat bukti-butki yang lebih konkret Pak Gunawan. Memang bisa dimengerti, mereka akan sulit berkata, "anak saya mempunyai masalah karenagara-gara faktor genetik.
Bahwa salah satu dari kami atau orangtua kami mengalami depresi yang berat juga dan sekarang anak kami mengalami hal yang sama karena adanya faktor keturunan itu." Mereka akan sulit menerimanya, tapi pada akhirnya kita mesti menyodorkan bukti-bukti, masukan-masukan dari sekeliling, jadi bukan hanya kita tapi ada orang lain juga yang memberikan pengamatan yang sama. Mudah-mudahan dengan cara itu orangtua akan lebih bisa atau lebih siap menerima fakta. Sudah tentu kita akan mencoba menghibur hati orangtua, bahwa meskipun ada faktor keturunan, namun masih ada hal-hal yang bisa dilakukan. Tadi Ibu Winny sudah tekankan konseling itu salah satunya, sehingga si anak diajarkan untuk nantinya mengembangkan daya tampung stresnya. Karena biasanya itulah penyebab utamanya yang kita sebut dengan faktor keturunan, daya tampung stresnya itu lemah sehingga dia mudah sekali terkena stres, itu yang kita mau ajarkan kepadanya bagaimana mengatasi stres dengan cara yang sehat. Misalkan, mengajar dia untuk rekreasi, mengajar cerita sama orang, mengajar dia untuk meminta pendapat orang atau mengajar dia untuk bisa menahan stres dengan cara tidak mendengarkan apa yang orang katakan, dan jangan langsung menerimanya. Atau menjauhkan diri dari situasi tertentu, sehingga dia tidak harus berhadapan dengan situasi yang menekan itu. Atau yang lainnya lagi menerima siapa dirinya, keterbatasannya seperti apa, dan dia tidak bisa menuntut diri lebih daripada itu. Hal-hal seperti itulah yang kita mau ajarkan agar dia lebih dapat mengatasi stres dan daya tampung stresnya makin membesar.
GS : Memang pasien depresi ini tidak menampakkan gejala itu terus-menerus, hanya pada saat tertentu saja. Lalu orangtua berkesimpulan bahwa ini akan hilang sendiri, akan bisa diatasi sendiri sehingga mereka tidak merasa perlu untuk dikonsultasikan?
PG : Sering kali kita manusia berharap ada sebuah penyelesaian yang alamiah, yang kita itu tidak usah melakukan apa-apa dan masalah akan hilang dengan sendirinya. Sudah tentu kalau orangtua bependapat seperti itu dan menolak bantuan kita, kita tidak bisa berbuat banyak, Pak Gunawan.
Tapi saya kira pada akhirnya kalau mereka menyaksikan, anak mereka yang tadinya aktif mau pergi, keluar dengan teman tapi sekarang diam di rumah, tidak mau ke sekolah, tidak mau bergaul; bagaimana pun juga akhirnya si orangtua harus menghadapi fakta. Saya ada pertanyaan pada Ibu Winny, misalkan si anak itu dalam keadaan depresi, tidak mau ke sekolah, maunya di rumah, apakah ada yang orangtua perlu lakukan supaya praktisnya, supaya tetap meskipun dia di rumah, dia bisa mengerjakan sesuatu?
WS : Memang susah, kalau si anak maunya di rumah terus, tidak mau keluar rumah. Kita perlu memperhatikan mereka dalam sehari-harinya bagaimana, kadang karena mereka terlalu banyak di kamar akhrnya tambah depresi.
Jadi kalau orangtua bisa mengajak mereka keluar, mengajak mereka berekreasi seperti yang Pak Paul sudah bicarakan, bertemu dengan orang (karena orang depresi sulit untuk bertemu dengan orang). Salah satu yang bisa kita lakukan juga misalnya sebagai terapis okupasi, kita membuat satu group jadi group terapi untuk mereka bertemu dengan orang dengan kondisi yang sama. Jadi dengan group terapi, kita juga membantu mereka membicarakan strategi-strategi yang mereka bisa lakukan, atau juga role-play, jadi kita me-role play dalam situasi ini apa yang mereka bisa lakukan, dengan mengambil cara-cara atau aktifitas lain.
PG : Jadi kelompok itu kelompok yang sejenis, jadi anak-anak remaja juga bisa.
WS : Jadi mereka bisa melihat bahwa mereka tidak sendirian. Jadi mereka bisa melihat orang lain juga mengalami depresi dan situasi yang mirip dengan mereka dan mereka bisa sharing atau melakukn sesuatu dengan bersama-sama.
PG : Dalam kelompok itu Ibu memberikan gagasan diadakan role-play atau permainan peran. Jadi maksudnya menolong si anak yang depresi untuk membayangkan sebuah situasi yang riil kemudian ada stes, ada tekanan; nah bagaimana menghadapinya.
Melalui peragaan peran langsung, contoh konkret, si anak mudah-mudahan belajar.
WS : Jadinya kita bisa saling memikirkan; kalau dalam situasi apa, apa yang bisa kita lakukan dan mereka bisa saling sharingnya itu.
GS : Bagian yang tersulit itu adalah mengajak mereka keluar dari kamarnya. Karena kebanyakan mereka mengurung diri, jadi sulit sekali untuk memancing mereka keluar. Apakah ancaman akan menolong mereka untuk keluar, artinya ditunjukkan kalau kamu terus begini, risikonya ini, ini, jadi kita beberkan semua. Risikonya memang dia bisa keluar dari kamar atau makin parah.
PG : Saya kira ancaman kalau masih bisa digunakan, gunakan. Namun saya khawatirnya, kalau dia sudah mengalami depresi, dia tidak peduli lagi. Kita sebutkan, kalau kamu tidak ke sekolah nanti amu akan ketinggalan, kamu ketinggalan tidak bisa mengejar, nanti kamu tidak naik kelas dan sebagainya.
Anak-anak yang depresi berat biasanya tidak lagi pusing. Jadi betul sekali yang Pak Gunawan katakan, tugas terberat adalah membawa dia keluar dari kamar, membawa dia keluar rumah, bertemu dengan orang. Maka mudah-mudahan dalam kondisi rumah tangga yang seperti itu, si anak masih bisa dekat dengan salah seorang anggota keluarganya; bisa itu kakak, paman, kakek, atau siapa pun. Kita minta bantuan orang tersebut untuk mengajak anak itu keluar, sebab apa yang Ibu Winny tadi katakan tepat, kalau saja dia bisa keluar itu akan memberi dampak. Ada sebuah kelegaan yang bisa dialami si anak, apalagi misalkan kalau bersedia bertemu dengan teman-teman yang mempunyai masalah yang serupa dalam sebuah kelompok. Kalau sampai mau, saya bisa bayangkan dampaknya itu akan sangat positif, dia tidak merasa sendirian, "ada anak-anak lain yang seperti saya, o...saya pikir hanya saya yang seumur begini bisa mengalami depresi; tidak mau ketemu orang, maunya diam di kamar saja, saya aneh sendirian. Ternyata ada anak-anak lain yang seaneh saya." Itu akan bisa menolong.
GS : Pak Paul, seandainya anak atau orangtua yang sedang depresi ini tidak tertangani dengan baik pada saat-saat dia depresi, akibat yang paling buruk apa?
PG : Depresi kalau terus berkembang akan menjadi depresi berat, terus akhirnya melibatkan halusinasi, membayang-bayangkan, mendengar-dengar suara, melihat-lihat sesuatu yang tidak ada dan sebaginya; kalau itu terus berlanjut memang akhirnya depresi itu bergerak dari gangguan depresi masuk ke dalam gangguan psikosis yaitu gangguan-gangguan yang lebih serius yaitu ke schizophrenia.
Lama-kelamaan dunianya makin tidak bersentuhan dengan realitas. Dia makin hidup di dalam kesendiriannya karena memang tidak ada kontak lagi dengan orang luar, dia diam sendirian di kamar. Akhirnya dia membentuk sebuah dunia yang terpisah. Depresi berat kalau akhirnya tidak tertangani ya seringnya pindah ke schizophrenia.
GS : Ibu Winny, akhir-akhir ini ditengarai orang yang menderita gangguan jiwa tambah lama tambah banyak. Kita sebagai keluarga apa yang bisa kita lakukan?
WS : Keluarga harus mengerti kondisi mereka, mereka harus mengerti schizophrenia itu seperti apa, dan sebetulnya itu sulit bagi mereka untuk mengontrolnya. Misalnya schizophrenia mendengar suaa yang mereka tidak ingin dengar, tapi kebanyakan suara yang mereka dengar adalah suara negatif.
Jadi penanganannya mungkin orangtua lebih memberikan dia support, jangan mereka dibiarkan. Karena orang yang depresi atau schizophrenia, mereka lebih condong ingin sendiri. Jadi semuanya gelap, di rumahnya gelap, dan tidak mau makan, menjaga dirinya sendiri pun tidak mau, jadi bagaimana kita sebagai anggota keluarga bisa membantu mereka dalam hal-hal seperti itu. Mungkin di rumah memperhatikan mereka dengan memberi makanan dan sebagainya.
GS : Malah ada yang penanganannya dengan dipasung, beberapa waktu yang lalu kita membaca orang-orang yang mengalami seperti itu dipasung. Nah penanganan yang betul atau salah Pak?
PG : Salah ya, ini memang cara-cara penanganan yang dilakukan di Eropa pada abad-abad pertengahan. Gangguan seperti schizophrenia adalah gangguan yang paling sering salah dilabelkan kepada orag.
Misalkan dulu di abad-abad petengahan di Eropa, mereka mempunyai keyakinan kalau orang terkena gangguan schizophrenia maka itu disebabkan oleh adanya roh jahat. Maka ada yang misalnya kepalanya dilubangi, anggapannya dengan dilubangi maka roh jahat itu akan keluar. Sudah tentu kepala dilubangi menyebabkan orang meninggal dunia atau menderita penyakit yang lain. Schizophrenia memang sebuah gangguan yang susah sekali; pikirannya berbeda, hidup di dalam alam yang berbeda, diajak ngomong tidak nyambung, ngomong sendiri, tertawa sendiri; memang susah sekali tidak ada lagi kontak dengan kita. Sekali lagi mudah-mudahan ada orang di rumah, yang dekat dengan dia, sehingga meskipun dunianya sudah terpisah tapi kalau orang ini berbicara kepadanya dia masih bisa dengar, dia masih bisa memberi tanggapan. Kalau orang ini ada, orang inilah yang masih bisa masuk ke dalamnya memberitahu kamu harus mandi, kamu harus makan. Jadi hal-hal kecil yang tadi Ibu Winny sudah singgung, hal-hal yang rutin itu harus dilakukannya secara teratur. Misalnya sikat gigi, mandi, makan, karena kalau tidak mereka tidak akan melakukannya. Jadi benar benar kalau mereka tidak disuruh mereka benar-benar akan diam. Diam di kamar itu bisa 24 jam, malam pun tidak tidur seperti kalong; kadang-kadang dia nyanyi sendirian atau nangis sendirian, sudah tentu merawatnya akan sangat susah, sangat letih sekali. Mudah-mudahan ada yang bisa ngomong seperti itu kepadanya, setidak-tidaknya dia bisa makan teratur, tubuhnya sehat; kalau ada yang bisa ngomong sering-seringlah ngomong dengan dia, ajak dia bicara sehingga dia tetap diingatkan dengan dunia realitas di luar dirinya itu. Karena dia sendiri pun kelelahan, tadi yang Ibu Winny katakan, dia selalu mendengar suara, ada orang ngomong. Tidak bisa mematikan suara itu, seperti radio yang terus-menerus berbunyi di kepalanya. Kalau bisa kita ngomong dengan dia, dan langkah berikutnya memang harus ke psikiater, harus ada obat yang menolongnya untuk tidur, untuk rileks, kalau tidak-tidak bisa tertangani.
GS : Itu biasanya kapan seseorang yang menderita seperti itu harus dirawat di rumah sakit jiwa?
WS : Sebetulnya secepatnya akan lebih baik. Jadi mereka misalkan dirawat di rumah sakit, sebagai terapi okupasi kita juga bisa membantu mereka; memberikan kepada mereka aktifitas-aktifitas yan membuat mereka berarti.
Sehingga mereka merasa hidupnya berarti dengan mengerjakan aktifitas-aktifitas itu.
GS : Ada orang yang saya tahu setiap kali dia melahirkan dia kambuh sehingga harus dirawat di rumah sakit jiwa. Ini apa Bu?
WS : Mungkin karena waktu melahirkan dia harus tinggal di rumah, harus tinggal berdua dengan bayinya sehingga dia merasakan sendiri, dan schizophrenia ini terjadi kalau seseorang itu hanya sendrian.
Suara-suara itu bisa muncul, tapi kalau dia bisa bersama dengan banyak orang biasanya suaranya bisa hilang. Jadi mungkin dia tidak ada interaksi dengan orang lain sehingga dia mungkin mulai mendengarkan suara-suaranya itu.
PG : Dengan kata lain Pak Gunawan, kalau sampai seseorang setelah melahirkan kambuh, halusinasi dan sebagainya, penyebabnya bukanlah melahirkan, penyebabnya memang dia sudah menderita gangguan tu sebelum dia melahirkan, namun dikambuhkan sewaktu dia melahirkan karena terputus dengan lingkungannya.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, mungkin ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Di Mazmur 138:6 firman Tuhan berkata, "Tuhan itu tinggi, namun Ia melihat orang yang hina..." Orang yang depresi, orang yang schizophrenia, adalah orang yang terpuruk atau orang yang di bwah; orang yang merasakan dirinya juga terhina, keluarga juga merasa terhina.
Tapi firman Tuhan mengingatkan, meskipun Tuhan itu berada di tempat yang tinggi, namun dia melihat orang yang hina. Tuhan tetap melihat orang yang depresi, Tuhan tetap melihat orang yang schizophrenia. Di mata manusia mungkin mereka tidak berharga, tapi di mata Tuhan tetap berharga, itu sebabnya Tuhan melihat dan Tuhan akan terus menolong kita yang mau menolong orang-orang yang menderita gangguan-gangguan itu.
GS : Jadi masih tetap ada harapan buat orang-orang seperti ini. Terima kasih Pak Paul, terima kasih Ibu Winny. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Ibu Winny Soenaryo M.A. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menolong Penderita Depresi. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Comments
Anonymous (tidak terverifikasi)
Jum, 27/02/2009 - 10:31am
Link permanen
faktor
TELAGA
Sel, 03/03/2009 - 12:02pm
Link permanen
Seorang konselor adalah