Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang kekecewaan orang tua terhadap anaknya. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, sebagai orang tua tentu kita punya harapan terhadap anak. Kalau kita sudah punya dua anak laki-laki dan kehamilan yang ketiga kita mengharapkan anak perempuan itu wajar saya rasa Pak Paul. Tapi kenyataannya kalau yang lahir itu laki-laki lagi, itu bisa kecewa dan ada pada etnis tertentu yang mengharapkan anak laki-laki semua lalu lahir anak perempuan sehingga dia kecewa terhadap kelahiran anaknya. Ada juga orang tua yang mengharapkan anaknya itu jadi dokter tapi ternyata dia pilih jadi seniman, orang tua itu pasti kecewa. Ada banyak kekecewaan saya rasa Pak Paul, yang terungkap maupun tidak terungkap yang bisa terjadi dan itu pasti menimbulkan ketidakharmonisan di dalam rumah tangga mereka. Sebenarnya bagaimana harus mengatasi atau mencegah kekecewaan-kekecewaan seperti itu ?
PG : Saya akan mengawali dengan pengakuan, Pak Gunawan dan Ibu Ida, saya ini mengakui bahwa salah satu anggota tubuh saya yang tidak saya sukai adalah hidung, sebab sewaktu masih kecil saya ni sering diejek karena hidung saya besar.
Nah, sewaktu saya punya anak saya masih ingat sekali, saya mengharapkan hidung anak saya mancung. Saya benar-benar ingat ada perasaan dalam hati saya. Dan waktu anak saya itu lahir, anak pertama saya lahir, anggota tubuh pertama yang saya lihat adalah hidungnya. Ternyata sama dengan saya. Dan sekarang anak saya itu paling suka kesal dengan saya karena hidungnya, dia suka berkata kenapa harus sama dengan papa. Dan celakanya adalah anak-anak saya yang lain tidak begitu, jadi akhirnya dia suka berkata kenapa sih yang jelek harus dia terima dari saya. Nah saya sudah bisa menerima bagian dari diri saya ini tapi saya harus akui dalam masa-masa remaja saya, hal itu yang mengganggu saya sekali. Kembali pada tadi yang Pak Gunawan sudah bicarakan, kita sebagai orang tua memang memiliki tuntutan atau harapan, harapan kita sebetulnya adalah anak kita yang seharusnya lebih baik dari kita, atau sekurang-kurangnya sama dengan kitalah. Jadi waktu anak kita itu melakukan atau menjadi yang tidak kita inginkan, seringkali kita memang terluka. Nah, dalam ilmu terapi keluarga ada satu istilah yaitu perpanjangan diri, "self-extension", adakalanya orang tua itu menjadikan anak sebagai perpanjangan dirinya. Maksudnya adalah kita ini tidak mampu mencapai standar atau tujuan kita, kita mengharapkan anak kitalah yang menyambung dan akhirnya berhasil mencapai standar atau tujuan yang kita harapkan. Nah, adakalanya sewaktu anak-anak itu tidak mencapai perpanjangan atau mencapai tujuan yang kita dambakan kita merasa kecewa. Jadi kekecewaan bisa muncul dari konsep yang keliru tentang anak. Ada orang tua misalnya dari kecil ingin main piano terus tidak berkesempatan belajar piano, setelah dewasa tidak ada kesempatan lagi belajar piano karena sudah punya anak. Akhirnya anak-anaknya dipaksa untuk belajar piano. Nah, kalau anak itu memang kebetulan berbakat dan mempunyai talenta main piano tidak apa-apa. Tapi masalahnya kalau anak itu tidak berbakat main piano, anak itu akan mendapatkan tekanan yang luar biasa. Dalam kasus ini si anak berfungsi menjadi perpanjangan diri orang tuanya untuk mengkompensasi atau menambal lubang yang ada pada diri orang tuanya.
(2) GS : Berarti ada harapan yang sebenarnya wajar dimiliki oleh orang tua, ada harapan yang berlebihan ya Pak Paul? Sampai sejauh mana batasan-batasannya itu?
PG : Kita memang harus melihat anak kita seperti apa adanya, jadi Tuhan memberikan anak kepada kita dengan rancangan Tuhan bukan rancangan orang tua. Tanpa kita sadari kita itu memang merancng anak kita untuk menjadi seperti yang kita inginkan, tapi kita selalu harus mengingatkan diri kita bahwa si anak itu lahir ke dunia sudah membawa rancangan Tuhan untuk dirinya.
Contoh yang pernah saya dengar dalam suatu kesaksian ada seorang pemuda yang sejak kecil merasa dibandingkan dengan kakaknya. Karena kakaknya itu pemain football di Amerika. Di Amerika Serikat pemain football dikenal sebagai orang-orang yang jantan, badannya besar-besar( kebetulan si kakak begitu). Si adik tubuhnya kurus kerempeng, bukan senangnya main bola, senangnya baca buku di rumah. Si ayah senangnya main bola juga, akhirnya si ayah itu dekat dengan si kakak. Pada suatu saat, malam hari si kakak itu meninggal dunia. Si ayah begitu terpukul sekali karena kematian anaknya. Tapi masalahnya adalah dalam suatu percakapan atau pertengkaran pernah terlontar meskipun tidak secara langsung perkataan si ayah yang seolah-olah mengharapkan yang mati bukannya si kakak tapi si adik misalnya seperti itu. Nah si anak ini bertumbuh besar dengan perasaan yang sangat luka, dia merasa anak yang tidak diinginkan oleh si ayah, akhirnya dia menjadi seorang pendeta. Dan setelah dia menjadi pendeta dia tetap menyimpan luka yang dalam itu terhadap si ayah. Sampai suatu ketika si ayah sakit berat dan dia datang mengunjungi si ayah. Waktu dia mengunjungi si ayah, si ayah membuka mata, kebetulan ada seorang suster perawat di situ tiba-tiba si ayah berkata: "Suster, saya mau kenalkan engkau dengan anak saya, dia seorang pendeta." Dan si anak ini bercerita dalam kesaksiannya pertama kali dalam hidupnya dia itu mendengar suara si ayah yang bangga terhadapnya, sampai seperti itu. Jadi bertahun-tahun memang dia merasa si ayah itu tidak pernah bangga karena si anak itu tidak mencapai standar apa yang diharapkannya. Jadi si ayah gagal melihat siapa si anak itu seperti yang Tuhan sudah desain, rancang. Sebab si ayah mengharapkan anak itu seperti rancangannya, nah setiap orang tua harus menyadari apa yang dibawa oleh si anak tatkala dia hadir dalam dunia ini dan kita harus mendidiknya, membentuknya sesuai dengan bawaannya itu, sebab bawaannya itu adalah titipan dari Tuhan. Dia senang musik, dia senang apakah itu adalah bawaan dari Tuhan, ke sanalah kita akan kembangkan dia, bukan sesuai dengan rancangan kita.
GS : Berarti setiap orang tua itu diharapkan sudah siap mental sebelum anak itu lahir ke dunia. Tapi tetap masih boleh punya harapan-harapan, Pak Paul?
PG : Tetap boleh asalkan memang bisa dicapai oleh si anak. Nah, saya kira kita sekarang sedang membicarakan hal yang spesifik, bukan hal yang umum seperti kita mengharapkan anak kita baik, tdak nakal, itu harapan umum.
Tapi yang secara spesifik memang kita biasanya mempunyai harapan tersembunyi. Ibu Ida bagaimana sebagai orang tua?
IR : Jadi harus belajar menerima anak apa adanya, dan mengarahkan sesuai dengan bakat dia.
PG : Betul. Kita kadang-kadang susah menerima anak itu kalau anak itu mencerminkan kelemahan kita. Tadi dalam kasus yang berkenaan dengan diri saya sendiri, saya menganggap kelemahan secara isik adalah hidung saya.
Justru saya ingin supaya anak-anak saya tidak ada yang seperti saya. Ternyata ada yang seperti saya, kenapa saya tidak mau? Sebetulnya bukan supaya anak itu tidak menderita, salah satu motivasi saya adalah supaya tidak ada lagi yang lemah dalam keluarga saya, tidak ada lagi yang harus merasa malu dengan anggota tubuhnya itu. Jadi adakalanya kita ini kecewa dengan anak karena anak kita itu seolah-olah menyingkapkan kelemahan kita kepada dunia luar, itu yang tidak kita inginkan.
GS : Tapi apakah kekecewaan seperti itu bisa berkembang lagi dengan menyalahkan, karena itu ciptaan Tuhan?
PG : Bisa kalau kita memang memiliki konsep yang salah tentang Tuhan. Sebab anak itu memang titipan Tuhan dan apa yang dia bawa adalah dari Tuhan, namun tidak berarti Tuhan mempunyai rencanayang tidak baik untuknya.
Meskipun kita melihat tidak seperti yang kita inginkan, belum tentu itu tidak baik baginya. Sebab kita harus selalu ingat bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana yang indah untuknya, seperti juga untuk kita. Jadi Tuhan adalah Tuhannya pula, Tuhan Yesus bukan hanya Tuhan kita tapi Tuhan anak kita pula.
GS : Memang kalau secara fisik itu, kita tidak bisa merubah atau mungkin kalau mau dipaksakan bisa dengan operasi plastik dan sebagainya, tetapi itu terlalu jauh. Ada hal-hal yang sebenarnya itu bisa kita ubah Pak Paul, misalnya dalam hal anak memilih hobynya atau jurusan pendidikannya, sebenarnya sampai sejauh mana orang tua itu boleh mengintervensi anak?
PG : Kita harus mengenali kemampuan si anak, karunia si anak itu dengan cara apa. Dengan cara memberikan kesempatan. Salah satu cara untuk mengetahui anak itu mempunyai karunia atau tidak unuk bidang tertentu adalah dengan memintanya untuk mencoba.
Tidak apa-apa, misalkan kita ini belum tahu anak kita berbakat musik atau tidak, silakan ajarkan dia musik. Dalam perkembangannya kita lihat apakah dia memang bisa atau tidak, kalau memang tidak bisa dan tidak berminat kita relakan. Terus kita coba lagi untuk hal yang lain, misalnya olah raga kita minta dia untuk ikut lagi jadi kita harus mencoba dan uji coba, ini berlangsung bukan hanya seminggu atau dua minggu bisa bertahun-tahun.
GS : Jadi di sana dibutuhkan pengamatan orang tua terhadap anak?
PG : Betul, pengamatan sekaligus juga pendengaran yang baik yaitu berbincang-bincang dengan si anak agar kita tahu minat si anak apa yang dia sungguh-sungguh senangi begitu.
GS : Masalahnya kalau kita sudah punya konsep, walaupun itu salah, Pak Paul, kita cenderung untuk memaksakan itu kepada si anak. Konsep saya adalah anak saya itu menjadi pemain piano misalnya tadi yang Pak Paul katakan, dengan berbagai cara saya akan paksakan dia untuk jadi pemain piano.
PG : Kalau dia tidak mempunyai bakat ya kasihan si anak, kalau si anak itu memang punya bakat tidak apa-apa. Saya masih ingat saya pernah punya teman yang memang sekarang menjadi dokter, ters saya bertemu dengan ibunya.
Ibunya berkata, ibunya seorang suster/perawat, anak saya memang sudah saya didik untuk menjadi dokter. Si ibu itu benar-benar mendorong si anak untuk mencapai gelar dokter. Tapi anak itu memang pandai dan dia mampu, ibunya pun perawat jadi memang rupanya ada bakat ke arah itu. Kalau anak itu tidak berbakat kasihan sekali, dampak-dampaknya adalah si anak merasa tertolak lagi di situ.
IR : Jadi bagi setiap orang tua harus rela kalau memang itu tidak sesuai dengan kemampuan anak, kita harus dengan besar hati menerima apa yang diinginkan anak ya, Pak Paul?
PG : Ya, seringkali memang harus ada keseimbangan juga ya Bu Ida, misalkan dia ingin mengambil suatu bidang yang kita tahu sulit untuk dia kembangkan dan sulit untuk dia gantungkan sebagai mta pencahariannya.
Adakalanya memang kita harus berpikir praktis pula, tidak bisa terlalu idealis. Nah yang bisa kita lakukan adalah bukannya melarang dia memasuki bidang tersebut, tapi kita bisa mendorong dia untuk misalnya mengembangkan keterampilan yang mungkin dia juga sukai, meskipun tidaklah sebesar bidang yang pertama itu. Jadi kesukaannya pada bidang yang kedua sedikit lebih rendah tapi tidak apa-apa, yang penting adalah kita tidak melarangnya memasuki bidang tersebut. Namun kita minta dia untuk juga mengembangkan bidang yang lainnya, yang lebih praktis maksud saya sehingga akhirnya dia bisa mendapatkan juga mata pencaharian itu.
GS : Tetapi kalau hal yang agak lebih serius, kita bicara tentang anak-anak kita yang sudah mulai menjadi dewasa dalam hal mereka berpacaran kita pun sebagai orang tua punya idealisme tertentu, saya mengharapkan menantu saya itu seperti ini. Ternyata yang dipilih itu berbeda dengan apa yang kita harapkan, mungkin berbeda agama, suku, tingkat sosial yang kita harapkan. Sampai sejauh mana yang kita bisa ungkapkan kepada anak kita?
PG : Idealnya adalah kita mulai memberitahukan anak apa itu yang menjadi suami atau istri yang baik, ciri-ciri apa yang baik. Kita sudah melakukan itu sejak anak kecil, sebetulnya kita sudahmulai berkomunikasi dengan dia, suami yang baik seperti apa, istri yang baik seperti apa.
Informasi ini akhirnya akan mulai tertanam pada diri si anak dan pada waktu nanti dia mencari pasangan hidup, tanpa dia sadari informasi ini menjadi seperti panduan, pedoman baginya yang akan mengarahkannya untuk mendapatkan seperti yang kita inginkan. Kalau dia menemukan yang sama seperti yang kita inginkan sebetulnya dia akan senang karena dia tahu ini akan menyenangkan hati orang tuanya. Kalau dia kebetulan jatuh cinta dengan yang tidak disetujui orang tua dan dia tahu orang tua pasti menolak, sebetulnya dalam diri dia sendiri ada konflik itu. Nah kadang kala kita berpikir anak itu sengaja mendapatkan pasangan yang tidak kita kehendaki, tapi sebetulnya hampir semua kasus yang saya kenal, yang saya ketahui, mereka tidak sengaja memilih orang seperti itu, kebetulan saja jatuh cinta dengan orang seperti itu. Jadi memang cara untuk mengaturnya, membimbing dia itu perlu sekali penanganan yang khusus dan kelembutan. Betul sekali kata Pak Gunawan, kita akhirnya memang bisa kecewa dengan pilihan anak kita, saya hampir percaya bahwa pada umumnya orang tua itu pada awalnya kecewa dengan pilihan anaknya. Saya hampir percaya itulah yang terjadi.
GS : Kenapa bisa terjadi seperti itu, Pak Paul?
IR : Justru memilih orang yang tidak sesuai dengan selera.
PG : Pertama, kita cenderung mengukur orang dengan diri kita. Kedua, kita cenderung menginginkan anak kita lebih bahagia daripada kita, jadi kita cenderung menginginkan anak kita memilih pasngan hidup yang lebih baik daripada kita dan hidupnya nanti akan lebih baik daripada hidup kita sekarang ini.
(3) GS : Lalu mengatasi kekecewaan itu bagaimana Pak Paul, kalau kenyataannya tidak sesuai dengan harapan kita misalnya tidak seiman, banyak hal yang tidak sesuai?
PG : Saya kira kita harus mengkomunikasikan seperti apa adanya bahwa kita tidak setuju karena hal-hal ini. Nah sebaiknya dan seharusnyalah yang kita komunikasikan itu seturut dengan Firman Than, jadi bukan karena selera pribadi kita, tapi memang sesuai dengan yang Tuhan kehendaki.
Misalnya menikah dengan yang tidak seiman sebab Firman Tuhan jelas meminta kita menikah dengan yang seiman, bukan dengan yang tidak seiman. Jadi alasan itulah yang kita sajikan kepada dia, waktu kita mulai menyajikan alasan-alasan yang di luar Alkitab tapi memang mengandung kebenaran kita mesti berhati-hati. Misalkan anak yang ingin menikah dengan seorang wanita yang sakit-sakitan, si orang tua tahu bahwa nanti si anak akan menderita menikah dengan wanita ini karena tubuhnya yang lemah. Terus kita katakan kamu jangan menikah dengan dia nanti kamu akan menderita. Nah si anak yang dalam usia muda dan sedang jatuh cinta tidak bisa mengerti perkataan kita. Saya kira reaksi yang pertama kali muncul dari bibirnya adalah "Papa-Mama kok begitu sebagai orang Kristen, bukankah Papa-Mama mengajarkan kepada saya harus mengasihi orang yang lemah. Nah sekarang ini orang lemah kenapa saya tidak boleh mengasihi dia?" Nah, memang dalam kondisi yang idealis seperti itu anak tidak mungkin mengerti yang kita katakan. Jadi cara kita mengkomunikasikan konsekuensi pernikahannya jangan dalam bentuk larangan seperti itu, karena sudah pasti mengundang reaksi yang keras dari dirinya. Yang bisa kita lakukan adalah, dalam percakapan sekali sekali kita bisa berkata kepada dia, "Anakku saya harap kamu akan siap," "Siap apa, Pa, siap apa, Ma?" "Siap untuk kamu berkorban, itu yang saya minta. Saya tahu kamu mencintai dia dan kamu mau menikahi dia silakan, dia anak yang baik, tapi memang tubuhnya lemah. Nah akan banyak hal yang nanti kamu ingin lakukan tidak bisa kamu lakukan karena istrimu lemah, kamu harus siap berkorban." Hal seperti itu, dengan cara-cara seperti itulah si anak dibuat berpikir, , jadi bukannya dia menerima serangan dari orang tua justru orang tua seolah-olah mencerahkan pikirannya sehingga lebih terbuka wawasannya, itu lebih efektif.
GS : Itu berarti bahwa kekecewaan itu tidak perlu kita sembunyikan tapi kita komunikasikan dengan anak-anak kita itu. Kalau kita punya harapan seperti ini tetapi yang dia lakukan seperti itu Pak Paul, sambil memberikan arahan lagi. Tetapi kalau arahan itu ditolak, kekecewaan kita makin bertambah.
PG : Dan kita harus terima itu, sebab anak itu yang mempunyai kehendak sendiri dan pada akhirnya semua orang tua menyadari bahwa anak itu terpisah dari dirinya. Kita cenderung berpikir bahwaanak itu tetap terikat dengan kita dan masih bersambungan dengan kita.
Tapi pada akhirnya kita harus sadari dia adalah seorang individu yang bebas.
GS : Atau mungkin kita perlu mengevaluasi lagi apakah harapan kita itu memang realistis ya Pak Paul, apakah yang kita harapkan itu sesuatu yang realistis kadang-kadang harapan kita itu 'kan tidak realistis. Sehingga sekalipun dikomunikasikan, dinasihati tetap ditolak karena memang bukan salah yang menolak tapi salah yang menuntut. Jadi di dalam mengatasi kekecewaan ini Pak Paul, selain tadi kita bisa komunikasikan dsb, apakah ada langkah lain yang bisa kita ambil?
PG : Saya kira langkah yang pertama adalah kita harus mengevaluasi tuntutan dan harapan kita. Tadi saya sudah singgung tentang konsep perpanjangan diri, perpanjangan diri sebetulnya bersumbe dari satu hal, Pak Gunawan dan Ibu Ida, yaitu kita belum bisa menerima diri kita atau keadaan kita apa adanya.
Sebabnya adalah kalau kita sudah menerima apa adanya diri kita, kita tidak merasa perlu untuk membuat anak itu sebagai perpanjangan diri kita. Untuk meraih tujuan yang kita dambakan, tidak perlu lagi jadi saya kira banyak orang tua yang harus berdamai dengan dirinya terlebih dahulu yaitu bersedialah menerima diri sehingga tidak menjadikan anak sebagai perpanjangan diri atau ada yang pakai istilah anak itu adalah untuk meningkatkan kehidupan kita atau nama baik kita, meninggikan reputasi kita dsb. Kalau kita sendiri sudah bisa terima apa adanya, anak akan bertumbuh dengan bebas, tidak dibebani lagi misi untuk mengangkat harkat atau nama baik orang tuanya. Anak tidak berkewajiban mengangkat harkat orang tuanya, orang tua wajib mengangkat nama baik kita sendiri.
IR : Tapi orang tua juga menuntut anak melakukan kebenaran Firman Pak yang seringkali justru ditolak, bagaimana itu Pak Paul? Boleh kalau orang tua itu menuntut anak berbalik pada Tuhan. Jadi kalau memutuskan sesuatu itu yang sesuai dengan Firman Tuhan, apakah itu salah?
PG : Tidak itu betul, jadi Firman Tuhan di kitab Ulangan yang meminta kita untuk mengajarkan ketetapan Tuhan pada waktu kita tidur, bangun, berjalan, duduk yang semuanya mengandung satu artiyaitu kapan saja, di mana saja coba ajarkanlah tentang Firman Tuhan, jadi silakan.
Namun yang penting juga Bu Ida bagaimana kita menyampaikannya, sebab pada anak-anak yang sudah remaja atau menginjak usia dewasa, instruksi-instruksi tidak bisa efektif lagi, anak itu tidak lagi tanggap terhadap perintah-perintah orang tua. Jadi yang lebih cocok sistem bimbingan, kita minta dia ingat Tuhan, kita ingatkan dia untuk berdoa, membaca Firman Tuhan, kita ceritakan pengalaman kita dengan Tuhan, terus kita juga sampaikan kepada dia bahwa kita mendoakan dia setiap hari. Nah hal-hal itulah yang bisa kita lakukan, tetapi kalau kita perintahkan biasanya ditolak.
GS : Jadi mengenai kekecewaan Pak Paul, semua orang tua itu pada dasarnya mengharapkan anak itu menjadi anak yang baik dan seterusnya, tetapi tidak semua harapan itu bisa tercapai baik untuk kita, belum tentu baik untuk anak itu. Nah apakah ada pedoman Firman Tuhan yang bisa menguatkan kita sebagai orang tua di dalam membinanya?
PG : Saya akan bacakan dari Amsal 15:16-17. "Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan daripada banyak harta dengan disertai kecemasan. Lebih baik sepiring sayu dengan kasih daripada lembu tambun dengan kebencian."
Jadi saya kira intinya adalah tuntutlah sesimpel mungkin, harapkanlah sesederhana mungkin, nah yang sederhananya itu apa? Saya kira tuntutan nomor satu adalah yang paling sederhana anak kita itu bisa kenal Tuhan Yesus, hidup dan takut akan Tuhan. Jadi Firman Tuhan memang menegaskan lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan daripada banyak harta dengan disertai kecemasan. Tuntutlah sesederhana mungkin yaitu yang lebih bersifat kehidupan secara pribadi, karakternya, kehidupan moralnya Untuk hal-hal yang lainnya kita hanya bisa menggiring, mengarahkan dia. Dia mau capai kita senang, dia tidak mencapai kita coba mencarikan jalan yang lain bagi dia. Saya kira orang tua semakin anak besar semakin harus melepaskan genggamannya, kalau tidak dia akan kecewa berat.
GS : Supaya dia pun terbentuk sesuai apa yang Tuhan inginkan dan tugas kita sebagai orang tua adalah memberikan suasana atau kondisi yang memungkinkan anak itu bertumbuh. Sekalipun itu tidak sesuai dengan harapan-harapan kita sendiri ya Pak Paul. Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kasihi kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang kekecewaan dan harapan orang tua terhadap anak bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK dengan alamat Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami mengucapkan banyak terima kasih untuk surat-surat yang sudah dikirimkan kepada kami, namun saran-saran pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
Comments
Anonymous (tidak terverifikasi)
Kam, 24/12/2009 - 7:34pm
Link permanen
thanks..