TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://m.telaga.org)

Depan > Memilih Pasangan Hidup II

Memilih Pasangan Hidup II

Kode Kaset: 
T312B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Dalam memilih pasangan hidup, janganlah kita tergesa-gesa atau berpikir singkat tanpa ada pertimbangan-pertimbangan matang. Kita harus ingat bahwa pasangan yang akan kita pilih menjadi pendamping kita adalah orang yang akan menemani kita seumur hidup kita, untuk itu jangan sampai salah pilih pasangan. Kita harus memikirkan kriteria yang bagaimana yang disetujui Alkitab ? Dan bagaimana cara-cara untuk bisa mendapatkan pasangan dengan tepat ?
Audio
MP3: 
3.60 MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip
[memilih_pasangan_hidup_2] =>
Lengkap

Hidup Tanpa Penyesalan -"Memilih Pasangan Hidup" (II)

oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu, kami sedang membuat suatu perbincangan berseri tentang Hidup Tanpa Penyesalan dan pada kesempatan terdahulu kami membicarakan tentang"Memilih Pasangan Hidup" bagian yang pertama. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kita sudah membicarakan tentang beberapa hal dari memilih pasangan hidup yang kalau keliru dapat menimbulkan penyesalan pada masa tua kita. Sebelum kita melanjutkan perbincangan ini mungkin Pak Paul bisa mengulas sedikit mengenai apa yang sudah kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau.

PG : Kita mau belajar untuk hidup dengan bijaksana supaya tidak harus nanti di masa tua menuai penyesalan. Bagian pertama yang kita fokuskan adalah dalam hal memilih pasangan hidup. Yang saya tkankan adalah seringkali kita terlalu cepat memilih pasangan hidup, maka kita perlu berhati-hati jangan sampai bernafsu dan terlalu beriman atau merohanikan segalanya dan jangan sampai menyederhanakan masalah atau ada orang yang memang memasuki pernikahan dengan motivasi yang tidak murni untuk mendapatkan sesuatu atau ada juga yang karena tidak bisa menjaga diri dan akhirnya hamil di luar nikah sehingga harus menikah.

Kita belajar bahwa kita harus menjaga diri terhadap semua itu agar pada akhirnya bisa memilih pasangan dengan hati-hati.
GS : Pada bagian yang kedua ini kita akan membicarakan tentang apa, Pak Paul ?

PG : Kita akan belajar yaitu beberapa nasehat bagaimana memilih pasangan hidup dan jangan sampai kita jatuh ke dalam kesalahan terlalu cepat, jadi kita akan bahas beberapa panduan untuk menolon kita memilih.

GS : Yang pertama apa, Pak Paul ?

PG : Yang pertama yaitu yang paling penting adalah kita harus berdoa, Yakobus 1:5 berkata,"Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah". Daam hal memilih pasangan hidup kita tidak boleh terlalu percaya diri.

Ini adalah nasehat yang penting dan kita tidak dapat bersandar pada penilaian sendiri sebab pada dasarnya kita tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah dia akan menjadi pasangan yang serasi dengan kita, itu sebabnya dalam hal memilih pasangan hidup kita harus bergantung kepada Tuhan untuk menuntun kita.
GS : Kalau ini dikaitkan dengan bagian yang terdahulu tentang iman yang semu dalam berdoa, memang sudah berdoa tapi bisa bisa menjerumuskan seseorang karena dia sudah menyerahkan kepada Tuhan kemudian menganggap bahwa semua Tuhan yang mengatur, Pak Paul.

PG : Maka waktu kita berdoa kita meminta kepada Tuhan agar kita diberikan hikmat, hikmat agar kita bisa melihat dengan jelas. Ada begitu banyak hal yang harus dilihat pada masa perkenalan, tanp pertolongan Tuhan maka kita tidak akan dapat melihat dengan mata yang jernih.

Jadi jangan sampai kita membalikkan proses ini, yaitu kita malas berdoa dan baru berdoa setelah bertemu dengan seseorang yang kita sukai, tapi kita harus mendoakan hal ini dan meminta hikmat Tuhan sebelum dan bukannya sesudah kita bertemu dengan orang yang kita sukai. Kalau kita baru berdoa setelah menjumpai seseorang yang kita sukai maka ada kemungkinan kita tidak lagi dapat secara objektif mendengar tuntunan Tuhan oleh karena perasaan kita sudah terlanjur menyukainya. Dan waktu kita berkata,"Tuhan tuntun saya, Tuhan biar kehendak-Mu yang jadi" maka kita tidak buru-buru menerkam orang dan memastikan dia pastilah istri atau suami kita, tidak ! Sebab kita masih mencari kehendak Tuhan, mental masih mencari kehendak Tuhan membuat kita tidak melangkah tergesa-gesa dan mengatakan,"Ini pasti dari Tuhan" tidak seperti itu ! Tapi kita terus meminta kepada Tuhan untuk memberi kita hikmat melihat lagi dan melihat lagi, membandingkan dan bertanya dan melihat lagi. Mintalah hikmat supaya mata kita jelas melihat apa yang kita sedang hadapi.
GS : Sebenarnya dalam hal ini dia perlu berdoa sendirian, Pak Paul, karena ada orang tua yang siap untuk mendoakan anaknya, masih ada pembina rohani dan sebagainya. Di sini memungkinkan orang tua atau pembina rohani berdoa syafaat di dalam memilih pasangan hidupnya, Pak Paul.

PG : Saya setuju sekali. Jadi kita bisa mengundang atau meminta beberapa orang untuk mendoakan kita pula, sebab ini yang saya lihat di dalam pengalaman, ada orang-orang yang meminta baik saya aau orang lain mendoakannya dalam masa perkenalan ini.

Kemudian di tengah jalan ada saja yang terjadi sehingga akhirnya dia melihat dengan lebih jelas,"Ternyata ini bukan". Waktu mereka konsultasikan lagi memang sepertinya bukan karena orangnya seperti ini dan sifatnya begitu. Ada juga yang dalam perjalanan akhirnya putus karena di pihak sana tidak ada angin dan tidak ada hujan ingin putus. Jadi waktu kita berdoa meminta Tuhan menuntun kita maka Dia akan menuntun kita dan Dia akan memberikan kepada kita sinyal-sinyal kehendak-Nya sehingga dari jauh kita bisa melihat ini adalah sinyal-sinyal Tuhan. Kalau misalnya setelah kita berdoa kita semakin sering bertengkar dan ketika semakin kenal malah semakin sering bertengkar, maka bukalah mata mungkin Tuhan sedang menunjukkan kepada kita kalau dia bukanlah orangnya. Jadi kita harus meminta Tuhan untuk memberi kepada kita hikmat, agar kita bisa mengambil keputusan yang tepat. Kadang kita tahu apa yang baik dan buruk namun kita tidak memilih yang baik jadi kita harus berdoa meminta hikmat untuk memutuskan apa yang baik dan bukan apa yang menarik. Ingat kebaikan bertahan selamanya sedangkan daya tarik hanyalah bertahan untuk sesaat.
GS : Ada orang yang tidak sabar dengan jawaban Tuhan atas doa-doanya, seolah-olah memang Tuhan tidak menjawab sehingga dia mengambil keputusan sendiri, kalau memang Tuhan tidak menjawab maka dia menikah saja dan nanti resikonya ditanggung belakangan.

PG : Memang akhirnya dia tidak mau memusingkan apa yang Tuhan kehendaki atau yang Tuhan lakukan dan dia langsung memutuskan sendiri dan sudah tentu itu yang keliru. Waktu kita berdoa berarti kia siap menantikan Tuhan.

Jadi kalau kita berdoa tapi terus saja kita melakukan yang kita mau lakukan, maka apa artinya berdoa. Artinya berdoa adalah menunggu dulu dan melihat dulu, apakah Tuhan membukakan jalan, Tuhan memberikan konfrontasi atau tidak. Mentalitas yang seperti itu yang diperlukan. Jadi bukannya basa-basi mengucapkan dosa, tapi benar-benar hati yang siap untuk menunggu dan melihat Tuhan menunjukkan kehendak-Nya dan barulah memastikan.
GS : Sebenarnya hikmat Allah yang sangat dibutuhkan dalam hal ini seperti apa, Pak Paul ?

PG : Hikmat bagi saya adalah yang pertama sebuah keyakinan bahwa ini adalah berkenan kepada Tuhan dan ini bukanlah sesuatu yang melawan atau tidak memuliakan Tuhan. Sebagai contoh misalnya kitasedang menimbang-nimbang apakah harus bersama orang ini atau tidak, tapi kita harus jelas kalau orang ini tidak bertanggung jawab, tidak memunyai keinginan untuk bekerja, hidupnya juga sering dihabiskan di club malam, sedangkan kita adalah seorang Kristen dan aktifis di gereja melayani Tuhan dan kemudian kita tanpa pikir panjang langsung menikah.

Orang itu tidak berhikmat, hikmat seharusnya berkata bahwa,"Ini tidak memuliakan Tuhan, jadi jangan ! Yang tidak berkenan kepada Tuhan seharusnya jangan". Hikmat pertama harus membawa kita hidup berkenan kepada Tuhan, jadi kalau sudah tidak berkenan dan memuliakan Tuhan berarti jangan dilakukan. Juga hikmat untuk melihat apakah kita bisa serasi atau tidak, karena ini juga perlu hikmat dan biasanya Tuhan tunjukkan hal itu lewat perjalanan masa perkenalan kita. Kalau makin hari berkenalan dan sepertinya makin serasi, makin cocok dan kasih sayang makin bertumbuh maka saya percaya hikmat akan berkata,"Orang ini memang serasi dengan kita".
GS : Hal lain yang perlu kita perhatikan apa, Pak Paul ?

PG : Kita harus memilih yang sesuai dengan kriteria Tuhan yaitu yang seiman. Firman Tuhan di 2 Korintus 6:14 menegaskan,"Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orangyang tak percaya.

Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?". Tuhan tidak meminta banyak, tapi Tuhan meminta kita untuk menikah dengan yang seiman. Sewaktu kita menaati kehendak Tuhan itu berarti kita menghormati-Nya. Saya akui bahwa keharmonisan pernikahan tidak hanya ditentukan oleh kesamaan iman tapi tak dapat disangkal iman kepercayaan memainkan peranan penting dalam kehidupan pernikahan, itu sebabnya ketidaksamaan iman dapat menimbulkan masalah dalam pernikahan. Keputusan kita menikah dengan yang seiman merupakan wujud ketaatan kepada perintah Tuhan dan saya percaya Tuhan akan memberkati anak-anak-Nya yang mengutamakan-Nya.
GS : Yang Pak Paul katakan seiman, itu belum tentu segereja atau sudah sama-sama di baptis ?

PG : Jadi benar-benar memang hidup di dalam Tuhan dan benar-benar memunyai kasih kepada Tuhan. Apa maksud memunyai kasih kepada Tuhan ? Jadi benar-benar mencoba mengutamakan Tuhan di dalam hidunya, di dalam pengambilan keputusan maka dia akan berdoa dan dia akan menunggu Tuhan dan dia akan mengikuti jalan yang benar yang Tuhan tunjukkan.

Hidup di dalam Tuhan juga berarti dia memang tidak lagi mementingkan diri, jadi egonya mengecil tapi dia bersedia mau mendengarkan dan bersedia berubah. Jadi kalau ada orang yang berkata,"Saya hidup di dalam Tuhan" tapi egonya luar biasa besar, orang tidak bisa memberitahu dia berarti susah untuk Tuhan hidup di dalam dirinya, sebab egonya itu akan menguasai dirinya dan bukan Tuhan. Jadi saya kira dua kriteria itu yang saya gunakan untuk mengukur kerohanian seseorang.
GS : Yang seringkali terjadi adalah tingkat kedewasaan imannya yang berbeda, Pak Paul. Sudah sama-sama orang Kristennya dan segereja dan mungkin sama-sama melayani tapi yang satu lebih dewasa imannya daripada yang lain dan itu menimbulkan masalah di dalam keluarga.

PG : Betul sekali sebab memang pada akhirnya yang menyatukan kita adalah kesamaan kedewasaan iman kita, kalau yang satu terlalu rendah derajat kedewasaan imannya sudah tentu dia lebih mirip denan orang dunia yang tidak mengenal Tuhan.

Sehingga akhirnya sedikit banyak akan mengganggu dan menghambat perjalanan hidup kita, belum lagi nanti menimbulkan konflik dalam hal-hal yang tertentu misalnya dalam hal memberikan persembahan, ada orang yang tidak rela untuk memberikan persembahan kepada Tuhan lewat gerejanya dan berkata,"Kenapa terus memberi, enak sekali orang-orang itu". Kita sudah menjelaskan kalau itu perintah Tuhan dan dia tidak lagi bisa menerimanya. Atau kita mau melayani Tuhan dan kita terlibat di dalam paduan suara dan sebagainya itu berarti di hari biasa kita akan pergi untuk berlatih dan kemudian dia marah,"Kenapa harus latihan paduan suara dan kenapa harus ikut-ikut yang seperti itu, kamu tidak perlu ikut-ikut seperti itu, kamu sudah cukup satu minggu sekali ikut ke gereja dan jangan tambah-tambah lagi". Sekali lagi kita melihat ketidaksamaan di dalam hal kedewasaan rohani nantinya berpotensi untuk menciptakan masalah.
GS : Ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan ?

PG : Yang lain adalah kita harus siapkan diri dalam hidup ini, kita harus mulai mengajukan beberapa pertanyaan yang tepat. Saya akan bahas satu persatu, yang pertama adalah kita harus bertanya,Apakah kita mau menjadikan dia ayah atau ibu dari anak-anak kita ?" Ini pertanyaan yang sederhana, tapi lewat pertanyaan ini sebetulnya kita ingin memastikan bahwa dia memang sudah siap menjadi orang tua, karena tidak selalu orang siap menjadi ayah dan ibu, ada orang yang lebih mementingkan dirinya, mau pergi-pergi, pelesir, studi, karier dan tidak mau memikirkan anak dan sebagainya.

Jadi kita bertanya"Apakah dia siap menjadi orang tua ?". Kedua kita mau memastikan lewat pertanyaan ini,"Apakah dia seorang yang baik", apakah dia orang yang baik sehingga kita mau agar anak-anak kita memunyai ayah seperti dia, memunyai ibu seperti dia, sehingga anak-anak kita bisa meneladani orang tuanya dan"Apakah dia dapat menjadi suri tauladan bagi anak-anak kita memberikan teladan atau contoh kehidupan yang memang sehat". Kalau marah tidak membanting-banting barang, kalau ada masalah tidak menyalah-nyalahkan orang. Itu adalah kematangan kehidupan yang dapat menjadi suri tauladan bagi anak-anak kita, maka kita harus melihat anak-anak kita akan melihat apa pada dirinya. Dan yang terakhir berkaitan dengan apakah kita mau menjadikan dia ayah atau ibu dari anak-anak kita yaitu apakah dia bisa mengasuh anak. Artinya kalau dia tidak mau pusingkan anak dan tidak mau mengurus anak berarti dia tidak bisa mengasuh anak dan semua menyuruh orang untuk mengerjakan. Jadi ini salah satu karakter yang diperlukan untuk menjadi ayah dan ibu adalah siap mengalah dan siap mengesampingkan kepentingan pribadi dan mendahulukan kepentingan anak di atas kepentingan pribadi. Jadi jikalau pasangan kita adalah orang yang egois, maka dia tidak mungkin menjadi ayah atau ibu yang baik bagi anak-anak kita.
GS : Padahal ada beberapa pasangan yang menikah dengan suatu kesepakatan bahwa mereka tidak mau memunyai anak atau mungkin hanya satu anak saja.

PG : Saya ingin tahu kenapa ? Sebab persoalannya yang penting bagi saya bukanlah mau punya anak atau tidak mau punya anak, tapi yang ingin saya tanyakan adalah alasannya. Kalau orang memunyai lasan tidak ingin punya anak karena tidak ingin direpotkan oleh anak, maka saya akan langsung berpikir apakah kemungkinan orang ini adalah orang yang memang egois yang hanya memikirkan dirinya sendiri.

Atau orang ini berkata,"Jangan punya anak dulu karena kita ini belum sanggup secara ekonomi dan keuangan kita masih berantakan jadi janganlah memaksa-maksa punya anak sekarang ini". Jadi saya mau melihat alasannya kenapa orang ini belum siap untuk punya anak.
GS : Padahal sudah siap menikah ?

PG : Betul. Jadi kalau memang sudah siap menikah tapi kalau secara ekonomi belum siap maka dia mau menunggu beberapa tahun lagi, saya setuju. Tapi jangan sampai kita keliru menilai orang bahwa lasannya sebetulnya tidak memikirkan orang lain dan dia hanya memikirkan diri sendiri dan dia adalah orang yang egois.

GS : Biasanya yang menjadi bahan pertimbangan adalah nanti ke depannya, karena mereka sudah memperkirakan bahwa kalau nanti anak ini makin besar dan anaknya banyak maka makin berat kehidupan ekonomi mereka.

PG : Betul. Jadi kalau memang harus batasi misalnya hanya satu atau dua anak saja mengingat kondisi ekonominya terbatas, saya kira itu sebuah rancangan hidup yang bijaksana. Jadi sekali lagi watu saya bertanya,"Apakah dia akan dapat menjadi ayah atau ibu yang baik ?" memang penekanannya adalah seperti apa orangnya, apakah kita dapat berkata,"Anak-anak kita akan melihat seorang suri taulan dari pasangan kita ?" bahwa dia orang yang baik bahwa dia adalah orang yang memang mau mengasuh anak.

Jadi kita mau memastikan pasangan kita akan menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kita.
GS : Apakah itu cukup dengan kita melihat bagaimana sikapnya terhadap anak-anak kecil, Pak Paul. Misalnya terhadap keponakan kita atau adik-adik yang lebih kecil, bisakah seperti itu ?

PG : Bisa. Jadi itu adalah salah satu indikatornya bahwa dia memang orang yang memunyai perhatian kepada anak-anak namun lebih dari itu meskipun itu tadi bisa digunakan sebagai indikator. Secar keseluruhan apakah dia memang orang yang tidak egois dan orang yang memikirkan orang lain.

Jadi itulah yang kita gunakan sebagai ukurannya.
GS : Pertanyaan lain yang perlu diperhatikan apa, Pak Paul ?

PG : Yang berikut adalah apakah dia dapat menjadi anak dari orang tua kita ? Maksudnya adalah pertanyaan ini perlu diajukan sebab pernikahan bukan hanya menjadikan pasangan bagian dari hidup kia, tapi juga bagian dari keluarga besar kita.

Waktu kita menikah kita masuk ke dalam keluarga pasangan kita. Jadi kita harus tanya kira-kira pasangan kita bisa diterima oleh keluarga kita dan dapatkah dia menjadi anak dari orang tua kita, bisa masuk atau tidak ? Karena seseorang yang terlalu berbeda sehingga sulit diterima oleh keluarga, seringkali akhirnya menjadi duri dalam relasi kita dengan keluarga kita sendiri. Jadi sedapatnya memang kita mesti mengajukan pertanyaan itu. Saya tidak berkata kalau pertanyaan ini adalah harga mati, sudah tentu tidak sebab orang tua kita bukanlah Tuhan dan kadang memunyai kelemahan atau kesalahan tertentu sehingga menuntut orang tertentu untuk boleh menjadi menantunya. Jadi kita harus melihat apakah orang tua kita memang berjalan di jalan yang benar juga. Namun secara umum saya harus akui bahwa kalau kita menikah dengan seseorang yang akhirnya sulit diterima oleh keluarga kita, menjadi duri dan ini sudah saya saksikan berkali-kali. Waktu menjadi duri dalam relasinya dalam keluarga sudah tentu dia sendiri tidak bahagia dan akhirnya hubungan dia sendiri dengan suami atau istrinya bermasalah juga, akhirnya sering timbul keributan sebab perasaan hatinya atau suasana hatinya tidak enak akhirnya ada lagi masalah dan orang tuanya berkata begini, suami atau istrinya berkata begitu tentang orang tuanya dan akhirnya tidak ada kedamaian di dalam rumah tangga.
GS : Memang yang sempat Pak Paul singgung adalah kadang-kadang bukan pemuda-pemudi ini yang bermasalah, tapi orang tuanya yang bermasalah yang tidak bisa menerima itu, tapi ini tetap menjadi masalah dan kalau dilanjutkan bisa menjadi duri.

PG : Dan kalau misalnya kita berkata apalagi dapat informasi dari orang-orang lain yang dewasa di dalam Tuhan bahwa memang orang tua kita yang salah dalam penentuan menantunya. Tapi kita harus iap bayar harganya karena ini nanti akan menjadi duri di dalam relasi kita dengan orang tua kita atau dengan keluarga kita.

Dan satu lagi yang lain, kalau misalnya pasangan kita juga tidak bisa menerima orang tua kita atau keluarga kita apa pun alasannya, ini juga bisa menjadi duri dalam hubungan kita dengan dia, sebab kita produk orang tua kita. Jadi apapun yang dia tidak sukai pada orang tua kita, mungkin sebagian ada di dalam diri kita. Jadi kalau dia tidak bisa menerima orang tua atau keluarga kita maka ada hal-hal tentang diri kita yang dia tidak bisa terima karena mirip dengan apa yang dilihatnya pada orang tua kita.
GS : Bagaimana kalau ketidakcocokan terjadi di tingkat orang tua dengan orang tua, Pak Paul ? Jadi calon besan tidak bisa akrab.

PG : Dan sudah tentu itu akan menjadi duri di dalam relasi nikah, karena secara teoritis kita bisa berkata ini urusan orang tua dan bukan kita, tapi kita adalah bagian dari orang tua kita. Dan aktu kita mendengar pihak yang sana mencela orang tua kita dan kita merasa celaan itu tidak benar maka kita marah, dan kita marah kepada siapa ? pasti kita marah kepada pasangan kita dan tidak mungkin kita marah kepada mertua kita.

Pasangan kita tidak suka,"Kenapa kamu membela orang tuamu, kalau orang tua saya berbicara seperti ini pasti ada sebabnya dan sebabnya seperti ini" dan akhirnya kita ikut ribut. Meskipun ini bukan penentu kita menikah atau tidak menikah dengan dia tapi tetap ini hal yang patut dipertimbangkan dengan masak.
GS : Itu untuk suatu budaya atau etnis tertentu atau berlaku untuk umum,Pak Paul ?

PG : Sudah tentu dalam budaya yang lebih mandiri dan tidak memusingkan orang tua seperti budaya di Barat, sudah tentu budaya ini tidak terlalu relevan, tapi yang relevan adalah yang tadi saya sbut yaitu kalau pasangan kita tidak menerima pasangan atau keluarga kita mungkin dia harus lebih seksama melihat kita sebab siapa tahu ada hal-hal dari orang tua kita yang ada pada kita.

Jadi kalau dia tidak bisa menerima orang tua kita mungkin dia pun sulit menerima diri kita.
GS : Mungkin masih ada pertanyaan lain yang harus kita perhatikan, Pak Paul ?

PG : Yang terakhir adalah kita harus bertanya,"Apakah kita siap dan dapat menjadikan dia orang yang paling penting dalam hidup kita ?". Ini pertanyaan yang memang penting,"Dapatkah atau siapkahkita menjadikan dia orang yang paling penting dalam hidup kita ?" Pernikahan menuntut kita mengutamakan pasangan di atas orang lain.

Jadi jika kira kurang mengasihinya atau tidak dapat menerima dirinya apa adanya kita pun tidak akan siap menjadikan dia orang yang paling penting dalam hidup kita. Singkat kata pertanyaan ini menolong kita untuk melihat dengan jelas seberapa besar kasih kita kepadanya, kalau kita sungguh mengasihinya maka kita akan menempatkan dia sebagai orang yang paling penting dalam hidup kita. Pertanyaan ini juga memaksa kita melihat apakah kita sungguh menghormatinya atau tidak, sebab kalau kita kurang menghormatinya, mustahil kita sependapat dan rela menempatkannya sebagai orang yang paling penting dalam hidup kita.
GS : Bagaimana supaya perasaan itu bisa tumbuh dalam diri kita, karena rasa hormat rasa respek harus ditumbuhkan artinya butuh ditumbuh kembangkan ?

PG : Sudah tentu awalnya harus tumbuh dengan alamiah dan kita tidak bisa mengatur, kalau kita melihat hal-hal yang indah di dalam dirinya otomatis kita ingin menghormatinya. Kalau kita melihat al-hal yang baik dalam dirinya dan dia baik kepada kita tidak bisa tidak cinta pun akan tumbuh lebih kuat lagi.

Jadi intinya adalah waktu kita mengasihinya dan menghormatinya kita juga mau menempatkannya sebagai orang yang paling penting di dalam pernikahan. Pernikahan menuntut komitmen yang eksklusif bahwa pasangan kita diperlakukan berbeda dari orang lain. Kalau kita tidak punya cinta atau hormat yang cukup kepadanya, maka kita tidak akan mau melakukan hal itu. Sedangkan pernikahan menuntut adanya penyerahan hidup yang total, kita hanya mau menyerahkan hidup secara total kepada orang yang kita kasihi dan hormati sehingga kita bisa mengutamakannya.
GS : Awalnya kita merasa dia patut dihormati dan sebagainya namun setelah menikah dia berubah, misalnya dia tidak lagi mengasihi kita karena sudah ada anak, yang dia kasihi di dalam hidupnya adalah anaknya dan bukan kita lagi sebagai pasangannya. Apalagi kalau nanti sudah bekerja dia mulai mencari orang lain untuk pendamping hidupnya, ini bagaimana, Pak Paul ?

PG : Kadang-kadang itu terjadi dan kalau itu yang terjadi memang merupakan konsekuensi logis, hal ini akan berubah dan kita tidak bisa lagi menghormatinya dan mungkin kita juga akan sulit mengaihinya seperti dulu lagi, sebab kita manusia dan kita memerlukan timbal balik dan kita melihat orang itu hidup terhormat, baik kepada kita dan barulah kita bisa bertumbuh.

Jikalau orang itu hidup tidak seperti yang kita inginkan tapi justru merusakkan hidup kita maka sulit bagi kita untuk menghormati dan mengasihinya.
GS : Kadang kita sulit untuk menilai seseorang, apakah dia menempatkan kita penting bagi dirinya atau tidak karena banyak hal yang penting bagi dia, mungkin keluarganya penting bagi dia dan mungkin kariernya penting bagi dia dan kita merupakan salah satu dari hal yang penting ini dan ini bagaimana, Pak Paul ?

PG : Meskipun kita adalah salah satu dari hal yang penting tapi mesti ada suatu komitmen bahwa ini akan menjadi relasi yang paling penting, sebab hanya satu relasi yang memang membuat kita menytu yaitu relasi suami dan istri, dan tidak ada relasi lain.

Jadi ini relasi yang paling intim, karena menyatukan dua manusia yang terpisah, maka seyogianyalah kita mengerti bahwa dia adalah orang yang paling penting makanya kita pun bersedia menyerahkan hidup kita sepenuhnya kepada dia.
GS : Dari pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan, sebenarnya kita bisa mengambil suatu kesimpulan layakkah dia menjadi pasangan hidup saya, atau pantaskah saya menjadi pasangannya, Pak Paul ?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Kita sudahi bagian yang pertama tentang memilih pasangan hidup dari suatu seri Hidup Tanpa Penyesalan. Namun kita melanjutkan dengan topik yang lain yang masih tetap bicara tentang Hidup Tanpa Penyesalan. Para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Memilih Pasangan Hidup" bagian yang kedua dalam suatu rangkaian seri tentang Hidup Tanpa Penyesalan. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id [2] kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Ada peribahasa yang berbunyi, "Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga." Kebanyakan kita berusaha untuk hidup sebaik mungkin supaya hidup tidak menyisakan penyesalan di hari tua. Namun pada kenyataannya tidak ada seorang pun yang dapat melewati hidup tanpa penyesalan. Seperti tupai yang terjatuh, kita pun tersandung dalam satu dua hal sehingga mesti menanggung penyesalan di hari tua. Berikut akan dipaparkan pelbagai ruang dalam kehidupan yang kerap menyisakan penyesalan. Mudah-mudahan melalui refleksi ini kita dapat menghindar dari kesalahan serupa sehingga kita tidak harus menyisakan penyesalan dalam hidup.

Norman Wright, seorang terapis keluarga di Amerika, menyimpulkan bahwa kebanyakan orang di Amerika lebih banyak memberi waktu untuk memersiapkan diri menghadapi ujian mengambil surat izin mengemudi dibanding memersiapkan diri untuk pernikahan. Pengamatan yang baik! Dan salah satu penyebab mengapa kita keliru memilih pasangan hidup adalah karena kita TERLALU CEPAT MENGAMBIL KEPUTUSAN. Jarang ada orang yang keliru memilih pasangan hidup oleh karena terlalu lama mengambil keputusan.

Berikut akan dipaparkan beberapa penyebab mengapa kita terlalu cepat mengambil keputusan :
  • Terlalu bernafsu.
    Mungkin kita bertemu dengan seseorang yang memenuhi profil pasangan yang kita dambakan. Tanpa pikir panjang, kita pun langsung memutuskan untuk menikah dengannya sebab bagi kita, perjumpaan itu ibarat durian runtuh. Kita melupakan fakta bahwa pernikahan didirikan di atas pengenalan yang mendalam, bukan perkiraan belaka. Pada umumnya kita mendasarkan keputusan seperti ini atas ketertarikan jasmaniah. Oleh karena ia begitu memikat, kita tidak lagi berpikir panjang. Kita ingin bersamanya dan tidak lagi memerhatikan perbedaan yang ada. Alhasil kita menuai badai dalam keluarga.
  • Beriman semu.
    Kita beranggapan bahwa Tuhan pastilah tidak akan membiarkan kita memilih pasangan yang salah dan siapa pun itu yang kita yakini sebagai orang yang disediakan Tuhan untuk kita, pastilah pasangan yang sesuai. Alhasil kita pun tidak lagi berhati-hati menilai dan tanpa menjalani masa berkenalan yang panjang, kita memutuskan untuk menikah. Memang benar Tuhan menuntun kita namun Ia pun menghendaki agar kita melakukan bagian kita yakni memastikan bahwa kita memang sepadan. Dalam pemilihan pasangan iman tidak menggantikan akal sehat. Kita tetap harus menjalani masa perkenalan dan penyesuaian. Keharmonisan bukanlah hasil dari doa semata; keharmonisan adalah buah dari kerja keras menyesuaikan diri satu dengan yang lain.
  • Menyederhanakan masalah.
    Mungkin kita sudah mulai merasakan bahwa ada perbedaan yang mendasar di antara kita namun kita menolak untuk menghadapi realitas. Kita beranggapan bahwa segala masalah pasti dapat diselesaikan asalkan kita saling mencintai. Kita pun beranggapan bahwa semua pernikahan mengandung masalah, jadi kita tidak perlu mengkhawatirkannya. Akhirnya kita pun harus berhadapan dengan masalah demi masalah. Ternyata masalah sederhana tidaklah sesederhana yang kita duga; pada akhirnya kita menemukan bahwa masalah demi masalah yang tak terselesaikan bertumpuk menjadi gunung masalah yang siap meletus.
  • Motivasi yang tidak murni.
    Mungkin kita menginginkan status nikah sebab sudah terlalu lama hidup membujang. Atau, kita menginginkan hartanya sehingga kita pun tergesa-gesa menikahinya. Bila kita menikah dengan motivasi tidak tulus, kita mendasari pernikahan atas ketidakjujuran. Dan ketidakjujuran merusakkan fondasi pernikahan yang penting yakni kepercayaan. Ia merasa diperdaya dan tidak lagi bisa menyerahkan hidup sepenuhnya kepada kita. Alhasil pernikahan pun retak.
  • Kehamilan.
    Ada banyak pasangan yang memutuskan untuk menikah karena kehamilan. Mereka pun memasuki pernikahan di dalam ketidaksiapan dan mesti menuai badai konflik. Sebetulnya mereka belum siap dan belum merencanakan untuk menikah pada saat itu. Namun kehamilan memaksa mereka untuk menikah. Akhirnya mereka merasa terjebak di dalam pernikahan; mereka saling menyalahkan dan melepaskan tanggung jawab.
Agar tidak menuai penyesalan kita harus memilih pasangan dengan bijak. Berikut adalah beberapa petunjuk bagaimana memilih pasangan hidup :
  • BERDOALAH.
    Yakobus 1:5 berkata, "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintanya kepada Allah . . . ." Di dalam hal memilih pasangan hidup kita tidak boleh terlalu percaya diri. Kita tidak dapat bersandar pada penilaian sendiri sebab pada dasarnya kita tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah ia akan menjadi pasangan yang serasi dengan kita. Itu sebabnya dalam hal memilih pasangan hidup kita harus bergantung kepada Tuhan untuk menuntun kita.
  • Jangan sampai kita malas berdoa dan baru berdoa setelah bertemu dengan yang kita sukai. Kita harus mendoakan hal ini dan meminta hikmat Tuhan sebelum—bukan sesudah—kita bertemu dengan orang yang kita sukai dan mintalah juga hikmat untuk memutuskan apa yang baik, bukan apa yang menarik. Ingatlah, kebaikan bertahan selamanya sedangkan daya tarik hanyalah bertahan untuk sesaat.
  • PILIHLAH YANG SESUAI DENGAN KRITERIA TUHAN: SEIMAN.
    Firman Tuhan di 2 Korintus 6:14 menegaskan, "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?" Tuhan tidak meminta banyak; Ia hanya meminta kita menikah yang dengan seiman. Sewaktu kita menaati kehendak Tuhan, itu berarti kita menghormati-Nya.
  • Saya akui bahwa keharmonisan pernikahan tidak hanya ditentukan oleh kesamaan iman namun tidak dapat disangkal, iman kepercayaan memainkan peran penting dalam kehidupan pernikahan. Itu sebabnya ketidaksamaan iman dapat menimbulkan masalah dalam pernikahan. Keputusan untuk menikah dengan yang seiman merupakan wujud ketaatan kepada perintah Tuhan. Dan, Tuhan akan memberkati anak-anak-Nya yang mengutamakan-Nya.
  • BERTANYALAH: APAKAH KITA MAU MENJADIKAN DIA AYAH ATAU IBU DARI ANAK-ANAK KITA?
    Lewat pertanyaan ini kita ingin memastikan bahwa memang (a) ia telah siap untuk menjadi orang tua, (b) bahwa ia adalah seorang yang baik, (c) bahwa ia dapat menjadi suri tauladan bagi anak-anak kita, dan (d) bahwa ia dapat mengasuh anak. Salah satu karakter yang diperlukan untuk menjadi ayah dan ibu adalah siap untuk mengalah atau mengesampingkan kepentingan pribadi. Sebagai ayah dan ibu kita mesti bersedia untuk mendahulukan anak di atas kepentingan pribadi. Jadi, jika egois, kita tidak dapat menjadi ayah dan ibu yang baik.
  • BERTANYALAH: APAKAH IA DAPAT MENJADI "ANAK" DARI ORANG TUA KITA?
    Pertanyaan ini perlu diajukan sebab pernikahan bukan hanya menjadikan pasangan bagian dari hidup kita tetapi juga bagian dari keluarga besar kita. Seseorang yang terlalu berbeda sehingga sulit diterima keluarga pada akhirnya akan menjadi duri dalam relasi kita dengan keluarga. Bila ia tidak dapat menerima keluarga besar kita, besar kemungkinan pada akhirnya ia pun akan sukar menerima diri kita apa adanya sebab sedikit banyak kita mewarisi sebagian sifat yang ada pada orang tua kita.
  • BERTANYALAH: APAKAH KITA SIAP DAN DAPAT MENJADIKAN DIA ORANG YANG PALING PENTING DALAM HIDUP KITA?
    Pernikahan menuntut kita untuk mengutamakan pasangan di atas orang lain. Jadi, jika kita kurang mengasihinya atau tidak dapat menerima dirinya apa adanya, kita pun tidak akan siap dan tidak akan ingin menjadikan dia orang yang paling penting dalam hidup kita. Singkat kata, pertanyaan ini menolong kita untuk melihat dengan jelas seberapa besar kasih kita kepadanya. Pertanyaan ini juga memaksa kita untuk melihat apakah kita sungguh menghormatinya atau tidak.
Pdt. Dr. Paul Gunadi [4]
Audio [5]
Remaja/Pemuda [6]
T312B [7]

URL sumber: https://m.telaga.org/audio/memilih_pasangan_hidup_ii

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T312B.MP3
[2] mailto:telaga@indo.net.id
[3] http://www.telaga.org
[4] https://m.telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[5] https://m.telaga.org/jenis_bahan/audio
[6] https://m.telaga.org/kategori/remaja_pemuda0
[7] https://m.telaga.org/kode_kaset/t312b