Pribadi yang Sehat adalah Kunci Relasi yang Sehat
Persiapan PESTA pernikahan dapat dimulai beberapa bulan di muka tetapi persiapan KEHARMONISAN pernikahan tidak bisa. Persiapan keharmonisan pernikahan harus dimulai bertahun-tahun sebelumnya, secara tepatnya sejak kita belia, sebab kunci persiapannya adalah pribadi yang sehat. Dan sebagaimana kita ketahui, pribadi yang sehat tidak muncul sekejap. Berikut akan dipaparkan beberapa faktor yang mesti diperhatikan untuk membangun pribadi yang sehat yang diperlukan untuk menjalin relasi nikah yang sehat serta harmonis.
Mari kita kupas dan lihat kaitannya dengan pernikahan. Kita harus mengenal apa yang BISA kita lakukan dengan baik, apa yang bisa kita lakukan lumayan baik, dan apa yang bisa lakukan secara tidak baik. Sebagai contoh, saya bisa memahami cerita dan kehidupan orang dengan baik; saya bisa menulis dan mengarang lumayan baik, namun jika saya disodorkan persoalan teknik dan fisika, saya akan mengerjakannya dengan tidak baik.
Kita pun perlu mengenal hal-hal apa yang menjadi KESUKAAN—dan ketidaksukaan—kita. Memang adakalanya hal yang kita sukai adalah hal-hal yang bisa kita lakukan dengan baik dan sebaliknya, hal-hal yang tidak kita sukai adalah hal-hal yang tidak dapat kita lakukan dengan baik, namun sesungguhnya tidaklah selalu demikian. Kadang kita menyukai sesuatu yang belum tentu dapat kita kerjakan dengan baik dan sebaliknya, kita tidak menyukai hal-hal yang dapat kita kerjakan dengan baik.
Jadi, berkaitan dengan kesukaan, tidak selalu kita harus bisa melakukan sesuatu yang kita sukai; terpenting adalah kita tahu apa yang menjadi kesukaan—dan ketidaksukaan—kita. Sebagai contoh, musik adalah kesukaan saya, tetapi saya tidak bisa bermusik dengan baik—biasa-biasa saja. Sebaliknya, menghitung bukanlah kesukaan saya, tetapi saya bisa melakukannya dengan lumayan baik. Kesukaan saya adalah film yang penuh misteri dan aksi serta membaca buku biografi, sedang ketidaksukaan saya adalah membaca buku fiksi dan menonton film kartun.
Mengenal diri juga berarti mengenal KEYAKINAN diri kita. Seyogianyalah kita tahu apa yang kita yakini—apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan salah—agar kita tidak hanyut diseret arus. Bila kita tidak tahu, maka kita akan selalu mengikuti arah kehendak orang di sekitar kita atau sering bingung dan ragu. Sebagai contoh, saya berkeyakinan oleh karena istri dan anak saya adalah orang terdekat yang Tuhan percayakan kepada saya, maka tanggungjawab saya yang utama adalah mereka, bukan orang lain. Keyakinan ini telah memandu saya dalam menjalani hidup dan mengambil banyak keputusan.
Terakhir, mengenal diri berarti mengenal MISI hidup kita. Sudah tentu tidak selalu kita tahu dengan jelas apa yang Tuhan ingin kita kerjakan dalam hidup ini. Sering kali panggilan dan pimpinan Tuhan diberikan secara bertahap, tidak sekaligus; namun setidaknya kita memiliki gambaran umum akan misi hidup kita. Sebagai contoh, saya ingin hidup saya menjadi berkat buat sesama dan saya tidak ingin hidup saya malah merugikan orang. Saya pun ingin agar hidup saya berjalan dan berakhir dalam integritas; saya tidak ingin hidup di dalam dosa. Saya pun ingin agar terus berkecimpung di bidang kesehatan jiwa dan pembangunan diri manusia. Inilah misi hidup yang Tuhan titipkan kepada saya.
Sekarang mari kita berhenti sejenak dan melihat kaitan antara mengenal diri dan kualitas pernikahan. Tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi di dalam pernikahan bila kita tidak mengetahui apa KEBISAAN kita; tidak mengetahui apa KESUKAAN kita, tidak mengetahui apa KEYAKINAN kita dan tidak mengetahui apa MISI hidup kita. Hampir dapat dipastikan kita akan menimbulkan bukan saja kebingungan, tetapi juga MASALAH. Pasangan akan harus selalu menebak-nebak pikiran dan kemauan kita, karena ia tidak mengetahui dengan jelas apa kebisaan, kesukaan, keyakinan dan misi hidup kita.
Dapat dipastikan, kita pun akan bergantung pada pasangan untuk membahagiakan dan menemukan makna hidup kita. Kita akan menuntut pasangan menunjukkan—dan memberi pengakuan—akan KEBISAAN kita. Sama dengan itu, kita pun akan mengharuskan pasangan senantiasa tahu akan KESUKAAN—dan ketidaksukaan—kita dan sudah tentu, menghadirkan kesukaan kita dan menyingkirkan ketidaksukaan kita. Bila ia tidak melakukannya, kita marah dan menyalahkannya.
Oleh karena kita tidak tahu apa KEYAKINAN kita, maka sering kali kita terombang-ambing dalam pengambilan keputusan. Alhasil, kita membebankan pasangan dengan tanggungjawab menata dan mengambil keputusan dalam hidup kita. Dan, berkaitan dengan MISI hidup, meski kita tidak tahu apa misi hidup ini, kita "tahu" apa yang BUKAN menjadi misi hidup kita. Dengan kata lain, kita tidak tahu apa yang kita inginkan dalam hidup, tetapi kita tahu apa yang TIDAK kita inginkan dalam hidup.
Sebagaimana dapat kita lihat betapa rumitnya hidup bila kita tidak mengenal diri. Bukan saja hidup menjadi terkatung-katung, kita pun akan menyeret pasangan ke kancah kekacauan dan kebingungan. Alhasil keharmonisan pernikahan sukar dicapai, sebab selama bertahun-tahun pernikahan senantiasa dirundung perselisihan. Singkat kata, kita terus disibukkan dengan tugas memadamkan api kebakaran; energi yang tersedot akhirnya habis, tidak tersedia untuk menumbuhkan keintiman.
Tidak semua memunyai masa lalu yang menyenangkan dan dapat dibanggakan; ada yang memiliki masa lalu yang buruk dan memalukan. Respons alamiah kita terhadap masa lalu yang seperti itu adalah melupakannya; kita berharap dengan melupakannya maka masa lalu itu akan hilang. Masalahnya adalah kita tidak dapat menghilangkan masa lalu; kita hanya dapat menyangkalnya atau menerimanya.
Pribadi yang sehat bukanlah pribadi yang hanya memunyai masa lalu yang indah dan menyenangkan. Tidak! Adakalanya pribadi yang sehat justru berlatar belakang masa lalu yang buruk dan menyakitkan. Kuncinya adalah menerima masa lalu—baik atau buruk, menyenangkan atau menyakitkan—sebagai bagian integral hidup namun tidak terikat olehnya. Maksud saya, kita menyadari pengaruh buruk dari masa lalu namun kita memutuskan untuk melepaskan diri darinya. Kita bukanlah budak masa lalu.
Sewaktu kecil saya menerima pukulan fisik dari ayah saya sebagai hukuman atas kesalahan yang saya perbuat. Kadang ia melakukannya secara berlebihan membuat saya menderita karenanya. Setelah berkeluarga saya memutuskan untuk tidak mengulang metode pendisiplinan yang berlebihan dan menyakitkan itu. Godaan untuk melakukannya ada, sebab dalam kemarahan, reaksi alamiah yang langsung keluar adalah keinginan untuk memukul. Namun atas kasih karunia Tuhan saya tidak melakukannya; saya menolak untuk dikuasai oleh masa lalu saya.
Ada pula orang yang terkhianati oleh orang tua yang berzinah. Alhasil setelah dewasa mereka terus dihantui ketakutan bahwa pasangan pasti akan mengkhianati mereka. Walau pasangan tidak pernah mengkhianati, mereka tetap hidup dalam ketakutan yang menurut mereka, riil. Mereka terus mencurigai pasangan dan cepat menuduh pasangan telah berzinah, tanpa bukti.
Pribadi yang sehat mengakui hal buruk dan tidak menyenangkan yang pernah dialami; mereka tidak menyangkal, mengkorting atau melencengkannya sesuai selera. Tidak! Mereka menerima apa adanya dan mengakui dampak buruk masa lalu pada diri mereka. Mungkin dampaknya adalah mereka menjadi diri yang tidak aman; mereka memunyai kebutuhan akan penghargaan yang besar; mereka mungkin haus kasih sayang, atau mungkin mereka sulit percaya atau dekat dengan orang.
Pribadi yang masih dikuasai masa lalu niscaya akan merusak pernikahannya. Mereka bereaksi terhadap pasangan seakan-akan pasangan adalah orang di masa lalunya yang telah menyakitinya atau sebaliknya, membahagiakannya. Mereka tidak dapat membedakan dan memerlakukan pasangan sebagai pribadi yang unik dan terpisah dari figur penting di masa lalu.
(3) Tangguh Menanggung Kesusahan dan Kreatif Mencari Jalan Keluar.Hidup tidak sempurna dan kemalangan tidak selalu dapat dihindari. Kita mesti siap menghadapi dan menanggung kesusahan; kita harus bertahan sekaligus mengupayakan jalan keluar. Makin tangguh dan makin kreatif kita mencari jalan keluar, makin sehat dan siap kita untuk menjalin relasi pernikahan yang harmonis. Sebaliknya, makin rapuh dan kaku kita dalam menghadapi masalah, makin tidak siap kita untuk menikah.
Ada orang yang senantiasa bergantung pada orang untuk menyelesaikan masalah; setelah menikah besar kemungkinan mereka akan bersandar pada pasangan untuk menyelesaikan masalah. Ada pula orang yang lari dari tanggungjawab; mereka pun akan lari dari masalah setelah menikah dan ini menyulitkan pasangan untuk menyelesaikan konflik. Jauh hari sebelum menikah, kita mesti memersiapkan diri untuk tangguh menghadapi kesusahan dan berupaya mencari solusinya.
(4) Dapat Melihat Orang Secara Tepat, Sekaligus Menerima Kelemahan Orang dan Menghargai Kekuatan Orang.Ada orang yang hanya melihat kelemahan orang sehingga apa pun yang orang perbuat, mereka selalu mengkritik. Sebaliknya ada yang hanya dapat melihat kekuatan orang dan membutakan mata terhadap kelemahan orang. Apa pun yang diperbuat, orang itu selalu dinilai baik dan benar. Kedua sikap ini menunjukkan bahwa kita tidak melihat orang berdasarkan kenyataan. Kita masih dipengaruhi oleh kepentingan pribadi sehingga sukar melihat dengan jernih.
Pernikahan dibangun bukan saja di atas penerimaan, tetapi juga penglihatan yang jelas akan siapakah pasangan. Makin jelas dan tepat, makin mudah kita berelasi dengannya. Kita tidak menuntut pasangan melampaui kapasitas dirinya dan kita mengharuskannya menjadi pribadi yang bukan dirinya. Sebaliknya, jika kita tidak melihat pasangan apa adanya, kita akan terus menuntut pasangan dan mengharuskannya menjadi pribadi yang bukan dirinya. Tidak heran akhirnya mereka letih dan menjauh.
Amsal 21:5 [1] menjanjikan, "Rancangan orang rajin semata-mata mendatangkan kelimpahan, tetapi setiap orang yang tergesa-gesa hanya akan mengalami kekurangan". Kita mesti rajin memersiapkan keharmonisan dalam pernikahan, jauh hari sebelum hari pernikahan dan itu dimulai dengan diri sendiri.
Ringkasan T555A [2]
Oleh: Pdt.Dr.Paul Gunadi
Simak judul-judul seputar relasi – batasan – penderitaan
di www.telaga.org [3]
Pernah dengar ungkapan "Life begins at 40"? Mungkin terdengar seperti slogan atau candaan, tapi sebenarnya kalimat ini menyimpan pesan penting: usia 40 bukan akhir, justru bisa menjadi awal yang baru. Banyak orang merasa panik atau takut ketika menginjak usia 40 karena berpikir masa muda sudah lewat. Namun, dari sudut pandang psikologi dan iman Kristen, usia 40 justru adalah masa yang kaya dengan potensi pertumbuhan dan kedewasaan.
Dalam psikologi perkembangan, Erik Erikson menyebutkan bahwa usia 40 masuk dalam tahap "generativity vs stagnation". Di tahap ini, seseorang mulai fokus pada kontribusi kepada generasi berikutnya—baik melalui keluarga, pekerjaan, pelayanan atau mentoring. Ini adalah masa di mana orang mulai bertanya: "Apa yang bisa aku wariskan?" atau "Bagaimana hidupku bisa berdampak?" Jika seseorang gagal melewati tahap ini, bisa muncul perasaan stagnan, tidak berguna, atau kehilangan arah.
Namun bagi orang Kristen, usia 40 bukan sekadar soal krisis identitas. Ini adalah kesempatan untuk memperbarui panggilan hidup. Dalam Alkitab, usia 40 sering kali menjadi simbol masa transisi atau persiapan rohani. Musa dipanggil Tuhan di usia 80 tahun, setelah 40 tahun hidup di istana dan 40 tahun di padang gurun. Bangsa Israel mengembara 40 tahun di padang gurun sebelum masuk Tanah Perjanjian. Bahkan Yesus berpuasa 40 hari sebelum memulai pelayanan-Nya. Angka 40 seringkali menjadi titik balik penting.
Bagi kita yang menginjak usia 40, ini bisa menjadi momen untuk berhenti sejenak, merenung, dan mengevaluasi hidup. Apakah saya hidup sesuai dengan nilai yang saya imani? Apakah saya sudah menabur kasih dan kebenaran dalam keluarga, komunitas atau pekerjaan saya? Usia ini bukan waktunya menyesal, tetapi saatnya membangun hidup yang lebih bermakna.
Dalam bidang konseling, sering kali muncul klien di usia 40-an yang merasa ‘kosong’, meskipun dari luar terlihat sukses. Mereka punya karier, keluarga, tetapi merasa ada yang kurang. Di sinilah pentingnya menyadari bahwa krisis bisa menjadi jalan menuju pertumbuhan. Dengan bantuan konselor atau komunitas yang mendukung, seseorang bisa menata ulang prioritas hidup dan mengalami pemulihan identitas yang sejati di dalam Tuhan.
Jadi, jika Anda berada di usia 40 atau mendekatinya—jangan takut. Mungkin tubuh tidak sebugar dulu, tetapi jiwa bisa semakin matang. "Life begins at 40" bukan berarti kembali muda, tapi mulai hidup dengan lebih sadar, bijak dan bertumbuh. Tuhan belum selesai dengan hidup Anda.
*) Salah seorang konselor PKTK Sidoarjo yang berdomisili di Surabaya
TELAGA MENJAWAB
PERTANYAAN :Salam sejahtera,
Perkenalkan nama saya DAI dan suami saya bernama Nunung Novianto, saya secara pribadi ingin menanyakan tentang bagaimana menumbuhkan iman percaya yang teguh kepada Tuhan Yesus. Dahulu saya pernah diramal teman akan menikah dua kali, terus terang saya merasa takut, saya mohon dukungan doa agar pernikahan kami langgeng dan sekali seumur hidup. Mohon penguatan juga apabila ada referensi buku yang berkaitan dengan penguatan iman bahwa Tuhan Yesus jauh lebih berkuasa dari semua. Terima kasih, saya betul-betul mengharapkan balasan dan dukungan doa.
Selanjutnya saya adalah seorang guru di sekolah swasta, saya mengalami pergumulan yang kadang membuat saya rapuh, di sekolah tempat saya bekerja, orang tua murid boleh mengajukan kritik, masukan kepada sekolah, Bu, selama ini saya sudah berusaha memberi yang terbaik, tapi ada orang tua murid yang menilai kinerja saya tidak baik, saya seorang guru kelas dua, saat kenaikan kelas, murid kelas satu yang mau naik ke kelas dua, orang tua murid memberi masukan agar anaknya tidak diajar oleh saya, karena keadaan saya yang hamil dan mungkin juga karena kinerja saya yang menurut mereka tidak baik, Bu. Saya kadang tidak sanggup menghadapi semua, saya sudah menceritakannya kepada Tuhan Yesus, mohon dukungan doa, saran juga penguatan menghadapi setiap kritik atau ‘complain’ dari orang tua murid yang kadang membuat saya ingin mundur dari dunia kerja saya. Terima kasih, saya menunggu saran dan dukungan doanya. Tuhan memberkati.
Demikianlah tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang Ibu sampaikan. Kiranya dapat menolong Ibu, Tuhan memberkati!!
Salam dan doa kami,
Shelfie Tjong
Ibu DAI yang dikasihi Tuhan,
Membaca pergumulan Ibu di sekolah, kami dapat memahami bahwa tempat kita bekerja tidak selalu "enak", kadang-kadang kita menemukan hal-hal yang menggelisahkan. Tindakan Ibu dengan menceritakan semua kekhawatiran Ibu kepada Tuhan Yesus, itu sudah benar. Apalagi Ibu bisa bersama-sama dengan suami mendoakannya, akan lebih menolong lagi. Bukankah di sekolah tempat Ibu bekerja, ada Pimpinan Sekolah. Jadi masukan-masukan dari orang tua murid dalam bentuk kritikan atau keluhan, mestinya menjadi bahan pertimbangan. Doakanlah orang tua yang mengritik Ibu, doakan juga Pimpinan Sekolah supaya Tuhan memberi hikmat dan kebijaksanaan. Apa yang sudah Ibu doakan dan pasrahkan, jangan dikhawatirkan lagi. Demikian tanggapan yang dapat kami sampaikan, kiranya dapat menolong Ibu dalam pergumulan ini. Silakan baca dan hafalkan Filipi 4:6-7 [6], "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus".
Teriring salam dan doa kami,
Tim Pengasuh Program TELAGA
POKOK DOA (Agustus 2025)
Tahun 2025 telah delapan bulan kita lewati. Memasuki bulan Agustus 2025 atau yang disebut juga bulan "Merah – Putih" dimana bendera merah putih dipasang sebulan penuh! Pada tanggal 17 Agustus 2025 kita juga memeringati HUT Kemerdekaan R.I. ke-80 dengan tema "Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju". Di bawah ini ada beberapa pokok doa syukur dan juga doa permohonan sebagai berikut:
Links
[1] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Ams+21:5
[2] https://m.telaga.org/audio/pribadi_yang_sehat_adalah_kunci_relasi_yang_sehat_i
[3] http://www.telaga.org
[4] https://alkitab.mobi/ayt/passage/1Yo+4:4
[5] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Yer+29:11
[6] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Flp+4:6-7
[7] https://m.telaga.org/jenis_bahan/berita_telaga