TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://m.telaga.org)

Depan > Terluka, Mau Pulihkah ? (Apa yang Dapat Dilakukan Supaya Pulih?)

Terluka, Mau Pulihkah ? (Apa yang Dapat Dilakukan Supaya Pulih?)

Kode Kaset: 
T604B
Nara Sumber: 
pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo
Abstrak: 
Apa itu pengampunan, keputusan untuk mengampuni, pengampunan secara emosi, “Perasaan Tidak Mengampuni”, rekonsiliasi.
Audio
MP3: 
4.3 MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.


Transkrip

Apa yang Dapat Dilakukan Supaya Pulih?

oleh Pdt. Dr. Vivian A. Soesilo

Kata kunci: Apa itu pengampunan, keputusan untuk mengampuni, pengampunan secara emosi, "Perasaan tidak mengampuni", rekonsiliasi

TELAGA 2024

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Ibu Pdt. Dr. Vivian A. Soesilo, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga dan perbincangan kami kali ini tentang "Terluka, Mau Pulihkah?" bagian kedua. Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Y: Kita akan lanjutkan bagian kedua, ya, Bu. Kalau di bagian pertama kita sudah melihat berbagai tanda dan gejala orang-orang yang terluka batinnya, di bagian kedua ini akan dibahas bagaimana atau apa yang dapat dilakukan untuk pulih? Nah, apa Bu, silakan menjelaskan.

VS: Untuk pulihnya ini kita perlu tahu jalan pemulihan itu tidak mudah, pertama saya harus bicara, karena jalan pemulihan itu menyakitkan. Kadang orang tidak mau karena menyakitkan, tapi perlu tahu menyakitkan ini untuk disembuhkan daripada terus-menerus sakit, tapi ini untuk disembuhkan.

Y: Mengapa Bu dikatakan menyakitkan, jalan pemulihan ini?

VS: Karena menyakitkan ini untuk pulih itu orang harus kembali ke peristiwa yang menyakitkan, bukannya hidup disitu tapi harus mengunjungi. Untuk mengunjungi itu peristiwa itu diingat lagi lalu seperti dialami sebentar lagi, itu menyakitkan. Kalau bisa itu dikubur, saya tidak mau lihat, tapi justru dikubur tidak akan beres. Menyakitkan itu untuk menghadapinya, dikunjungi, dihadapi lalu dibereskan. Itu yang menyakitkan, tapi sudah beres malah belenggunya hilang semua. Jadi pemulihan ini karena menguras banyak energi, emosi dan berbagai aspek kehidupan kita, untuk kesana itu butuh keberanian dan ketekadan saya mau membereskan, maka kita perlu memunyai kemauan, memang aku mau, tapi ini adalah jalan yang sulit, begitu, supaya sembuh, supaya pulih. Untuk mau disembuhkan, sebelumnya klien perlu memunyai sikap, beberapa sikap yang penting. Satu, mau merendahkan diri di hadapan Tuhan, tidak sombong. Mengapa begitu? Karena ada orang yang menganggap, "Aku bisa mengurus diriku sendiri, tidak perlu Tuhan, tidak perlu siapa-siapa". Aku bisa menghadapi diri sendiri, tapi harus merendahkan diri dan supaya Tuhan tolonglah aku. Yang kedua, dia perlu memunyai kesediaan merasa dirinya tidak berdaya, perlu bantuan dari Tuhan dan sesama. Oleh karena itu tidak boleh sombong, merasa diri aku tidak bisa menghadapi ini, maka perlu bantuan Tuhan dan sesama saya. Sesama itu siapa? Bisa saja orang yang dia percayai, seorang konselor atau seorang pendeta, atau orang yang dia percayai, siapa saja, yang bisa diajak berdiskusi dan yang memunyai pandangan yang obyektif. Dan juga klien ini harus memunyai sikap tidak defensif, tapi dia mau menghadapi masalahnya, oh selalu defensif salahnya orang-orang, dia tidak mau.

Y: Defensif itu maksudnya membentengi diri, ya Bu?

VS: Iya, jadi membentengi sendiri, pokoknya aku di-‘defense’, yang salah selalu orang lain. Memang kesalahan orang, tapi kita juga punya tanggungjawab, jadi yang lain juga perlu klien ini perlu jujur, tidak ditutupi diri, apa yang terjadi jujur, tidak usah ditutup-tutupi. Ada orang seringkali, kalau aku jujur berarti membuang bau-bau yang jelek dari keluarga.

Y: Membongkar aib, malu.

VS: Ada orang malu, orang tahu keluargaku seperti ini, dia tidak mau dan ini dia tahu harus jujur. Tuhan tahu apa yang sebenarnya, karena bila orang tidak jujur menghadapi masalahnya sendiri, itu tidak akan beres dan juga dia harus berani mengungkapkan dirinya terutama tadi bau busuk, apa adanya. Ada yang mengungkapkan itu memalukan, ini juga tidak hormat pada terutama bila berhubungan dengan orang tua. Nanti orang tua saya disalahkan, kita tidak menyalahkan, tapi kita menghadapi. Memang ada yang pernah terjadi, hal itu menyakitkan, tapi sekarang bukan untuk menyalahkan tapi menghadapi lalu dibereskan. Lalu klien juga mau bertanggungjawab. Pengalaman yang menyakitkan itu, tapi aku mau bertanggungjawab, apa yang bagianku, yang membuat menyakitkan, itu harus tanggungjawab. Dan juga mau tanggungjawab untuk membereskan, juga mau bekerjasama baik dengan konselor, mengikut arahan dari konselor. Siapa yang dia ceritai, mau bekerjasama dengan baik. Karena kalau orang tidak mau bekerjasama ya tidak sembuh. Kalau diarahkan dengan baik, dia mau mengerjakan PR-PRnya, lalu juga klien bersedia berjuang keras untuk menghadapi dan membereskan masalahnya dengan bantuan Tuhan. Ini tidak mudah, permulaan mau pulih perjalanan yang menyakitkan, tapi mau bekerja keras, mau menghadapinya, ini baru bisa dengan bantuan Tuhan. Juga dia tetap mau terus bersemangat mengikuti bimbingan dari konselor, meskipun menyakitkan, tapi ini menyakitkan untuk dipulihkan, tetap semangat, ada perubahannya itu seringkali tidak bisa langsung.

Y: Langsung instan.

VS: Tidak bisa. Perubahan sedikit demi sedikit tapi mengarah yang baik, itu akhirnya bisa sembuh. Jadi ada orang, "Lho kok tidak sembuh-sembuh ya?" Butuh waktu. Klien bersedia untuk melihat dari pandangan yang lain, selama ini pandanganku ya ini, tapi ini sekarang kita dibimbing, melihat pandangan lain, itu harus terbuka berarti bukannya orang yang punya pendirian sendiri. Inilah menganggap seperti itu, kita perlu memunyai pandangan yang benar, jadi pandangannya bukan melalui kacamata pengalaman yang menyakitkan. Pandangan tidak membandingkan dirinya dengan orang lain, karena setiap orang berbeda, situasinya berbeda, itu yang klien harus mau punya sikap seperti itu. Klien yang tidak punya sikap seperti itu, susah.

Y: Susah sembuh, karena itu pertanyaannya, "Mau pulihkah?" Tergantung tanggungjawab dan bagian kita sendiri.

VS: Betul, kalau kita sudah memunyai sikap yang benar seperti itu, sekarang dapat dibimbing melalui jalan pemulihan, yang saya tawarkan adalah jalan pengampunan. Itulah yang paling terbaik supaya kita dapat pulih. Jalan pengampunan itu sangat menyakitkan, karena mengenang kembali peristiwa yang menyakitkan, kalau bisa kita kubur. Jangan keluar lagi, tapi kalau dikuburkan, tidak dihadapi ya keluar lagi, meletus di sana sini, tapi dihadapi, dikeluarkan, dibereskan. Jadi pengampunan dapat merupakan jalan panjang, tetapi membebaskan dari pembelenggu, sehingga kita bisa berfungsi dengan baik.

Y: Menarik sekali ya, Bu. Seperti apa prosesnya jalan pengampunan itu?

VS: Untuk prosesnya kita harus mengetahui dulu pengampunan itu apa? Ini ada orang menganggap punya pengampunan itu adalah suatu proses perubahan setelah terjadi suatu kesalahan-kesalahannya orang lain, kesalahan apa itu kita proses, lalu pengampunan tidak mengingkari sudah terjadi kesalahan atau pengalaman yang menyakitkan. Ada orang yang menganggap sudahlah dianggap tidak pernah terjadi.

Y: Mungkin kalau mengakui sakit tadi ya, Bu. Jadi seperti pura-pura tidak terjadi.

VS: Pengampunan justru harus menganggap tidak boleh seperti itu, tapi memang terjadi dan hal itu menyakitkan. Pengampunan juga bukan berpura-pura tidak pernah terjadi pengalaman yang menyakitkan. Bukan pura-pura. Tadi saya ceritakan bapak yang marah-marah dengan istri dan anak-anaknya, bukan "Oh tidak, tidak pernah papa mamaku meninggalkan". Ya memang papa mama meninggalkan tanpa pamitan, itu betul. Pengampunan bukannya melupakan apa yang pernah terjadi, suatu kesalahan atau kejadian yang menyakitkan, yang pernah dilakukan orang lain terhadap kita merupakan suatu sejarah, tidak dapat diingkari. Tidak mungkin melupakannya, kita sering dengar bahasa Inggris, "To forgive is to forget", jadi mengampuni itu ya melupakan. Justru mau sembuh, harus diingat. Pengampunan diingat lalu dihadapi, dibereskan. Kita harus menghadapi apa yang sudah pernah terjadi, kita tidak perlu melarikan diri dari kenyataan, pertama harus seperti itu. Dengan pengampunan kita tidak lagi dikendalikan oleh apa yang sudah pernah terjadi dan oleh hal yang melukai hati kita, tapi kita mengingat tidak dapat mengubah sejarah kita. Sejarah tidak bisa berubah, tapi yang dapat berubah bagaimana saya menghadapinya sekarang dan yang akan datang. Itu yang penting.

Y: Itu titik poin-nya.

VS: Ya, jadi membereskan sekarang untuk masa depan saya tidak terlukai terus. Jadi seharusnya kita tidak dikendalikan oleh apa yang sudah pernah terjadi atau apa yang kita alami, tapi kita kendalikan sedemikian rupa, supaya dipengaruhi oleh apa yang sekarang saya putuskan, apa yang saya mau lakukan sekarang untuk kemudian hari. Itu yang penting, seperti itu. Jadi pengampunan ini adalah hadiah yang diberikan secara cuma-cuma dan sadar oleh orang yang pernah disakiti, sehingga siklus batin yang terluka tidak terus-terus berulang, maksudnya tidak diteruskan kepada anaknya.

Y: Seperti tadi contohnya, terluka dari suami diturunkan ke anak, kalau tidak diampuni.

VS: Betul seperti itu. Pengampunan bukan menghilangkan akibat perbuatan kesalahan seseorang. Orang salah memang salah, tapi kita mengampuni. Orang yang salah memang harus bertanggungjawab terhadap apa yang dia perbuat. Jadi kita ingin melihat contoh Alkitab, ada orang yang bersalah, Tuhan juga tetap menghukum, tapi Tuhan bermurah hati, mengampuni dosanya, tapi dia harus bertanggungjawab terhadap perbuatannya. Kalau kita lihat contoh di Alkitab, raja Daud yang berzinah, anaknya memang meninggal. Juga perbuatannya itu membuat Tuhan marah, meskipun diampuni keluarganya lain kali banyak cekcok, ini Tuhan sudah meramalkannya. Itu adalah perbuatan yang harus kita tahu. Kalau menurut M.E.McCullough dan Everett L.Worthington, Jr. mengungkapkan dalam jurnal "Counseling and Value" no.39, ini dikatakan pengampunan adalah suatu fenomena yang kompleks, yang berhubungan dengan emosi, pikiran, tingkah laku, sehingga dampak dan penghakimannya yang negatif terhadap orang yang menyakiti dapat dikurangi, jadi kompleks, semuanya kena. Apa yang kena? Emosinya, pikiran, tingkah lakunya, jadi oleh sebab itu melalui pengampunan, suhu kemarahan orang itu dapat turun dengan drastik. Kalau orang marah suhunya tinggi sekali. Dengan pengampunan lalu turun, pengampunan dapat mengubah secara langsung emosi kemarahan orang dan membuahkan hasil yang positif. Everett L.Worthington, Jr. membuat perbedaan antara dua jenis pengampunan, yaitu keputusan untuk mengampuni dan pengampunan secara emosi. Juga ada perasaan tidak mengampuni dan juga rekonsiliasi. Apa keputusan untuk mengampuni ? Itu adalah suatu peristiwa yang menyakitkan terjadi, sekarang saya memutuskan saya mau mengampuni orang itu, tapi keputusan mengampuni ini, kita emosinya kadang-kadang masih terbawa-bawa.

Y: Betul, seringkali tidak terima, kok enak, saya yang harus mengampuni, bukankah dia yang menyakiti saya.

VS: Keputusan itu penting, suatu keputusan aku sudah memutuskan mau, emosinya butuh waktu. Kita mau karena Tuhan Yesus sudah mengajarkan kepada kita, kalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga, tetapi bila kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu. Lalu emosinya butuh perkembangan. Saya tadi ceritakan ibu yang dipukuli 30 kali lebih, tulangnya patah. Dia sangat sakit hati, saya katakan bagaimana kalau mengampuni suaminya? Wah, tidak bisa seperti itu. Saya jelaskan pengampunan itu untuk dirimu, supaya kamu tidak terbelenggu, marah-marah terus, supaya hidupmu tenang. Pengampunan untuk dirimu sendiri, akhirnya dia membutuhkan waktu. Dia katakan, "Ok, saya mau mengampuni".

Y: Setelah tahu bahwa pengertian pengampunan itu bukan untuk membebaskan pelaku dari kesalahan, tapi justru membebaskan diri kita dari belenggu tadi.

VS: Betul. Suaminya itu dipenjarakan di Australia, disitu dipenjarakan 16 tahun, jadi dia harus bertanggungjawab terhadap perbuatan kepada istrinya ini. Dia juga bukannya mengampuni lalu dia disuruh keluar, tidak, tetap mendekam disitu tapi ibu ini tidak usah seumur hidup terus marah-marah. Tapi dia sudah Ok, emosinya membutuhkan waktu. Kadang-kadang masih ada perasaan yang tidak bisa mengampuni. Perasaan tidak bisa mengampuni itu apa? Kadang-kadang masih ada perasaan sakit hati, benci, dengki, pahit, marah, takut, itu adalah sesuatu yang memangnya Ok, tapi dia tetap mau mengampuni. Wah, dampaknya luar biasa. Dia cerita pada saya, setelah hati saya sudah mengatakan, "Ok, saya mengampuni suami saya, malam itu saya bisa tidur tanpa minum obat tidur".

Y: Padahal masih keputusan, perasaannya, emosinya masih sakit, karena dihajar seperti itu.

VS: Betul, tapi malam itu dia cerita kepada saya, konseling selanjutnya. "Aku bisa tidur seperti bayi".

Y: Itu melegakan sekali untuk orang yang insomnia.

VS: Betul, padahal sekian lama setelah peristiwa itu dia harus tidur dengan obat tidur. Emosinya kadang-kadang masih timbul. Emosi marah, itu sesuatu yang normal, butuh waktu untuk itu. Seringkali bila timbul kita harus bicara pada diri sendiri, bahwa aku sudah mengampuni, malah Everett L.Worthington, Jr. mengajarkan, "Kamu harus menulis jurnal". Yaitu, "Saya hari ini, tanggal ini, saya sudah mengampuni". Jadi kalau kadang-kadang kembali, "Aku sudah mengampuni".

Y: Kembali ke keputusan tadi, ya Bu.

VS: Betul. Lalu ada hal yang lain, penting ada rekonsiliasi, tidak semua orang yang diampuni bisa rekonsiliasi, karena kalau keadaannya tidak memungkinkan dan masih bahaya, tidak bisa. Jadi istri ini dia katakan tidak mungkin rekonsiliasi dengan suaminya. Dia sudah mengampuni, tapi tidak bisa hubungan suami istri lagi kembali, nanti kalau 16 tahun lewat, dia tidak akan kembali. Begitu menyakitkan pengalamannya, tidak bisa.

Y: Dan itu tidak masalah, kadang menjadi beban, misalnya orang Kristen tapi kita perlu melihat itu sebagai dua hal yang berbeda, ya Bu.

VS: Betul, kalau suaminya tidak berubah ya tidak mungkin. Terlalu menyakitkan ini tidak bisa. Ada orang yang rekonsiliasi seadanya selingkuh, tapi dia tetap masih mau terus selingkuh ya tidak bisa. Tindakan penganiayaan ini masih belum tentu suaminya berubah, jadi dia tidak memilih tidak rekonsiliasi, jadi cerai. Waktu setelah keluar Rumah Sakit, dia sudah cerai dengan suaminya. Jadi kita melihat rekonsiliasi bukan untuk semua orang, tapi pengampunan untuk semua orang. Lalu jalannya pengampunan itu bagaimana? David Stoop dan J. Masteller mengajarkan yang mau mengampuni harus tahu yang diampuni itu apa?

Y: Mengenali luka kita, itu tadi.

VS: Ya, tahu apa, tidak bisa orang mengatakan, "Aku mengampuni semuanya". Semua itu apa? Yang mana? Harus tahu, yang mana. Terluka itu, seperti ibu tadi, dia terluka karena ia dipukuli sampai patah tulangnya, itu harus tahu peristiwa apa. Pertama harus tahu. Yang kedua tahu juga perasaannya, ada orang, ibu itu perasaannya marah, perasaannya takut dan juga perasaannya dia sedih. Mengapa perlu tahu perasaannya? Supaya tahu, oh inilah peristiwanya, inilah perasaanku, supaya jelas, maka harus jujur semuanya. Lalu setelah tahu hari yang ketiga mengeluarkan perasaan-perasaan yang tadi, yang saya katakan tadi, ini perlu tahu seperti racun dalam tubuh kita, itu harus dikeluarkan. Sekarang kalau orang ada racun di tubuhnya bagaimana tidak mau dikeluarkan?

Y: Mematikan.

VS: Jadi itu ‘kan harus dikeluarkan, bahaya, maka didalam orang mau mengampuni juga harus dikeluarkan. Dengan cara apa mengeluarkannya? Dengan cara ada orang yang menulis jurnal. Ibu ini orang yang senang melukis, jadi dia melukiskan itu dengan cat air.

Y: Melukiskan perasaan terlukanya.

VS: Betul, jadi dia kemarahannya dia memakai cat air yang warna merah. Warna hitam itu perasaanku, lalu juga dia merasakan ini keindahannya setelah mengampuni warna kuning. Waktu dia menggambarkan dirinya yang sudah mengampuni ada gambaran orang lalu dikelilingi oleh warna kuning. Dia sudah ada damai Tuhan, lalu juga ada kemarahan yang sudah diluar, hitam itu diluar. Ibu ini mengeluarkan kemarahannya dengan cara dia suka pakai ‘clay’. Jadi dia membentuk ‘clay’ dirinya sendiri yang tidak ada kakinya, karena apa? Sejak dipukuli dia tidak bisa jalan.

Y: Lumpuh ya ?

VS: Tapi bukan lumpuh total, masih bisa satu dua langkah, tapi ke mana-mana kalau jalan harus memakai kursi roda. Jadi menurut dia, "Inilah diriku yang terluka ini", dia mengeluarkannya dengan membuat bentuk dari ‘clay’, jadi ada orang yang dengan menyanyi. Tadi bapak yang saya ceritakan, dia membentuk cerita apa yang terjadi dengan menyanyi, menggubah lagu.

Y: Menarik ya, jadi ekspresinya bisa macam-macam membuang racun tadi.

VS: Betul, tapi ada orang yang bercerita dengan konselor, "Ini lho kejadiannya begini-begini", ada orang yang bercerita kepada Tuhan dengan berdoa dengan konselor disitu, berdoa kepada Tuhan, sakit hatinya apa. Ada orang yang memakai kursi kosong, berbicara dengan orang yang menyakitinya. Lalu setelah begitu dikeluarkan lalu menghilangkan utang mengampuni, seakan-akan orang yang menyakiti itu berutang. Sekarang dengan kuasa Tuhan aku mau mengampuni, menghilangkan utang, sudah aku tidak perlu memerhitungkan lagi. Setelah itu dia memutuskan sudah tidak mau membuat batasan, melindungi diri. Batasannya apa, supaya ini tidak disakiti lagi kalau ada orang yang menyakiti tadi, saya pernah ada seorang klien, dia tinggal dengan papa mamanya, sudah dewasa, belum menikah, tapi papa mamanya sejak kecil sampai dia dewasa, dia bekerja sebagai manajer suatu perusahaan, itu dimarah-marahi, tapi perusahaannya papa mamanya. Jadi dia punya batasan, keluar dari perusahaan papa mamanya, dia bisa menjadi manajer di tempat lain. Itu yang dia lakukan untuk membatasi supaya tidak dimarah-marahi terus, itu batasannya.

Y: Itu boleh, ya Bu.

VS: Boleh. Lalu dia juga batasan yang lain, tapi masih dimarahi karena masih tinggal di rumah papa mama, lalu dia memutuskan untuk beli rumah kecil-kecilan sendiri, disitu tapi bukan putus hubungan. Dia masih bila hari libur, berkunjung, hubungan dengan orang tua baik, sekarang dia diperlakukan sebagai tamu, bukan sebagai anak yang dimarah-marahi. Yang terakhir kalau bisa rekonsiliasi, tidak semua bisa rekonsiliasi, tapi yang tadi saya katakan, manajer ini bisa rekonsiliasi dengan orang tuanya, baik. Hubungannya ada batasan. Itulah setiap orang kalau mau dipulihkan harus melewati jalan pengampunan ini, dengan ini dipulihkan. Itu bisa bebas bekerjasama antara klien dengan konselor, bisa dibebaskan dan belenggu-belenggu yang dulu membuatnya sulit berjalan.

Y: Tadi ketika pengampunan dilepaskan, gejala-gejala yang mengganggu, tanda-tanda itu juga kelihatan berkurang. Ibu sudah mengalami banyak di proses-proses konseling dengan klien.

VS: Bukan hanya hilang itu seperti tadi, sudah sembuh, ada beberapa orang yang menceritakan, saya dulu pemarah, sekarang saya menjadi sabar. Juga dulu bebannya berat sekali, sekarang hilang. Semua berton-ton di pundaknya hilang, wah bebas, senang, gembira dari Tuhan.

Y: Luar biasa ya Bu, kalau benar-benar kita mau punya sikap hati yang benar dan mau memproses jalan pengampunan meskipun tidak mudah, tapi dampaknya sangat luar biasa didalam hidup kita, disembuhkan.

VS: Betul.

Y: Luar biasa, terima kasih banyak, Bu Vivian, untuk pemaparannya. Saya percaya hari-hari ini pun masih sangat diperlukan pengajaran atau edukasi seperti ini supaya setiap orang yang terluka boleh dipulihkan.

Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Ibu Pdt. Dr. Vivian A. Soesilo dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA) dan kami baru saja berbincang-bincang tentang "Terluka, Mau pulihkah?" bagian kedua. Bagi Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang atau Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org [2] ; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3]; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.

Ringkasan

Di bagian pertama, kita sudah melihat berbagai tanda-tanda atau gejala-gejala orang yang terluka batinnya. Di bagian kedua ini kita akan melihat apa yang dapat dilakukan supaya dapat pulih. Untuk dapat dipulihkan perlu bantuan orang lain, mencari seorang konselor, hamba Tuhan, orang yang dapat dipercayai, teman yang mau mendengarkan dan mencoba mengerti.

Mengapa tidak dapat melakukannya sendiri?

Jalan pemulihan itu sering kali menyakitkan, tetapi ini untuk disembuhkan, dipulihkan, bukan terus-menerus menyakitkan. Jalan pemulihan juga menguras banyak energi, emosi dan berbagai aspek dalam kehidupan kita. Kita butuh ada seorang konselor yang bersedia mendampingi jalan pemulihan itu. Belum lagi, sering kali ada pandangan yang salah, perlu dibimbing supaya dapat menjalaninya dengan benar.

Untuk mau disembuhkan, sebelumnya klien perlu memunyai sikap di bawah ini:

  1. Klien mau merendahkan diri di hadapan Tuhan, tidak sombong. Orang yang masih menyombongkan diri, sulit untuk dipulihkan. Hanya dengan merendahkan diri, orang lebih dapat dibantu untuk dipulihkan.
  2. Klien bersedia merasa dirinya tidak berdaya, dan butuh bantuan dari Tuhan dan sesama. Orang yang merasa dirinya kuat, merasa dirinya tidak butuh bantuan dari siapa pun juga, malah akan lebih susah dipulihkan. Dengan dibantu oleh seorang konselor diharapkan diketahui sebab terlukanya apa dan dapat dibantu untuk dipulihkan.
  3. Klien tidak defensif, tetapi mau menghadapi masalahnya. Kalau klien itu defensif, cenderung sibuk menyalahkan orang lain, tidak mau dengan serius menghadapi masalahnya.
  4. Klien perlu jujur, tidak menutup-nutupi diri. Klien perlu jujur baik terhadap diri sendiri, orang lain (konselor) dan Tuhan. Tanpa kejujuran, sulit sekali dipulihkan, karena selama masih ada hal-hal yang ditutup-tutupi, sulit dihadapi dan sulit dibereskan.
  5. Klien perlu berani mengungkapkan dirinya sendiri, terutama "bau busuk" diri sendiri dan keluarga kepada konselor. Ada yang menganggap mengungkapkan diri itu memalukan, bahkan tidak hormat terhadap orang lain, termasuk keluarganya sendiri.
  6. Klien mau bertanggungjawab apa bagian dirinya dalam pengalaman yang menyakitkan itu, tidak selalu menyalahkan pihak lainnya. Memang ada hal-hal yang karena kesalahan orang lain, tetapi ada hal-hal yang klien sendiri perlu bertanggungjawab atas kesalahannya sendiri.
  7. Klien mau bekerja sama dengan baik dengan konselor, mengikuti arahan konselor dengan baik. Tanpa kerja sama yang baik, akan sulit mencapai pemulihan yang baik.
  8. Klien bersedia berjuang keras untuk menghadapi dan membereskan masalahnya dengan bantuan Tuhan. Mengingat jalan pemulihan itu tidak mudah, klien perlu mau berjuang keras.
  9. Klien perlu terus bersemangat mengikuti konseling meskipun menyakitkan. Namun meskipun jalannya tidak mudah dan bisa menyakitkan itu untuk dipulihkan.
  10. Klien perlu sabar karena perubahannya sedikit demi sedikit, tidak dapat sekaligus. Ada orang tidak sabar, minta cepat selesai. Tetapi sering kali pengalaman yang menyakitkan itu sudah dialami cukup lama. Perubahannya meskipun sedikit demi sedikit, tetapi menguatkan dan menuju ke arah pemulihan.
  11. Klien bersedia melihat dari pandangan lain, bukan yang sudah dilihatnya selama ini, yang sudah biasa dilakukan. Pandangan klien sendiri dapat sesuai dengan pandangan dirinya sendiri yang "terpengaruh" oleh pengalaman dirinya yang menyakitkan, sehingga tidak selalu menyeluruh dan benar.
  12. Klien tidak membandingkan dirinya dengan orang lain, karena setiap orang itu berbeda. Dengan memiliki sikap yang benar seperti disebutkan di atas, sekarang klien dapat dibimbing melalui jalan pengampunan, karena jalan pemulihan yang terbaik melalui jalan pengampunan. Jalan pengampunan itu sangat menyakitkan, karena kita perlu menghadapi peristiwa-peristiwa yang menyakitkan untuk dibereskan. Jalan pengampunan itu dapat merupakan jalan panjang, tetapi dapat membebaskan dari belenggu yang membuat kita tidak dapat berfungsi dengan baik.

I. Apa Itu Pengampunan?

Pengampunan adalah proses perubahan setelah terjadi kesalahan. Pengampunan tidak mengingkari sudah terjadi kesalahan atau pengalaman yang menyakitkan. Pengampunan juga bukan berpura-pura tidak pernah terjadi pengalaman yang menyakitkan. Pengampunan bukannya melupakan apa yang pernah terjadi. Suatu kesalahan atau kejadian yang menyakitkan yang pernah dilakukan orang lain terhadap diri kita merupakan suatu sejarah, kita tidak dapat mengingkarinya, juga tidak mungkin melupakannya. Kita harus menghadapi apa yang sudah pernah terjadi, kita tidak perlu melarikan diri dari kenyataan. Dengan pengampunan kita tidak lagi dikendalikan oleh apa yang sudah pernah terjadi dan oleh hal yang melukai hati kita. Mengingat kita tidak dapat mengubah sejarah dan kita juga tidak dapat mengubah apa yang sudah pernah terjadi, seharusnya kehidupan kita tidak dikendalikan lagi oleh apa yang pernah kita alami di masa lalu. Hanya dengan demikian kita dapat disembuhkan dari luka batin yang disebabkan apa yang pernah terjadi di masa lalu kita. Pengampunan adalah hadiah yang diberikan secara cuma-cuma dan sadar oleh orang yang pernah disakiti sehingga siklus batin yang terluka dapat dipatahkan. Pengampunan bukannya menghilangkan akibat perbuatan kesalahan seseorang. Setelah orang berbuat kesalahan, dia harus menanggung akibat kesalahannya. Sikap Allah Bapa terhadap kesalahan kita juga demikian. Meskipun Allah Bapa sudah menyatakan kemurahan-Nya dengan mengampuni dosa kita, tetapi orang yang berdosa masih harus menanggung akibat perbuatan dosanya. Kita dapat melihat banyak contoh di Alkitab, orang-orang berdosa dihukum Allah. Demikian juga orang yang melanggar hukum negara, harus menanggung akibat dari perbuatannya, misalnya dengan membayar denda atau mendekam dalam penjara. Setiap orang harus bertanggungjawab untuk menanggung akibat dari perbuatannya.

M. E. McCullough dan Everett L. Worthington, Jr. mengungkapkan dalam jurnal "Counseling and Values" 39

(1)"Pengampunan adalah suatu fenomena yang kompleks yang berhubungan dengan emosi, pikiran dan tingkah laku, sehingga dampak dan penghakiman yang negatif terhadap orang yang menyakiti dapat dikurangi." Oleh sebab itu melalui pengampunan suhu kemarahan seseorang dapat turun dengan drastis. Pengampunan dapat mengubah secara langsung emosi kemarahan orang dan membuahkan hasil yang positif. Everett L. Worthington, Jr. membuat perbedaan antara dua jenis pengampunan, yaitu "keputusan untuk mengampuni" dan "pengampunan secara emosi", demikian juga dengan "perasaan tidak mengampuni" dan "rekonsiliasi".
  1. Keputusan untuk Mengampuni "Keputusan untuk mengampuni" berarti saya mengambil keputusan untuk tidak menyimpan kebencian, kepahitan, kemarahan, dendam dan balas dendam terhadap pasangan saya, termasuk orang lain. Selain itu saya juga tidak akan dengan sengaja menghindari pembicaraan dengan mereka. Saya mau membebaskan mereka dari utang kesalahan mereka, sehingga mereka dapat dibebaskan dari perbuatan salah mereka. Saya akan bertindak dan memerlakukan mereka seperti dahulu sebelum terjadi kesalahan. Mengapa pengampunan harus termasuk orang lain juga, bukan hanya antara suami istri saja? Banyak sekali sudah terbukti ternyata dendam, marah dan sakit hati terhadap orang lain yang disimpan dan belum dibereskan akan membawa dampak negatif terhadap pasangan suami istri dan keluarga yang baru mereka bentuk bersama. Maka untuk meningkatkan hubungan pernikahan pasangan suami istri itu sendiri, baik suami maupun istri harus juga mengampuni orang lain yang mereka anggap pernah menyakiti hati atau melukai batin mereka. Tuhan Yesus mengajarkan kita harus mengambil keputusan untuk mengampuni. "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu". (Matius 6:14-15)
  2. Pengampunan Secara Emosi "Pengampunan secara emosi" berarti emosi saya yang negatif diubah menjadi emosi yang positif; seluruh orientasi emosi saya juga berubah. Kasih dapat dengan cepat mengubah keadaan yang negatif ini. Kasih semacam ini bukanlah cinta kasih secara erotis, tetapi cinta kasih yang sesungguhnya, seperti kasih yang diajarkan oleh Rasul Paulus. "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan". (1 Korintus 13:4-8a) Untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain, termasuk antara anggota keluarga dan antara suami istri, bukan hanya butuh pengertian tentang kedua macam pengampunan, yaitu "keputusan untuk mengampuni" dan "pengampunan secara emosi". Tetapi sewaktu orang lain berbuat kesalahan dan menyakiti Anda, pertama-tama Anda harus mengambil keputusan untuk mengampuni. "Pengampunan secara emosi" butuh waktu yang lebih panjang, kadang-kadang pasangan yang bersalah perlu dengan adil dan benar membenahi akibat perbuatannya dahulu, baru dapat terjadi "pengampunan secara emosi". Kita mengampuni sesama kita karena Tuhan Allah sudah mengampuni kita dahulu. Tuhan Yesus memberikan perumpamaan tentang pengampunan di Matius 18:32-33 dan mengajarkan hamba yang sudah diampuni itu perlu juga mengampuni teman sesama hambanya. "Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?" Maka kita perlu mengerti kita semua membutuhkan pengampunan dari TUHAN Allah dahulu. Setelah TUHAN mengampuni kita, baru kita dapat mengampuni orang lain, termasuk mengampuni pasangan kita, orang tua, anak, saudara kandung, anggota keluarga lainnya, para teman, dokter, guru, teman sekantor, teman segereja, teman sepelayanan dan lain sebagainya. Sering kali dalam kehidupan kita, daftar orang yang pernah menyakiti dan melukai hati kita dapat seperti suatu daftar panjang yang tidak ada habisnya dan menunggu untuk kita ampuni. Selain mengampuni orang lain, kita juga perlu mengampuni diri kita sendiri. Orang yang terluka, sering kali menyalahkan dirinya sendiri. Memang kadang-kadang dia sendiri juga bersalah. Tetapi orang yang pernah menyakiti pasangannya, termasuk orang lain, baik dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja, perlu juga mengampuni dirinya sendiri. Biasanya orang yang mau mengampuni dirinya sendiri, harus datang dahulu ke hadapan Allah Yang Maha Tahu dengan rendah hati untuk memohon pengampunan-Nya. Dan kalau mungkin dia juga perlu memberanikan diri menghadap pasangannya atau siapa saja yang pernah dia sakiti, setelah memohon pengampunan dari mereka, dia baru dapat mengampuni dirinya sendiri. Mengampuni diri kita sendiri tidak mudah, karena kita bukan hanya harus mengampuni kesalahan yang telah kita perbuat, kita juga harus menerima kekurangan kita. Mungkin kita dapat berpikir,"Mengapa saya dapat jadi orang yang mengerikan seperti ini?" Kita harus mau menerima bahwa diri kita banyak kekurangan dan kesalahan dan kita adalah orang yang tidak sempurna, maka sering kali pengampunan terhadap diri sendiri baru dapat dilakukan setelah waktu yang lama. Mengampuni pasangan dan orang lain bukan berarti perasaan sakit hati, marah, benci dan takut disakiti lagi dapat langsung dibuang dan disingkirkan semua. Berbagai perasaan benci, sakit hati, marah dan takut disakiti lagi itu disebut "perasaan tidak mengampuni". Biasanya untuk mengendalikan dan mengubah berbagai "perasaan tidak mengampuni" butuh waktu. Kalau kita sudah mengampuni pasangan kita dan orang lain, diri kita yang sudah disakiti itu akan berubah dan pasangan kita termasuk orang lain pun dapat melihat dan merasakan perubahan itu melalui tingkah laku, biokimia otak, ekspresi wajah, postur tubuh dan kehidupan sehari-hari kita.
  3. "Perasaan Tidak Mengampuni" Pengampunan dan "perasaan tidak mengampuni" erat hubungannya, tetapi kedua hal itu tidak sama dan tidak saling berlawanan, masing-masing ada aspek khasnya sendiri. "Perasaan tidak mengampuni" adalah perasaan benci, keras, dengki, pahit, marah, takut atau kombinasinya yang diundur. Perasaan itu terjadi setelah orang yang merasa disakiti, baik pihak suami atau istri, melihat kesalahan yang terjadi, lalu timbul berbagai "perasaan tidak mengampuni". Orang yang mengalami berbagai perasaan itu biasanya berusaha mengurangi "perasaan tidak mengampuni" melalui berbagai cara. Cara-cara yang diambil dapat berupa membalas dendam, menyangkal bahwa dia pernah sakit hati, membingkai kembali peristiwa itu secara kognitif, membenarkan tingkah laku orang yang menyakiti, menerima perbuatan yang salah, menempuh jalur hukum dan menerima kompensasi yang adil. Mengurangi "perasaan tidak mengampuni" dapat terjadi tanpa pengampunan, misalnya setelah berhasil membalas dendam. Pengampunan dapat mengurangi "perasaan tidak mengampuni", tetapi mengurangi "perasaan tidak mengampuni" saja tidak berarti mengampuni.
  4. Rekonsiliasi Berbagai ahli yang memelajari pengampunan menyatakan bahwa pengampunan dan rekonsiliasi merupakan dua hal yang berlainan, prosesnya pun tidak sama. Orang yang disakiti dapat memberi pengampunan, tanpa campur tangan atau permintaan maaf dari orang yang menyakitinya. Dan tidak sama dengan perkiraan banyak orang Kristen, yang menganggap orang yang sudah mengampuni harus rekonsiliasi dengan orang yang pernah menyakitinya. Orang yang mengampuni belum tentu dapat rekonsiliasi atau berbaik kembali dengan orang yang menyakitinya, termasuk pasangannya sendiri. Ini disebabkan pengampunan adalah dari inisiatif orang yang disakiti. Rekonsiliasi dapat juga merupakan inisiatif dari orang yang disakiti, tetapi supaya dapat terjadi rekonsiliasi, baik orang yang pernah disakiti maupun orang yang menyakiti perlu ada komitmen untuk bekerja sama. Pengampunan berjalan satu arah, sedangkan rekonsiliasi dua arah. Rekonsiliasi tergantung apakah tingkah laku dan maksud orang yang menyakiti sudah berubah, sehingga orang yang terluka dapat memercayai orang yang menyakiti lagi. Meskipun pengampunan penting, terutama dalam hubungan pernikahan, tetapi rekonsiliasi tidak tepat untuk semua keadaan, terutama yang berhubungan dengan kekerasan, dimana mungkin dapat terjadi pelanggaran batas dan penganiayaan yang berkepanjangan. Jadi setelah pengampunan belum tentu harus terjadi rekonsiliasi dan juga belum tentu harus menjalin hubungan yang mesra lagi. Pengampunan dan kepercayaan tidak sama, terutama dalam hubungan yang penuh diwarnai dengan kekerasan dan pelanggaran hukum. Hubungan suami istri yang penuh dengan kekerasan sulit berbaik kembali, karena pihak yang sudah disakiti itu tentunya ingin melindungi diri, supaya tubuh dan emosinya tidak terluka lagi, bahkan jiwanya pun tidak terancam. Selain itu pengampunan bukan merupakan suatu senjata yang digunakan orang yang menyakiti untuk mengendalikan orang yang disakiti. Misalnya ada suami yang karena berbagai alasan mengolok-olok, memukul, menekan, menyakiti, mengendalikan atau melakukan berbagai tindakan kekerasan terhadap istrinya. Setelah tindakan kekerasan itu sang suami dengan berbagai cara merayu istrinya untuk mendapatkan pengampunan dan dapat rekonsiliasi dengan istrinya kembali. Tetapi setelah rekonsiliasi, sang suami dengan berbagai alasan kembali melakukan tindakan kekerasan dan mengendalikan istrinya dengan kekerasan lagi. Ini dapat terjadi berulang-ulang dan terus-menerus. Rekonsiliasi belum tentu cocok untuk semua jenis hubungan, tetapi semua orang Kristen harus belajar mengampuni orang lain. Pengampunan dapat memberi kebebasan kepada kita, kita tidak lagi dikendalikan oleh apa yang sudah pernah terjadi. Jadi pengampunan adalah perjalanan untuk kebebasan, tetapi kita sendiri harus memilih, maukah kita berjalan dalam perjalanan yang memberi kebebasan ini?
  1. "Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu" (Markus 11:25 [4])
  2. "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu" (Matius 6:14-15 [5])
Ada 6 langkah pengampunan yang diajarkan David Stoop & J. Masteller, yaitu:
  1. Mengetahui lukanya apa. Tanpa mengetahui lukanya apa, kita tidak dapat mengetahui dengan tepat apa yang perlu diampuni.
  2. Tahu apa perasaannya (rasa bersalah, marah, takut, sedih). Dengan mengetahui perasaannya, klien dapat lebih mengerti tentang dirinya sendiri dan dampak dari luka di hatinya.
  3. Mengeluarkan "racun" luka (termasuk marah, dukacita). Orang yang hatinya terluka, dampaknya dapat merupakan racun yang bercokol di dalam hidupnya. Kita semua tahu, racun yang dibiarkan di dalam tubuh kita itu dapat merusak tubuh kita, bahkan akibatnya kita tidak dapat berfungsi dengan baik, membuat kita sangat sakit, bahkan bisa fatal.
  4. Menghilangkan utang—mengampuni. Dengan menghilangkan utang orang lain, dapat membuat kita bebas dari segala sakit hati, luka dan belenggu yang menyeret langkah-langkah kita untuk maju.
  5. Ada batasan untuk melindungi diri. Orang-orang yang masih sering melukai klien, misalnya dengan tutur kata dan perbuatannya, meskipun sudah ada pengampunan, perlu dibuat batasan. Misalnya seorang anak dewasa yang kerja di perusahaan orang tua, tetapi terus-terusan dimarahi, seperti sejak dari kecil, dapat memilih kerja di perusahaan orang lain.
  6. Kalau bisa rekonsiliasi

Rekonsiliasi itu dua arah, pengampunan itu satu arah. Pengampunan harus dilakukan, tetapi rekonsiliasi belum tentu tepat untuk semua keadaan dan semua orang. Kalau orang yang melukai itu tetap tidak mau berubah, misalnya tetap tidak jujur, selingkuh dan melakukan berbagai kekerasan, rekonsiliasi sulit dilakukan. Setiap orang butuh mendapatkan kelepaskan dan dipulihkan. Semoga semua orang mau dipulihkan supaya menjadi orang yang bebas dari cengkeraman belenggu yang menyakitkan. Orang yang sudah terlepas dari belenggu itu dapat bebas bertumbuh menjadi anak-anak Tuhan yang makin hari makin menyerupai Tuhan!

Pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo [6]
Audio [7]
Masalah Hidup [8]
T604B [9]

URL sumber: https://m.telaga.org/audio/terluka_mau_pulihkah_apa_yang_dapat_dilakukan_supaya_pulih

Links
[1] https://media.sabda.org/telaga/mp3/T604B.mp3
[2] mailto:telaga@telaga.org
[3] http://www.telaga.org
[4] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Mrk+11:25
[5] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Mat+6:14-15
[6] https://m.telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_vivian_andriani_soesilo
[7] https://m.telaga.org/jenis_bahan/audio
[8] https://m.telaga.org/kategori/masalah_hidup0
[9] https://m.telaga.org/kode_kaset/t604b