TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://m.telaga.org)

Depan > Tangga ke Rumah 1

Tangga ke Rumah 1

Kode Kaset: 
T436A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Penyebab dari masalah yang sering timbul dalam keluarga yang terutama adalah pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Antara lain ialah Gaya Hidup Bermasalah, Cara Komunikasi Bermasalah dan Mekanisme Memenuhi Kebutuhan. Disini akan dijelaskan secara jelas mengenai tiga hal tersebut.
Audio
MP3: 
3.4MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tangga Ke Rumah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Suatu judul yang sangat menarik tentang tangga ke rumah. Biasanya kita mendengar istilah rumah tangga tetapi ini tangga ke rumah, maksudnya bagaimana?

PG : Begini Pak Gunawan, bukankan istilah rumah tangga itu berlatar belakang dari konteks kehidupan kita dimasa lampau yaitu pada umumnya rumah berada diatas tanah sehingga untuk masuk kerumah,orang memerlukan tangga.

Jadi judul tangga ke rumah ini untuk membicarakan hal-hal apa yang perlu kita persiapkan untuk memasuki rumah tangga. Saya memiliki sebuah pertanyaan, apa yang harus kita persiapkan untuk masuk ke dalam rumah tangga? Saya melihat terlalu banyak rumah tangga yang bermasalah. Saya masih ingat waktu saya kuliah pun ada seorang dosen saya yang berkata "Saya tidak percaya dengan pernikahan," dan saya ingat ada satu teman saya yang mengajukan pertanyaan kepada beliau "Kenapa Ibu tidak percaya pada pernikahan?," dan Ibu itu berkata "Karena saya melihat terlalu banyak pernikahan yang hancur." Setelah bertahun-tahun saya terjun kedalam pelayanan, saya harus mengakui kebenaran dari pengamatan Ibu dosen saya itu, banyak sekali pernikahan bermasalah. Saya kira lebih dari setengah pernikahan itu bermasalah, memang semua tidak berakhir dengan perceraian. Namun lebih dari setengah tidak sungguh-sungguh menikmati kehidupan pernikahannya. Jadi banyak orang hanya menjalani kehidupan nikah tetapi tidak menikmatinya, ini membuat saya bertanya-tanya mengapakah demikian. Memang sudah tentu banyak hal yang perlu kita pelajari untuk berelasi yang baik dengan pasangan kita, harus menyesuaikan diri dengan pasangan kita. Namun pada dasarnya, ini semua berpulang dari pribadi yang bersangkutan, maksud saya kalau pribadi yang bersangkutan memang dewasa, siap nikah, matang kepribadiannya, sudah tentu ini akan memudahkan proses penyesuaian. Kalau pribadinya tidak matang atau bermasalah sudah tentu ini akan menghambat proses penyesuaian. Jadi melalui kesempatan ini, saya ingin mengajak kita semua memfokuskan pada pribadi kita. Bagaimana kita bisa mematangkan diri, sehingga waktu kita menikah kita lebih siap untuk mengalami penyesuaian dan perubahan.
GS : Sebelum kita bahas lebih lanjut Pak Paul. Kelihatan ada keluarga-keluarga yang dari luar tidak ada masalah tetapi dengan tidak ada masalah justru didalamnya penuh dengan masalah.

PG : Itu pengamatan yang tepat. Jadi banyak rumah tangga yang sebetulnya menyimpan masalah tapi karena malu untuk menceritakannya akhirnya menutupi masalah tersebut. Pada intinya barometer yangkita gunakan adalah apakah seseorang itu menikmati kehidupan nikahnya.

Kalau kita tanyakan kepada para responden yang telah menikah saya menjadi khawatir, mungkin lebih dari setengah akan berkata mereka tidak menikmati kehidupan nikahnya, mereka hanya menjalani. Ada yang menjalaninya atas dasar anak, atas dasar reputasi nanti apa kata orang dan sebagainya. Maka tidak lagi menikmati kehidupan nikahnya.
GS : Memang ini suatu hal yang penting menikmati pernikahan. Ada orang makan dan makan saja, ada orang yang sekadar makan tetapi ada juga orang yang menikmati apa yang dia makan. Sehingga dia bisa bersyukur, tetapi dia betul-betul menikmati. Dan pernikahan saya rasa seperti itu, Pak Paul?

PG : Dan kalau kita menikmati kehidupan nikah kita, itu akan berdampak luas. Misalnya berdampak pada penyelesaian konflik, setiap kita pasti ada konflik karena kita harus menyesuaikan diri dengn perbedaan.

Kalau kita menikmati kehidupan nikah kita, itu menjadi modal yang besar sekali untuk meredakan konflik. Sebaliknya kalau kita tidak menikmati kehidupan nikah kita, konflik itu semakin mudah muncul sebab hal-hal kecil pun menjadi besar seolah-olah siap bertempur, itu akan memberi pengaruh pada konflik. Kalau kita menikmati kehidupan nikah maka kita menjadi semakin tenang, senang, hidup makin efektif. Jadi sekali lagi, hidup ini menjadi sebuah lingkaran yang saling mengisi. Masalah-masalah ini benar-benar memaksa saya untuk berfikir keras, kenapa begitu banyak pernikahan yang retak. Dan dapat saya simpulkan semua berawal dari pribadinya yang memasuki pernikahan itu. Saya berikan contoh kalau kita bekerja di sebuah tempat dan kebetulan rekan kerja itu matang kepribadiannya, bukankah kita menikmati bekerja dengan dia. Masalah mungkin timbul tetapi karena dia orangnya matang, maka mudah untuk kita menyelesaikan masalah itu karena pengertian lebih mudah dibangun. Jadi sekali lagi ini terpulang pada pribadinya. Dan ini yang ingin kita fokuskan.
GS : Kalau berbicara tentang pribadi, masalah-masalah apa yang sering timbul dalam pribadi itu, sehingga orang tidak menikmati hidup pernikahannya?

PG : Kita akan bagi pembahasan kita dalam 3 bagian besar, nanti dalam siaran berikutnya kita akan bahas bagian kedua. Bagian pertama yang akan kita bahas adalah gaya hidup bermasalah. Jadi ada rang-orang yang membawa gaya hidup bermasalah masuk ke dalam pernikahan.

Gaya hidup bermasalah ini dapat dipastikan membuahkan masalah didalam pernikahannya.
GS : Masalah macam apa yang dibawa oleh seseorang didalam hidup pernikahannya?

PG : Saya akan bagi dalam 3 jenis, tapi saya akan mengunakan istilah pertanian. Yang pertama adalah gaya hidup yang tidak mau menanam dan tidak mau menuai maksudnya gaya hidup yang tidak bertangung jawab.

Orang yang tidak bertanggung jawab tidak mau menanam, tidak mau menuai tapi mau tersedia. Gaya hidup tidak bertanggung jawab misalnya mengharuskan pasangan menjadi penanggung jawab atas hidupnya, pasangan berkewajiban menyenangkan hatinya, tidak boleh mengecewakannya, seyogianya memahami keinginannya tanpa dia harus menyuarakannya. Atau pasangannya dituntut senantiasa bisa memperhatikan gejolak didalam dirinya dan berusaha menenangkannya. Jadi pasanganlah yang harus bekerja, harus menanam, harus menuai dan orang ini hanya tinggal makannya. Ada orang yang memasuki pernikahan dengan kepribadian seperti ini, tidak mau menanam dan tidak mau menuai, inginnya semua tersedia. Tidak bisa tidak pasangannya akan keletihan, akan frustrasi dan merasa sayalah yang harus bekerja didalam pernikahan ini dan dia tidak mau apa-apa, maunya semua beres. Sudah tentu pada akhirnya timbul kemarahan dari pihak pasangannya, pasangannya akan angkat tangan dan berkata "Kamu urusi semuanya, saya tidak mau lagi, kamu mau apa terserah, mau minta apa terserah." Orang yang terbiasa tidak mau menanam, tidak mau menuai akan marah dan berkata, "Lihat kamu kok marah, tidak mau apa-apa, tidak mau bekerjasama, seharusnya suami-istri itu bekerjasama, dsb." Tetapi pasangannya akan berkata "Siapa yang kerjasama, hanya saya sendiri yang bekerja, kamu tidak pernah berbuat apa-apa."
GS : Mengapa orang bisa berbuat seperti itu, menurut pengertian saya itu sangat egois?

PG : Ada orang yang terlalu dipuaskan dan dipenuhi pada masa pertumbuhannya, sehingga sebelum dia meminta sesuatu, orang sudah tahu apa yang dia inginkan. Misalnya orangtua, karena terlalu memprhatikan anak sehingga orangtua tahu apa yang dirasakan oleh si anak.

Apa yang menjadi kebutuhan anak, orangtua memberikan sehingga anak tidak pernah terlatih untuk menyuarakan dirinya, untuk bekerja, untuk mendapatkan sesuatu karena semuanya tersedia dengan mudah. Atau kebalikannya ada orang yang latar belakangnya sangat sempit tidak ada interaksi dengan orang lain, orangtua di rumah juga tidak terlalu dekat, tidak mempedulikannya. Jadi dapat dikatakan dia hidup sendirian, karena dia hidup sendirian dia tidak terbiasa berbuat untuk orang lain. Jadi hidupnya berputar-putar pada dirinya sendiri, memikirkan hidupnya sendiri, mengupayakan hidupnya sendiri, dan semua sendiri. Orang seperti ini waktu memasuki pernikahan, dia akan sendirian pula meskipun dia menikah ada istrinya atau ada suaminya tapi dia tidak berbuat untuk pasangannya. Kalau diminta mungkin yang pertama dia tidak tahu apa yang harus dia perbuat, kedua dia merasa tertekan diminta-mintai pertolongan dan akhirnya muncullah konflik demi konflik.
GS : Apakah itu termasuk orang-orang yang asosial, Pak Paul?

PG : Betul, jadi ada orang-orang yang memang dibesarkan dalam rumah terisolasi dengan lingkungan, hidup sendirian saja, akhirnya tidak mengembangkan keterampilan sosial, tidak mengembangkan nalri sosial pula.

Jadi hidup benar-benar sendirian.
GS : Ada salah seorang teman saya yang punya prinsip hidup seperti itu, saya tidak mau merepotkan orang lain dan saya juga tidak mau direpotkan.

PG : Meskipun dia menikah tetapi kalau tidak ada saling merepotkan berarti tidak ada relasi yang intim antara keduanya.

GS : Akhirnya dia mengurus dirinya sendiri, istrinya mengurus dirinya sendiri lalu makna pernikahan itu tidak dapat dinikmati karena hidupnya sendiri-sendiri. Lalu bagaimana seharusnya sikap seorang istri menghadapi suami atau suami yang menghadapi istri yang mempunyai kecenderungan seperti itu?

PG : Pertama sebisanya dia tidak mengajukan tuntutan, karena waktu dia mulai menuntut, tidak semua orang menerima tuntutan itu. Dia tidak terbiasa, dia akan bingung, dia akan marah. Jadi saya mnganjurkan lebih baik istri atau suami memberikan saran-saran praktis, misalnya "Kalau kamu nanti akan pulang terlambat tolong telepon saya".

Misalkan dia lupa telepon si suami atau istri yang telepon, waktu telepon tanya apa kabar? dan sebagainya, dan berkata "Karena kamu tidak telepon maka saya telepon," dan itu dilakukan terus berulang kali. Sehingga lama kelamaan dia terkondisi untuk menelepon kalau dia akan pulang terlambat. Ini adalah proses yang sangat panjang, boleh dikata hampir setiap hal harus diajarkan. Karena orang yang sudah terbiasa dengan hidup yang seperti ini, memang susah untuk keluar dari gaya hidup tidak mau mananam tidak mau menuai, apalagi kalau di rumah sudah biasa disediakan dan sekarang pasangannya juga menyediakan, dia tidak mau mengeluarkan keringat untuk menyediakan bagi pasangannya.
GS : Selain itu apakah ada gaya hidup bermasalah yang lain, Pak?

PG : Gaya hidup menuai tanpa harus menanam, biasanya berawal dari masa kecil yang susah atau masa kecil yang manja dan mudah. Berpotensi menciptakan ambisi untuk cepat menuai tanpa harus bersush payah menanam.

Misalnya ada orang yang ingin cepat kaya, dia akan spekulasi kanan kiri, proyeknya selalu ada dan selalu optimis tidak mau memperhitungkan kemungkinan gagal, dia selalu punya ambisi pasti berhasil. Saya kira ini muncul dari keinginan ingin cepat menuai, ada orang yang menikah dengan ambisi yang begitu besar. Menanam sedikit saja yang penting cepat menuai, ini biasanya akan menimbulkan goncangan dalam pernikahan karena pasangannya akan hidup dalam kecemasan terus-menerus sebab suaminya terlalu berani hutang sani-sini, resikonya terlalu tinggi tapi tetap berani melakukan. Akhirnya tidak bisa tidak akan menimbulkan konflik sebab pasangannya tidak tahan, apalagi kalau benar-benar terbukti. Tapi kalau orang yang ingin cepat menuai biasanya tidak mudah jera, dia akan mencoba dan coba lagi dengan hidup "Andaikan", andaikan dia menuai.
GS : Khususnya pada akhir-akhir ini gaya hidup ini ditawarkan oleh lingkungan di sekeliling kita bahwa dengan bekerja yang tidak terlalu berat anda dapat mendapatkan hasil yang begitu besar.

PG : Benar, memang saya kira ini ada pengaruh juga dengan lingkungan. Begitu banyak ceramah-ceramah yang mengajarkan tidak lagi bekerja untuk mencari uang tapi biarlah uang itu yang bekerja untk kita.

Saya tidak menyangkal kalau ada sebagian orang yang memiliki keberuntungan yang baik dengan cara-cara yang seperti itu, tapi saya kira mayoritas orang di dunia ini harus mencucurkan keringat dan baru mendapatkan upah. Jadi seyogianya orang memasuki pernikahan dengan konsep yang seperti itu, bahwa dia harus bersusah payah menanam baru bisa menuai. Selain dari pengaruh lingkungan, kadang-kadang ada pengaruh keluarga. Misalkan dia dibesarkan oleh orangtua yang berada dan sukses, dia merasa harus sesukses orangtuanya atau dia membandingkan diri dengan saudaranya, kalau saudaranya bisa cepat maju maka dia juga harus cepat maju. Akhirnya dia mudah mengambil resiko dan menjadi berantakan. Akan menjadi repot kalau ada orang memasuki pernikahan dengan kepribadian ini dan tidak heran pernikahan ini pasti hancur.
GS : Sebagai pasangan apa yang bisa dilakukan, Pak Paul?

PG : Biasanya kalau pasangannya itu bicara, susah didengarkan oleh suaminya karena istri tidak dianggap. Sebagai solusi diperlukan orang lain yang lebih berpengaruh, yang lebih bijaksana apalag kalau orang itu mengerti bidang yang digeluti oleh pasangannya.

Kita mencoba bicara dengan orang lain, minta dia bicara dengan pasangan kita, mudah-mudahan setelah itu dia mau mendengarkan.
GS : Apa gaya hidup yang ketiga yang sering memimbulkan masalah, Pak Paul?

PG : Ini kebalikannya Pak Gunawan, yaitu hidup yang terus menanam tapi tidak menuai artinya orang yang membuat dirinya dan orang lain sengsara karena orang ini tidak dapat menikmati hidupnya. Dn celakanya orang yang tidak bisa menikmati hidupnya melarang orang lain menikmati hidupnya pula.

Jadi dia selalu menghemat, tidak boleh senang-senang tidak boleh rekreasi, kalau mau rekreasi yang dipikir adalah "Buat apa." Kalau yang dipikir itu maka keluarga tidak akan pernah kemana-mana. Makan di restoran pun juga sangat susah, dalam setahun bisa dihitung. Pokoknya hidup itu harus susah payah tidak boleh senang-senang. Anak juga diwajibkan harus susah tidak boleh senang-senang, sebab kalau anak terlalu senang nantinya akan jadi apa. Gaya hidup seperti ini tidak bisa tidak akan menyengsarakan semua orang di rumahnya, tidak ada lagi yang bisa tertawa pokoknya harus selalu susah. Dia mungkin senang tapi semua orang yang di rumah sengsara.
GS : Biasanya berlatar belakang dari kehidupan dulunya susah atau melihat keluarganya susah atau bagaimana?

PG : Saya kira demikian Pak Gunawan, jadi dia memiliki ketakutan yang besar meskipun dia sendiri tahu secara rasional dia memiliki harta yang cukup, tapi dia selalu dibayang-bayangi ketakutan bhwa dia akan jatuh miskin.

Atau dia takut kalau dia menikmati hidup maka dia menjadi lengah, dan kalau dia lengah maka habislah semua itu. Jadi benar-benar dia hidup dibayang-banyangi oleh ketakutan bahwa dia akan jatuh lagi dan dia tidak mau hal itu terulang. Atau dengan kata lain dia selalu melihat dirinya miskin meskipun dia sudah kaya, jadi karena dia menganggap dirinya miskin maka orang harus hidup dengan standart kemiskinan itu. Ini menjadi sulit karena ada pasangan dan anak-anak hidupnya menjadi merana sekali dengan dia.
GS : Alasan yang sering kali dikemukakan ialah kita hidup pada zaman ini harus hidup hemat, tapi ini sudah melangkah kepada kekikiran bukan lagi hemat?

PG : Betul, jadi dia benar-benar anti senang, tidak boleh melihat senang karena bagi dia hidup itu susah. Tapi kalau kita katakan kepadanya seperti itu maka mungkin sekali dia akan menyangkal. ebab pada dasar hatinya, hidup itu tidak boleh bersenang-senang, hidup itu harus susah payah.

Jadi penekanannya, hidup itu harus bekerja, harus mengencangkan ikat pinggang sehingga lama kelamaan orang yang ada di rumah tidak tahan.
GS : Dalam hal ini, apa yang pasangan bisa lakukan untuk menolong segenap keluarga ini?

PG : Mungkin pasangannya bisa berkata, "Saya mau mengerti maksud baik kamu, kamu ingin melindungi kami dari kemiskinan, dari kejatuhan tapi bukankah ada baiknya juga kalau sekali-sekali kamu jawalkan kita bisa makan di restoran," misalnya dia berkata "Dua kali dalam satu bulan" dan kita mencoba mengikuti kemauannya dulu.

Jadi minta kesediaan dia untuk menetapkan jadwal, mungkin sekali pada awalnya dia tidak suka makan di restoran, mukanya panjang, cemberut, tapi tetap ikuti saja lama kelamaan tambah lagi dengan aktifitas yang lain. Jadi benar-benar harus sedikit demi sedikit, kalau dipaksa dia akan berontak dan pasti menolak.
GS : Selain membuatkan jadwal, apakah anggaran juga bisa menolong? Jadi sejak awal suami istri sudah bicara tentang pembagian anggaran. Selama itu masih didalam anggaran, mungkin dia akan merasa aman.

PG : Betul, jadi dianggarkan itu akan sangat menolong sekali, Pak Gunawan. Dan misalkan uang yang dianggarkan itu dipegang oleh pasangannya dan bukan oleh dia sebab orang yang seperti dia, begiu uang dipegang maka tidak bisa lagi keluar.

Jadi sebaiknya yang dianggarkan itu, mintalah untuk pasangannya yang memegang dan bukan dia sendiri.
GS : Tapi orang-orang tipe ini lebih senang memegang uangnya daripada diserahkan kepada pasangannya. Ada kekhawatiran tertentu nanti dibelanjakan untuk hal yang lain dan dia tidak bisa kontrol.

PG : Betul, dan ini penting sekali pasangan berkonsultasi untuk membeli sesuatu sebab dia penuh dengan kecurigaan. Kalau pasangannya tiba-tiba membelanjakan sesuatu yang dia tidak tahu maka diaakan marah meskipun pasangan memberitahukan bahwa ini penting, tapi dia akan tetap marah.

GS : Yang seringkali dikhawatirkan memang hal-hal yang terjadi diluar perhitungannya. Walaupun sudah dianggarkan dia selalu bilang "Jangan dulu, nanti kalau ada apa-apa," misalnya anaknya sakit atau orangtuanya mendadak membutuhkan uang maka dia tidak bisa membantu, jadi sebetulnya kekhawatiran yang berlebihan.

PG : Betul, jadi orang seperti dia memang senantiasa berikhtiar untuk menyediakan ban serep tapi tidak pernah habis ban serep itu.

GS : Akhirnya yang terkumpul hanya ban serep saja, padahal yang dipakai hanya itu-itu saja. Pak Paul, apakah gaya hidup bermasalah seperti ini sepertinya bisa dirubah dalam seseorang?

PG : Sudah tentu bisa, memang memerlukan waktu yang sangar panjang, perlu kesensitifan, kelembutan, kesabaran.

GS : Tapi yang penting dari pribadi yang bersangkutan harus mau berubah?

PG : Betul, kalau dia tetap beranggapan dia benar dan tidak perlu berubah itu susah. Jadi pasangannya harus berkata "Ayo kita kerjasama, saya tidak bisa terus-menerus hidup seperti ini, tolong amu mengalah sedikit."

Tapi kita berbicara dengan lembut.
GS : Memang tidak bisa dipaksakan, kalau kita paksakan malah mengurung diri dan susah mengeluarkannya. Dalam perbincangan ini, apakah ada Firman Tuhan yang melandasinya.

PG : Saya akan bacakan kitab Pengkhotbah 2:22-25 "Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? Seuruh hidupnya penuh kesedihan dan perkerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya tidak tenteram.

Ini pun sia-sia. Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?" Jadi ada 2 hal yang penting, Tuhan menghendaki kita berjerih payah tapi yang kedua Tuhan menghendaki kita juga menikmati jerih payah kita dan Tuhanlah yang memampukan kita untuk menikmati jerih payah itu, kita tidak bisa menikmati jerih payah di luar Tuhan. Jadi prinsip yang penting untuk memiliki gaya hidup yang sehat, kita memang harus berjerih payah, mengeluarkan tenaga dan usaha tapi tetaplah belajar untuk menikmati apa yang telah kita upayakan itu.
GS : Memang ini sangat penting diperhatikan, justru sebelum pernikahan itu di langsungkan Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tangga ke Rumah" dengan sub judul "Gaya Hidup Bermasalah" ini merupakan bagian yang pertama dari judul Tangga ke Rumah dan kami berharap Anda sekalian dapat mengikuti perbincangan lanjutan dari acara ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id [2] kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3] Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Jika kita memperhatikan pasangan nikah di sekitar kita, tidak bisa tidak kita harus mengakui begitu sedikit pasangan yang sungguh-sungguh menikmati pernikahannya. Bahkan cukup banyak yang sebenarnya tidak lagi hidup dalam pernikahan meski masih mempertahankan status nikah. Pertanyaan yang timbul adalah, mengapakah demikian?

Pada akhirnya saya menyimpulkan kendati ada banyak faktor yang dapat menimbulkan masalah dalam pernikahan, namun sering kali penyebab pertama dan mungkin terbesar adalah pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Bukankah pribadi yang bermasalah bermuara pada gaya hidup bermasalah, cara berkomunikasi bermasalah, dan mekanisme memenuhi kebutuhan bermasalah? Dan bukankah gaya hidup, cara berkomunikasi, dan mekanisme untuk memenuhi kebutuhan semuanya berkaitan langsung dengan pernikahan itu sendiri?

A. Gaya Hidup Bermasalah

Ada beberapa gaya hidup bermasalah yang kerap dibawa masuk ke dalam pernikahan. Pertama adalah gaya hidup tidak mau menanam dan tidak mau menuai. Ini adalah gaya hidup tidak bertanggung jawab. Pada umumnya gaya hidup tidak bertanggung jawab mengharuskan pasangan untuk menjadi penanggung jawab hidupnya. Pasangan berkewajiban menyenangkan hatinya dan tidak boleh mengecewakannya. Pasangan seyogianya memahani keinginannya tanpa ia harus menyuarakannya. Pasangan senantiasa harus memperhatikan gejolak di dalam dirinya dan berusaha menenangkannya. Gaya hidup tidak bertanggung jawab sesungguhnya menempatkan diri pada posisi tidak pernah salah.

Kedua adalah gaya hidup menuai tanpa harus menanam. Masa kecil yang susah atau masa kecil yang manja dan mudah, berpotensi menciptakan ambisi untuk cepat menuai tanpa harus bersusah payah menanam. Atau, ada orang yang senantiasa membandingkan diri dengan saudara atau orangtuanya dan merasa bahwa ia kurang. Namun untuk mengisi kekurangannya bukannya ia menempuh jalan panjang, ia malah mencari jalan pintas. Misalnya ia ingin cepat kaya dengan cara semudah mungkin. Gaya hidup seperti ini acap kali diikuti dengan gaya hidup penuh spekulasi yang berakhir dengan kehilangan besar. Masalahnya adalah, ia tidak bersedia melihat realitas; sesungguhnya ia hidup dalam khayalannya.

Ketiga adalah gaya hidup terus menanam dan tidak menuai. Gaya hidup ini membuat dirinya-dan orang lain-sengsara sebab orang ini tidak dapat menikmati hidup dan melarang orang menikmati hidup pula. Orang ini mungkin sekali bergelimang dengan kelimpahan namun ia senantiasa melihat dirinya kurang. Ia selalu berusaha irit dan memandang kenikmatan sebagai musuh yang harus dilawan. Ia penuh ketakutan dan menciptakan banyak larangan guna menghindar dari ketakutannya.

Firman Tuhan

Salah satu tema utama Kitab Pengkhotbah hidup dalam keseimbangan. Misalnya Pengkhotbah 2:22-25 "Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? Seluruh hidupnya penuh kesedihan dan perkerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya tidak tenteram. Ini pun sia-sia. Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?" mengajarkan kepada kita bahwa tidak benar bagi kita untuk terus bekerja (menanam) tanpa menuai. Selanjutnya Pengkhotbah 2:24-26 menekankan bahwa Tuhanlah yang mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk menikmati buah kerja kita. Jadi, Tuhanlah yang memberi kita kesempatan untuk bekerja dan Tuhanlah yang memampukan kita untuk menikmati jerih lelah kita.

B. Cara Komunikasi Bermasalah

Pribadi bermasalah kerap membawa cara berkomunikasi bermasalah ke dalam pernikahan. Ada beberapa yang sering menjadi duri dalam pernikahan dan yang pertama adalah cara berkomunikasi yang saya panggil, meliuk. Cara berkomunikasi ini tidak langsung dan samar; apa yang dikatakan tidak mengatakan apa yang ingin dikatakan. Hari ini berkata, tidak, besok berkata, ya, namun apa yang sesungguhnya ada di hati tidak pernah tercetus keluar.

Tidak bisa tidak, gaya berkomunikasi seperti ini membingungkan dan berakhir dengan frustrasi. Kita tidak tahu bagaimana harus bereaksi sebab kita tidak tahu isi hatinya dan harus mereka-reka maksudnya. Kalaupun terpojok, ia sulit mengakui keinginan atau pendapatnya; malah ia sering melemparkan masalah kembali kepada kita seolah-olah kitalah yang salah mengertinya.

Cara berkomunikasi bermasalah lainnya adalah menukik. Saya sebut menukik sebab arah pembicaraan seakan-akan selalu memojokkan dan merendahkan lawan bicara. Apa pun yang dikatakannya, pada akhirnya kita akan merasa dilecehkan atau disalahkan. Ia selalu benar dan tahu, sedangkan kita tidak pernah benar dan selalu tidak tahu apa-apa. Gaya bicara menukik sukar membuka kesempatan terjadinya dialog sebab gaya bicara ini cenderung searah dan bermuatan instruksi.

Cara berkomunikasi lain yang juga sering menimbulkan masalah adalah cara berkomunikasi memercik-sudah tentu yang saya maksud adalah percikan api emosi. Ada orang yang penuh ketegangan sehingga mudah sekali meledak namun ada pula orang yang sebenarnya tidak penuh ketegangan namun sangat tidak sabar dengan ketidaksempurnaan sehingga mudah marah. Orang ini biasanya menuntut kita untuk berbicara dengannya dengan cara yang pas dengan suasana hatinya sebab ia sendiri pun dikuasai oleh suasana hati.

Firman Tuhan

Semua gaya komunikasi bermasalah berhulu pada putusnya tali komunikasi dan jika tali komunikasi sudah terputus, tali relasi pun akan putus. Efesus 4:25 mengajarkan kita untuk berkata benar kepada satu sama lain. Amsal 18:21, "Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya." mengingatkan kita akan pengaruh atau kuasa lidah yang dapat menghancurkan atau memberi hidup kepada sesama. Relasi nikah bergantung pada komunikasi dan komunikasi bergantung pada lidah-dan lidah orang benar membangun pernikahan.

C. Mekanisme Memenuhi Kebutuhan

Masing-masing kita membawa kebutuhan masuk ke dalam pernikahan. Tidak ada yang salah dengan kebutuhan untuk dikasihi dan dihargai; masalah timbul tatkala kita menggunakan cara yang salah untuk mendapat pemenuhan kebutuhan itu. Salah satu mekanisme yang salah adalah melimpahkan masalah pada pundak pasangan padahal kitalah yang mempunyai kebutuhan itu. Kita menolak mengakui bahwa sebenarnya kitalah yang mempunyai kebutuhan itu; sebaliknya, kita menuduh pasangan seakan-akan dialah yang tidak mampu menyediakan kebutuhan itu. Tema utama yang kerap kita lontarkan adalah bahwa dia "tidak cukup baik" dalam memenuhi kebutuhan kita. Sudah tentu pasangan menjadi frustrasi dan lama kelamaan kehabisan tenaga memenuhi kebutuhan kita.

Mekanisme kedua yang bermasalah adalah senantiasa memunculkan masalah. Ada orang yang terus menerus memunculkan masalah; setiap hal menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Masalah mungkin berkaitan dengan kita mungkin juga tidak, namun pada intinya ia tidak pernah dapat berbahagia dengan hidupnya. Orang yang selalu memunculkan masalah dan melihat hidup dari kacamata masalah sesungguhnya mengalami kehampaan dan tidak mempunyai makna hidup. Ia ingin memenuhi kebutuhan akan makna hidup namun ia tidak tahu bagaimana; alhasil ia selalu merasa tidak puas dan kerap menggerutu.

Mekanisme ketiga yang salah adalah meniadakan masalah. Pernikahan dimaksudkan menjadi ajang penyatuan dan tolong menolong; di dalam proses inilah keintiman dibangun dan berkembang. Namun ada di antara kita yang tidak nyaman dengan kebutuhannya dan tidak bersedia melibatkan pasangan untuk memenuhi kebutuhannya. Kita beranggapan bahwa kita sendirilah yang harus memenuhi kebutuhan itu karena memang ini adalah kebutuhan kita. Namun ada pula orang yang tidak bersedia membagi kebutuhannya karena gengsi atau takut ditolak. Daripada dihina atau ditolak, lebih baik tidak membagi kebutuhan sama sekali.

Firman Tuhan

Apa pun itu yang kita lakukan, yang pasti adalah, cara yang keliru dalam memenuhi kebutuhan pada akhirnya memisahkan kita dari orang yang kita cintai. Amsal 22:9, "Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin," mengajarkan kita bahwa orang yang murah hati akan diberkati. Murah hati berawal dari hati yang memberi dan dalam pernikahan, hati yang memberi akan menerima kembali dengan berkelimpahan.

Pdt. Dr. Paul Gunadi [4]
Audio [5]
Suami-Istri [6]
T436A [7]

URL sumber: https://m.telaga.org/audio/tangga_ke_rumah_1_0

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T436A.MP3
[2] mailto:telaga@indo.net.id
[3] http://www.telaga.org
[4] https://m.telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[5] https://m.telaga.org/jenis_bahan/audio
[6] https://m.telaga.org/kategori/suami_istri_0
[7] https://m.telaga.org/kode_kaset/t436a