TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://m.telaga.org)

Depan > Pelancar Komunikasi I

Pelancar Komunikasi I

Kode Kaset: 
T338A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Salah satu masalah yang kerap muncul dalam pernikahan adalah masalah komunikasi. Oleh karena kita dibesarkan dalam latar belakang yang berbeda, sering kali kita menemui kendala dalam berkomunikasi dengan pasangan. Pembahasan ini akan diberikan tips singkat agar kita mudah dalam berkomunikasi khususnya dalam pernikahan
Audio
MP3: 
3.4MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang “Pelancar Komunikasi”. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS :   Kita setiap hari berkomunikasi bahkan ada orang yang secara khusus mendalami ilmu komunikasi, alat-alat komunikasi begitu canggih akhir-akhir ini tetapi di dalam kehidupan suami istri, Pak Paul, seringkali terjadi masalah justru karena komunikasi. Buat saya itu sesuatu yang ironis, begitu Pak Paul, tidak tahu bagaimana pandangan Pak Paul dalam hal ini ?

PG :   Sangat-sangat ironis sudah pasti, kalau kita kembali kepada tujuan hakiki berkomunikasi sebetulnya dari kata komunikasi itu kita bisa memetik satu makna bahwa komunikasi tujuannya adalah untuk mengakrabkan atau menyatukan, sebab kata ‘komunikasi’ dengan kata ‘komunitas’ sama, arti katanya adalah sebuah persekutuan. Tuhan juga memberikan kemampuan kepada manusia untuk berkomunikasi agar Tuhan dan manusia juga bisa menyatu, memunyai sebuah persekutuan dan manusia dengan sesamanya memunyai persekutuan jadi itulah yang melatar belakangi mengapa Tuhan memampukan manusia untuk dapat berkomunikasi. Sebagaimana tadi Pak Gunawan sudah katakan ironisnya dalam pernikahan kita bukan berkomunikasi, artinya bukan menjadi sebuah komunitas, sebuah kesatuan tapi justru akhirnya gontok-gontokan dan malah saling menjauh.

GS :   Ada orang bahkan di luar artinya kalau bukan berkomunikasi dengan pasangan sangat ahli sekali bahkan dikatakan ini seorang komunikator yang ulung, Pak Paul, tetapi di rumah dia seolah-olah kehilangan kata-kata atau kalau pun berkata-kata menyakitkan pasangannya.

PG :   Jadi kalau kita mau menggunakan istilah-istilah semantik yang lebih akurat, orang yang mampu untuk berkata-kata meyakinkan orang itu disebutnya orator, orang yang memang bisa menyampaikan konsep pemikiran dan sebagainya, tetapi kalau kita mau katakan orang itu bisa berkomunikasi, seharusnya orang itu bisa merangkul, mendamaikan sehingga relasinya dengan orang lain menjadi dekat. Jadi ada beberapa yang mau kita soroti, yang pertama adalah kita kurang mengenal kebutuhan mendasar dari baik itu pria maupun wanita. Ini yang ingin saya sampaikan bahwa sebetulnya kendati banyak topik dalam hal-hal yang kita bicarakan di rumah tapi sesungguhnya tema yang umumnya melahirkan topik pembicaraan dalam pernikahan hanyalah dua, satu berkaitan dengan suami dan satu lagi berkaitan dengan istri. Apakah itu ? Pada dasarnya tema yang berhubungan dengan suami adalah ketertiban sedangkan tema yang berkenaan dengan istri adalah kepastian. Coba saya jelaskan. Suami biasanya menginginkan agar segalanya berjalan dengan tertib alias tertata, dapat dikendalikan. Suami umumnya tidak nyaman dengan perubahan yang mendadak, segala sesuatu yang tidak bisa dikendalikan, yang termasuk dalam nalar, itu sesuatu yang tidak bisa diterima oleh suami dengan baik. Oleh sebab itu kebanyakan pria memunyai kebutuhan untuk mengontrol, baik itu orang maupun kondisi, dia mau semuanya dalam kendali sebab dalam kondisi inilah ia baru bisa hidup dengan lega, tertib semuanya. Artinya bila dia tidak mendapatkan ketertiban, dia mudah terjebak dalam perilaku dominan atau bahkan kasar, memaksakan kehendak. Mengapa dia bisa dominan dan kasar ? Karena memang dia berusaha untuk mengendalikan supaya semuanya berjalan dengan teratur, dengan tertib. Dia tidak merasa nyaman kalau ada hal-hal yang terjadi di luar kendalinya.

DL :   Tapi ada juga laki-laki yang tidak tertib.

PG :   Yang saya maksud adalah di dalam dirinya laki-laki itu mau tenang, tenteram, tidak mau kacau, mungkin dengan dia menolak tanggungjawabnya, dia sedang mencoba membuat dirinya tenteram. Kalau dia ikut campur, dia berbicara dengan istrinya, dia menegur anaknya, dia pusing. Dia merasa tidak bisa menghadapinya, daripada dia merasa pusing tidak bisa menghadapi, menjadi lepas kendali semuanya, lebih baik dia tidak mau tahu. Ada suami yang seperti itu, seolah-olah dia tidak tertib tapi sebetulnya dia tertib dan dia membuat dirinya tenang tidak pusing, tidak tersangkut dalam urusan-urusan keluarga karena untuk dia urusan-urusan keluarga, dia tidak begitu bisa mengendalikannya. Lebih baik dia tidak mau tahu.

GS :   Tapi untuk bisa semuanya berjalan dengan tertib atau di bawah kendalinya, dia harus mengomunikasikan apa sebenarnya yang dia inginkan.

PG :   Ada yang memang mengomunikasikannya dengan baik, ada yang tidak baik, jadi yang baik akhirnya bisa membuat si istri mengerti dan istri bisa lebih bisa mengenal inilah suaminya. Tetapi ada yang sudah mencoba berbicara istrinya tidak bisa menerima atau tidak mengerti. Pria biasanya dua reaksinya, pertama dia dominan, dia marah, dia kuasai, dia paksa, dia membentak supaya semua berjalan lagi sesuai dengan keinginannya, tertib kembali jangan sampai kacau. Atau yang tadi Ibu Dientje katakan, menarik dirinya, acuh, tidak mau tahu, tidak mau ikut campur, dia lepas tangan. Itu sebetulnya reaksi pria yang sebetulnya merasa tidak bisa lagi mengendalikan situasi  dalam kehidupannya.

GS :   Kalau di pihak istri bagaimana, Pak Paul ?

PG :   Istri lain lagi, istri menginginkan kepastian. Maksudnya keinginan ini lahir dari kebutuhan akan rasa aman, pada umumnya istri akan meminta suami untuk menciptakan kepastian agar dia tetap merasa aman. Istri kadang-kadang mengeluh, menuntut, mengapa ? Sebab dia mengharapkan suaminya bisa membuat sebuah situasi yang pasti sehingga dia tidak usah lagi harus cemas dan bertanya-tanya. Tidak heran dalam kebanyakan kasus, istri jauh lebih sering cemas dibandingkan dengan suami. Itu sebabnya kadang-kadang suami merasa kesal, frustrasi, “Kamu bertanya kepada saya, kamu ingin saya memberi jawaban yang pasti, ya tidak bisa”, tapi itulah yang dibutuhkan oleh seorang istri, sebuah kepastian.

GS :   Tapi kepastian dan ketertiban itu ‘kan sangat erat hubungannya, Pak Paul, sebenarnya ini bisa sejalan, artinya bisa saling mengisi.

PG :   Bedanya adalah ini, kepastian akhirnya seringkali dituntut oleh istri kepada suaminya untuk menyediakan bagi dia, bahwa hidup itu akan pasti. Dia tidak suka dengan hal-hal yang harus dia tanya dan dia cemaskan, sedangkan suami kebutuhannya mau mengontrol, menguasai supaya semuanya beres. Kalau wanita tidak, oleh karena itu saya berkata, kalau sampai wanita dominan kebanyakan memang tidak semuanya, wanita dominan karena kondisi, harus, dia tidak bisa bergantung pada pasangannya jadi dia yang harus mengatur semuanya. Secara alamiah atau naluri perempuan tidak terlalu butuh untuk mengontrol semuanya, mengatur, menguasai. Laki-laki lebih perlu menguasai orang dan juga situasi.

DL :   Tapi kalau perempuan yang sudah dominan begitu, siapa yang kendalikan, Pak Paul ?

PG :   Memang suami mesti melihat peranannya mengapa dia akhirnya lepas tangan, mungkin dia lebih harus berani mengatakan isi hatinya dan tidak membiarkan istrinya mengambil alih, tapi dia harus berperan lebih aktif. Kalau tidak mau istrinya akhirnya terlalu dominan, dia mesti benar-benar terlibat dalam urusan rumah tangga. Dia tidak bisa lepas tangan, lepas tangan kemudian istrinya marah istrinya lebih mengatur, lebih terlibat juga.

DL :   Tapi ada suami yang pasif juga, Pak Paul, tidak turun tangan jadi istrinya yang dominan, kelihatannya seperti itu.

PG :   Daripada tidak ada, silakan, daripada keluarga itu berantakan, kacau, tidak ada yang memimpin lebih baik ada istri yang memimpin.

DL :   Tapi akibat kepada anak, akhirnya anak juga menjadi lemah.

PG :   Betul memang itu konsekwensinya, ada akibatnya, waktu anak-anak melihat apalagi anak laki-laki melihat papanya pasif tidak ada inisiatif, otomatis itu akan memberikan pengaruh yang tidak begitu baik kepada anak-anak.

GS :   Benturan yang seringkali terjadi dalam komunikasi ini adalah ketika kami sebagai pria, sebagai suami sudah menata segalanya dengan baik dan memberikan jaminan kepastian, “Ini sudahlah tidak usah kuatir”, ini masih dituntut lagi supaya dia itu yakin, nah ini tidak bisa kita lakukan, Pak Paul, untuk memastikan dia, bagaimana kalau kita sudah menganggap ini pasti.

PG :   Sudah tentu kalau ini memang dicari-cari, tentu ada faktor X yang kita tidak bisa pastikan, karena kita bukan Tuhan tapi itu seringkali menjadi celah yang dapat digunakan oleh istri untuk berkata kepada kita, “Nah, kamu juga tidak pasti”. Kita bukan Tuhan tidak bisa memberikan kepastian seperti itu, namun kadang-kadang istri tidak mau mengerti, jadi terjadilah konflik.

GS :   Konflik terjadi karena suami merasa dituntut terus, sehingga komunikasi menjadi tidak lancar.

PG :   Misalnya istri terus meminta suami untuk memastikan dan akhirnya suaminya merasa terdesak, umumnya suami lama kelamaan menjauh, acuh, tidak mau tahu lagi atau bereaksi agresif, kasar, marah dan dia mencoba mengontrol istrinya supaya jangan sampai memberikan dia ketegangan tambahan. Berlatar belakang perbedaan ini sebetulnya kita bisa katakan bahwa percakapan antara suami dan istri merupakan cetusan dari kebutuhan akan ketertiban dan kepastian ini. Sekali lagi meskipun banyak hal yang dibicarakan tetapi seringkali akarnya dua hal ini, suami mau ketertiban istri mau kepastian. Misalnya waktu istri mengeluh ketika suami pulang malam, sesungguhnya dalam hati istri ia hanya ingin kepastian bahwa suami tetap sayang dan mengutamakan keluarga, cuma seringkali yang keluar dari mulut istri bukanlah itu,” Saya itu sayang kepada kamu, saya ingin kamu mengutamakan keluarga” tapi yang keluar adalah keluhan, “Kamu pulang malam, kamu tidak memikirkan anak” dan lain-lain, akhirnya dimarah-marahi begitu padahal dalam hati istri dia hanya ada kepastian bahwa suaminya tetap menyayanginya dan mengutamakan keluarganya. Atau kalau kita melihat contoh dari suami, misalnya suami menuntut istri untuk mempercayakan urusan bisnis kepadanya, dia mau memperlebar bisnisnya. Sesungguhnya dia ingin ketertiban, dia tidak ingin terganggu dan dia ingin berkonsentrasi penuh pada urusan bisnisnya itu sebabnya tatkala istri terus mencampuri keputusannya, tanya-tanya, meragukan dll. Besar kemungkinan akan marah karena dia merasa istri ini tidak tertib, membuat kacau kepadanya. Reaksinya bisa kasar atau marah.

GS :   Seperti tadi yang suami pulang malam itu sebenarnya kalau saja suami mau memberitahukan kepada istrinya bahwa ia pulang terlambat, itu sudah cukup menenangkan si istri itu, Pak Paul.

PG :   Betul, karena sekali lagi yang dibutuhkan adalah kepastian, oleh karena itu pada waktu dia belum pulang, dia telepon dulu dan katakan, “Saya akan pulang malam”, jadi waktu suaminya berkata akan pulang malam jam berapa, istrinya merasa tenang. Ketika terjadi keributan atau apa, istri berkata, “Oke, karena saya tidak mengerti, saya akan mendengarkan kamu, saya tidak akan lagi menggugat-gugat kamu”, suaminya merasa tenang karena dia merasa istrinya tertib, dia bisa mengatur. Sekali lagi banyak konflik berasal dari dua tema ini, satu ingin tertib yang satunya ingin pasti.

GS :   Juga ketika istri mau ikut campur di dalam bisnis suaminya, itu bisa mempermalukan suami kalau itu di hadapan teman-teman suaminya, seolah-olah suami ini kehilangan wibawanya sampai harus istrinya yang mengurus bisnisnya.

PG :   Di dalam perasaan hilang wibawa sebetulnya ada satu perasaan lagi, Pak Gunawan, yaitu ia malu karena ia berpikir orang menganggap dia tidak bisa menertibkan istrinya. Jadi sekali lagi ada unsur tertibnya, dia merasa sebagai pria harus dapat menertibkan artinya mengendalikan, jangan sampai berjalan sendiri tidak ada aturannya. Pada waktu dia dipermalukan istrinya mengatakan beginilah, ikut campur urusannya. Untuk dia hal itu seperti dilihat oleh orang seperti seorang suami yang lemah yang tidak bisa menertibkan istrinya.

GS :   Jadi sebenarnya ada betulnya juga ketika firman Tuhan mengatakan bahwa istri itu tidak boleh bicara di depan umumnya, pada waktu itu. Memang kalau berlebihan akan membuat si suami mau tidak mau merasa tersinggung.

PG :   Yang Paulus sebetulnya katakan di situ adalah Paulus ingin ibadah tertib, rupanya saat itu ada istri-istri yang mulai mau dalam ibadah, dalam persekutuan, ikut-ikut memberikan pendapat, akhirnya agak kacau. Mungkin itu dibawa ke rumah juga jadi Paulus berkata, “Tidak, jangan kalau kita mau beribadah, mohon tertib, jangan yang satu berbicara begini yang lain berbicara begitu”. Sekali lagi tema tertib sangat kuat terlihat di situ.

GS :   Jadi bagaimana ini, Pak Paul ?

PG :   Kalau kita sadar bahwa yang dibutuhkan istri adalah kepastian yang dapat menciptakan rasa aman, sedapatnya kita sebagai suami berikan. Misalnya, kita menggunakan kata-kata yang menyejukkan hati, kita bisa juga menyajikan keterangan atau informasi yang membuat istri tenang. Jadi sering-seringlah suami mengatakan hal-hal seperti itu, “Jangan khawatir, ini semua akan beres, kamu pokoknya yang penting percaya”, sering-seringlah berbicara seperti itu. Sebaliknya dari pihak istri, istri sebaiknya memberi kesempatan kepada suami untuk berpikir tenang dan memutuskan persoalan. Jangan belum apa-apa sudah mau ikut berbicara, beri kesempatan pada suami untuk berpikir kemudian memutuskan suatu masalah, beri bantuan kalau memang dibutuhkan namun sedapatnya berikan ruang yang cukup kepada suami agar dia tidak terganggu. Sudah tentu satu ini penting, usahakan untuk tidak membantahnya secara langsung dan secara segera, jangan, biarkan suami bicara, jelaskan apa yang dia ingin lakukan, jangan dibantah secara langsung dan segera. Sebaliknya dengan tenang dan sabar ajaklah suami untuk melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda sehingga suami tidak merasa istrinya langsung bangkit menyerang dia, tidak setuju atau apa. Reaksi suami biasanya dari dua yang sudah saya sebut, kalau dia tidak mau ribut, dia menarik dirinya, atau dia marah dan mungkin kasar karena dia mau istrinya tertib jangan sampai akhirnya kacau.

GS :   Memang perlu bagi suami itu untuk konsekwen dengan apa yang dikatakan seperti tadi mengenai pulang malam, dia mengatakan pulang jam 9 kalau pun tidak bisa selesai pada jam 9 dia harus memberitahu lagi, karena kalau istri berkali-kali merasa dibohongi walaupun itu dengan tidak sengaja, lalu rasa percaya itu hilang, begitu Pak Paul.

 PG :  Bisa juga kita gunakan rasa kepastian itu berkurang. Pada waktu suami berkata jam berapa dia pulang, ternyata dia tidak pulang ini berulang kali terjadi, lain kali suaminya pulang jam berapa, jam 9 misalnya, istri sudah tidak ada kepastian, dia akan telepon lagi, “Benar atau tidak kamu pulang jam 9 ?” akhirnya suami marah karena merasa terganggu, tidak tertib tapi dia mesti juga bisa bercermin diri, sebab dia tidak menepati janji pada masa yang lalu sehingga istri kehilangan kepercayaan bahwa ini pasti dia pulang jam 9 ya jam 9. Jadi sekali lagi kita melihat, konflik bisa bermacam-macam tapi akarnya sepertinya sama, satu minta tertib, satu minta kepastian.

GS :   Pak Paul, selain ada kebutuhan yang perlu kita pelajari, kita bahas, apakah ada hal lain lagi yang penting dalam komunikasi ?

PG :   Kita juga menyadari adanya ketakutan dalam berkomunikasi, Pak Gunawan dan Ibu Dientje, setidaknya ada 2 hal yang menciptakan rasa takut dalam berkomunikasi. Yang pertama adalah takut tidak dimengerti, banyak kali kita tidak berkomunikasi karena kita takut bahwa pasangan tidak akan mengerti apa yang disampaikan. Jadi daripada mengatakannya, tidak dimengerti akhirnya kita memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa. Itu sebabnya kita mesti mempersiapkan pasangan sebaik-baiknya agar dapat mengerti apa yang ingin kita sampaikan. Misalnya, kita harus memerhatikan penggunaan yang tepat sebab kata yang tidak tepat dapat mengaburkan makna atau memancing reaksi yang keliru kita pun harus memerhatikan kadar emosi, sebab kadar emosi yang berlebihan dapat membuat pasangan mundur teratur sebelum sempat mendengarkan perkataan kita, jadi sekali lagi mesti kita sadari kita takut tidak dimengerti. Kalau pasangan berbicara dengan kita, lalu kita tidak memberikan reaksi yang pas sehingga dia merasa tidak dimengerti akhirnya dia merasa malas berbicara dengan kita dan relasi kita semakin menjauh.

DL :   Tapi ada juga yang memang tidak bisa menyampaikan kata-kata sehingga dia tidak bicara, Pak Paul.

PG :   Ada memang, tidak semua orang fasih lidah, ada yang sulit mengutarakan perasaannya lewat perkataan. Kalau itu kondisinya beritahukan kepada pasangannya bahwa “Saya sulit untuk mengutarakan perasaan saya”, kalau begitu silakan tuliskan. Ada juga yang berkata, “Saya juga sulit tuliskan dengan kata-kata semuanya”, kalau begitu tulis saja satu dua kata, “Saya merasa apa, saya mau apa”, setelah itu berikan kepada pasangannya supaya dibaca nanti pasangannya yang menolong dengan cara bertanya sehingga dapat memancing reaksi atau isi hatinya. Yang penting ada komunikasi meskipun tidak bisa terlalu lancar.

GS :   Ketakutan itu muncul baik dari pihak suami maupun istri ketika dia berkomunikasi dan ditanggapi keliru, begitu Pak Paul.

PG :   Seringkali menjadi masalah karena kita tahu kalau ditanggapi keliru, berarti ada problem lain yang harus kita pecahkan. Mungkin saja kita ada satu problem yang belum selesai lalu ditanggapi keliru berarti itu masalah baru muncul. Nanti juga kita akan repot-repot menyelesaikannya pula. Memang sebaiknya kita pikirkan pasangan kita seperti apa, cara pikirnya, pengertiannya, cobalah gunakan kata-kata atau gunakanlah ‘timing’ yang tepat sehingga akhirnya dia bisa mengerti apa yang kita ingin sampaikan kepadanya.

GS :   Bagi suami kesulitannya kadang-kadang adalah menghadapi istri karena kita tidak mengetahui suasana hatinya. Di saat yang lain kita bicara begitu tidak apa-apa, tetapi pada saat tertentu jadi apa-apa.

DL :   Karena suka berubah-berubah, begitu.

PG :   Ibu Dientje, bagaimana rasanya memang begitu ?

DL :   Kadang-kadang wanita suasana hatinya bisa berubah-berubah. Pada saat merasa tidak enak, omongan suaminya yang benar menjadi tidak benar. Harus ada penyelesaian masalah sebelumnya sehingga tidak dibawa terus-menerus.

PG :   Kalau kita memang mengetahui istri kita bisa berubah, kita harus pandai-pandai membaca wajahnya, gerak-gerik tubuhnya, nada suaranya, dari situ kita bisa membaca kira-kira perasaannya seperti apa. Jadi kita bisa sesuaikan kapan kita bicaranya dengan cara apa kita membicarakannya. Atau misalnya kita keliru kita katakan kepadanya, “Mohon jangan marah sebab kita pernah bicarakan hal ini sebelumnya dan kamu tidak apa-apa, karena itu kita munculkan lagi sekarang”. Dia diingatkan bahwa dia pernah memberikan reaksi seperti itu juga.

GS :   Selain ketakutan untuk tidak dimengerti, Pak Paul, apakah ada ketakutan yang lain ?

PG :   Yang kedua adalah rasa takut tidak dihiraukan karena ini lain lagi dengan tidak dimengerti. Kalau dimengerti ya didengarkan tetapi salah, tapi ini tidak dihiraukan sama sekali, kalau kita bicara serius namun pasangan tidak memerhatikan kita atau matanya tidak ditujukan kepada kita atau reaksinya sepotong-sepotong, akhirnya kita merasa tidak dihiraukan, percuma mengungkapkan isi hati kepadanya akhirnya kita malas komunikasi dengan dia. Jadi kita mesti sadar waktu pasangan ingin berkomunikasi dengan kita terutama hal-hal yang pribadi itu tidak mudah, karena itu kita mesti memberikan tanggapan yang sepadan. Lihatlah, jangan sampai kita tidak memandangnya, perhatikan kata-katanya, berikan tanggapan yang menggembirakan barulah komunikasi dapat berjalan kembali. Kalau kita semaunya tidak memerhatikan dia akhirnya lama-lama komunikasi semakin surut dan akhirnya tidak ada lagi komunikasi. Berikanlah usaha terbaik untuk menghiraukan pasangan sewaktu dia sedang bercakap-cakap dengan kita.

GS :   Sebenarnya bukan tidak menghiraukan, Pak Paul, tetapi saat itu belum waktunya atau kita tidak merasa sedang memunyai gairah untuk menanggapi hal itu. Jadi kita mau menundanya, ini bagaimana memberitahukannya ?

PG :   Kalau kita sedang tidak siap daripada kita mendiamkannya atau tidak menghiraukannya lebih baik kita katakan apa adanya bahwa kita sedang tidak siap untuk membicarakan hal ini dan janjikan kapan kita akan siap, jadi jangan memeti-eskan dan ini yang tadi kita sudah bahas membuat si istri merasa tidak ada kepastian. Dia perlu kepastian kapan mau dibicarakannya, kalau tidak hari ini kapan ? Suami mesti berkata, “Oke, kita bicarakan besok saya akan pikirkan dulu hal ini”, pada waktu istri mengetahui besok dan janji ini ditepati maka dia akan merasa tenang dan dia akan menunggu. Yang membuat istri tidak mau menunggu adalah kita berjanji dan tidak ditepati, sehingga hilanglah kepastian itu.

GS :   Biasanya kalau kita sibuk atau kelelahan dan harus mendengarkan laporan-laporan seperti itu dan minta tanggapan. Kalau hanya disuruh mendengarkan masih lumayan tetapi untuk memberikan tanggapan itu sulit.

PG :   Jadi kita yakinkan dia bahwa ini tidak terjadi setiap hari. Kebanyakan kita tanggapi tetapi ada saat-saat tidak bisa kita tanggapi kita katakan apa adanya. “Tolong hari ini saya merasa lelah, tidak bisa menanggapi tetapi besok akan saya tanggapi jadi apa yang kamu katakan akan saya pikirkan, besok saya tanggapi”. Biasanya istri kalau mengetahui besok akan dibahas dia akan diam dan menunggunya.

GS :   Padahal dia mau bercerita itu sudah disimpan sejak berjam-jam sebelumnya , Pak Paul, kalau disuruh menunda lagi merupakan suatu beban untuk dia, belum tentu besok dia mau bercerita lagi.

PG :   Atau kita katakan tidak usah sampai besok, tetapi kita meminta waktu sejam lagi sebab sekali lagi untuk kita laki-laki kalau kita bisa atur, kita bisa rencanakan, hati kita disiapkan maka kita akan lebih siap. Lebih tertib, lebih tenang, mungkin tidak bisa menunda 1 hari, minta 1 jam lagi. “Bisa tidak 1 jam lagi kita bicarakan, saya sedang memikirkannya”.

GS :   Memang masalah komunikasi ini adalah suatu masalah yang sangat penting dan perlu kita terus kerjakan dengan baik karena baik tidaknya kita berkomunikasi justru lewat komunikasi ini. Tidak ada cara lain kita belajar komunikasi, Pak Paul.

         Pak Paul, kita akan lanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang, mungkin Pak Paul akan sampaikan ayat firman Tuhan yang sesuai dengan ini ?

PG :   Saya akan bacakan dari Efesus 4:31-32, “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan”. Nah kita melihat hampir semua ini kerap muncul dalam komunikasi, kegeraman, kemarahan dan sebagainya. Dan Tuhan menyambungnya, “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu”. Jadi inilah yang harus kita coba kedepankan dalam berkomunikasi, yaitu mengampuni, ramah dan penuh kasih. Yang lain-lain, kegeraman dan kemarahan itu semua yang kita mesti singkirkan.

GS :   Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Pelancar Komunikasi” bagian yang pertama, dan kami akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [2] kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Salah satu masalah yang kerap muncul dalam pernikahan adalah masalah komunikasi.  Oleh karena kita dibesarkan dalam latar belakang yang berbeda, sering kali kita menemui kendala dalam berkomunikasi dengan pasangan. 

Berikut akan dipaparkan beberapa saran yang dapat menolong kita berkomunikasi.

      Kebutuhan di Balik Komunikasi

Kita mesti menyadari bahwa kebanyakan pembicaraan yang terjadi dalam pernikahan berkisar seputar tema tertentu.  Kendati beragam namun sesungguhnya tema yang umumnya melahirkan topik pembicaraan dalam pernikahan hanyalah dua, satu berkaitan dengan suami dan satunya lagi berkaitan dengan istri.  Pada dasarnya tema yang berhubungan dengan suami adalah KETERTIBAN sedang tema yang berkenaan dengan istri adalah KEPASTIAN. 

Suami menginginkan agar segalanya berjalan dengan tertib alias tertata dan dapat dikendalikan. Pria berusaha untuk memegang kendali atau menguasai keadaan sebab hanya dalam kondisi ini ia dapat hidup lega dalam ketertiban.  Bila ia tidak mendapatkannya, ia mudah terjebak ke dalam perilaku dominan dan bahkan, kasar alias memaksakan kehendak.

Istri menginginkan kepastian dan keinginan ini lahir dari kebutuhan akan rasa aman. Bila tidak diperolehnya, istri cenderung mengeluh dan menuntut, supaya kecemasannya berkurang.  Tidak heran, dalam kebanyakan kasus, istri lebih mudah cemas dibandingkan dengan suami.

Sekali lagi, walaupun topik pembicaraan bervariasi, namun kalau kita telusuri dengan saksama, kita akan dapat menemukan dua tema umum ini.  Berdasarkan pemahaman ini, sebetulnya dalam berkomunikasi, penting bagi kita untuk menyadari kebutuhan mendasar ini dan memenuhinya.  Kadang kita meributkan banyak hal di permukaan, padahal yang memunculkan semua ini adalah kebutuhan akan ketertiban dan kepastian.

Jadi, kalau suami sadar bahwa yang dibutuhkan istri adalah kepastian yang dapat menciptakan rasa aman, sedapatnya berikanlah itu.  Gunakan kata-kata yang menyejukkan dan sajikan informasi yang membuat istri tenang.  Sebaliknya, istri pun sebaiknya memberi kesempatan kepada suami untuk berpikir tenang dan memutuskan persoalan.  Beri bantuan namun sedapatnya berikan ruang yang cukup kepada suami agar ia tidak terganggu.  Usahakan untuk tidak membantahnya sebaliknya dengan tenang dan sabar, ajak suami untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda.

 

      Ketakutan dalam Berkomunikasi

Setidaknya ada dua hal yang menciptakan rasa takut dalam berkomunikasi.  Pertama adalah TAKUT TIDAK DIMENGERTI.  Banyak kali kita tidak berkomunikasi karena kita takut bahwa pasangan tidak akan mengerti apa yang akan disampaikan.  Jadi, daripada mengatakannya dan tidak dimengerti, akhirnya kita memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa.

Itu sebabnya kita mesti memersiapkan pasangan sebaik-baiknya agar dapat mengerti apa yang ingin kita sampaikan.  Misalnya, kita harus memerhatikan penggunaaan kata yang tepat sebab kata yang tidak tepat dapat mengaburkan makna atau bahkan memancing reaksi keliru.  Kita pun harus memerhatikan kadar emosi sebab kadar emosi berlebihan dapat membuat pasangan mundur teratur sebelum sempat mendengarkan perkataan kita. 

Kedua adalah RASA TAKUT TIDAK DIHIRAUKAN.  Sering kali hal ini terjadi dalam pernikahan.  Kita berbicara dengan serius namun pasangan tidak memerhatikan kita.  Matanya tidak tertuju pada kita, dan reaksinya juga sepotong-potong.  Akhirnya kita merasa percuma mengungkapkan isi hati kepadanya.  Inilah yang akhirnya membuat kita enggan berkomunikasi dengannya kembali. 

Tidak selalu mudah untuk kita berkomunikasi, terutama bila yang ingin disampaikan adalah hal yang bersifat pribadi.  Itu sebabnya kita mengharapkan tanggapan yang sepadan.  Ketika pasangan tidak memberikan tanggapan yang menggembirakan, keinginan berkomunikasi surut.  Akhirnya kita makin tidak berkeinginan berkomunikasi.

 

 

      Membangun Komunikasi 

Komunikasi dibangun bukan saja di atas keinginan, tetapi juga keterampilan untuk berkomunikasi.  Jadi, tidak cukup memiliki keinginan untuk berkomunikasi, kita pun mesti memiliki keterampilan yang mendukung sebab tanpa keterampilan, komunikasi cenderung kandas. 

 

Berikut akan dipaparkan beberapa keterampilan praktis untuk membangun komunikasi.

PERTAMA, KITA MESTI MENCIPTAKAN SUASANA DALAM PERNIKAHAN YANG SELALU MENYEMANGATI TERJADINYA KOMUNIKASI. 
Dengan kata lain, bukan saja kita harus menyepakati bahwa komunikasi penting, kita pun harus mengambil langkah konkret untuk menyuburkan terjadinya komunikasi.   Nah, untuk menyuburkan komunikasi kita harus mendorong terjadinya keterbukaan dan kebebasan untuk mengutarakan isi hati. 

KEDUA, KITA HARUS MENYUBURKAN TERJADINYA KOMUNIKASI YANG SEHAT DAN KOMUNIKASI YANG SEHAT ADALAH KOMUNIKASI DUA ARAH.
  Nah, agar terjadi komunikasi dua arah, kita harus bersedia melakukan dua hal: berbicara dan mendengarkan.  Berbicara kepada pasangan mesti dilakukan dalam bingkai respek.  Kita tidak bisa berharap dan menuntut pasangan untuk mendengarkan bila kita mengutarakan isi hati tanpa rasa hormat terhadap perasaannya.   Jangan beranggapan bahwa oleh karena ia adalah suami atau istri, maka seharusnyalah ia menerima dan mengerti kita.  Ingat, pernikahan tidak memberi kita alasan untuk berbuat semaunya
!  Jadi, sebelum mengatakan apa-apa, cobalah tempatkan diri pada posisinya terlebih dahulu.  Mungkin ini akan dapat menolong kita menyeleksi kata dengan lebih tepat.  Juga, jangan lupa untuk bertanya pendapat pasangan dan memberinya kesempatan untuk memberikan reaksi terhadap apa yang disampaikan. Jangan sampai kita mendominasi percakapan.  Setelah mengutarakan satu poin, berhentilah dan biarkan pasangan memberi tanggapan.  Bukan saja berbicara, kita harus mendengarkan pasangan agar tercipta komunikasi dua arah.  Jadi, putarlah tubuh menghadapi pasangan, arahkan kepala dan mata kepadanya, serta lihatlah wajahnya.  Berikanlah konfirmasi dan reaksi lainnya lewat mimik wajah dan tanggapan singkat.  Bahasa tubuh yang seperti ini membuatnya tahu bahwa kita tengah mendengarkannya. Secara berkala kita pun mesti memberikan tanggapan yang mengintisarikan apa yang dikatakannya agar ia tahu bahwa bukan saja kita mendengarkan, kita pun memahami dengan jelas apa yang disampaikannya. 

Hal ini penting, terutama untuk mencegah kesalahpahaman.  Kadang kita berasumsi bahwa kita mengerti jelas apa yang dikatakannya, namun ternyata kita keliru menafsirkan perkataannya.  Selain dari intisari, kita pun dapat mengajukan pertanyaan untuk memperjelas apa yang disampaikannya.  Semua ini membuat pasangan tahu bahwa kita mendengarkan dan mengerti apa yang disampaikannya.

Satu hal lagi yang penting dilakukan adalah, sedapatnya tahanlah pencetusan opini, reaksi negatif dan tanggapan menghakimi.  Ingat, pasangan mesti tahu bahwa kita telah mendengarkan dan mengerti apa yang disampaikannya.  Bila kita cepat memberi jawaban dan opini, apalagi kata-kata penghakiman, mungkin ia akan merasa bahwa kita tidak tertarik untuk mendengarkannya.  Atau, bahwa kita merasa diri benar dan tidak terbuka untuk melihat kekurangan pribadi.  

TERAKHIR, KITA HARUS JELAS DAN TERBUKA DENGAN MOTIVASI DAN PERASAAN YANG MELATARBELAKANGI UCAPAN KITA.
  Kadang dengan sengaja kita menyamarkan motif dan perasaan sesungguhnya yang mencetuskan perkataan kita karena kita tidak ingin mengakui bahwa sebenarnya itulah yang kita rasakan atau inginkan.  Masalahnya adalah, percakapan seperti ini rawan menciptakan kesalahpahaman.  Bila pasangan tidak yakin dengan motif dan perasaan kita, besar kemungkinan ia akan menduga-duga.  Jika ini yang terjadi, bukan saja akan mudah terjadi kesalahpahaman, ia pun mungkin akan menuduh bahwa kita telah berbuat tidak jujur.  Sudah tentu ini akan merusakkan komunikasi.

Motif dan perasaan yang dikemukakan juga berkhasiat untuk menciptakan keintiman.  Komunikasi yang hampa motif dan perasaan, tidak akan lebih dari penyampaian berita.  Komunikasi bukan hanya tentang penyampaian berita; komunikasi adalah juga tentang penyatuan dua pribadi lewat apa yang disampaikan kepada satu sama lain

.

Firman Tuhan di Efesus 4:29 menasihati kita untuk saling membangun, “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”   Dan, salah satu cara membangun adalah lewat komunikasi.  Di tangan Tuhan kita adalah sarana semata untuk membangun satu sama lain menjadi pribadi yang dikehendaki-Nya.

Pdt. Dr. Paul Gunadi [4]
Audio [5]
Pranikah/Pernikahan [6]
T338A [7]

URL sumber: https://m.telaga.org/audio/pelancar_komunikasi_i

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T338A.MP3
[2] mailto:telaga@telaga.org
[3] http://www.telaga.org
[4] https://m.telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[5] https://m.telaga.org/jenis_bahan/audio
[6] https://m.telaga.org/kategori/pranikah_pernikahan_0
[7] https://m.telaga.org/kode_kaset/t338a