TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://m.telaga.org)

Depan > Kendala Dalam Menghabiskan Waktu Bersama

Kendala Dalam Menghabiskan Waktu Bersama

Kode Kaset: 
T328A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Ada pelbagai kendala yang kerap merintangi suami dan istri berbagi waktu bersama. Sudah tentu pada akhirnya semua terpulang pada berapa besarnya niat untuk membangun relasi itu sendiri. Jika memang kita tidak memunyai niat untuk memperkuat relasi nikah, maka sudah tentu kita tidak akan memprioritaskan berbagi waktu bersama. Itu sebabnya kita mesti memiliki niat terlebih dahulu sebelum menetapkan prioritas. Ada beberapa kendala dalam menghabiskan waktu bersama antara lain : kendala perbedaan, kendala kesibukan
Audio
MP3: 
3.4MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang “Kendala Dalam Mengisi Waktu Bersama”. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS :   Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita pernah membicarakan bahwa kesempatan bersama sangat penting antara suami dan istri, baik secara kwantitas dan secara kwalitas tapi niat baik suami istri yang mau bersama-sama melakukan sesuatu, melakukan aktifitasnya bahkan beribadah bersama –sama ternyata tidak mudah, ada banyak rintangan sehingga akhirnya mereka memutuskan dengan pola hidup yang lama yaitu sendiri-sendiri, kalau tidak bisa ketemu maka berjalan sendiri-sendiri. Tapi sebenarnya apakah memang begitu banyak faktor yang tidak bisa diatasi, Pak Paul ?

PG :   Sudah tentu yang terutama mesti memunyai niat, tadi Pak Gunawan sudah katakan hal itu. Namun setelah memunyai niat memang kita harus mulai memprioritaskan, didalam kita memprioritaskan berarti kita benar-benar mengedepankan betapa pentingnya mengisi waktu bersama, kalau kita sudah tidak lagi melihat hal ini sebagai hal yang penting maka akan terus terlupakan dan semakin hari semakin kita menjauh dari pasangan dan tidak bisa lagi mendekat. Jadi harus ada tekad yang kuat untuk bisa mengisi waktu bersama sebab kita berdua berkata bahwa ini adalah sesuatu yang sangat penting.

DL :   Pak Paul, apakah ada perbedaan antara suami dan istri dalam mengisi waktu mereka, maksudnya apakah pada usia tertentu suami akan lebih berperan sedang pada usia tertentu istri lebih berperan ?

PG :   Begini, jadi memang betul yang Ibu tanyakan. Ternyata ada perbedaan, jadi perbedaan itu yang juga seringkali menjadi kendala didalam mengisi waktu bersama. Pada umumnya sebagian besar wanita menginginkan kontak verbal dalam menghabiskan atau mengisi waktu bersama. Jadi bagi kebanyakan wanita, percakapan bertujuan melahirkan percakapan yang baru. Maksudnya waktu sebuah topik mendekati titik akhir, maka wanita akan berusaha melahirkan topik yang baru sehingga percakapan bisa terus berlanjut, sebaliknya dengan pria pada umumnya pria tidak begitu tertarik untuk memperpanjang percakapan hanya untuk kepentingan bercakap-cakap tanpa ada tujuan lainnya. Jadi sewaktu bercakap biasanya pria akan berusaha mengarahkan percakapannya supaya tiba pada tujuan akhir, kemudian mengakhirinya. Jadi bagi kebanyakan pria hal yang tidak perlu dipercakapkan maka tidak perlu diperbincangkan lagi. Itu sebabnya begitu tujuan tercapai namun istri masih ingin berbicara maka suami biasanya makin gelisah dan dia tidak lagi melihat manfaat percakapan dan ingin segera mengakhirinya. Jadi perbedaan ini yang menuntut baik suami maupun istri untuk menyesuaikan diri dan kalau kita tidak bisa menyesuaikan diri maka pada akhirnya akan muncul masalah.

GS :   Saya sebenarnya tidak masalah kalau istri saya menceritakan sesuatu, tetapi kadang-kadang yang pertama adalah diulang-ulang seolah-olah kita ini menjadi orang yang bodoh yang belum mengerti cerita itu, yang kedua dia menceritakan masalah itu dengan sangat detail, padahal saya sebagai suami mau mendengarkan langsung pada inti yang ingin dia ceritakan, dan tidak harus terlalu detail karena nanti kita menjadi tidak perhatian perkataan itu.

PG :   Kenapa wanita ada kecenderungan kalau bercerita detail karena secara organik atau secara susunan syaraf di otak, wanita memang lebih diperlengkapi untuk melihat detail. Sedangkan pria lebih diperlengkapi untuk melihat yang jauh dan yang lebih besar atau makro. Jadi ada perbedaan di situ. Yang kedua adalah kenapa dalam hal ini istri Pak Gunawan mengulang hal-hal yang sudah dipercakapkan itu, sebetulnya tujuannya adalah agar Pak Gunawan memberi respon lagi sehingga percakapan itu tidak berhenti-berhenti. Jadi misalnya Pak Gunawan cepat memberikan respon sehingga pembicaraan bisa jalan terus, mungkin  pembicaraan itu tidak diulang, tapi berhubung Pak Gunawan dan  kebanyakan pria kalau sudah mengerti dan jelas maka sudah cukup dan tidak perlu diberikan komentar. Jadi berhenti di situ. Tapi istri kita memang tidak bisa menerima hanya berhenti begitu saja. Jadi memang ada sebuah perbedaan yang hakiki, kadang-kadang saya mendengarkan istri saya berbicara di telepon dengan temannya, istri saya bisa berbicara panjang lebar dan saya juga bingung, “Untuk apa membicarakan begitu mendetail dan panjang lebar” tapi yang saya bingungi adalah di pihak sana teman wanitanya bisa lebih memperpanjang cerita dan memberi komentar lagi sehingga bisa bicara sampai panjang. Jadi itulah saya rasa perbedaan dalam hal mengisi waktu di antara kita dan wanita sehingga akhirnya terjadilah ‘gap’ yang satu merasa sudah cukup sudah dengar dan jelas, yang satu merasa bahwa percakapannya harus diteruskan. Jadi akhirnya dua-duanya harus belajar saling menyesuaikan diri.

GS :   Kadang-kadang karena panjangnya pembicaraan maka kita kehilangan konsentrasi. Jadi pada saat kita kehilangan konsentrasi, dia justru melakukan feedback “Kamu mengerti atau tidak?” saya menjadi kelabakan untuk menjawabnya, karena jujur saja yang terakhir-terakhir kita tidak mendengarkan, lalu ceritanya diulang lagi karena dianggap kita tidak mengerti dan ini membosankan.

PG :   Inilah perbedaannya dan kenapa Tuhan menciptakan kita berbeda, nanti di surga kita baru bisa tahu alasannya. Tapi memang ini perbedaan yang kakiki dan kebanyakan seperti ini. Jadi apa yang Pak Gunawan alami, saya juga alami. Jadi waktu istri saya cerita kalau saya sudah mengerti maka saya benar-benar sudah mengerti, tapi dia akan terus cerita dan kadang-kadang juga tanya saya “Bagaimana hari ini apa yang terjadi?” saya tidak bisa cerita apa yang terjadi karena bagi saya tidak ada sesuatu yang terjadi meskipun sebetulnya saya bertemu dengan orang, saya mengkonseling orang, tapi bagi saya itu adalah hal yang biasa terjadi dan hal yang biasa terjadi tidak perlu saya ceritakan, kalau yang luar biasa barulah saya ceritakan. Jadi memang ada perbedaan yang cukup hakiki di situ.

DL :   Lalu apakah ada juga perbedaan dalam pernikahan, orang yang baru menikah dan orang yang sudah puluhan tahun menikah ?

PG :   Sudah tentu dan mudah-mudahan karena sudah lama menikah dan sudah lebih belajar untuk menyesuaikan diri maka seharusnya lebih ada toleransi. Jadi misalnya si istri karena menyadari suaminya tidak bisa memertahankan konsentrasi untuk waktu yang lama maka istrinya akhirnya belajar untuk lebih to the point, lebih bisa menerima dan jangan disambung-sambung lagi. Dan si suami karena sudah terbiasa maka dia mendengarkan istrinya bicara meskipun kadang-kadang konsentrasinya keluar masuk tapi tidak mengapa, yang penting adalah toleransi karena itulah yang dibutuhkan oleh si istri. Jadi inilah yang perlu dilakukan dan sudah tentu makin sering kita melakukan penyesuaian ini maka makin terbiasa, sehingga meskipun sedikit mengganggu atau menjengkelkan tapi tidak terlalu menjengkelkan karena kita sudah mengerti dan ini yang penting yaitu saling mengerti. Namun kalau dua orang ini tidak pernah belajar untuk menyesuaikan diri maka yang terjadi adalah tidak ada komunikasi, itu bahaya. Jadi waktu itu tidak bisa diisi dengan komunikasi sebab yang wanita akan berkata, “Buat apa saya bicara karena tidak akan di dengarkan” dan si laki-laki berkata, “Untuk apa saya dengarkan kalau tidak ada mutunya”. Jadi berarti dua-duanya tidak ada lagi komunikasi maka penting dari awal pernikahan dua-dua belajar menyesuikan diri sehingga bisa berlanjut sampai dengan usia tua sehingga komunikasi tetap terjalin meskipun kadang-kadang yang satu kebanyakan berbicara dan yang satu berbicara terlalu sedikit.

GS :   Memang pengalaman hidup bersama-sama, itu akan mewarnai kebersamaan, lama-lama istri juga tahu kalau kita mulai bosan. Dia biasanya menanyakan, “Kamu sudah lelah mendengarnya?” dan kita harus jujur kalau kita memang lelah tapi kita janjikan entah itu nanti atau kapan kita bersedia untuk mendengarkan pembicaraan yang lebih lanjut. Tapi kita ada komitmen untuk mau menyambung pembicaraan itu, daripada kita berpura-pura berbicara “Tidak apa-apa cerita saja terus” padahal kita tidak mau mendengar lagi.

PG :   Jadi pada akhirnya karena kita terus mengusahakan adanya penyesuaian maka yang tercipta adalah toleransi. Jadi waktu istri melihat kita mulai jenuh maka dia mulai toleransi dan dia terima kalau kita mulai jenuh, waktu kita tidak mau mendengarkan tapi harus mendengarkan maka kita toleransi kalau istri kita mau bicara. Jadi hasil akhirnya adalah toleransi makin hari makin bertambah, dan saling pengertian juga semakin bertambah.

GS :   Jadi pada awal pembicaraan ketika konsentrasi kita masih tinggi, itu adalah kesempatan dimana kita menanyakan atau menanggapi sesuatu yang diceritakan sehingga dia cukup tanggap lagi untuk menceritakan hal yang lainnya dan dia menyadari kalau kita mendengarkan apa yang dia ceritakan.

PG :   Dan yang penting memang tidak setiap kali, maksudnya kalau setiap kali istri kita bicara dan kita tergesa-gesa berhenti dan kita jenuh, kalau seringnya begitu pasti membuat istri kita malas bicara dengan kita lagi. Jadi yang harusnya terjadi adalah kita lebih sering mendengarkan dan memberikan tanggapan untuk waktu yang cukup panjang. Kadang-kadang saya pun dengan istri saya, dia bicara di tempat tidur dan saya tanggapi, sampai satu titik saya sudah mengantuk sekali dan istri saya masih ingin bicara kemudian saya katakan, “Bisa tidak kita berhenti dulu dan nanti kita sambung lagi” itu kadang terjadi. Tapi karena setiap malam saya tidak seperti itu dan saya hanya bicara begitu kalau benar-benar saya mengantuk, itu tidak memutus tali komunikasi, tapi kalau setiap kali dia bicara dan saya katakan, “Maaf saya mengantuk” maka lama-lama dia tidak akan mau berbicara dengan kita lagi. Satu lagi yang saya lihat perlu kita angkat yaitu perbedaan dalam hal pria akan lebih dapat menjalin kontak verbal dan emosional sewaktu dia merasa fokus pembicaraannya bukanlah problem yang menyangkut dirinya. Maksudnya begitu suami mendengar atau mencium gelagat bahwa istri akan mengeluarkan keluhannya maka suami akan cepat menghindar atau berusaha menekan istri agar tidak jadi mengangkat masalah. Jadi singkat kata, cukup banyak suami yang beranggapan istri selalu mencari-cari masalah dan terlalu cepat bereaksi negatif. Pada umumnya pria menghendaki percakapan itu ringan alias tanpa beban emosional, problem boleh ada bisa dipecahkan tapi jangan ada beban emosional apalagi masalah. Sebaliknya bagi kebanyakan wanita kesempatan untuk mengeluarkan unek-unek merupakan salah satu kebutuhan pokok, jadi dia baru dapat berfungsi dengan bebas setelah dia mengekspresikan kejengkelannya dan ketidak puasannya. Masalahnya adalah oleh karena wanita cenderung lebih peka maka dia pun akan lebih banyak melihat dan merasakan. Itu sebabnya wanita lebih mudah terpengaruh oleh apa yang terjadi di luar dirinya dan suasana hatinya, sebaliknya dengan suami sedapatnya tidak ingin mendengar problem sebab salah satu tujuan hidupnya adalah menghilangkan problem bukan membicarakan problem. Sebagaimana dibutuhkan oleh istrinya, jadi sekali lagi kita melihat ada perbedaan karena wanita lebih peka, lebih banyak melihat, lebih merasakan, lebih cepat terpengaruh oleh suasana di luar dirinya, maka lebih banyak yang bisa dikeluhkan atau dijadikan problem olehnya. Sedangkan kebanyakan pria cepat-cepat mengatakan, “Jangan membawa problem lagi, lelah mendengarkan problem terus”.

GS :   Tapi kalau pembicaraan itu hanya sekadar membicarakan hal yang di luar hubungan suami istri, itu tidak menumbuhkan atau tidak meningkatkan kwalitas daripada pembicaraan itu sendiri ?

PG :   Betul. Tidak bisa tidak ada waktu tertentu istri harus lebih bersikeras untuk membicarakan masalah sebab sekali lagi kecenderungan pria tidak mau melihat masalah, menganggap masalah akan selesai dengan sendirinya, jangan ciptakan masalah dan sebagainya. Jadi kalau hal ini adalah hal yang sungguh penting, istri juga bisa berkata, “Saya tidak akan sering-sering membicarakan problem, tapi ini adalah problem yang harus dibicarakan” kalau suaminya memang bisa berkata, “Iya, istri saya tidak sering angkat problem dan dia benar-benar menganggap penting” maka suaminya juga lebih bisa mendengarkan, tapi kalau setiap kali atau berapa kali seminggu istrinya selalu bicarakan problem maka lama-lama bosan dan suaminya akhirnya tidak mau lagi mendengarkan. Jadi ini tergantung kerjasama keduanya, kalau istri bisa menahan diri, mencoba menyelesaikan sendiri dan baru dirasa perlu membicarakan problemnya maka suami juga akan lebih bisa memberi tanggapan yang sesuai.

GS :   Sebenarnya saya sebagai suami tidak masalah mendengar problem yang dia kemukakan hanya ada kecenderungan untuk cepat-cepat menyelesaikannya dengan mencari jalan keluar, dan ini biasanya istri kurang suka dan dia lebih senang membicarakan problemnya daripada membicarakan penyelesaiannya. Di sana agak sulit mendapatkan titik temunya, Pak Paul.

PG :   Sekali lagi yang memberikan makna adalah bagi kebanyakan wanita adalah proses membicarakan problem, dimana terjadi dialog yang agak panjang, itulah yang membuat mereka merasa tertolong dan didengarkan sedangkan solusinya adalah nomor dua. Bagi kita pria adalah kebalikannya dan kita berkata, “Kalau bisa satu kali bertemu jalan keluarnya kenapa harus cari sepuluh kali jalan keluarnya ?” Jadi sekali lagi itu adalah sifat yang berkebalikan. Jadi dalam hal ini waktu kita melihat ada perbedaan seperti ini sudah tentu dua-dua harus lebih berhati-hati dan yang lebih saya tekankan adalah pria cenderung mau cepat-cepat menghilangkan problem, tapi masih bisa membicarakan problem, dan yang paling susah adalah kalau pria itu merasa istrinya belum apa-apa menyatakan bahwa si suamilah problemnya. Pria lebih susah untuk mendengar kalau dia dikaitkan dengan problem itu, apalagi dia dikatakan sebagai penyebabnya.

GS :   Memang kalau kita sebagai pria menceritakan problem, sebenarnya secara garis besar problem itu dikemukakan, mungkin tadi yang Pak Paul katakan kami kaum pria alergi kalau diteliti lebih jauh problemnya, ini biasanya wanita cenderung untuk mengetahui detail dari problem itu. Jadi ini tidak enak, seolah-olah mengorek-orek luka lama, Pak Paul.

PG :   Sekali lagi proses itulah yang memberikan makna, saya berikan contoh apa yang harus kita lakukan misalnya ketika istri ingin mengeluarkan kekesalan hatinya maka dia berusaha keras agar tidak menyeret suami ke dalam kancah kemarahannya, misalnya dia harus berusaha keras agar tidak cepat-cepat menyalahkan suami sebagai penyebab timbulnya masalah atau sedapatnya diapun mengangkat masalah secara netral sehingga suami tidak merasa tertuduh dari awal. Sebaliknya suami juga harus merelakan diri mendengarkan istri membicarakan masalah dan sedapatnya tahan reaksi marah sebab ada kecenderungan begitu suami mendengar istri mulai membicarakan masalah apalagi dirinya sebagai masalah maka dia ingin marah. Jadi jangan cepat merasa defensif dan jangan membangun tembok pemisah sewaktu istri membicarakan masalah yang mungkin melibatkan dirinya. Yang terakhir saya juga mau memberikan saran, setelah membicarakan masalah maka penting bagi suami dan istri untuk mengangkat satu hal positif tentang diri masing-masing, sekadar mengingatkan apapun masalahnya mereka tetaplah satu dan tak terpisahkan, coba utarakan penghargaan, perkataan serta sikap positif yang diberikan oleh pasangan. Dengan cara ini pembahasan masalah dapat diakhiri secara positif. Ini penting sebab bila kita berhasil mengakhiri percakapan secara positif, kali berikut ketika kita harus menghadapi masalah dan kita pun akan lebih terbuka untuk melakukannya, sebaliknya jika kita mengakhiri percakapan secara negatif misalnya bertengkar, saling tuduh maka pada kesempatan berikut, kita pun menjadi jerat untuk membahas masalah dan malah berusaha lari atau menghindar. Jadi walaupun ada perbedaan hakiki antara pria dan wanita dalam mengisi waktu bersama maka kita dapat menjembataninya asalkan kita bersedia menahan diri dan saling menyesuaikan.

GS :   Selain masalah perbedaan, apakah ada kendala yang lain yang bisa mengganggu kita dalam mengisi waktu bersama-sama itu, Pak Paul ?

PG :   Yang berikut adalah kendala kesibukan. Kita makin hari menjadi makin sibuk, interes kita juga makin banyak jadi adakalanya inilah yang menjadi kendala. Mungkin istri harus memberi banyak waktu dan perhatian kepada anak dan suami harus memberi perhatian dan waktu untuk pekerjaannya, atau baik suami maupun istri memunyai tugas lain di gereja atau ada yang harus merawat orang tua yang sakit, belum lagi ada hobi yang sedang digeluti. Pada akhirnya semua ini akan menyita waktu sehingga waktu bersama akan berkurang, sampai titik tertentu kita tidak akan merasakan dampak negatifnya dari kurangnya waktu bersama ini. Namun secara perlahan sebetulnya semua ini akan mulai menggerogoti tiang relasi kita.

DL :   Apakah dampak negatif dari kurangnya waktu bersama pasangan itu, Pak Paul ?

PG :   Yang paling kelihatan adalah kita menjadi kurang sabar karena kurangnya waktu bersama itu, misalnya dengan kelemahan pasangan itu salah satu dampak langsung yang bisa kita lihat, yang menyangkut sifatnya yang kurang baik atau menyangkut kesanggupannya yang kita anggap berada di bawah kesanggupan kita maka kita tidak sabar. Kenapa kita tidak sabar ? Karena kita makin tidak rela memberi waktu ekstra kepadanya. Jadi makin berkurang waktu bersama maka makin berkurang kesabaran, dan makin tidak rela kita memberinya waktu. Jadi pada akhirnya relasi nikah mirip seperti relasi kerja dan bicara seperlunya dan bila bicara kita berbicara dengan bahasa instruksi dan bukan kasih, “Suruh dia, beritahu dia” pada akhirnya relasi kita retak dan pertengkaran mudah tersulut, ibarat dahan makin hari makin mengering.

GS :   Tapi ada yang sebaliknya karena orang itu bukan orang yang sabar jadi sulit mendengarkan lawan jenisnya berbicara, baik istri maupun suaminya, karena ada istri yang tidak sabar terhadap suaminya ini. Jadi dia dasarnya tidak sabar.

PG :   Kalau memang dasarnya sudah tidak sabar memang akhirnya waktu bersama hampir tidak ada sebab akhirnya yang tidak sabar juga tidak mau mengisi waktu bersama menjalin relasi, berbicara sudah tidak mau. Jadi memang dia lebih terobsesi dengan apa yang ingin dikerjakannya jadi dia tidak mau lagi membagi waktu dengan pasangannya.

GS :   Tapi kalau dua-duanya tidak sabar, malahan tidak menjadi masalah.

PG :   Tapi sebetulnya tidak ada relasi lagi, sangat dingin dan sangat rentan untuk retak. Misalkan nanti ada konflik, maka konfliknya nanti bisa parah sebab tali yang mengikatnya sudah tidak ada. Kalau kita tetap memunyai jalinan atau komunikasi dan relasi dalam mengisi waktu bersama, kalau pun kita harus bertengkar maka kita sudah punya bantal jadi kalau kita jatuh tidak akan terlalu sakit, jadi ada yang mengikat kita. Waktu kita tidak bicara dengan pasangan kita misalnya selama satu jam karena baru saja bertengkar, yang kita rasakan adalah kita tidak senang dan justru kita sengsara. Tapi bagi orang yang tidak ada jalinan relasi, tidak membagi waktu bersama, tidak bicara satu jam atau tidak bicara satu minggu pun dia bersukacita, tambah lama tidak bicara maka dia tambah bersukacita. Jadi kalau kita lihat kalau pun tidak ada apa-apa, tidak ada pertengkaran, maka relasi itu sangat berbahaya.

GS :   Dampaknya bagi anak-anak bagaimana, Pak Paul ?

PG :   Sudah tentu anak-anak tidak akan melihat adanya kehangatan di rumah dan ini sesuatu yang perlu, kehangatan hanya bisa terjadi di dalam pengekspresian diri lewat perkataan, lewat sentuhan, itu yang menghangatkan rumah. Jadi kalau kita berbicara tentang rumah yang hangat adalah rumah yang artinya orang tua bisa berbicara tidak ribut, bisa saling mengekspresikan diri dengan kasih sayang, menjadi teladan. Itu yang memberikan kehangatan dan anak perlu itu, kalau itu tidak ada sama sekali maka anak akan haus dan kering, dan mungkin saja dia akan cari di luar kehangatan itu atau dia justru menjadi dingin dan menjadi orang yang bermasalah di luar, tidak ada belas kasihan, tidak bisa simpati kepada orang dan maunya sendiri, akhirnya seperti itu.

GS :   Seseorang yang tidak terbiasa bicara di rumah dengan pasangannya, Pak Paul, apakah mungkin orang ini bisa menjadi seseorang yang begitu komunikatif di luar rumah ?

DL :   Berarti hanya menjadi topeng.

PG :   Bisa jadi topeng tapi bisa jadi juga dia ada masalah di rumah sebab mungkin saja adanya perbedaan yang sudah kita bahas dan mereka tidak bisa sesuaikan sehingga tidak pernah ada titik temu sehingga dia malas bicara di rumah sehingga dia bicara di luar dengan orang yang dianggap lebih bisa mengerti atau sejalan.

GS :   Untuk memberikan kesimpulan dari pembicaraan ini, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?

PG :   Saya akan bacakan dari Filipi 2:3-4, “Dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga”. Jadi firman Tuhan dengan jelas meminta kita untuk menganggap yang lain lebih penting, coba kita terapkan dalam keluarga kita, anggaplah pasangan kita lebih penting dari pada kita. Jadi berarti kita tidak memerhatikan kepentingan kita saja, tapi juga kepentingan dia. dan benar-benar kita ini berusaha sekeras-kerasnya untuk mengutamakannya. Jadi bayangkan kalau dua-dua saling mengutamakan satu sama lain maka benar-benar dua-dua akan terpenuhi sehingga waktu bisa diisi dengan sangat sehat dan juga produktif.

GS :   Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Kendala Dalam Mengisi Waktu Bersama”. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [2] kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Ada pelbagai kendala yang kerap merintangi suami dan istri berbagi waktu bersama. Sudah tentu pada akhirnya semua terpulang pada berapa besarnya niat untuk membangun relasi itu sendiri. Jika memang kita tidak memunyai niat untuk memperkuat relasi nikah, maka sudah tentu kita tidak akan memprioritaskan berbagi waktu bersama. Itu sebabnya kita mesti memiliki niat terlebih dahulu sebelum menetapkan prioritas.

Nah, berikut akan dibahas beberapa kendala yang acap menghambat proses berbagi waktu bersama dan cara mengatasinya.

1.       Kendala Perbedaan

Pada umumnya pria dan wanita menghabiskan waktu dengan cara yang berbeda dan perbedaan inilah yang kadang menimbulkan ketegangan dalam pernikahan.

SEBAGIAN BESAR WANITA MENGINGINKAN KONTAK VERBAL DALAM MENGHABISKAN WAKTU BERSAMA. Bagi kebanyakan wanita, percakapan bertujuan tunggal yaitu melahirkan percakapan yang baru, sehingga percakapan dapat berlanjut.

Sebaliknya dengan pria. PADA UMUMNYA PRIA TIDAK BEGITU TERTARIK UNTUK MEMPERPANJANG PERCAKAPAN HANYA UNTUK KEPENTINGAN BERCAKAP-CAKAP, TANPA TUJUAN LAINNYA. Jadi, sewaktu bercakap, biasanya pria akan berusaha mengarahkan percakapannya supaya tiba pada tujuan kemudian mengakhirinya.

Perbedaan ini sudah tentu menuntut baik suami maupun istri untuk menyesuaikan diri. Kita bisa menyesuaikan diri dengan pelbagai cara. Sebagai contoh, adakalanya sebagai suami kita membiarkan percakapan untuk terus mengalir kendati sebenarnya buat kita, percakapan itu sudah mencapai tujuan. Sebaliknya, kadang istri pun mesti bersedia memotong pendek percakapan walau belum puas.

Jadi, walaupun ada perbedaan hakiki antara pria dan wanita dalam menghabiskan waktu bersama, kita dapat menjembataninya asalkan kita bersedia untuk menahan diri dan saling menyesuaikan.

2.       Kendala Kesibukan

Selain dari perbedaan mendasar, satu hal lain yang kerap menjadi kendala bagi suami dan istri dalam menghabiskan waktu bersama adalah, KESIBUKAN DAN INTERES YANG MENYITA PERHATIAN SUAMI DAN ISTRI. Mungkin istri harus memberi banyak waktu dan perhatian kepada anak-anak sedangkan suami harus memberi perhatian dan waktu untuk pekerjaannya. Mungkin baik suami dan istri memunyai tugas lain seperti pelayanan di gereja. Atau, mungkin ada yang harus merawat orangtua yang sakit. Belum lagi bila ada hobi yang tengah digeluti.

Pada akhirnya semua akan menyita waktu sehingga waktu bersama akan berkurang. Sampai titik tertentu mungkin kita tidak akan merasakan dampak negatif dari kurangnya waktu bersama namun secara perlahan sebetulnya semua ini akan mulai menggerogoti tiang relasi.

WAKTU BERSAMA YANG MAKIN BERKURANG MEMBUAT KITA MENJADI KURANG SABAR. Kita kurang sabar dengan kelemahan pasangan, baik itu menyangkut sifatnya yang kurang baik ataupun kesanggupannya yang berada di bawah kemampuan kita. Singkat kata kita menjadi kurang sabar karena KITA MAKIN TIDAK RELA MEMBERI WAKTU EKSTRA KEPADANYA.

Betul! Makin berkurang waktu bersama, makin berkurang kesabaran dan makin tidak rela kita memberinya waktu. Pada akhirnya relasi nikah menjadi seperti relasi kerjaùbicara seperlunya dan bila bicara, kita berbicara dengan bahasa instruksi, bukan kasih. Pada titik ini relasi mudah retak dan pertengkaran akan mudah tersulut. Ibarat dahan, makin hari makin mengering.

Pdt. Dr. Paul Gunadi [4]
Audio [5]
Suami-Istri [6]
T328A [7]

URL sumber: https://m.telaga.org/audio/kendala_dalam_menghabiskan_waktu_bersama

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T328A.MP3
[2] mailto:telaga@telaga.org
[3] http://www.telaga.org
[4] https://m.telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[5] https://m.telaga.org/jenis_bahan/audio
[6] https://m.telaga.org/kategori/suami_istri_0
[7] https://m.telaga.org/kode_kaset/t328a