Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kejenuhan Ibu Rumah Tangga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Memang ada banyak keluhan dari ibu-ibu rumah tangga khususnya yang murni menjadi ibu rumah tangga, artinya tidak berkarier di luar, mereka mengeluh kadang-kadang jenuh menjadi ibu rumah tangga ini, lebih baik kerja di kantor dan sebagainya. Dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Saya kira kita perlu mengangkat topik ini karena kadang muncul persepsi yang keliru terhadap ibu yang tidak bersedia tinggal di rumah mengurus anak dan lebih suka untuk bekerja di luar. Kita mesti mengerti bahwa tidaklah mudah mengurus anak dan sekarang kita juga harus mengerti bahwa dengan kemajuan kehidupan dan perbedaan, ibu-ibu ini memang sudah dikondisikan untuk tidak lagi siap 100% seperti dulu untuk tinggal di rumah dan mengurus rumah tangga. Jadi banyak faktor yang memang kita harus pertimbangkan, dan inilah tujuan kita mengangkat topik ini agar yang pertama kita bisa menilai para ibu dengan lebih objektif dan yang kedua adalah mudah-mudahan masukan-masukan yang akan kita berikan kepada para ibu dapat menolong mereka mengatasi kejenuhan yang mereka harus hadapi jika mereka memutuskan untuk tinggal di rumah dan mengurus anak-anak mereka.
GS : Tetapi sekalipun mereka juga belum memiliki anak, banyak timbul keluhan seperti itu karena tidak ada kegiatan yang lainnya ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi memang ada beberapa penyebab yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan yang telah dialami wanita selama ini yang menyulitkan mereka untuk diam di rumah dan mengurus rumah tangga.
GS : Seperti apa, Pak Paul ?
PG : Yang pertama adalah tugas keseharian ibu rumah tangga relatif tidak memerlukan dan tidak menimbulkan stimulasi intelektual. Jadi kita mesti menyadari bahwa dewasa ini banyak wanita yang telah mengenyam bangku perguruan tinggi dan mungkin juga sudah bekerja, sehingga sudah terbiasa dengan tuntutan profesional yang menimbulkan rangsangan intelektual. Begitu meninggalkan dunia kuliah dan dunia kerja kemudian terjun di dalam dunia mengurus rumah tangga secara purna waktu, tidak bisa tidak dia akan kehilangan sumber stimulasi intelektualnya itu. Otak yang terbiasa dengan tantangan yang bersifat intelektual sekarang tiba-tiba dipaksa untuk diam.
GS : Ini seringkali terjadi tetapi apakah itu juga tidak dialami oleh orang yang secara intelektual tidak banyak dituntut dari awal. Misalkan saja pendidikannya tidak sampai ke perguruan tinggi hanya sampai SMP atau SMA. Apakah juga mengalami kejenuhan yang sama ?
PG : Saya kira, makin tinggi tingkat pendidikan maka makin tinggi tingkat rangsangan intelektual yang terbiasa dialami oleh seseorang. Maka makin sulit bagi dia untuk melepaskannya dan memilih untuk tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga. Tapi ada jenis yang kedua yaitu tidak mesti orang itu mengenyam pendidikan yang sangat tinggi tapi mungkin hanya tingkatan SMA namun terbiasa bekerja. Ini pun menjadi sesuatu yang tidak mudah untuk mereka lepaskan karena tugas keseharian seorang ibu rumah tangga merupakan sebuah tugas yang relatif monoton atau rutin. Jadi tidak banyak perbedaan dari hari lepas hari. Jadi ini satu hal yang membedakan kerja di luar dan kerja di dalam. Yang kedua adalah selain dari fisik yaitu mengerjakan kerja rutin, perasaan pun dipaksa untuk menoleransi tuntutan anak yang terus- menerus dan meletihkan, anak minta ini dan itu, harus diurus ini dan itu. Itu adalah tuntutan yang tidak berhenti dan secara mental akan meletihkan seorang ibu. Jadi dalam waktu yang relatif singkat pada akhirnya dia mudah sekali mengalami kejenuhan, tubuh, perasaannya, pemikirannya seringkali tidak bisa menahan kejenuhan. Kadang akhirnya kesabarannya pun terganggu. Dia mudah marah, dia mudah tidak sabar karena menghadapi hal yang sama terus-menerus.
GS : Bagaimana dengan mereka yang berlatar belakang keluarga besar sehingga pada waktu sebelum menikah seringkali sudah banyak kesibukannya. Jadi tantangannya lain, banyak kesibukan dimana dia harus melayani keluarganya dan sekarang menikah dan belum memunyai anak, tiba-tiba dia kehilangan semuanya itu Pak Paul.
PG : Sudah tentu kalau dia dibesarkan dalam rumah tangga yang besar dengan banyak anak, sudah tentu itu menjadi sebuah keramaian yang telah dia nikmati dan waktu dia harus meninggalkan rumah yang ramai seperti itu dan masuk ke dalam rumah tangga baru tanpa ada keramaian, tanpa ada kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhinya maka tidak bisa tidak saya kira dia akan merasa sepi Pak Gunawan, bisa-bisa dia merasa sangat jenuh dan merasa tidak ada yang bisa dikerjakan hari lepas hari sebab sudah terbiasa dengan banyaknya kerjaan atau urusan yang mesti ditanganinya.
GS : Bagaimana hubungannya dengan orang lain, jadi kontak sosialnya dengan orang lain apakah itu juga bisa menimbulkan kejenuhan, Pak Paul ?
PG : Saya kira demikian, sebab tugas dari seorang ibu rumah tangga memang pada umumnya tidak berhubungan dengan manusia lain yang setingkat, setingkat dengan pengertian tingkat pengertiannya, kecerdasaannya, keluasannya. Jadi ibu rumah tangga tidak bisa tidak akan harus berhadapan dengan anak-anak kecil yang tingkat kecerdasan, kematangannya jauh dibawah dirinya. Jadi artinya dia harus berhadapan dengan anak yang lebih menuntut pemenuhan secara fisik serta kebutuhan emosional untuk diberikan, disayangi maka tidak bisa tidak relasi antar ibu dan anak menjadi relasi searah dan bukan relasi timbal balik yang saling mengisi, saling menguatkan dan saling memenuhi, dimana dalam hal ini ibu hanya memberikan dan anak hanya menerima. Sebagaimana manusia normal sudah tentu dalam bekerja kita membutuhkan baik itu rekan kerja maupun objek pelayanan yang dapat diajak untuk bertukar pikiran dan berbagi rasa serta pengalaman, tapi kalau dengan anak kecil kita tidak bisa melakukan hal itu. Jadi dengan kata lain, seharian bisa jadi dia tidak bicara dengan siapa pun kecuali dengan anak dan anak pun dalam tahun pertama tidak begitu fasih untuk berbicara berarti dia hampir tidak bisa berkata-kata seperti biasanya. Bayangkan orang yang terbiasa dengan kata-kata yang rumit dan tinggi, yang dalam yang luas namun tiba-tiba selama beberapa tahun harus menggunting semuanya itu dan membuat dirinya setingkat dengan seorang anak kecil. Jadi meskipun tugas ini penuh dengan sukacita tapi ada juga tantangan yang membuat seorang ibu rumah tangga menjadi jenuh.
GS : Apalagi kalau dia harus pindah keluar kota, tentunya dia tidak memiliki teman yang biasanya diajak berbicara, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Ini adalah point yang sangat penting. Kalau kita membangun suatu keluarga yang baru dan kita harus pindah ke kota atau tempat yang baru, ini adalah suatu tekanan yang lumayan berat juga. Saya teringat waktu kami pertama kali pindah ke kota Malang. Bagi istri saya hal itu terlalu berat dengan mengurus anak umur 1 tahun, 3 tahan, dan umur 5 tahun dan sebagai ibu dia tidak meminta bantuan jadi semua diurus sendiri, tapi saya melihat hal itu sebagai masa yang sulit bagi kami berdua karena tuntutan itu sangat berat dan dia tidak memiliki tempat lain untuk berbagi, bercerita dan sebagainya, bagi saya itu baru dan bagi dia juga masih baru. Sehingga akhirnya menimbulkan tekanan dalam rumah tangga kami.
GS : Sekalipun keluarga ini mendambakan anak kecil misalnya berusia 3 tahun atau 2 tahun, apakah itu juga bisa menimbulkan kejenuhan, Pak Paul ?
PG : Saya kira ya, sebab bagaimanapun juga seorang manusia memerlukan teman yang setingkat sehingga dia bisa saling berbagi dan saling mengisi dan mengasah, untuk waktu-waktu tertentu saya kira kita masih bisa tangani tapi kalau ini berlanjut untuk bertahun-tahun, ini adalah kondisi yang cukup menjenuhkan.
GS : Hal lain yang membuat seorang ibu rumah tangga cepat jenuh apa, Pak Paul ?
PG : Karena mengurus anak terutama anak balita merupakan sebuah tugas yang memang berat, inilah hal yang susah dimengerti oleh banyak orang. Orang mungkin akan banyak berkata, "Apa susahnya mengurus anak, anak kecil itu lucu seharusnya kamu senang." Tapi orang tidak mengerti bahwa misalnya waktu tidur anak. Anak kecil tidur 3-4 jam dan dia akan terbangun, mungkin selama 3 atau 4 jam kemudian dia akan tidur lagi 3 atau 4 jam, jadi dengan kata lain dalam waktu 24 jam anak kecil yang usianya dibawah 1 tahun akan berkali-kali bangun dan tidur berkali-kali. Sehingga seorang ibu yang mengurus anak secara purna waktu seharusnya mengikuti jadwal tidurnya si anak, jadi 4 atau 5 jam si anak tidur, si ibu pun juga harus tidur dan waktu si anak bangun 4 atau 5 jam maka si ibu juga harus bangun. Tapi itu tidak mungkin sebab si ibu juga harus mengurus hal-hal lain dalam rumah tangganya dan dia juga harus memerhatikan suaminya atau orang lain. Jadi dia sendiri tidak bisa beristirahat sebanyak si anak atau sebanyak orang-orang lain. Yang pertama karena kekurangan waktu istirahat dan yang kedua adalah perubahan jadwal kehidupan. Jadi kalau kita bayangkan kehidupan kita itu harus dijadwalkan seperti itu yaitu 3 atau 4 jam berhenti untuk tidur dan kemudian bangun, mungkin kita sendiri tidak akan sanggup. Jadi sebuah perubahan jadwal kehidupan yang meletihkan dan yang akhirnya membuat tubuh tidak nyaman. Makanya tidak jarang pada masa-masa seperti ini seorang ibu rumah tangga akan sering mengeluh secara fisik entah itu sakit kepala pusing dan sebagainya karena memang ada perubahan jadwal itu, belum lagi waktu dia hamil dia juga harus mengalami perubahan-perubahan itu. Jadi keletihan terus berlanjut sampai anak itu sudah mulai lebih besar. Masalahnya adalah kalau setelah 3 atau 4 tahun dia punya anak kedua maka dia akan mengulang lagi dan kalau dia memunyai anak ketiga berarti dia harus mengulangnya lagi. Jadi dengan kata lain kurang lebih sekitar 12 tahun, hidupnya itu akan berbeda dengan hidup-hidup yang sebelumnya. Jadi dia akan cukup menderita berkepanjangan seperti itu. Memang akhirnya tubuh akan bisa menyesuaikan, tapi tetap itu adalah sebuah kondisi yang tidak nyaman.
GS : Hanya mungkin tingkat kejenuhan pada anak yang kedua apalagi anak yang ketiga mungkin sudah lebih berkurang karena anak-anaknya sudah mulai besar.
PG : Betul. Sudah tentu dengan adanya anak-anak yang lebih besar tugas itu sedikit lebih ringan dan anak-anak yang lebih besar juga bisa mengajak bermain adiknya pula. Jadi memang ada timbal baliknya.
GS : Apalagi kalau anaknya itu sedang sakit, itu bisa menimbulkan kejenuhan yang lebih kuat lagi.
PG : Betul. Sebab di tempat pekerjaan yang lain, hampir kebanyakan tuntutan bisa ditunda jadi kita tidak harus saat itu juga memenuhinya tapi tidak demikian dengan mengurus anak, misalnya waktu si anak membuang kotoran, kita tidak bisa berkata kepada si anak, "Tunggu satu jam lagi," tapi kita harus segera melakukannya. Dan waktu jam makan, si anak akan menangis dan kita harus segera memberikan ASI atau memberikan makanan. Jadi dengan kata lain tugas-tugas ini adalah tugas-tugas yang tidak menunggu dan hanya menuntut. Dengan kata lain, susah sekali bagi seorang ibu rumah tangga untuk mengatur jadwal bagi dirinya sendiri sebab apa pun yang dia inginkan itu tidak terpenuhi dan dia harus segera memenuhi apa yang dituntut oleh anaknya.
GS : Apa yang Pak Paul sampaikan ini tentu akan diamini oleh para ibu, khususnya mereka yang memiliki anak balita. Dan kemudian bagaimana cara mengatasinya ?
PG : Saya ingin memberikan beberapa masukan karena kelompok ibu rumah tangga dan anak-anak balita merupakan kelompok wanita yang rentan terhadap depresi. Jadi penting bagi ibu rumah tangga untuk bisa menyiasati, jangan sampai ibu rumah tangga nanti masuk ke dalam lembah depresi akibat kejenuhan yang berlarut dan tuntutan yang begitu meletihkan. Yang pertama adalah jangan malu meminta bantuan, daripada tenggelam dalam kejenuhan mintalah pertolongan baik dari suami, kerabat atau pun bantuan profesional. Mungkin yang diperlukan bukanlah pengalihan tanggung-jawab melainkan bantuan singkat dan praktis seperti minta bantuan seseorang untuk diam di rumah selama 2 jam, agar dia bisa pergi keluar berolah raga atau bertemu dengan kerabat atau teman untuk bersantai sejenak, hal ini mungkin bisa dilakukan atau memberi pengertian kepada suami tentang beratnya beban ini supaya suami bisa berjalan searah dengan istri dalam menanggulangi masalah ini. Kadang saya harus mengaku, kita sebagai suami atau pria, kurang mengerti dan kita berpikir, "Saya juga lelah dan bukan hanya kamu yang lelah," tapi kita harus mengerti keletihan seorang ibu rumah tangga berbeda dengan keletihan kita di luar. Keletihan kita itu seringkali tidak bercampur dengan keletihan mental alias kejenuhan sedangkan ibu rumah tangga selain letih juga harus menanggung keletihan mental alias kejenuhan itu.
GS : Tapi yang menjadi masalah bagi kami kaum pria atau suami itu ialah si istri tidak mau terus terang mengatakan bahwa dia tidak sedang mengalami kejenuhan atau sedang depresi, tapi kemarahannya yang terus nampak. Jadi kita sebagai suami juga bingung mencari-cari penyebabnya dulu.
PG : Betul. Maka saya minta dengan sangat kepada ibu rumah tangga sebelum akhirnya meledak maka lebih baik ajaklah suami berbicara dari hati kehati berikanlah penjelasan bahwa kita ini sangat letih dan saya perlu bantuan. Saya tidak meminta bahwa kamu harus mengambil alih tugas dan tanggung-jawab saya karena ini adalah tugas yang mulia dan saya dengan senang hati ingin melakukannya bagi anak-anak tapi saya minta bantuan yang konkret. Jadi misalkan daripada si istri marah dan mengeluhkan, "Kamu ini tidak peduli dengan aku," lebih baik kita berbicara secara konkret kepada suami, "Bisa tidak kalau hari ini kamu memberikan saya waktu 2 jam saja karena saya ingin pergi untuk senam dan atau pergi dengan teman saya atau keluarga saya." Jadi langsung saja minta jangka waktu itu. Kadang-kadang memang si suami itu sering bereaksi kepada si istri karena si istri itu tidak langsung meminta dengan konkret atau secara spesifik apa yang dia butuhkan, tapi malah marah-marah. Jadi lebih baik si istri bicara dan meminta secara spesifik apa yang dibutuhkannya.
GS : Kadang-kadang usulan dari si suami juga tidak bisa ditanggapi secara spesifik juga misalkan disarankan untuk membayar perawat, si istri belum tentu mau padahalnya bagi kita lebih mudah membayar perawat karena mungkin si suami bertugas diluar kota, sering pergi keluar kota dan sebagainya, pasti akan menjadi lebih mudah kalau memanggil perawat yang bisa menemani dia. Tapi dia tidak mau.
PG : Dalam hal ini, kita harus mengerti bahwa mungkin bagi seorang istri ada sebuah kebanggaan tersendiri, dan ada sebuah sukacita tersendiri dalam merawat anak. Jadi yang dia butuhkan bukanlah pengambil alihan tugas secara penuh, tapi yang dia butuhkan adalah pertolongan-pertolongan singkat supaya dia bisa dibebaskan dan bisa menikmati hal-hal yang diinginkannya. Jadi saya mohon kepada suami meskipun kita punya solusi yang lebih praktis dan mungkin bisa menyelesaikan masalah, tapi kita juga harus mengerti bagi seorang ibu adakalanya mengurus anak memberinya sukacita tersendiri.
GS : Cara penanggulangan yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Yang kedua adalah saya minta kepada para ibu, jangan mengabaikan kebutuhan pribadi. Saya memahami pada masa merawat anak balita sangatlah sukar bagi ibu untuk meninggalkan anak, selain kebutuhan anak yang tanpa henti, satu hal lain yang membuat ibu susah beranjak adalah rasa bersalah entah itu rasa bersalah meninggalkan anak demi kepentingan pribadi. Mungkin untuk pergi ke pasar atau membeli kebutuhan pokok, itu masih bisa dilakukan tanpa rasa bersalah, namun pergi untuk sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya hal itu sangat berat dilakukan, ibu-ibu ini cenderung merasa egois kalau melakukannya sehingga kalau pun dia dapat pergi, maka ia pun juga tetap merasa tidak bahagia. Jadi yang saya minta kepada para ibu dengan anak-anak yang masih kecil, penuhilah kebutuhan pribadi dan lakukanlah hal-hal yang menyenangkan hati kendati tidak sesering dulu. Ingatlah bahwa ibu yang bahagia, membuat anaknya pun bahagia. Sebaliknya ibu yang merana pada akhirnya membuat anaknya turut merana.
GS : Yang sulit bagi para ibu untuk membedakan antara hal ini merupakan kebutuhan atau keinginan. Kadang-kadang dia merasa bersalah karena hanya memenuhi keinginannya sendiri misalkan ke salon. Bagi ibu-ibu ini tidak terbiasa untuk melakukan hal-hal itu, kemudian merasa, "Tidak apa-apa karena suami saya juga bisa menerima saya apa adanya, dia pasti mengerti kalau saya ini repot." Jadi sulit bagi dia untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
PG : Sesungguhnya ini adalah campuran keduanya, dalam kebutuhannya ada keinginan untuk memanjakan diri, menyenangkan hati namun itu juga merupakan sebuah kebutuhan, karena kalau tidak dipenuhi, maka kehidupannya akan kehilangan keseimbangan. Jadi terimalah ini sebagai suatu campuran dan tidak apa-apa selama kita tidak melalaikan tanggung-jawab dan anak-anak terurus dengan baik, tidak ada salahnya memenuhi kebutuhan atau pun kesenangan atau keinginan pribadi. Misalkan pergi ke salon, tidak mengapa pergi 2 jam, dia bisa dirawat, dia bisa relaks dan mungkin dia juga bisa ngobrol-ngobrol, itu pun sudah sangat menyegarkan jiwanya. Dengan jiwa yang lebih segar kemudian kembali ke rumah, maka dia bisa membagikan kesegaran itu kepada anak-anaknya, daripada dia menahan diri karena rasa bersalah, tidak mau keluar mengurus anak dan kemudian nanti anak-anak melakukan hal yang tidak diinginkannya, dan dia marah-marah. Kenapa marah karena dia merasa, "Saya sudah berkorban demi kamu, pergi ke salon pun tidak, pergi olahraga pun tidak, saya sudah mengorbankan semuanya demi kamu tapi kamu seperti ini, tidak menuruti mama dan sebagainya." Akhirnya yang terjadi menjadi lebih parah. Jadi tolong ibu-ibu perhatikan kebutuhan pribadi dan coba penuhi sedapat-dapatnya.
GS : Ada juga kekhawatiran di antara para ibu, kalau dia melakukan itu yaitu memenuhi kebutuhan pribadinya maka dia takut dimarahi atau ditegur oleh mertuanya, khususnya ibu mertuanya dan dianggap bahwa dia manja.
PG : Kadang-kadang ini terjadi sebab orang-orang dulu memunyai konsep bahwa tidak seharusnyalah seorang ibu mementingkan kesenangannya. Tapi bagi saya yang terpenting adalah suami mengerti, meskipun mertua tidak setuju maka hal ini bisa dilakukan dengan lebih berhati-hati dan lebih bijaksana sehingga dia bisa tetap menjalaninya. Atau memberikan pengertian kepada ibu mertua bahwa dia masih perlu dan dia adalah seorang manusia dan ini adalah hal-hal yang menyenangkan hatinya, sehingga nanti dia bisa lebih senang mengurus anaknya pula.
GS : Langkah yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Jangan menjauh dari doa dan Firman Tuhan. Salah satu tantangan terberat dalam mengurus rumah tangga dengan anak yang masih kecil adalah menyisihkan waktu untuk berdoa dan membaca Firman Tuhan. Kesibukan yang begitu padat dan terus menerus akhirnya membuat tubuh dan jiwa terlalu letih untuk berdoa dan membaca Firman Tuhan. Belum lagi adanya gangguan tatkala sedang berdoa dan membaca Firman, baru saja duduk tapi anak sudah bangun dan menangis. Pada akhirnya walaupun hati ingin membaca Firman dan berdoa namun kesempatan makin menyempit untuk bersekutu dengan Tuhan. Maka saya sarankan, setelah suami kembali mintalah waktu untuk bersaat teduh, mintalah kesediaannya untuk mengawasi dan merawat anak selama kita bersaat teduh. Jadi kita perlu kekuatan Tuhan dan mengingat kembali janji Tuhan dan kita pun perlu diingatkan akan rencana Allah memberikan anak kepada kita, bila kita terlepas dari persekutuan dan Firman Tuhan, maka nanti dengan mudah kita melupakan rencana Tuhan dan malah melihat tugas mengurus anak dengan kacamata duniawi.
GS : Kadang-kadang ada perasaan bersalah di antara para ibu kalau dia berdoa dan membaca Firman Tuhan, seolah-olah dia santai-santai saja. Ada suatu kekhawatiran kalau melakukan doa dan membaca Firman Tuhan kemudian pekerjaan yang lainnya itu terbengkalai.
PG : Jadi seorang ibu harus berkata kepada suaminya, "Ini penting bagi saya mendapatkan kekuatan dari Tuhan". Jadi mintalah waktu sekitar setengah jam atau berapa, agar suami mengawasi anak-anak sehingga ibu bisa duduk dan berdoa membaca Firman.
GS : Kalau ke gereja bagaimana Pak Paul, karena itu membutuhkan waktu yang agak lama biasanya ibu-ibu juga kesulitan kalau membawa anak yang masih kecil ke gereja.
PG : Sedapatnya pergilah ke gereja meskipun mungkin belum tentu ia bisa beribadah dalam ruang ibadah karena anaknya masih kecil. Kalau gereja punya ruangan khusus untuk ibu dan anak maka akan lebih baik, tapi kalau tidak ada saya rasa tetap pergi saja ke gereja. Misalkan si anak mulai resah maka bawa saja keluar sehingga si ibu masih bisa tetap ke gereja bersekutu dan berbicara dengan teman-teman, walaupun dia tidak selalu bisa untuk beribadah.
GS : Atau memutar lagu-lagu rohani maka itu akan menolong baik untuk dia maupun untuk anak-anaknya.
PG : Saya setuju sekali. Jadi dengan kata lain dia bisa tetap beribadah kepada Tuhan walaupun dia itu di rumah.
GS : Pak Paul, apakah ada ayat Firman Tuhan yang bisa kita jadikan pedoman untuk pembicaraan ini ?
PG : Yeremia 1:5 berkata, "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa." Dari ayat ini kita bisa melihat Tuhan terlibat penuh dalam penciptaan anak dalam kandungan, bahkan Dia telah menguduskan anak yang akan dipakainya kelak. Tugas mengurus anak dan rumah tangga, dan memang bukan pekerjaan mudah namun ini adalah pekerjaan Tuhan, bersama dengan Tuhan maka kita dipakai-Nya, bukan saja untuk membesarkan anak tapi juga untuk membentuk anak agar bertumbuh besar menjadi alat di tangan Tuhan. Tidak ada sukacita yang besar bagi seorang ibu selain melihat anak-anaknya bertumbuh, dibentuk oleh Tuhan dan mencintai Tuhan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kejenuhan Ibu Rumah Tangga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.