Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pengaruh kekerasan terhadap kehidupan kita maupun kehidupan keluarga kita. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, beberapa waktu belakangan ini kita selalu melihat, mendengar bahkan mungkin mengalami bagaimana kekerasan itu makin lama makin menjadi-jadi. Seolah-olah orang sudah tidak mampu lagi untuk meredam kekerasan, di mana-mana terjadi, mungkin juga di lingkungan kita. Korbannya juga banyak selain bangunan-bangunan yang dirobohkan, orang-orang yang meninggal, cacat dan sebagainya. Kalau itu sebatas bangunan-bangunan fisik, dalam beberapa waktu bisa dibangun kembali, tapi yang ingin kami perbincangkan pada kesempatan ini adalah selain membawa dampak kerusakan fisik seperti pada gedung, mobil, harta benda itu saya percaya sekali ada dampaknya terhadap jiwa seseorang. Bukan dalam arti kata meninggal tetapi berpengaruh di dalam kehidupannya itu, kira-kira apa ada pengaruhnya dan seberapa jauh pengaruh itu, Pak Paul?
PG : Saya akan menjawab dengan menceritakan sebuah kisah, seseorang bernama Jim Elliot bersama dengan empat rekannya berniat untuk membawa Injil Tuhan kepada suatu suku Indian di Ekuador. Begit mereka tiba, mereka dibantai, dibunuh dengan tombak oleh suku Indian tersebut.
Pada waktu itu Jim Elliot mempunyai seorang putri, dan istrinya Elizabeth Elliot mengambil suatu tindakan yang sangat luar biasa. Pada saat itu istri Jim Elliot, Elizabeth bersama dengan istri-istri rekannya itu mereka sedang berada di suatu kota yang lain, tidak bersama dengan suami-suami mereka di tempat peristiwa itu. Sewaktu Elizabeth mendengar suaminya terbunuh, dia memutuskan untuk pergi kembali ke sana, ke tempat di mana suaminya itu terbunuh. Yang paling menakjubkan adalah Elizabeth Elliot membawa anaknya dan tinggal bersama-sama suku Indian yang membunuh suaminya itu. Anak itu akhirnya dibesarkan bersama dengan anak orang yang membunuh Jim Elliot, suaminya itu dan kita tahu ceritanya mengapa Elizabeth terus tinggal di sana, karena dia terpanggil untuk membawa Injil Tuhan kepada orang-orang Indian itu. Dan memang si pembunuh yang membunuh suaminya itu akhirnya juga menjadi orang yang percaya dalam Tuhan Yesus. Dari cerita ini kita bisa melihat suatu pelajaran yang sangat indah yaitu Elizabeth Elliot sebetulnya mempunyai dua pilihan saat itu, menanamkan kebencian pada si anak atau justru menanamkan cinta kasih pada si anak. Dia bisa berkata kepada anaknya: "Orang-orang Indian itu biadab, mereka membunuh papamu dengan begitu saja tanpa salah" atau dia bisa melakukan yang dia lakukan yaitu justru mengajak si anak untuk membawa Injil atau cinta kasih Tuhan Yesus kepada orang-orang yang memang belum mengenal Tuhan. Sebab asumsinya adalah kalau mereka sudah mengenal cinta kasih Tuhan Yesus mereka tidak akan mau berbuat jahat, itulah yang dilakukan oleh Elizabeth Elliot. Saya kira dampak kekerasan yang kita lihat sekarang pada masyarakat bisa membawa anak-anak kita menjadi nomor satu, orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Kekerasan sebetulnya merupakan pernyataan atau wujud dan ekspresi dari tekad membela kepentingan. Jadi kalau kita dihadapkan atau hidup di tengah-tengah masyarakat yang makin hari makin keras, ada suatu kemungkinan si anak yang kita besarkan ini bisa bertumbuh besar dan menjadi anak-anak yang egois, hanya memikirkan kepentingan sendiri dan akhirnya mempunyai sifat yang keras. Dalam pengertian kalau teritori saya diganggu, kalau hak saya diinjak, maka saya harus melawan dengan keras pula. Ini yang saya takuti bisa mulai tertanam dalam diri anak-anak kita. Sudah tentu hidup dalam kekerasan juga memaksa kita untuk bersifat keras. Karena adakalanya kita merasa sangat tertekan kalau kita membiarkan diri kita lemah, anak-anak pun demikian, tatkala mereka dikelilingi dengan kekerasan mereka pun akhirnya terpaksa membangun suatu sistem pertahanan yang keras, supaya mereka tidak mudah jadi korban atau terluka.
GS : Yang Pak Paul katakan anak-anak itu kira-kira seusia berapa Pak Paul? Yang mudah terpengaruh maksud saya.
PG : Saya kira anak-anak usia mulai 9 tahun ke atas sudah bisa, jadi mulai kira-kira batas 9 tahun. Kita tahu tahap yang paling rawan adalah usia remaja, tapi sudah diawali sejak usia 9, 10 tahn itu.
GS : Kalau yang menjadi korban kekerasan itu adalah keluarganya, tadi seperti yang Pak Paul ceritakan, ayahnya dan sebagainya; memang peran ibu itu besar sekali. Tadi Elizabeth itu begitu memberikan bimbingan. Kepada anaknya ia menanamkan cinta kasih. Tetapi sebenarnya terhadap ibu itu sendiri, jadi kita yang sudah dewasa ini Pak Paul, apakah tidak terpengaruh dengan kekerasan yang terjadi di sekeliling kita atau yang kita baca di koran atau yang kita lihat di TV itu.
PG : Saya kira kita terpengaruh untuk bertindak sama seperti orang lain bertindak kepada kita, kita akan terpancing melakukan hal yang sama. Karena kita manusia mempunyai sikap atau sifat keadian, sebetulnya sifat keadilan sudah kita sadari adalah suatu sifat yang baik.
Tapi dari sifat keadilan ini bisa muncul reaksi atau respons yang lain yaitu menuntut pembalasan yang dilarang oleh Tuhan. Tuhan berkali-kali berkata di Alkitab bahwa pembalasan milikKu, ditanganKu, jadi hak membalas bukan hak manusia.
GS : Itu yang memang harus dihayati betul, lalu terhadap diri anak itu selain di dalam dirinya itu bisa berkembang sikap yang mementingkan diri sendiri, dampak yang lain apa Pak Paul?
PG : Tadi saya sudah singgung yaitu anak bisa menjadi anak yang akhirnya mengekspresikan kemarahannya misalnya dengan kekerasan. Semua anak di mana pun pasti akan hidup dalam suasana yang tidaknyaman, adakalanya kehendaknya tidak terjadi, adakalanya dia dibuat marah dan sebagainya.
Tapi dalam lingkungan yang relatif damai, menghindari kekerasan, dia juga tidak terbiasa atau tidak melihat contoh untuk mengekspresikan rasa tidak sukanya atau marahnya melalui tindak kekerasan. Tapi dalam suasana kekerasan mulai menggejala, mulai memasyarakat, si anak akhirnya bisa tertular, akhirnya bagi dia kalau marah ekspresikanlah dengan kekerasan, itu tidak apa-apa sebab itu yang dilakukan oleh orang lain pula. Jadi bukan saja dia menjadi anak yang peka dengan kepentingannya atau jangan mengganggu kepentingan saya, engkau tidak mengganggu saya tidak apa-apa, kalau engkau mengganggu saya habisi engkau. Anak-anak bisa mempunyai sikap seperti itu, tapi selain dari itu anak-anak juga bisa mengembangkan sikap kalau saya marah saya harus keras, sebab itulah yang dilakukan oleh orang-orang lain.
GS : Tapi begini Pak Paul, ada orang tua yang tidak mau membalas kekerasan dengan kekerasan, dia katakan "Saya itu cuma jaga-jaga saja," lalu di dalam mobilnya dia bawa senjata-senjata tertentu Pak Paul, pentungan dan sebagainya. Tapi anak itu asosiasinya bahwa ayahnya mau memukuli orang, nah bagaimana menjelaskan kepada anak itu, bahwa ini sebenarnya cuma alat untuk mempertahankan diri, kalau diganggu misalnya?
PG : Saya kira dalam contoh itu tidak apa-apa, sebab si ayah bisa menjelaskan bahwa saya hanyalah melindungi diri, saya bukan menggunakan ini untuk menyerang orang. Yang lebih penting adalah siat atau sikap orang tua di rumah.
Kalau memang di rumah penuh dengan percakapan yang menebarkan kebencian, tindakan si ayah membawa pentungan misalnya di mobil, tepat mengkonfirmasi bahwa inilah yang seharusnya dilakukan dalam hidup yaitu kita dipukul sekali, kita pukul orang dua kali misalnya seperti itu. Tapi kalau di rumah si ayah dan ibu, memang mencerminkan kelemahlembutan dan damai, anak juga akan tahu ini hanya untuk membela diri. Jadi interaksi di rumah itulah yang lebih penting.
IR : Sebaliknya Pak Paul kalau anak-anak itu mengatakan bila sudah dalam keadaan terjepit, lalu apa yang harus ia lakukan dengan kekerasan itu. Kalau dia membiarkan dia jadi korban, tapi kalau dia membalas sebenarnya bukan ajaran Tuhan karena kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan.
PG : Ini hal yang penting sekali karena bagaimanapun kita harus menyadari anak kita hidup dalam realitas dan dalam dunia yang realistik, adakalanya ada orang-orang jahat yang mau membuat anak ita terluka sehingga jadi korban.
Saya kira kita perlu menekankan pula bahwa kita ini boleh melindungi diri. Melindungi diri dalam pengertian kita bisa bersikap tegas, kita tidak usah agresif, kasar seperti menghantam orang, memukul orang, tapi kita bisa mengajarkan anak kita untuk bersikap tegas. Misalkan anak kita diganggu, didorong-dorong kadang-kadang dipukul kepalanya oleh temannya, kita bisa berkata kepada anak kita "Kau hampiri temanmu dan katakan jangan pukul kepala saya lagi, saya tidak suka!" . Dan setelah itu kita berkata: "Kalau dia pukul lagi, engkau laporkan kepada gurumu atau saya datang ke sekolah untuk bertemu dengan anak itu." Jadi kita yang membela anak itu, dengan tindakan itu si anak memang diperlengkapi dengan suatu kekuatan yaitu kekuatan guru atau kita orang tua yang akan membela dia. Tapi dia tidak harus akhirnya membalas. Kecenderungannya adalah dalam masyarakat yang makin keras ini, anak-anak memang terpancing untuk keras, sebab kalau tidak keras dia akan jadi korban dan dianggap lemah. Jadi saya kira tidak perlu keras tapi bisa tegas, itu yang bisa kita ajarkan kepada anak-anak.
GS : Sebenarnya si anak ada yang memang dari kecilnya bahkan mungkin dari bayinya itu sudah punya jiwa yang keras, bagaimana kalau terpengaruh dengan kondisi yang keras seperti itu sehingga cepat berkembang dengan subur, Pak Paul?
PG : Anak-anak yang berjiwa keras itu saya ibaratkan minyak yang memang mudah sekali mengobarkan api. Nah, untuk anak-anak seperti ini kita memang perlu lebih waspada yaitu kita tegaskan kepadadia, bahwa waktu engkau pukul anak lain engkau berdosa kepada Tuhan, kita harus tekankan hal itu kepadanya.
Yang perlu dan engkau harus lakukan adalah engkau bersikap tegas kepada temanmu, engkau tidak menginjak dia, tapi waktu dia menginjak engkau, engkau katakan: "Aku tidak suka engkau melakukan itu kepadaku!" Jadi kita batasi anak itu sampai pada garis bertindak keras saja. Sebab kalau tidak, kita memang akan melihat suatu generasi yang penuh dengan tindak kekerasan, kita akan melihat anak-anak ini menjadi besar dengan suatu sikap yang sangat keras, diganggu sedikit langsung harus balas. Saya mau mengajak kita melihat secara historis misalkan saya suka melihat-lihat, mengamati para ayah kita yang usianya sekarang mungkin 60 tahunan atau 70 tahunan ke atas yang bertumbuh besar pada masa penjajahan. Pada masa itu saya kira jelas sekali siapa yang berada di pihak yang benar, siapa yang berada di pihak yang salah yaitu bahwa penjajah itu di pihak yang salah dan kita ini menginginkan kemerdekaan. Cukup banyak masyarakat kita hidup dalam kesusahan di dalam masa penjajahan, tapi saya melihat ada satu karakteristik dari generasi yang tua-tua ini yaitu generasi mereka adalah orang-orang yang tabah, tahan banting. Saya kira mereka tabah dan tahan banting karena dipersiapkan oleh situasi hidup pada saat itu. Dan mereka tidak mengalami konflik nilai karena jelas sekali siapa yang berada di pihak yang salah dan pihak yang benar. Sekarang saya khawatir kita memang akan menumbuhkembangkan suatu generasi yang bertindak keras, yang mempunyai falsafah kehidupan "Engkau mengganggu aku, engkau akan habis." Kenapa begitu? Karena generasi ini menyaksikan begitu banyak kekacauan dan ketidakadilan yang benar-benar kacau, di mana ada serangan dari kiri, dari kanan, jadi orang akhirnya harus selalu was-was terhadap semua orang, ini yang saya takuti, jadi saya takut kita mulai memetik buahnya 20 tachun mendatang atau mungkin 15 tahun mendatang di waktu anak-anak remaja yang sekarang menyaksikan semua ini bertumbuh besar menjadi orang dewasa. Sebab saya melihat memang ada suatu karakteristik untuk suatu zaman, untuk suatu era tertentu di mana misalkan saya mengambil contoh yang lain lagi generasi tahun 60-an misalnya di Amerika Serikat yang disebut generasi Hippies, mereka memang terkenal sebagai orang-orang atau generasi yang mencintai sekali kesenangan. Mereka itu lepas dari peperangan, tahun 45-an itu mereka belum lahir mereka lahir di atas tahun 50-an, 60-an mereka hidup dalam kemakmuran semua tersedia dengan baik, sehingga mereka adalah memang generasi yang mencintai sekali kesenangan, kenikmatan. Beda dengan generasi 40-an di mana mereka menjadi generasi yang tabah, yang kuat, tahan banting.
IR : Kalau menghadapi anak-anak yang jiwanya lemah lembut, dalam menghadapi kekerasan itu mereka hidup dalam ketakutan ya Pak Paul. Bagaimana mereka harus mengatasi hal itu, Pak Paul?
PG : Kita harus membela, harus memberikan perlindungan, jadi rasa takut itu tidak cukup hanya dihilangkan dengan perkataan "Ya, engkau tidak akan apa-apa, semuanya akan baik". Akhirnya yang peru kita lakukan adalah kita memastikan bahwa dia itu merasa aman, misalkan kita akan menjemput dia, kita akan bersama dia sehingga sedikit banyak membuat dia merasa aman.
Jadi sekali lagi harus ada campur tangan langsung dari orang tua memberikan perlindungan ekstra kepadanya sehingga dia akan merasa lebih aman.
GS : Apa tidak dikhawatirkan timbulnya suatu generasi, Pak Paul, yang menaruh dendam terhadap orang-orang yang misalnya melukai orang tuanya, menghancurkan rumahnya, Pak Paul?
PG : Bisa, dan itu yang saya kira lebih mungkin terjadi pada masyarakat kita. Terluka akibat tindak kekerasan dari orang lain itu tidak mudah disembuhkan, membutuhkan waktu yang lama dan yang sya takutkan adalah belum cukup waktu untuk sembuh sudah terjadi lagi yang baru dan terus begitu.
(2) GS : Sebenarnya sebagai keluarga Kristen menghadapi kekerasan yang terjadi di sekeliling kita dan bahkan mungkin juga menimpa kita, suatu saat kita juga tidak tahu, bagaimana kita harus bersikap, Pak Paul?
PG : Ada beberapa sikap ya Pak Gunawan, misalkan yang pertama, terhadap kehilangan harta, kita bisa mengingat reaksi Ayub sewaktu hartanya itu semua habis dan dia akhirnya jatuh miskin, tidak unya apa-apa.
Ucapan yang keluar dari mulutnya adalah Tuhan yang memberi, ya Tuhan bisa mengambil, dengan kata lain kita menyadari seperti Ayub, kita datang ke dunia tanpa membawa apapun jadi kita akan meninggalkan dunia tanpa membawa apapun, yang kita miliki adalah pemberian Tuhan dan memang bisa diambil. Diambil dapat dengan berbagai cara dan bentuk dalam kedaulatan Tuhan, dia mengizinkan harta kita diambil secara tidak benar. Namun akhirnya kita harus berkata yang berkuasa atas harta itu adalah Tuhan, dan yang saya miliki itu dulu itu sebetulnya pemberian Tuhan. Jadi sikap atau perspektif yang benar tentang harta menolong kita juga menghadapi kehilangan itu, kalau tidak memang bisa menimbulkan pukulan yang berat, stress yang sangat berat.
GS : Jadi kita harus belajar supaya hati kita tidak melekat pada benda-benda yang Tuhan berikan kepada kita atau sikap yang lain, Pak Paul?
PG : Misalkan sekarang mengenai kerugian terhadap tubuh kita, kalau kita mengalami luka dan sebagainya. Kita harus menekankan bahwa yang paling penting dalam hidup ini adalah bukan tubuh, tapi oh dan jiwa kita.
Akhir-akhir ini saya makin menyadari apa artinya kemenangan dalam Tuhan. Kemenangan dalam Tuhan bukan berarti kita akan menjadi orang yang selalu kaya, berhasil, dilindungi dari segala marabahaya. Yang dimaksud adalah sewaktu semua atau segala hal terjadi pada diri kita, kita bisa merespons dengan sikap yang Kristus kehendaki yaitu kita akhirnya merespons seperti Kristus merespons terhadap apa yang dialami. Sewaktu Dia dipukuli, disiksa, ditampar, Dia terima, dan akhirnya Dia disalib, Dia juga terima. Jadi reaksi seperti itulah yang perlu kita miliki dan sewaktu kita miliki kita bisa berkata kita menang. Jadi kemenangan bukan berarti kemenangan fisik, jadi tubuh kita pun waktu terluka atau cedera, kita harus berkata tidak apa-apa memang itu sementara, yang penting adalah roh saya, apakah roh saya akan cacat, cedera juga, ataukah roh saya akan dapat menang melawan semuanya ini.
IR : Juga seperti pernyataan Paulus, menekankan bahwa hidup di dalam Kristus, mati itu suatu keuntungan ya Pak Paul?
PG : Betul sekali, jadi akhirnya Paulus memberikan kita suatu nilai hidup yang penting, yaitu bahwa mati bukanlah yang terburuk, bahwa mati adalah suatu keuntungan, karena Dia akan bersama dengn Tuhan.
GS : Jadi sebenarnya pada saat-saat seperti sekarang di mana kekerasan itu bisa saja terjadi sewaktu-waktu, kita perlu betul-betul mempersiapkan diri kita dalam bentuk pembinaan rohani ya, Pak Paul?
PG : Betul, misalkan kalau saya baca dari Matius 5:38, "Kamu telah mendengar Firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi". Tetapi Aku berkata kepadamu: "Janganlah kamu elawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu."
Dan juga saya bacakan ayat 46, "Apabila engkau mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga." Itu yang dialami juga oleh Corry ten Boom, Pak Gunawan (GS : Di negeri Belanda itu) seorang wanita Belanda bukan Yahudi tapi akhirnya dia menyembunyikan orang Yahudi dari tentara Jerman tapi akhirnya ketahuan. Dia, kakaknya, ayahnya ditangkap semua dan akhirnya mati dalam penjara kecuali dia dan dia dilepaskan secara mujizat. Tapi dia keluar dari penjara tidak menjadi orang yang pendendam kepada Jerman sebab dia melihat semua ini dari kaca mata Tuhan, yaitu waktu manusia berdosa tidak lagi mengingat akan Tuhan, manusia memang bisa melakukan hal yang salah dan jahat.
GS : Kita patut bersyukur bahwa Roh Kudus Allah sendiri yang diam di dalam diri kita, itu memungkinkan kita untuk melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan. Seperti Elizabeth tadi, seperti Corry Ten Boom sendiri dan banyak kesaksian yang lain saya rasa Pak Paul.
Demikian tadi para pendengar kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang pengaruh kekerasan yang terjadi di sekeliling kita terhadap keluarga kita, khususnya anak-anak juga kita. Dan perbincangan ini kami lakukan bersama dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Melalui kesempatan ini, kami juga ingin mengucapkan terima kasih atas surat-surat yang disampaikan pada kami. Namun tetap saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.END_DATA