Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini akan membahas tentang "Berani Mengambil Keputusan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Mengambil keputusan memang merupakan bagian kegiatan dari seseorang hampir setiap hari, hampir setiap saat. Misalnya kita mau ganti baju saja harus diputuskan mau pakai baju yang mana. Atau makan, mau makan apa harus diputuskan. Tapi ‘kan tidak semua masalah dengan gampang diputuskan. Kadang harus lama sekali kita bergumul, berpikir, misalnya mencari pasangan hidup dan sebagainya. Kalau dikatakan berani mengambil keputusan, itu yang menjadi bahan pertimbangannya atau hal-hal lainnya itu apa, Pak Paul ?
PG : Memang dalam dunia ini ada dua jenis manusia. Yang pertama adalah jenis yang berani mengambil keputusan tapi sering salah, tapi ada juga jenis orang yang tidak berani mengambil keputusan meskipun seringkali benar. Jadi kita mau seimbangkan, yaitu bagaimana kita bisa mengembangkan diri sehingga kita menjadi orang yang berani mengambil keputusan tapi juga bisa mengambil keputusan dengan tepat.
GS : Tepat atau tidaknya ‘kan sulit karena kita tidak tahu masa depan itu seperti apa setelah keputusan ini kita ambil, Pak Paul ?
PG : Betul, Pak Gunawan. Kita memang tidak bisa memastikan hasil akhir. Yang bisa kita pastikan hanyalah proses pengambilan keputusan itu. Misalkan dalam proses itu kita harus mengumpulkan informasi atau data sebanyak dan selengkap-lengkapnya. Kita juga mesti mendapatkan masukan, nasehat dari orang-orang yang berkompeten di dalam area dimana kita mesti mengambil keputusan tersebut. Itulah yang harus kita lakukan. Namun setelah kita lakukan semua itu, kita harus mengambil keputusan. Pada kesempatan ini kita akan menyoroti kenapa ada orang yang susah sekali mengambil keputusan meskipun sudah kumpulkan data selengkap-lengkapnya dan sebanyak-banyaknya, meskipun sudah dapatkan informasi, masukan, bimbingan dari orang lain tapi tetap susah, tetap tidak berani, tetap takut. Kita akan coba bahas beberapa penyebabnya sekaligus juga kita akan bicarakan beberapa cara untuk mengatasinya.
GS : Jadi hal pertama yang harus kita perhatikan apa, Pak Paul ?
PG: Yang pertama, memang ada orang yang tidak berani mengambil keputusan karena tidak tahu apakah keputusan itu keputusan yang tepat atau tidak. Jadi singkat kata, kita takut salah. Sudah tentu kita harus berhati-hati dalam bertindak. Kita mesti mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya, kita bicara dengan orang, meminta pendapat orang. Namun setelah itu kita tetap harus mengambil keputusan. Nah, yang harus kita ingat adalah bahwa semua keputusan adalah keputusan yang terbaik di dalam keterbatasan yang ada. Saya ulang, keputusan yang terbaik di dalam keterbatasan yang ada. Singkat kata, keputusan yang terbaik adalah keputusan yang relatif terbaik. Nah, namun kata "terbaik" tidak sama dengan "sempurna". Seringkali kita mengaburkan atau menyamakan keduanya, yaitu keputusan terbaik berarti sempurna. Tidak ! Terbaik bisa gagal tidak ? Bisa ! Orang bisa melakukan atau mempersiapkan, merancang suatu keputusan yang paling baik berdasarkan data yang dia miliki tapi tetap bisa gagal. Dan terbaik pun bisa keliru tidak ? Bisa keliru ! Kadang kita sudah begitu yakin namun ada satu informasi yang tidak kita ketahui akhirnya kita salah mengambil keputusan. Namun setidaknya kita harus dapat berkata bahwa kita telah mengambil keputusan yang terbaik berdasarkan data yang kita miliki dan jangan ragu lagi, langsung melangkah.
GS : Mengumpulkan data sebanyak-banyaknya ini yang butuh waktu. Dan biasanya makin banyak data yang kita peroleh makin sulit kita mengambil keputusan.
PG : Betul. Memang ada waktu dimana kita harus berkata cukup. Jadi kita tidak bisa terus-menerus berkubang dalam pengumpulan data tanpa habis-habisnya. Namun kita juga harus mengerti satu hal. Untuk keputusan yang berat, yang penting, yang akan berdampak panjang dalam hidup kita, memang itu memerlukan waktu yang panjang. Justru tergesa-gesa bukanlah hal yang baik di dalam keputusan seperti itu. Contohnya, misalkan kalau kita mau memutuskan kita mau makan apa siang ini. Kita tidak usah mengambil waktu 2 jam memikirkannya. Dua menit pun cukup. Tapi kalau kita mau memutuskan mau beli mobil yang mana, mungkin kita perlu 2 minggu memutuskannya. Kalau kita mau memilih pasangan hidup, mungkin kita perlu waktu 2 tahun memutuskannya. Jadi memang untuk hal-hal yang lebih berat, lebih penting dan lebih berdampak dalam hidup kita, memang seharusnya kita mencurahkan lebih banyak waktu.
GS : Karena seringkali keputusan yang kita buat berdampak pada orang lain di sekitar kita. Buat kita bisa tidak masalah, tapi buat orang lain bisa menimbulkan masalah.
PG : Betul, Pak Gunawan. Dan kadang kita bisa melihat dampak itu, kadang tidak. Saya sendiri waktu menengok ke belakang, saya melihat ada beberapa keputusan yang saya ambil yang kalau bisa saya ubah akan saya ubah. Yaitu saya beberapa kali pindah tempat tinggal. Saya tidak memikirkan itu akan berdampak terlalu dalam dan banyak pada keluarga saya atau anak-anak saya. Tapi ternyata memang ada dampaknya. Jadi kadang kita tidak bisa melihat sejauh itu dan kita hanya berpikir mungkin tidak apa-apa sebab saat itu anak-anak kami juga masih kecil. Tapi ternyata memang ada dampak yang tidak kami lihat. Namun sekali lagi penekanannya pada lakukan PR kita. Kumpulkan data sebaik-baiknya dan selengkap-lengkapnya, kemudian minta pendapat dari orang lain, pikirkan masak-masak dan setelah itu kita coba lakukan. Jangan kita tunggu-tunggu lagi.
GS : Selain itu apa lagi yang perlu diperhatikan, Pak Paul ?
PG : Kedua adalah kadang kita takut mengambil keputusan karena kita memang tidak menyukai tanggung jawab. Jadi kita senantiasa ingin berada di balik orang lain karena kita tidak mau memikul tanggung jawab. Pada umumnya sikap seperti ini muncul dari 2 sumber. Yang pertama kita memang dimanjakan sewaktu kecil sehingga kita tidak pernah memikul tanggung jawab. Semua dilakukan oleh orang tua kita. Atau yang kedua kita memang takut menanggung akibat yang buruk. Coba kita perhatikan kedua penyebab ini satu per satu. Yang pertama, ada orang yang dimanjakan pada masa kecilnya sehingga dia tidak pernah diserahi tanggung jawab. Semua diatur dan dia tinggal menerima hasilnya. Orang ini seringkali gamang menghadapi tanggung jawab. Begitu berhadapan dengan keputusan yang mesti diambil, yang terbayang adalah "Aduh, tanggung jawab." Dan karena dia tidak terbiasa dengan tanggung jawab, kecenderungannya adalah melarikan diri. Ada pula orang yang takut mengambil keputusan karena takut dengan akibatnya. Mungkin sewaktu kecil dia sering menerima penghukuman dari orang tua sewaktu mengambil suatu keputusan yang keliru. Atau dia pernah mengalami akibat yang mengerikan gara-gara keliru mengambil keputusan. Nah, hal-hal seperti itu memang dapat membuat kita akhirnya takut mengambil keputusan karena kita memang tidak mau memikul tanggung jawabnya.
GS : Saya rasa hampir semua orang bermasalah dengan itu, Pak Paul. Lalu bagaimana dia bisa mengatasinya ?
PG : Ada 2 langkah yang bisa saya sarankan. Yang pertama, kita memulai dengan mengambil keputusan yang kecil-kecil terlebih dahulu. Dan yang kedua, kita mengambil keputusan bersama-sama dengan orang lain. Coba kita perhatikan kedua hal ini. Yang pertama, makin sering kita mengambil keputusan secara tepat makin bertumbuh kepercayaan diri kita. Jadi mulailah dengan keputusan-keputusan yang kecil yang kita anggap sepele. Mulailah, sekecil apapun, mulailah. Jangan terlalu mudah untuk menyerahkan tanggung jawab itu kepada orang lain. Dan yang kedua, ambillah keputusan bersama orang lain. Kalau kita masih takut, biarkan orang bersama-sama kita memutuskannya sehingga kita merasa lebih lega karena kita tahu semua itu akibatnya tidak di pundak kita sendirian tapi kita berbagi. Saya kira dua cara ini bisa kita gunakan untuk melepaskan diri dari ketakutan kita akan tanggung jawab.
GS : Tapi katakan kita mengambil keputusan bersama-sama orang lain. ‘kan tanggung jawabnya tetap pada kita. Kita ‘kan tidak bisa melemparkan tanggung jawab itu kepada orang yang mendampingi kita.
PG : Betul. Namun kalau kita melakukannya bersama-sama orang lain, setidaknya tanggung jawabnya kita bagi bersama. Saya masih ingat dulu sewaktu kuliah kadang dosen memberikan tugas, kami harus melakukan tugas itu secara berkelompok. Jadi satu tugas, satu kelompok. Tidak bisa tidak ada perasaan lebih lega karena masing-masing kami memunyai andil, tapi kami tidak bertanggung jawab sepenuhnya untuk proyek atau tugas tersebut. Jadi sesuatu yang kita bagi bersama orang lain akan juga membantu kita. Maka kalau memang kita tidak terbiasa, kita punya pengalaman yang kurang baik atau kita terlalu dimanjakan, terlalu dilindungi, kita tetap mesti berusaha keluar dari perangkap tersebut.
GS : Iya. Tapi dalam praktek kehidupan nyata, Pak Paul, peran seseorang yang mendampingi kita itu sebagai apa ? Sebagai penasehat kita atau juga berbagi tanggung jawab seperti yang Pak Paul katakan itu ?
PG : Kadang ada hal-hal yang bisa kita kerjakan bersama-sama. Misalkan kita mau melakukan sebuah usaha yang baru. Kita takut melakukannya sendirian, kita mengajak orang mengerjakan bersama-sama dengan kita, jadi berdua atau bertiga. Atau dalam kasus yang lain kita memang meminta pendapat orang dan kita tanyakan kalau engkau dalam situasi ini apa yang akan kau lakukan. Nah waktu dia berkata, "Saya akan lakukan ini." Oke. Saya akan ikuti pendapat tersebut." Dalam pengertian kita seolah-olah membuat keputusan bersama-sama, bahwa dia dan kita sama-sama setuju, sama-sama melihat ini adalah hal yang memang baik untuk kita lakukan. Sehingga misalkan gagal atau keliru atau apa, setidaknya kita tidak merasa "Aduh sendirian, saya salah." Sebab kita ‘kan pernah berkonsultasi, minta pendapat dan orang itu juga sama dengan kita. Nah yang penting disini adalah intinya memulihkan rasa kepercayaan diri kita, sehingga kita tidak merasa, "Aduh saya salah sendirian. Kok selalu saya saja yang keliru."
GS : Hal yang lain lagi apa, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah kadang kita takut mengambil keputusan karena memang kita malas. Jadi tetap ada unsur malas. Kita menyadari bahwa keputusan yang kita buat sama dengan bola yang berada dalam tangan kita, kita genggam. Kita harus melemparkannya ke lapangan lawan. Singkat kata, kita tahu kita tidak bisa mendiamkan bola di tangan. Kita harus berbuat sesuatu. Ada di antara kita yang memang malas. Itu sebabnya kita menghindar dari keputusan sebab kita tidak mau direpotkan melaksanakannya. Kita mesti menyadari setiap keputusan pasti akan merepotkan kita, jadi kita harus siap repot bila ingin mengambil keputusan. Bila kita menolak, pada akhirnya orang akan terus mengambilkan keputusan untuk kita, dan itu berarti kita tidak akan bertumbuh dewasa. Masalahnya adalah orang pun akan sulit memercayai kita dengan tanggung jawab apa pun karena melihat kita belum dewasa dan tidak bisa tidak kita pun makin hari makin akan kehilangan kepercayaan diri. Belum lagi orang makin tidak respek kepada kita. Singkat kata, untuk melawan kemalasan kita mesti mengingat harga mahal yang mesti kita bayar. Jadi tolong kita lawan kecenderungan kita untuk lepas tangan karena kita malas, kita ingat bahwa harganya terlalu mahal. Lebih baik saya berbuat sesuatu.
GS : Tetapi kemalasan seseorang itu kadang timbul karena tekanan dari luar, Pak Paul. Setiap kali dia mengambil keputusan dia dipersalahkan terus atau dicela terus. Misalnya seorang suami, setiap mengambil keputusan, istrinya selalu menganggap keputusannya salah. Lama-lama dia malas mengambil keputusan, Pak Paul. Jadi kemalasan itu ada latar belakangnya.
PG : Bisa, bisa. Jadi kemalasan memang bisa berlatar belakang pengalaman yang tidak menyenangkan, pengalaman buruk, pengalaman tidak dihargai sehingga akhirnya kita kehilangan motivasi untuk melakukan apa-apa. Bisa juga memang kita orangnya agak malas. Sehingga akhirnya kita tidak mau repot-repot sebab mengambil keputusan memang merepotkan. Ada orang yang memang tidak mau repot, jadi sudahlah, daripada repot tidak usah mengambil keputusan sama sekali. Nah kita mesti melihat penyebabnya apa. Kalau memang penyebabnya adalah yang tadi Pak Gunawan katakan, kita tidak mendapatkan penghargaan atau yang lain, kita mungkin bisa secara spesifik bertanya kepada pasangan kita. "Oke, dalam hal ini saya tidak memuaskan hatimu. Saya akan coba. Kalau misalnya saya bisa lakukan segini saya, apa itu baik-baik saja buat kamu ?" Jadi kita menurunkan pengharapan dia atau membuat tugas kita menjadi lebih kecil atau lebih ringan sehingga kita bisa melakukannya. Dengan cara itu dia puas, kita juga puas, sehingga akhirnya kepercayaan diri kita bisa kembali dipulihkan.
GS : Karena kemalasan ini merupakan suatu karakter dari seseorang ya. Jadi lebih sulit mengalahkan kemalasan diri sendiri ini.
PG : Betul. Kalau kasus kedua yang Pak Gunawan munculkan tadi - yaitu karena pengalaman buruk, tanggapan yang tidak positif, - itu lebih mudah dipulihkan, karena dasarnya sebetulnya kita tidak malas tapi kita kehilangan motivasi karena mendapatkan tanggapan-tanggapan yang tidak positif. Lebih sulit untuk diubah kalau memang kita malas karena kita tidak suka repot. Ada kalanya kita malas karena tidak mau repot. Ini yang lebih susah untuk kita pulihkan.
GS : Mungkin masih ada hal lain tentang hal ini ?
PG : Yang keempat adalah ada kalanya kita takut mengambil keputusan karena adanya kebutuhan pribadi dalam diri kita untuk dilihat atau dinilai orang baik atau sempurna. Begini, kadang keputusan yang kita ambil berbeda dari apa yang diharapkan orang. Tidak bisa tidak, bila kita mengambilnya maka orang akan kecewa atau malah marah kepada kita. Ada kalanya keputusan yang kita ambil jika ternyata keliru dapat membuat orang menilai bahwa kita tidaklah sebijak, secerdas, atau seberpengetahuan yang mereka kira. Nah, wajar bila kita ingin dilihat orang baik, Pak Gunawan. Kita mau orang melihat kita berpengetahuan, bijak, atau cerdas. Namun pada akhirnya kita harus mengecilkan diri dan mencurahkan segenap perhatian pada hal yang mesti diperhatikan atau diputuskan. Biarlah orang menilai kita tidak sebaik dulu. Namun jangan jadikan penilaian orang sebagai tolok ukur. Terpenting kita mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan bukan saja diri kita tetapi juga orang lain. Jadi sekali lagi saya mau tekankan pada fokuskan pada keputusan tersebut, bukan fokus pada penilaian orang terhadap diri kita. Itu kita nomor duakan. Yang penting kita melakukan atau mewujudkan sesuatu secara baik dan memang kita tahu ini adalah hal yang penting untuk kita lakukan.
GS : Seringkali kita membuat keputusan karena didesak oleh orang-orang di sekitar kita, misalnya dia adalah seorang pimpinan sebuah perusahaan. Orang-orang di bawahnya mendesak supaya pimpinan itu mengambil suatu keputusan yang menguntungkan bagi orang banyak ini. Padahal pimpinan juga tahu bahwa keputusan yang diambil ini pasti salah.
PG : Ini sering terjadi, Pak Gunawan. Atau kasus yang lain adalah betapa seringnya kita tahu ada orang menikah bukan karena memang ini keinginannya atau pilihannya tetapi karena desakan. "Kamu sudah umur segini, kamu mau cari apalagi ? Sudahlah kamu nikahi dia." dan sebagainya. Atau dia orangnya ini itu dan mungkin salah satunya dia bisa menyediakan kebutuhan-kebutuhan keluarga, akhirnya dinikahkan. Padahalnya dia tidak yakin dan dia sebetulnya belum siap. Jadi waktu kita mengambil keputusan, kita memang harus kesampingkan kebutuhan pribadi untuk dinilai orang baik atau sempurna. Seringkali kalau kita diikat oleh penilaian orang, kita tidak bisa lagi memutuskan dengan baik. Kita lihat begitu banyak contoh di Alkitab dimana anak-anak Tuhan, hamba-hamba Tuhan mengambil keputusan yang tidak populer tapi karena dia tahu ini adalah kehendak Tuhan, dia tetap lakukan. Meskipun yang diterima dari orang di sekitarnya adalah penolakan. Contohnya adalah Rasul Paulus. Gara-gara dia ikut Kristus, dia menerima penolakan dari kaumnya sendiri yaitu orang-orang Yahudi.
GS : Tapi dalam kasus seorang anak yang didesak menikah oleh keluarganya tadi, seringkali keluarga mengatakan orang tuamu ‘kan umurnya tinggal sedikit, masa kamu tidak mau menyenangkan hatinya dengan memenuhi permintaannya ? Padahal dia tahu bahwa dia tidak mencintai pasangan yang dijodohkan itu. Bagaimana itu, Pak ?
PG : Dalam kasus seperti itu saya tetap menganjurkan untuk tidak menikah. Sebab buat apa artinya menyenangkan orang tapi nanti seumur hidup kita bukan saja menyusahkan kita dan pasangan kita, tapi besar kemungkinan akan menyusahkan anak-anak kita. Dampaknya akan jauh lebih luas ketimbang menyenangkan atau mengecewakan orang tua kita.
GS : Tapi seringkali orang seperti itu dinilai egois dan bisa-bisa diasingkan di dalam keluarga itu, Pak Paul.
PG : Iya. Maka kadang ada orang yang takut mengambil keputusan karena takut dinilai orang tidak baik. Kita harus selalu memisahkan antara keduanya ini.
GS : Seringkali keputusan yang kita ambil itu dikaitkan dengan iman kita. Ada orang yang mengatakan, apa kaitannya ?
PG : Ini membawa pada poin terakhir yaitu kadangkala kita takut mengambil keputusan karena memang kita kurang beriman. Artinya kita kurang memercayai pemeliharaan Tuhan. Di dalam pengambilan keputusan kita mesti mencari kehendak Tuhan. Setelah meyakininya, kita harus berserah secara total kepada pemeliharaan Tuhan. Kita mesti berjalan di jalan yang benar apapun rintangan yang mesti dihadapi. Nah, salah seorang yang bukan saja berani mengambil keputusan tetapi juga dapat mengambil keputusan dengan tepat adalah Yonatan, Putra Saul. Kendati dia adalah putra mahkota, dia tidak melihat hal itu sebagai sesuatu yang mesti diterimanya. Dia tahu bahwa Tuhan telah memelihara atau telah memilih Daud untuk menggantikan ayahnya. Namun Yonatan bertindak lebih jauh daripada sekadar meyakini pilihan Tuhan. Dia pun berani menentang ayahnya. Nah sebagai akibatnya, kita tahu bukan saja Saul mencaci maki dia, Saul pun melemparkan tombaknya kepada Yonatan untuk membunuhnya. Ini dicatat di 1 Samuel 20:33. Jadi bukan hanya marah, Saul itu sampai-sampai berniat membunuh putranya sendiri, Pak Gunawan. Karena putranya menentang dia. Namun Yonatan bergeming, dia tidak goyah, dia terus berjalan di atas keputusannya. Dan inilah yang menjadi dasar keputusannya sebagaimana yang disampaikannya kepada Daud, sahabatnya. Ini dicatat dalam 1 Samuel 23:17, "Janganlah takut sebab tangan ayahku, Saul, tidak akan menangkap engkau. Engkau akan menjadi raja atas Israel dan aku akan menjadi orang kedua di bawahmu." Nah, buat saya inilah iman, Pak Gunawan. Yonatan mengambil keputusan karena dia beriman bahwa ini kehendak Tuhan, bahwa dia harus membela Daud yang benar dan menentang ayahnya yang salah. Dan dia pun beriman bahwa Daud pasti akan menjadi raja. Maka dia berkata kepada Daud "Janganlah takut." Orang ini benar-benar mantap. Dia benar-benar berada di dalam kehendak Tuhan.
GS : Seringkali orang memanipulasi iman didalam mengambil keputusan. Kalau itu sesuai dengan apa yang dia rancangkan, dia katakan memang ini kehendak Tuhan, jadi dia berani memutuskan, bahkan dia berani menggunakan atas nama Tuhan bahwa keputusan ini adalah keputusan yang sudah disetujui oleh Tuhan. Padahal keputusannya keliru. Bagaimana, Pak Paul ?
PG : Memang kita manusia kadang terbawa oleh emosi, mungkin ingin terdengar rohani, jadi menstempelnya dengan kehendak Tuhan. Kita harus hati-hati, Pak Gunawan. Jadi sebelum kita mengatakan ini kehendak Tuhan, kita memang harus benar-benar melihat dan mengujinya lagi, mengujinya lagi. Dalam kasus Yonatan, dia memang melihat jelas bahwa ayahnya tidak benar dan dia tahu dengan jelas Samuel yang mengurapi Daud adalah Samuel yang mengurapi ayahnya dulu. Jadi dia tahu Samuel ini adalah nabi Tuhan, hamba Tuhan dan hanya bertindak sesuai dengan perintah Tuhan. Kalau urapan Samuel atas ayahnya dulu benar, berarti urapan Samuel atas Daud sekarang juga benar. Meskipun dia akan kehilangan takhta, tidak lagi menjadi putra mahkota atau menjadi raja, dia rela. Sebab dia tahu inilah kehendak Tuhan. Jadi dalam pengambilan keputusan memang kita mesti beriman pada pemeliharaan Tuhan. Kita putuskan sebaik-baiknya setelah itu kita melangkah karena kita tahu Tuhan akan sanggup memelihara kita.
GS : Katakan dalam hal pengurapan tadi, Pak Paul, Tuhan memakai Samuel mengurapi Saul menjadi raja. Tapi nyatanya kemudian kita melihat Raja Saul menyimpang dari kehendak Tuhan.
PG : Itu betul, Pak Gunawan. Pengurapan Tuhan memang tetap menyisakan kebebasan manusia untuk menaati-Nya atau tidak. Pengurapan hanya berarti Tuhan menunjuknya. Sama seperti Yesus Tuhan kita memanggil Yudas menjadi murid-Nya. Tuhan menunjuk dia menjadi murid-Nya tapi Tuhan menyisakan kebebasan juga kepada Yudas untuk memilih untuk menaati-Nya atau tidak. Saul juga demikian, akhirnya memilih untuk tidak menaati Tuhan. Tapi masalahnya adalah Saul tidak bertobat. Pernahkah Daud melawan Tuhan dan jatuh ke dalam dosa ? Juga pernah. Tapi Daud bertobat. Jadi pengurapan Tuhan tidak berarti Tuhan menggunting sayap manusia untuk bisa bebas menaati-Nya. Tidak, Tuhan tetap berikan kebebasan itu kepada manusia untuk menaati-Nya atau tidak.
GS : Memang dalam kasus Yonatan dan Daud, kita melihat mereka memang bersahabat. Dikatakan "Hatiku hatimu, jiwaku jiwamu", begitu, Pak Paul. Itu perlu melalui persahabatan yang begitu dekat dia berani mengambil keputusan ini, menyatakan bahwa ayahnya keliru. Tapi ‘kan tidak semua kasus yang kita hadapi sejelas itu. Mengambil keputusannya agak sulit.
PG : Betul. Saya tidak menjamin bahwa setiap keputusan itu akan sangat hitam putih atau jelas. Seringkali memang tidak jelas. Tapi intinya adalah, kita kadang-kadang tidak bisa menunggu sampai segala sesuatunya terang benderang. Kadang kita ambil keputusan meskipun kita tidak tahu 100% sepenuhnya namun hanya sejauh inilah kita bisa bertindak, kita tidak bisa lagi melebihi titik ini. Ya sudah tetap kita lakukan sebaik-baiknya. Contoh, seperti menikah, Pak Gunawan. Kita melihat pasangan kita di awal kita menikah. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi 10 tahun kemudian, 20 tahun kemudian, 30 tahun kemudian. Tapi apakah kita harus tahu dulu apa yang akan terjadi 50 tahun kemudian baru kita menikahinya ? Ya tidak juga. Jadi modal kita sudah berkenalan dan mengenal dia ini selama kita rasakan sudah cukup, tidak tergesa-gesa, kita sudah pelajari dengan baik, ya silakan melangkah.
GS : Iya, Pak Paul. Saya percaya perbincangan kita ini akan menolong banyak orang untuk berani mengambil keputusan. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berani Mengambil Keputusan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.