Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kali ini saya bersama dengan penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang konselor keluarga, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Wanita Tanpa Pasangan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Jodoh kadang-kadang sulit diprediksi dan sulit untuk direncanakan atau diperkirakan masa depannya dan cukup banyak akhir-akhir ini wanita-wanita yang harus hidup tanpa pasangan. Hal itu apa memang sudah direncanakan sejak awal atau bagaimana, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu Tuhan tahu semuanya dan kita harus percaya bahwa kalau itu harus terjadi pada diri kita, ini adalah bagian dari rencana Tuhan. Jadi kita harus menerimanya meskipun tidak mudah bagi sebagian perempuan untuk menerimanya. Jadi perlu bagi kita pada kali ini untuk menyoroti masalah ini sebab kita harus akui cukup banyak perempuan yang akhirnya hidup sendiri tanpa adanya pasangan hidup.
GS : Hal-hal apa yang perlu kita pikirkan, Pak Paul ?
PG : Kita harus mengerti bahwa pada umumnya hampir semua wanita berharap untuk menikah, saya kira sedikit sekali yang sejak awal meyakini bahwa Tuhan memanggil mereka untuk hidup lajang. Bahkan tidak jarang banyak di antara wanita yang sejak usia muda sudah membayangkan pernikahan dan membayangkan hidup bersama suami dan anak-anak. Jadi kebanyakan wanita sudah memikirkan tentang pernikahan dan membangun keluarga sejak usia yang belia. Berhubung keinginan untuk menikah dan berkeluarga begitu kuat hadir dalam dirinya, banyak wanita yang menanti-nantikan datangnya sang pacar baik pada masa remaja atau dewasa.
SK : Memang semakin menanjaknya usia wanita maka makin besar tekanan yang dirasakan kalau dia belum punya pacar. Bicara tentang tekanan ini seperti apa, Pak Paul ?
PG : Saya bisa membagi tekanan ini dalam tiga masa untuk kita bisa melihat tekanan ini secara lebih spesifik. Yang pertama adalah biasanya terjadi disekitar usia remaja sebab pada masa ini sudah banyak teman yang berpacaran. Jadi misalnya SMP atau SMA, sudah ada yang mulai berpacaran. Jika pada masa ini si perempuan belum didekati oleh seorang pun dia biasanya merasa resah, tertekan. Namun pada masa ini tekanan masih relatif ringan sebab dia masih muda dan harapan masih ada. Masa kedua adalah masa yang berat lagi yaitu masa dewasa sekitar usia 25 hampir 35 atau 40 tahun, masa dimana teman-teman bukan lagi mulai berpacaran tapi sudah mulai menikah, setiap pernikahan teman membuatnya makin tertekan dan malu. Pada masa ini harapan untuk menikah memang masih ada, kendati makin berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Masa ketiga adalah masa di atas usia 40an, masa dimana ia meyakini bahwa besar kemungkinan dia tidak akan menikah lagi. Tekanan terbesar di sini adalah perasaan bahwa dia itu tidak diminati, pada masa ini jika dia tidak berhasil berdamai dengan dirinya, maka dia akan terus hidup dibayangi rasa malu dan rasa tidak berharga.
SK : Saya sependapat dengan yang disampaikan Pak Paul bahwa sejalan dengan bertambahnya usia, Pak Paul membagi atas tiga masa, ternyata tekanan tambah tahun tambah besar yang dialami seorang wanita yang belum menikah.
PG : Boleh dikata mereka baru lepas dari tekanan di atas usia 50an dimana dia sudah nampak tua, jadi tidak lagi diasosiasikan dengan pernikahan. Tapi selama masih ada kemungkinan dikaitkan dengan usia pernikahan, usia 40an belum terlalu tua jadi masih dikaitkan dengan pernikahan, tapi tetap tekanan itu ada, tapi kalau dia sudah tua misalnya 55tahun ke atas atau 60an baru tidak ada lagi tekanan seperti itu.
GS : Tekanan itu datang dari dirinya sendiri atau dari luar, Pak Paul ?
PG : Dua-duanya, misalnya pada masa remaja mungkin saja ada tekanan dari luar, teman-temannya misalnya berpacaran dan teman-temannya mulai mengatakan "Kamu ini tidak ada yang mau mendekati" atau dia sendiri merasa, "Saya tidak ada yang mendekati" pada masa 20 tahunan ke atas dan teman-temannya mulai menikah, mungkin orang tuanya mulai cerewet, "Kamu ini tidak menikah-menikah terlalu memilih-memilih" padahalnya tidak memilih, bukannya memilih-milih tapi tidak bisa memilih karena tidak ada siapa-siapa atau pilihannya terlalu sedikit atau kurang cocok bagi dia. Jadi akhirnya dia tidak bisa memilih. Usia 40an dan sebagainya dia harus sadari bahwa dia harus hidup sendiri. Bisa muncul dari dirinya sendiri, dia merasa "Memang saya tidak diminati" jadi ini yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Sebab pada usia 40an tekanan dari luar, orang yang misalnya bicara ini dan itu, hampir tidak ada.
GS : Jadi sebenarnya anak remaja putri ini sudah harus memersiapkan diri atau memang dia tidak mau memersiapkan diri untuk menghadapi hal ini ?
PG : Hampir dapat dipastikan, hampir semua perempuan berpikir dia akan menikah. Saya jarang bertemu dengan orang yang meyakini Tuhan memanggilnya untuk hidup lajang, jadi hampir semua beranggapan, "Saya pasti menikah". Waktu usia bertambah tapi tidak ada siapa-siapa maka ini makin mendebarkan dan makin memberikan tekanan kepadanya.
GS : Hal lain yang berat yang harus dihadapi apa, Pak Paul ?
PG : Pernikahan adik-adiknya, waktu adiknya berusia 25, 26, 27 dan dia sudah berusia 30 tahun misalnya, adik-adiknya sudah mulai berpacaran maka itu sudah menjadi tekanan berat. Saudara sepupunya menikah kirimkan undangan maka tidak merasa tidak enak, misalkan pergi dengan teman, yang ini sudah bawa gandengan dan dia belum, maka itu juga menjadi tekanan. Tapi yang terberat adalah waktu adik-adiknya menikah. Sewaktu adiknya menikah, dia akan merasa tertekan sebab baginya pernikahan adik merupakan konfirmasi dia tidak diminati dan perbandingan itu menjadi begitu nyata dan menyakitkan karena jelas-jelas dia dengan adiknya. Waktu dulu dia dengan teman sudah mulai menyakitkan, kalau dia tidak dipilih tapi temannya yang dipilih dan temannya yang didatangi seperti bunga dikelilingi oleh kumbang, tapi dia tidak dia sendirian di rumah. Hari Sabtu tidak ada yang datang, hari Minggu tidak ada yang datang, hari biasa tidak ada yang telepon. Itu saja sudah cukup menyiksa. Tapi kalau di rumah mengalami yang sama, adiknya yang dicari, adiknya yang dikunjungi dan dia tidak, itu tekanan yang besar. Apalagi kalau sampai harus menikah itu juga tekanan yang juga lebih besar. Tidak jarang makanya ada yang iri dan marah-marah.
SK : Pak Paul, walaupun setiap orang berbeda, apakah ada kesamaan tertentu tentang pergumulan atau tekanan yang dirasakan oleh wanita yang tanpa pasangan ini ?
PG : Saya kira ada, yang pertama saya kira perasaan tidak berharga dirasakan oleh karena pada umumnya wanita mendasari siapakah dirinya pada relasi dengan pria, kondisi lajang dapat membuatnya merasa tidak berharga. Dan yang kedua adalah kesepian. Kebanyakan wanita menikmati dan membutuhkan teman yang akrab. Sejak kecil misalnya anak perempuan cenderung membangun persahabatan yang memang menunjukkan kebutuhannya akan relasi. Hidup lajang tidak bisa tidak membuatnya sangat kesepian. Dan yang ketiga adalah saya rasa adalah kekosongan, kebanyakan wanita ingin berkeluarga oleh karena ingin memunyai anak. Jadi tekanan perempuan itu bukan hanya tekanan untuk berpasangan, tapi untuk memunyai anak. Berbeda dengan laki-laki yang lajang, untuk laki-laki lajang mungkin ada kesepian karena tidak ada pasangan hidup atau mungkin rasa kurang berharga karena tidak ada yang mau dengan dia, tapi setidaknya kekosongan karena tidak punya anak tidak terlalu, tapi wanita umumnya akan merasakan kekosongan itu. Dengan kata lain, hidup lajang tidak ada pasangan dan keluarga meninggalkan ruangan yang kosong dalam hidupnya yang semestinya diisi oleh kehadiran anak. Itu yang membedakan antara perempuan dan laki-laki yang tidak menikah.
SK : Pak Paul, dengan semakin berkembangnya era globalisasi apakah bisa dianggap apa yang terjadi seperti itu hanya dialami oleh wanita-wanita dari kota-kota kecil, tapi kota-kota yang katakan besar, kosmopolitan tidak lagi mengalami situasi seperti ini ?
PG : Saya kira tekanan akan lebih besar di kota kecil karena komunitasnya lebih dekat dan lebih memerhatikan satu sama lain. Tapi saya kira di kota besar juga dialami oleh hampir semuanya. Jadi kalau tidak ada pasangan misalnya temannya ada yang mengundang menikah dan dia harus datang sendirian maka itu tidak nyaman.
GS : Bagaimana cara mereka mengatasinya, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu ketiga pergumulan dan tekanan ini, merasa tidak berharga, kesepian dan kekosongan dapat memengaruhi dirinya, baik itu suasana hati atau relasinya. Misalnya perasaan kurang berharga bisa membuatnya bertambah peka dengan komentar orang terhadap dirinya atau apa yang dilakukannya, dia bisa bertambah defensif dan tidak suka menerima kritikan, itu adalah akibat dari perasaan kurang berharga. Perasaan kesepian dapat membuatnya jatuh ke dalam perilaku yang saya temukan adalah perilaku homoseksual atau lesbian oleh karena senasib sepenanggungan sebagian wanita akhirnya terlibat dalam relasi yang intim dengan sesamanya baik secara emosional maupun seksual. Yang ketiga adalah perasaan kosong tidak ada anak, ini bisa membuatnya sangat akrab dengan anak sehingga dia menjadi orang yang bisa melayani anak-anak atau sebaliknya dia menjauh dari anak sebab itulah yang dibutuhkan dan sangat menyakitkan karena dia tidak memiliki anak sehingga akhirnya daripada dia harus terluka akhirnya dia menjauh dari anak-anak.
GS : Tapi ada juga yang mengangkat anak walaupun dia tidak menikah, Pak Paul.
PG : Saya rasa itu cara yang lebih sehat, dia mengisi kekosongannya dengan dia mengasuh anak dan dia bisa membesarkannya sebagai anaknya sendiri.
SK : Pak Paul menyebutkan bahwa wanita yang tidak bisa mengatasi tekanan karena tidak berpasangan bisa punya potensi untuk jatuh ke dalam perilaku lesbian. Bisakah Pak Paul menjelaskan hal ini lebih lanjut ?
PG : Kebutuhan akan teman atau sahabat memang besar dalam diri wanita, jauh lebih besar daripada diri seorang pria karena secara natural, wanita mendasari siapa dirinya atas relasi persahabatan, kedekatan dengan orang. Jadi waktu dia harus hidup sendirian, kesepian tidak ada yang dapat mendampinginya, kebutuhan itu menjadi besar sekali. Sudah tentu ini juga dialami pria, tapi karena kebutuhan akan relasi itu sangat kuat dalam diri wanita maka waktu tidak terisi kebutuhan itu menjadi kebutuhan yang sangat besar. Kalau tidak hati-hati dia bisa mendapatkannya dari sesama jenis karena lawan jenis tidak menunjukkan minat kepadanya. Misalnya ada teman sejenis yang seperti dia yang sepenanggungan juga, yang tidak ada siapa-siapa dalam hidupnya, mereka misalnya menjalin persahabatan, kalau tidak hati-hati persahabatan yang terlalu akrab karena dua-dua saling membutuhkan akhirnya melewati batas, akhirnya bercumbu, akhirnya terjadilah kontak seksual meskipun seringkali ini bukan menjadi tema atau kebutuhan utama mereka. Jadi hubungan seksual bukanlah yang dikejar-kejar, yang diutamakan adalah perhatian saling mengisi kebutuhan akan kesepiannya itu.
SK : Pak Paul, bagaimana dengan fenomena wanita karier apakah itu bisa cukup mengatasi kondisi tekanan karena tidak ada pasangan ?
PG : Saya kira ya, aktifitas yang padat dan perasaan dia juga berguna, dia bisa berkarya dalam hidup ini, bisa melayani Tuhan dan sebagainya. Sudah tentu itu berperan besar untuk menepis atau mengurangi tekanan yang telah kita bicarakan itu.
GS : Tapi apakah itu menyelesaikan masalah yang dihadapi orang ini ?
PG : Sudah tentu tidak menyelesaikan masalah dengan tuntas, tapi setidak-tidaknya lebih menyeimbangkan hidupnya sehingga dia lebih bisa nantinya menahkodai hidupnya dengan lebih bijaksana.
GS : Tapi dalam dia bersosialisasi, dia sering merasa canggung ?
PG : Ini tidak bisa dihindari dalam berelasi, dia merasa canggung bersama teman-teman yang telah berkeluarga, datang temannya dan mengajak dia, dia sendirian, yang lain dengan suami dan anak-anaknya. Jadi seringkali dia berusaha menghindar dari pertemuan seperti itu dan sudah tentu hal tersukar adalah menghadiri pernikahan teman atau adik atau kerabat dekat, sebab sorotan mata orang dapat membuat dia berpikir bahwa orang ini pasti menganggapnya selain tidak diminati juga bermasalah, makanya tidak ada yang mau mendekatinya.
GS : Adakah kiat yang bisa dilakukan oleh wanita yang tanpa pasangan supaya bisa melewati masa-masa tidak mudah itu dengan lebih baik ?
PG : Saya kira misalnya dia punya karier yang jelas maka dia akan dapat melewati semua ini relatif lebih baik ketimbang dia belum memiliki karier yang mapan. Jadi dalam kondisi tidak mapan dia makin bingung dengan apa yang harus diperbuatnya dalam hidup ini, namun baik mapan atau tidak, hampir semua wanita harus memikirkan perubahan dalam hidupnya, sebab pada awalnya hidup berkeluarga selalu menjadi bagian dari rencana masa depannya. Maksud saya kebanyakan orang beranggapan, "Saya akan menikah" jadi kalau mau pindah atau kerjakan apa, seringkali tanpa disadari akan dipertimbangkan dalam konteks nanti saya akan menikah, nanti saya akan punya anak maka janganlah. Misalnya ada orang mau sekolah kedokteran, "Wah, nanti saya bisa 10 tahun harus praktek kerja dan sebagainya, lebih baik tidak karena nanti saya mau menikah, ada anak bagaimana mengurusnya ?" Jadi ada hal-hal yang ingin dilakukan tapi akhirnya disesuaikan dengan anggapan bahwa saya akan menikah kelak. Jadi waktu pada akhirnya dipastikan tidak menikah pada usia tertentu itu maka tidak bisa tidak, itu akan menuntutnya untuk banting kemudi dan merancang masa depan yang berbeda. Ini yang seringkali harus dialami oleh wanita. Makanya kalau dia sama sekali belum memunyai kejelasan arah hidup, karier dan sebagainya, ini bisa mengombang-ambingkan dia.
SK : Apakah Pak Paul punya patokan pada usia berapa kira-kira wanita yang belum menikah ini atau wanita tanpa pasangan ini sudah perlu untuk merancang masa depan yang berbeda ?
PG : Saya tidak bisa patok pada usia berapa. Tapi saya kira pada usia 30 tahunan, kalau belum maka harus mulai merancang, misalkan saya tidak menikah apa yang harus saya lakukan. Jadi kalau misalkan pada usia 40 tahun belum ada pasangan, maka setidak-tidaknya karena dia sudah mulai merancangnya sejak usia 30an berarti kariernya sudah ada di jalur yang benar, sehingga kalau tidak menikah dia masih bisa berkarya pada jalur kariernya tersebut.
GS : Di sini peran orang tua besar sekali, selama dia belum menikah berarti sebenarnya dia sangat tergantung pada orang tuanya dan apa yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk menolong anaknya ini ?
PG : Sudah tentu yang jangan dilakukan oleh orang tua adalah menyalah-nyalahkan anak, "Kamu ini seperti ini dan sebagainya" hal itu makin menyusahkan si anak. Saya mengerti orang tua pasti ada rasa malu, ada rasa penyesalan, "Kenapa anak saya begini, dulu ada yang baik dengan dia, dia bersikap seperti itu" akhirnya ke masa lalu. Jangan bangkit-bangkitkan masa lalu, sebab kalau ada andilnya si anak bukankah yang paling menyesal juga dia, jadi jangan ditambahkan. Kedua, kita jangan sampai menunjukkan kalau kita malu sebab ini bisa menambah rasa malu si anak, dia sendiri sudah menanggung rasa malu tapi kalau orang tuanya tetap baik-baik saja dan menganggap hal itu bisa diterimanya maka ini akan menolong anak. Kalau si anak sudah merasa malu dan kemudian melihat mama atau papanya malu, ada teman-temannya datang tidak dikenalkan, kalau ada apa-apa kamu jangan ikut. Si anak akan merasakan sebetulnya papa dan mama malu, karena saya tidak punya pasangan hidup.
SK : Jadi kalau demikian sebenarnya orang tua itu bisa menjadi penambah beban bagi wanita yang tidak punya pasangan, tapi juga sebaliknya bisa membantu meringankan beban bagi anak-anak gadisnya yang tidak menikah, Pak Paul ?
PG : Saya setuju. Jadi orang tua bisa mengarahkan mata anak kepada hal-hal yang dapat dikerjakan oleh si anak itu. Jadi ada hal-hal yang berada dalam kendalinya, ada hal-hal yang tidak berada dalam kendalinya. Ini adalah fakta dalam kehidupan, jodoh pasangan hidup seringkali tidak berada dalam kendali kita. Kadang kita beranggapan jodoh itu dalam kendali kita. "Pasti bisa kalau mau menikah, mana mungkin tidak ada yang mau" pada kenyataannya tidak seperti itu. Ada orang-orang yang mudah langsung ketemu dan menikah, kalau kita lihat padahal dia biasa-biasa saja dan tidak lebih dari anak kita, tapi mudah mendapat pasangan, anak kita susah. Jadi benar-benar kita sadari jodoh memang tidak semudah itu. Saya pernah bertemu dengan orang-orang yang menurut saya baik, baik laki-laki atau perempuan, wajahnya tubuhnya lumayan, kepribadiannya juga lumayan, tapi tidak jadi lagi dan tidak jadi lagi, tapi ada yang cepat jadi. Jadi kita harus sadari tidak semudah itu. Jangan sampai orang tua memberikan teguran kepada anak seolah-olah ini sesuatu yang berada dalam kendalimu dan kamu harus bertanggung jawab, tidak. Ada hal-hal yang memang ada di luar kendali dia, orang tua harus fokus pada apa yang bisa dilakukan si anak, yang bisa dikerjakan dalam hidupnya, kita dorong supaya anak itu bisa mengerjakannya.
SK : Pak Paul, di dalam masyarakat sepertinya ada mitos bahwa wanita yang tidak menikah sepertinya kepribadiannya itu kurang matang misalnya kaku, keras, kurang berjiwa keibuan. Apakah memang demikian dampaknya ?
PG : Sudah tentu kalau itu yang dimiliki oleh wanita, maka itu akan menyulitkan dia untuk berpasangan, tapi sekali lagi tidak selalu begitu, sebab saya sudah bertemu dengan orang yang saya anggap sebetulnya siap dan layak untuk berumah tangga tapi tidak cocok, di lingkungannya kebetulan orang tertarik dengan orang lain, sehingga tidak jadi juga.
GS : Pak Paul, apakah ada pengaruhnya hubungan si gadis ini dengan Tuhan ?
PG : Saya kira ada. Jadi artinya pada akhirnya dia harus berdamai dengan Tuhan, bila ia selalu mendambakan pernikahan dalam keluarga sebab ia merasa dianak tirikan oleh Tuhan, kendati ia telah berusaha hidup benar dan menyenangkan Tuhan, mungkin ia pun merasa Tuhan tidak adil sebab orang yang dianggapnya tidak selayaknya diberikan pasangan dan keluarga, tapi dia tidak. Jadi itu mengganggu, "Kenapa Tuhan tidak adil ?" Selain dari itu dia harus bergumul dengan kehendak Tuhan dalam hidupnya, sekarang dia harus mencari dan meyakini kehendak Tuhan baginya sebagai orang lajang, mungkin sekali dia bertanya-tanya, "Apakah saya akan melajang, apakah ini kehendak Tuhan ?" pada akhirnya dia harus berdamai dan berkata, "Tuhan ini kehendak-Mu, saat ini saya tidak punya siapa-siapa, saya terima ini adalah kehendak-Mu buat saya dan saya akan laksanakan, sebab hidup adalah untuk-Mu jadi saya persembahkan hidup ini sepenuhnya untuk-Mu".
GS : Tapi saya rasa itu melewati proses yang panjang, Pak Paul.
PG : Setuju, tidak semudah itu. Jadi harus lewat proses yang panjang dan harus melewati proses kemarahan, kekecewaan dan ada dorongan atau kecenderungan menjauh dari Tuhan. Tuhan tidak peduli dengan saya sampai akhirnya kita lewati dan berkata, "Ya sudah Tuhan saya terima ini apa adanya".
GS : Dan kadang ada kecenderungan menerima siapa saja yang mau dekat dengan dia walaupun tidak seiman, tidak sejalan dan banyak perbedaan sebenarnya.
PG : Betul sekali, daripada dia kesepian, kekosongan maka dia terima siapa saja.
SK : Bahkan yang saya dapati ada kadang menikah dengan pria-pria yang mengalami gangguan jiwa, jadi wanita ini tidak menyadari calon suaminya punya gangguan jiwa dengan cepat-cepat dijodohkan dan cepat-cepat menikah, bagi saya ini sangat kasihan.
PG : Betul. Jadi akhirnya tidak bijaksana asal terima saja yang penting statusnya menikah.
GS : Memang disini peran orang tua khususnya dan masyarakat di sekelilingnya, ini memang menambah beban bagi perempuan ini.
PG : Betul.
GS : Ini sebenarnya berbahaya sekali.
PG : Justru seharusnya mendorong, meringankan, membangun dan tidak menambahkan beban. Itu yang harus kita lakukan.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Di Yesaya 12:2-3 firman Tuhan berkata, "Sungguh, Allah itu keselamatanku; aku percaya dengan tidak gementar, sebab TUHAN ALLAH itu kekuatanku dan mazmurku, Ia telah menjadi keselamatanku. Maka kamu akan menimba air dengan kegirangan dari mata air keselamatan". Kita mungkin tidak akan menemukan jawaban dengan segera, "Mengapa kita tidak dikaruniakan pasangan hidup" namun yang pasti adalah firman Tuhan berjanji, "Tuhan adalah kekuatan dan keselamatan kita". Jadi dalam menghadapi apapun termasuk hidup sendirian akan ada kekuatan dan pertolongan Tuhan, inilah sandaran kita.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Wanita Tanpa Pasangan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.