Rindu Bakso

Versi printer-friendly
Cuaca mendung dan hujan rintik-rintik selalu mewarnai musim gugur seperti hari ini. Saya mencoba untuk merevisi manuskrip pertama saya untuk dikirim ke salah satu jurnal penelitian. Namun suasana mendung dan gigi yang senut-senut karena goyang akibat gusi saya yang lemah, membuat saya jadi enggan untuk berpikir keras menemukan cara bagaimana memperbaiki tulisan saya agar sesuai dengan standar publikasi ilmiah. Suasana di sekitar juga begitu sepi. Pikiran saya melayang ke Indonesia dan terbayang masa-masa ketika saya bekerja di sebuah universitas swasta di Jogja. Mungkin pada waktu seperti ini saya bisa mencolek teman saya untuk istirahat sebentar menikmati bakso di kantin. Terbayang bakso yang hangat dan lezat dinikmati dalam suasana dingin (15 derajat Celcius) dan mendung seperti sekarang. Tapi, jangankan bakso, untuk bisa mendapat indomie rebus saja saya harus pergi ke toko Asia di tengah kota (dan sepertinya saya tidak ingin naik sepeda menembus hujan dan dingin). Untuk makan bakso, saya harus membuat sendiri dan belum tentu rasanya akan seenak bakso yang dijual di kantin di Indonesia. Yang tersedia hanyalah kopi. Nah, untuk yang satu ini di mana pun mudah ditemukan. Bahkan di beberapa supermarket di Belanda, kita bisa mengambil kopi gratis dari mesin yang disediakan. Orang Belanda bahkan bisa meminum kopi hingga 2 liter per hari. Saya juga heran bagaimana mereka dapat mengkonsumsi begitu banyak kopi tapi tetap berumur panjang ;) Banyak orang berpikir bahwa hidup di luar negeri pastilah enak. Tapi kenyataan yang ada sebenarnya tidaklah seenak yang orang bayangkan. Saya sendiri sebelum berangkat ke Belanda tidak memiliki gambaran akan tantangan-tantangan yang harus saya alami. Saya datang pada waktu musim panas di tahun 2010. Hari pertama penyambutan di kampus kami mendapat makan siang gratis. Tentu saja saya dengan perut yang lapar bersemangat mendengar informasi tentang makan siang gratis ini. Waktu tas kertas berisi makan siang dibagikan, entah mengapa yang terbayang adalah semacam paket KFC. Mungkin karena otak saya masih ada di Indonesia. Waktu saya membuka, yang saya lihat adalah satu buah apel, satu buah pisang, satu roti is keju, satu botol air mineral, dan satu paket kecil salad sayur. Waduh.. di Indonesia ini dianggap snack. Lidah saya pun belum terbiasa dengan roti dan keju, akibatnya meski pun sudah makan siang, tapi rasanya mulut dan perut saya belum terpuaskan. Sore harinya saya mencoba memasak makanan yang dapat memenuhi selera lidah saya. Tidak banyak yang saya dapat temukan di supermarket. Tidak banyak jenis sayuran seperti di Indonesia. Sayuran yang cukup murah dan saya kenal dengan baik adalah brokoli. Akhirnya saya putuskan untuk memasak cha brokoli dan ayam. Saya suka memasak, namun saya tidak terbiasa dengan kompor listrik dan kompor gas dengan banyak tombol. Jadi saya perlu waktu lama untuk menemukan bagaimana cara menghidupkan dan mengatur apinya (saya sendirian karena semua teman serumah kebetulan sedang libur musim panas). Selesai masak, rasanya ada yang kurang, yaitu sambal! Tapi bagaimana mendapat sambal, karena saya tidak menemukan cabe rawit di supermarket. Akhirnya saya membiasakan diri untuk makan apa yang ada. Pernah juga diundang makan seorang teman dan makanan yang disajikan adalah pasta. Tentu saja saya sudah terbayang spaghetti atau lasagna yang bisa ditemukan di restauran di Indonesia, tapi setelah saya makan, rasanya hambar. Tentu saja hambar karena orang sini tidak suka memakai garam, sementara lidah saya sudah terbiasa dengan makanan yang kaya akan bumbu-bumbu dan garam. Setelah 4 tahun lebih di Belanda, sekarang lidah saya memang sudah terbiasa makan roti dan makanan yang tidak terlalu berbumbu, tapi tetap saja sesekali saya kangen bakso sapi atau makanan lain di Indonesia. Indonesia memang surganya kuliner. Makanan juga bukanlah satu-satunya tantangan. Tantangan yang lain adalah cuaca dan gaya hidup. Kalau hujan dan dingin begini, mungkin akan mudah bagi kita untuk tetap bepergian menggunakan taksi. Namun di sini tidaklah mungkin karena harga jasa taksi sangatlah mahal. Saya pernah naik taksi dari pusat kota ke rumah sepulang pesta dengan memakai gaun panjang dan hak tinggi sehingga tidak mungkin bagi saya untuk naik sepeda atau berjalan kaki, dan waktu itu sudah lewat tengah malam sehingga tidak ada lagi bus kota. Kami harus membayar hampir 40 euro (setara Rp 600.000,- dan dapat saya pakai untuk makan selama 2 minggu), padahal kalau naik sepeda hanya 15 menit saja. Jadi saya harus naik sepeda atau jalan kaki ke mana pun, tidak peduli bagaimana cuacanya. Entah hujan angin atau salju, tetap harus naik sepeda. Bus pun kadang tidak dapat beroperasi dengan normal jika terlalu banyak salju, sehingga jalan kaki atau naik sepeda lebih menjadi pilihan terbaik, terutama jika ingin datang on time saat ujian. On time di Belanda artinya lima menit sebelum jadwal harus sudah di tempat duduk. Jadi kalau jadwal ujian jam 13.00 dan kita datang tepat jam 13.00, itu sudah terlambat. Saya ingat beberapa kali di semester pertama saya (musim gugur dan musim dingin pertama), saya sering berdoa di atas sepeda saya meminta Tuhan untuk sejenak menghentikan angin kencang dan hujan karena saya sudah kepayahan mengayuh sepeda saya. Tuhan memang murah hati dan menjawab doa saya waktu itu, meski pun akhirnya saya pada akhirnya juga berdoa bahwa saya ingin untuk tidak lagi manja dan meminta kemudahan, namun belajar menghadapi angin kencang, hujan, suhu dingin dan salju. Melewati musim gugur dan musim dingin yang pertama membuat saya belajar menghargai sinar matahari. Di Indonesia kita selalu mendapat sinar matahari selama setengah hari sepanjang tahun, tapi di sini selama musim dingin hanya sekitar lima jam sehari dan selebihnya gelap. Indonesia diberkati dengan cuaca yang baik. Kita bisa menanam apa pun di segala musim (meski pun kadang banjir dan kekeringan), namun di sini hanya sedikit yang dapat ditanam. Mungkin karena cuaca yang sulit dan tanah yang sempit, orang Belanda mengembangkan tehnologi pertanian yang canggih dan berhasil menjadi negara penghasil pangan terbesar di Eropa. Di Indonesia, kita memiliki tanah yang subur dan luas, cuaca yang baik, begitu banyak spesies tanaman yang dapat tumbuh, namun mengapa kita bukan penghasil pangan terbesar di Asia? Mungkin itu ada hubungannya dengan kebijakan pemerintah, tapi saya tidak mau berbicara tentang politik, karena saya hanya merindukan bakso sapi di Indonesia yang tidak dapat saya temukan di sini.

Comments