Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mertua dan Menantu" Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Masalah mertua dan menantu ini sering kali muncul ke permukaan, mereka sering kali bertengkar, tidak cocok. Dan kebanyakan memang ibu mertua dan menantu perempuannya, gejala seperti ini bagaimana Pak Paul?
PG : Memang sering kali terjadi Pak Gunawan, dan yang tadi Pak Gunawan sebut biasanya ibu mertua dan menantu perempuan, memang itu adalah contoh relasi yang akhirnya sering kali menimbulkan maslah.
Tapi adakalanya masalah ini terjadi pada menantu laki-laki dengan ibu mertua perempuan maupun bagapk mertua laki-laki. Jadi memang sering kali muncul duri-duri dalam relasi sehingga akhirnya kedua belah pihak saling mengacuhkan, mendinginkan satu sama lain, yang terjepit biasanya adalah si anak yang di tengah-tengah.
GS : Bukankah sebenarnya itu ada penyebabnya Pak Paul, nah kira-kira penyebab yang umum itu apa Pak Paul?
PG : Sekurang-kurangnya ada tiga penyebab dan ini saya bagi dalam tiga jenis masalah dalam relasi mertua dan menantu. Yang pertama adalah kasus di mana pasangan nikah tinggal di rumah mertua, dn mertua memperlakukan menantu sebagai tamu yang tidak mempunyai hak atas pasangan maupun anaknya, jadi benar-benar si menantu merasa diperlakukan sebagai orang asing di rumah itu.
dia tidak pernah merasakan ini adalah rumahnya, sering kali yang terjadi adalah yang satu merasa tertekan, dan sudah tentu yang tertekan adalah si menantu. Dia mungkin berbicara dengan suaminya tapi suaminya tidak bisa berbuat apa-apa. Atau kebalikannya kalau si pasangan ini tinggal di rumah orangtua perempuan, sering kali si menantu laki-laki merasa, "Aduh saya kok tamu di sini, saya tidak bisa benar-benar merasakan ini rumah saya, setiap kali pulang ke rumah seperti pulang ke rumah orang lain." Jadi akhirnya relasi antara mertua dan menantu bermasalah.
GS : Memang sebagian besar kalau ada pasangan yang baru menikah kemudian ikut mertuanya, mereka biasanya kesulitan di dalam finansial. Dengan mereka tinggal kemudian tertekan seperti tadi khususnya yang pria itu malah menjadi minder?
PG : Sering kali begitu Pak Gunawan karena dia akan merasa, "ini tanggung jawab saya, saya ini suami, saya ini kepala keluarga, tapi saya tidak bisa mencukupi, menafkahi keluarga saya, mempunya rumah sendiri."
Tapi memang itu kenyataannya. Atau si suami bisa menafkahi tinggal di rumah sendiri, namun rumahnya itu benar-benar sangat berbeda, jauh dengan yang ditempati sekarang. Mungkin daerahnya juga tidak sebaik dengan rumah yang ditempati sekarang, jadi ada kemungkinan si istri atau si anak ini akan berkata, "Mengapa kita harus pindah ke tempat lain, tinggal saja di sini bukankah orangtua saya juga sudah membuka pintu, dan janganlah menolak permintaan orangtua saya yang sudah berbaik hati menawarkan tempat tinggal." Jadi di pihak si anak kadang-kadang juga muncul anggapan bahwa pasangannya kurang berterima kasih. Sudah diberikan rumah, masih mengeluh, tidak senang bukankah seharusnya orang berterima kasih diberikan tempat tinggal. Tapi di pihak satunya dia akan merasa sengsara sekali, dia tidak benar-benar merasa ini rumahnya. Kalau dia menantu laki, masalahnya bisa lebih komplek Pak Gunawan, karena ini akan sangat menyinggung harga dirinya sebagai seorang suami dan sebagai seorang kepala keluarga. Jadi kemungkinannya sangat tinggi dia akan mudah sekali peka, mudah sekali tersinggung, sedikit-sedikit menganggap mertuanya sedang melecehkan dia.
GS : Itu kadang-kadang juga diperparah dengan adanya anggota keluarga yang lain, misalnya adik atau kakak dari suaminya atau istrinya itu Pak Paul, itu akan ikut menekan sekali.
PG : Kalau itu yang terjadi benar-benar si menantu ini rasanya akan dikeroyok, dia sungguh-sungguh sendirian, dia merasa tidak ada yang berpihak padanya. Ini situasi yang sangat rentan terhadapmunculnya konflik yang parah Pak Gunawan.
Namun saya juga melihat kasus seperti ini Pak Gunawan, ada yang akhirnya berkata saya tidak akan meninggalkan orangtua saya sebab saya harus merawat orangtua saya, orangtua saya tidak bisa saya biarkan begitu saja, saya sebagai anak harus membalas budi dan sebagainya. Akhirnya mereka memilih untuk tetap tinggal di rumah itu tapi si menantu akan merasa tertekan dan tertekan. Ini yang kadang-kadang terjadi.
GS : Kalau sudah begitu jalan keluarnya bagaimana, Pak Paul?
PG : Seharusnya mertua merelakan menantu sebagai mitra bukan bawahannya, sebab adakalanya ini yang terjadi juga, mertua kadang-kadang lupa bahwa ini adalah menantu dan ini seharusnya diperlakukn sebagai mitra.
Jadi akhirnya ada apa-apa mertua putuskan sendiri, dan celakanya memutuskannya itu berkonsultasi dengan si anak. Mungkin orangtua beranggapan, sama juga konsultasi dengan si anak tidak usah konsultasi dengan si menantu, tapi buat si menantu wah ini benar-benar sebuah perlakuan yang menghina dia, dia makin merasa dia tidak diikutsertakan. Jadi saya kira jalan keluarnya si mertua harus merelakan menantu menjadi mitra. Misalnya yang lain, memberikan hak penuh kepada menantu untuk berbuat lebih bebas, lebih sekehendak hatinya di rumah, memang ini tidak realitstik, tidak seharusnya sebab rumah ini tempat kediamannya. Kebalikannya juga harus berhati-hati, sebab ada menantu yang berpengharapan, seharusnyalah mertua saya itu memberikan saya kebebasan sepenuhnya untuk berbuat apa saja dengan rumah ini. Dia mau masukkan adiknya, dia mau masukkan kakaknya, dia mau ubah kordennya, dia mau ubah meja makannya, tidak apa-apa ini rumah dia. Sebagai menantu juga harus tahu diri, ini bukan tempat kediamannya, ini rumah mertuanya jadi bisalah membawa diri. Tapi dalam relasi ini sebaiknya memang si mertualah yang mengundang si menantu menjadi mitra, ada apa-apa ya silakan konsultasikan dengan si menantu; di pihak si menantu ya harus bisa bawa diri jangan sampai berbuat sekehendak hatinya dengan rumah itu.
GS : Sering kali konflik itu timbul bukan karena masalah-masalah itu, penyebabnya memang itu tapi pemicunya itu hal-hal sepele, tapi keras sekali pertengkaran di antara mereka.
PG : Betul sekali, misalnya urusan makan; si menantu diundang makan bersama dan dia belum siap, dia masih mengerjakan sesuatu terus mertuanya kelebihan bicara. "Makan saja sama-sama, jangan nani, sekalian aja jadi nanti bisa dibereskan, pekerjaan bisa dikerjakan nanti."
Hal sekecil itu bisa membuat si menantu merasa, "Kamu kok tidak menghormati saya, kamu kok menyuruh-nyuruh saya seperti saya ini anak kecil, saya 'kan juga kepala keluarga." Menjadi ribut, kalau tidak ribut ya dia marah atau nanti disampaikan kepada pasangannya, "Orangtuamu begini kepada saya, memangnya saya ini siapa." Atau salah pengertian, si menantu diam di kamar padahalnya tidak ada apa-apa, tapi lebih diam di kamar. Mertua bisa beranggapan ada apa dengan menantu saya kok mukanya asam, padahal mukanya asam gara-gara peristiwa di luar bukan karena yang terjadi dalam rumah. Tapi telanjur memberikan kesan buruk kepada mertua, pasti ada yang kami lakukan yang dia tidak suka, akhirnya mertuanya memberi reaksi terhadap muka asamnya si menantu. "Kamu ada apa kok tidak ada komunikasi, kalau tidak suka ngomong dong," padahal si menantu tidak sedang menyimpan ganjalan dengan si mertua, tapi sudah ditegur begitu jadilah pertengkaran.
GS : Jadi sangat peka; tadi adalah kasus di mana pasangan muda ikut mertua, tapi bisa juga terjadi mertua ikut pasangan muda, bukankah itu bisa terjadi?
PG : Bisa terjadi dan itu pun menyimpan potensi problem Pak Gunawan, sebab biasanya karena mertua tinggal di rumah menantu, kebalikannya yang terjadi adalah si mertua bisa-bisa merasa bahwa diaitu kurang disambut, dia dianggap sebagai tamu sehingga dia merasa didiamkan, tidak diajak bicara.
Dia peka dan dia akan berkata, "Ya...saya tidak disambut lebih baik saya keluar, lebih baik saya pindah." Nanti waktu dia berbicara seperti itu kepada ankanya, anaknya cerita kepada pasangannya. Si menantu marah, "Saya kurang baik apalagi, saya mesti bagaimana lagi kenapa mertua begini sikapnya, kurang menghargai saya." Terjadilah konflik, atau yang sering terjadi adalah si mertua karena merasa ini menantunya, ini anaknya, ini cucu-cucunya, jadi dia merasa mempunyai andil dan diijinkan untuk terlibat dalam urusan rumah tangga atau pengaturan cucu. Jadi mertua itu membuat dirinya lebih aktif menolong, nah ini bisa-bisa menjadi masalah. Misalkan dengan menantu perempuan, si menantu perempuan tidak suka karena si anak digendong-gendong terus oleh mertua, tapi mau beritahu mertua jangan gendong anak saya, sungkan, nanti ribut, cucunya sendiri kok tidak boleh. Berbicara dengan suaminya, suaminya berkata, "Biarkan saja kenapa dipersoalkan hal kecil seperti itu, waktu anak itu dilepas ya baru kamu gendong." Tapi si menantu wanita merasa, "Kok mertua saya tidak sensitif dengan saya, seharusnya tanya boleh tidak saya gendong." Nyatanya tidak pernah minta ijin tapi gendong anak saya terus-menerus. Misalkan anaknya lagi sakit, si mertuanya yang mengendong-gendong; si mertua berpikir padahalnya saya menolong tapi si menantu pikir kamu kok lancang. Jadi akhirnya banyak masalah yang muncul di antara mereka.
GS : Memang kadang-kadang mertua itu di rumah kita, kalau pun di tinggal bekerja oleh dua duanya 13:25
Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.