Makna Ayah bagi Anaknya

Versi printer-friendly
Penulis: 
Heman Elia, M.Psi
Sumber: 
Eunike
Abstrak: 
Benarkah soal anak adalah urusan ibu? Bila ayah juga mempunyai peran dalam mendidik anaknya, apakah fungsi yang harus dijalankannya? Adakah dampaknya bila anak tidak memperoleh pengasuhan dari pihak ayah?
Isi: 

Suatu hari Ami yang berusia lima tahun bertanya kepada ibunya, Leni, "Kenapa sih mama harus punya papa? Mama kan bisa kerja sendiri dan melahirkan anak?" Pertanyaan Ami yang tampaknya kekanak-kanakan namun bermaksa sangat mendalam ini menyentak Leni dan membuatnya tercenung agak lama. Leni sama sekali tidak menyangka Ami yang masih belia dapat mengajukan pertanyaan tajam semacam ini.

Kurang lebih sang ibu tahu apa yang ada dalam benak Ami. Ya, kenapa harus ada papa? Selama ini toh Ami dan mama dapat hidup berdikari tanpa ayah. Ayah bagi Ami tidak lebih dari sekadar seorang tamu yang kadang-kadang justru mengganggu keintiman relasi Ami dengan ibunya.

Sama seperti kebanyakan keluarga masa kini, ayah Ami, Rio, berangkat bekerja sejak pagi dini haru dan pulang ketika Ami telah tertidur. Rio juga sering keluar kota berhari-hari. Bahkan pada hari Sabtu dan Minggu pun sang ayah penuh dengan akitivitas di gereja. Semua urusan kecil dan besar soal anak diserahkan pada ibu. Rio hanya tinggal di rumah sesekali ketika sakit atau ingin beristirahat lebih banyak. Tidak terlalu mengejutkan bahwa Ami seolah tidak merasakan perlunya kehadiran seorang ayah.

Rio berpendapat bahwa anak sepenuhnya urusan wanita. Tugas ayah adalah semata-mata mencari uang dan memenuhi kebutuhan materi keluarga. Itu sebabnya ketika adakalanya Leni mengeluhkan dan meminta saran dari Rio soal anak, Rio menampilkan sikap ketidaksukaannya. Juga ketika Ami merengek-rengek kepada ibunya, Rio yang merasa terganggu memarahi baik Ami maupun ibunya.

Benarkah soal anak adalah urusan ibu? Bila ayah juga mempunyai peran dalam mendidik anaknya, apakah fungsi yang harus dijalankannya? Adakah dampaknya bila anak tidak memperoleh pengasuhan dari pihak ayah?

Kepala Keluarga yang Mendidik Anak-anaknya Mari kita simak dulu apa yang dikatakan Alkitab mengenai tugas seorang ayah. Paulus mensyaratkan seorang diaken yang dipilh untuk melayani jemaat haruslah seorang yang terhormat (1 Timotius 3:8), suami dari seorang istri, serta mengurus anak-anak dan keluarganya dengan baik (1 Timotius 3:12). Jadi seorang ayah pada dasarnya memang dituntut untuk mengurus keluarganya dengan baik, dan bukan sekadar bertugas mencari uang semata.

Tampak pula bahwa Paulus menekankan pentingnya mengutamakan keluarga sebelum seseorang dipercaya untuk mengurus gereja Tuhan. Nasihat ini sangat masuk akal mengingat bahwa seorang pelayan Tuhan yang memiliki keluarga dan anak-anak yang baik pasti memiliki kemantapan lebih bila berhadapan dengan permasalahan jemaat. Ayah yang mengurus keluarganya dengan baik juga pasti memperoleh dukungan keluarga atas pelayanannya.

Seyogyanyalah seorang ayah yang tidak menjadi diaken juga mengambil tanggung jawab mengurus keluarga dan anak-anak. Persyaratan bagi diaken oleh Rasul Paulus dengan penekanan khusus pada kehidupan berkeluarga karena diaken menduduki jabatan strategis dan harus menjadi teladan bagi jemaatnya. Dengan demikian, pendapat bahwa seorang ayah tidak perlu mengurus keluarga dan lebih mengurusi hal-hal di luar rumah merupakan pandangan budaya yang tidak alkitabiah.

Selain itu Rasul Paulus juga memberikan persyaratan bagi penilik jemaat, antara lain bahwa ia haruslah seorang kepala keluarga yang baik, disegani, dan dihormati oleh anak-anaknya (1 Timotius 3:4). Paulus memberi alasan bahwa orang yang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri tentu sulit mengurus jemaat Allah. Sekali lagi, sesungguhnya ini adalah sebuah sasaran yang harus dicapai oleh setiap ayah. Ayah merupakan pemegang otorita di dalam keluarga. Untuk mencapai keadaan demikian, seorang ayah haruslah meluangkan waktu untuk mendidi dan mengajar anak-anaknya.

Bila kita perhatikan, banyak keluarga yang secara de facto dipimpin oleh ibu dan bukannya ayah. Semua keputusan diambil oleh ibu. Ayah seolah tidak mau tahu soal anak harus bersekolah di mana, bagaimana dengan pelajaran anaknya, perlu tambahan kursus di luar sekolah atau tidak, sakit ataukah sehat, dan bagaimana perilakunya. Tragisnya, ketika ibu pun tidak memikul tanggung jawab ini, urusan demikian diserahkan kepada guru privat, pembantu, atau supir. Tidak mudah membayangkan seberapa parah dampak kondisi demikian bagi anak-anak kita. Kita tentu saja tidak mungkin menuntut pembantu, supir, bahkan guru privat yang kita bayar tinggi sekalipun untuk banyak peduli dengan perkembangan moral dan iman anak-anak kita.

Kepala keluarga yang baik dapat diumpamakan sebagai seorang manajer yang baik di rumah. Seorang ayah seyogyanya mengambil keputusan-keputusan penting, mengatur jadwal dan membagi tugas, memberi peraturan dan menerapkan peraturan itu, juga mengorganisir serta mengawasi keluarganya. Untuk melaksanakan tugas-tugas ini, tentunya dituntut tekad, semangat, dan pengorbanan ekstra.

Bagaimana seorang ayah dapat disegani dan dihormati anak-anaknya? Pertama, ayah dihormati kalau hidupnya kudus dan menjadi contoh teladan bagi anak-anaknya. Kedua, ayah disegani anak bila ia mendidik anak-anaknya di dalam Tuhan.

Berbicara soal mendidik anak, Alkitab menasihatkan demikian, "Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu" (Amsal 1:8). Tampak jelas dalam nasihat yang ditujukan kepada anak ini, bahwa seorang ayah sudah pasti mendidik anaknya dan anak hendaknya mendengarkan didikan ini. Tugas mendidik anak bagi seorang ayah bukan dilakukan atas dasar dorongan rasa kasihan melihat istri kewalahan mengurus anak-anaknya. Mendidik anak adalah suatu kewajiban yang langsung melekat pada diri seorang pria ketika seseorang memperoleh predikat ayah. Ketidakseriusan ayah mendidik anak bahkan dapat mengundang hukuman Tuhan atas seluruh keluarga sebagaimana yang dialami oleh imam Eli. Dalam 1 Samuel 3:13 Tuhan berfirman demikian, "Sebab telah kuberitahukan kepadanya, bahwa Aku akan menghukum keluarganya untuk selamanya karena dosa yang telah diketahuinya, yakni bahwa anak-anaknya telah menghujat Allah, tetapi ia tidak memarahi mereka!"

Bagian lain Alkitab yang berbicara soal keharusan ayah mendidik anaknya adalah sebagai berikut, "Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan Tuhan, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya. Karena Tuhan memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayanginya" (Amsal 3:11-12). Dalam bagian ini, Tuhan dianalogikan sebagai seorang ayah yang mengasihi, dan dengan demikian, mengajar dan memberi peringatan kepada anak-anaknya. Dengan kata lain, seorang ayah berkewajiban dan sudah sepantasnya mengajar dan memberi peringatan kepada anak-anak yang dikasihinya agar mereka senantiasa hidup dalam kebenaran. Tugas ayah mendidik anak secara jelas diperintahkan dalam Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan."

Pemenuh Kebutuhan Anak

Bagi seorang anak, hadirnya ayah mempunyai arti yang sangat penting. Beberapa kebutuhan terpenting anak terpenuhi ketika ayah hadir dalam kehidupan mereka. Kita dapat mengetahui pentingnya ayah dari dampak yang muncul pada anak bila ayah tidak menjalankan fungsinya.

Pertama, anak merasakan kekosongan dan tidak terarah hidupnya karena tidak ada yang memberi inspirasi dan memberikan dorongan untuk mengeksplorasi dunia luar. Seorang penulis melukiskan perbedaan ayah dengan ibu demikian, "Kalau ibu melindungi dan mempertahankan, ayah merebut dan membuka jalan untuk berbagai kemungkinan. Setiap hari dia pulang ke rumah dan mewakili kuasa, gengsi, pengetahuan dan aturan. Tidak mengherankan bahwa bagi anak, sang ayah merupakan puncak dari segala kemampuan." Anak yang tidak merasakan kehadiran ayah dalam hidupnya akan cenderung merasa kurang aman dan kurang mampu menyesuaikan diri dengan dunia luar. Dalam relasi sosial, anak-anak demikian sering menggunakan cara kurang sehat untuk merespon teman-temannya.

Kedua, berbagai masalah emosi dapat muncul bila ayah tidak hadir dalam kehidupn anak. Hasil penelitian menunjukkan adanya kaitan antara ketidakhadiran ayah dengan kesedihan yang besar pada anak ketika mereka mencapai usia yang lebih dewasa. Dalam penelitian yang lain, siswa yang tidak memperoleh disiplin, dukungan emosi, dan kasih ayah memiliki kemampuan menghadapi stres yang rendah, kurang kontrol diri, dan cenderung menarik diri dari kehidupan sosial.

Ketiga, anak akan kehilangan kepercayaan diri dan rasa percaya pada orang lain bila ayah tidak dapat menjadi model di tengah keluarganya. Untuk dapat menjadi teladan, seorang ayah haruslah mempunyai cukup waktu untuk hadir di tengah keluarga. Dengan cara demikian, barulah kehidupan ayah dapat disaksikan secara nyata oleh anak-anaknya. Sebaliknya, anak seolah kehilangan patokan berperilaku dan gamang berhadapan dengan orang lain tatkala tidak ada ayah yang memberi nasihat, teguran, maupun pujian. Akibatnya, anak bertumbuh menjadi orang yang selalu haus akan dukungan dan evaluasi orang lain.

Keempat, lebih besar kemungkinan bagi anak untuk menderita kelainan gambaran diri dalam hal jenis kelamin maupun perilaku seksualnya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki yang feminin mempunyai hubungan yang jauh dengan ayahnya dan di pihak lain anak-anak ini sangat dekat dengan ibunya. Beberapa di antara anak laki-laki ini menjadi penderita gagguan seksual. Di lain pihak, anak perempuan yang jarang menyaksikan kehadiran ayah dalam kehidupannya mengalami kesulitan mengukuhkan identitas seksualnya. Akibatnya anak-anak ini tumbuh dewasa dengan kebutuhan yang besar akan pengukuhan laki-laki atas dirinya dan sebagian di antaranya melakukan hubungan seks dengan banyak laki-laki.

Komitmen

Dampak negatif kurang berfungsinya ayah dalam keluarga ternyata begitu banyak. Anak yang kurang menikmati pelukan, kasih sayang, pujian, nasihat, dan didikan ayahnya berpotensi menjadi anak yang bermasalah. Karena itu, ayah dituntut komitmennya untuk mendahulukan keluarga dibanding ambisi pribadi dan pelayanannya.

Bila ayah menjalankan seluruh tanggung jawab keayahannya, apakah ada jaminan bahwa anak-anak akan tumbuh sehat tanpa masalah? Jawabannya adalah tidak. Namun kemungkinan anak tumbuh bermasalah diminimalisir oleh ayah yang menjalankan fungsi keayahannya secara memadai. Mari kita tunaikan tugas kita!